Yang Muda, Yang Berwacana

review Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan (foreign festival title: The Myriad of Faces of the Future Challengers), realisator: I Gde Mika & Yuki Aditya, durasi: 91 menit, ditonton di: bioskoop mikro Forum Lenteng.

a micro cinema with foam soundproof walls and ceiling. two men stand at the front facing the audience.
l-r: “realisator” i gde mika and yuki aditya

film, atau filem kalau mengikuti nomenklatur ala forlen, yang berusaha menginvestigasi “segudang wajah” sinema orde baru lewat montase potongan-potongan adegan yang didownload dari file-file “anonymous” di youtube yang diiringi voiceover pseudo-puitis dan theory-adjacent (namedropping kuleshov, bazin, tarkovsky, etc, ✅). potongan-potongan adegannya iconiiiic! so memeable, seperti doomscrolling fyp a true gen z. seru banget jadi pengen nonton lagi cintaku di rumah susun karena footages dari film nya abbas akup ini disandingkan dengan manis dengan adegan-adegan dari the ladies man jerry lewis, menunjukkan keintertekstualitasan di antara mereka alias apa aja yang dicontek nya abbas; voiceover yang muda, yang berwacana sepanjang filem ini, not so seru. ranging from poetic epiphanies yang oke juga (“film, seperti jemuran, juga memerlukan cahaya” — di permulaan film yang nunjukin banyaknya dan, sepertinya, pentingnya scene jemuran dalam film orba) tapi terus nggak dilanjutin poinnya. are they airing orba’s dirty laundry, or what? malah langsung segue ke biopic sjuman djaja (iirc). seperti banyak gen z (i gde mika: born 1999) yang hobi bikin megathread di twitter, voiceover film ini juga sotoy tapi strangely hollow, sophisticated-sounding tapi ternyata shallow. comot teori sana teori sini, gabungin dengan gaya deklamasinya, jadi word salad dengan dressing aan mansyur (plenty of shady toppings soal dominasi jawakarta juga di sini).

during a discussion after the film screening i asked mika about the purple prose of the voiceover, why and what it was trying to achieve. mika said, “nggak pengen terlalu langsung ngomongnya.” okurrr, another bilang begini, maksudnya begitu sapardian then. (why do gen zs still read sapardi?)

the opaqueness of the narration sometimes results merely in unintended hilarity (i have a soft spot for “ornamen massa”, whatever that means) but sometimes it also makes you wonder not only about what are the filmmakers trying to say, but also about whose voice(over) is this anyway?

misalnya ada adegan aneh di hampir akhir film yang dimulai dengan voiceover bombastis, “komunis beraksi dalam gelap”, kemudian diikuti scene jenderal-jenderal matiin lampu di menteng mansion mereka pas malam tanggal 30 september 1965 yang diambil dari film penumpasan pengkhianatan g 30 s pki. but the film was the greatest propaganda movie ever? it made triumph of the will feel like free willy. in reality the pki wasn’t an underground party back then? they weren’t an underground, shadowy bahaya laten (yet)? was the voiceover being ironic, haha, komunis beraksi dalam gelap, yakeles. or was it, inadvertently perhaps, reinforcing the special place in hellish darkness orba reserved for pki anything?

in the discussion after the film, yuki explained how many of the ideas for the film were hashed out by writing simple descriptions of film footages that caught the filemmakers’ eye. quite an organic process. i asked if the voiceover in the above scene then became a sort of ersatz alt text for the visually impaired but nothing more? mika’s answer was vague. didn’t sound like he knew what alt text was? was it another case of bilang gak tahu, maksudnya tahu, tapi nggak mau kasitahu (secara langsung)? 🤷🏻‍♀️

but then again, yang matiin lampu-lampu dalam adegan di atas kan jenderal-jenderal, antek-antek imperialis kolonialis kapitalis. jadi seharusnya mereka dong yang beraksi dalam gelap? (if you were writing an alt text for the scene.)

segudang wajah adalah sebuah filem essay, tapi lebih seperti essay yang difilemkan, not quite a film essay ala sans soleil chris marker misalnya, yang juga mengandalkan jukstaposisi antara documentary footage dan poetic monologue tapi the sum is greater than its parts. the sum of segudang wajah seringnya malah bikin makin gak jelas wajah sinema orba sebenernya kayak rano karno atau meriam bellina?

sometimes the voiceover is also simply historically naive. in one of the scenes it said that revolusi indonesia berakhir dengan perang dingin dan proyek mercusuar bung karno, seperti gbk dan… konferensi asia-afrika 🤦‍♀️. the images that accompanied the voiceover were interesting, an offshore oil rig from a wim umboh film and a pasak bumi rawdogging the earth from a sjuman djaya one (cmiiw). were the footages used to slyly stan the voiceover, that to the filmmakers soekarno was also an extractive capitalist? but in other parts of the film they seemed to sympathize with the soekarnoists and communists (though at the same time skeptical about marxism and communism). were the filmmakers aware of the anti-soekarno montage effect they’ve created in this scene (or at least that it could easily be interpreted that way) or were they not aware? were the footages selected following a certain ideology, or out of a desire to be cynical about any orde, lama maupun baru?

di skena contemporary art sekarang, namines senang bermain-main dengan arsip. tontey dengan local wisdom manahasa atau tintin wulia dengan arsip-arsip ’65, tropic fever (belum nonton). dalam poetry, buku seperti blakwork alison whittaker yang men-decolonize legal archives kolonial inggris mengenai orang aborigin, atau human looking andy jackson yang men-subvert archives dan government policies tentang disability. filem ini juga bermain-main dengan arsip sinema orde baru, tapi agak tidak jelas apa yang berusaha dilakukannya, walaupun di tengah-tengah film ada pernyata/tanyaan yang sepertinya jadi origin story film ini: “apa yang dikatakan oleh sinema orde baru yang kita tidak tahu?” — or something like that (maaf baru nonton sekali dan tidak punya superpower menulis notes dalam kegelapan, jadi quotes sepanjang review ini mungkin sekali ga verbatim, please check with the filmmakers!). does it treat sinema orba as an archive on its own or is it protesting against previous attempts at archiving it (by whom?)?

the footages were mostly pilfered from anonymous youtube channels, but not all of them. so the filem can’t really claim to be decolonizing youtube archivists either. the filmmakers are a gen z x gen x duo (kira-kira, i know yuki from the old sedot-sedotan film scene of the early 2010s, kayaknya sih dia sempat merasakan orba secara langsung), so we can’t really say this is a post-orba critique of orba films either. some sort of curation was obviously involved (many of the films included — yang muda, yang bercinta; kerikil-kerikil tajam; ibunda; et al — are already part of the sinema orba canon, no segitiga emas here), but the process wasn’t really acknowledged in the highfaluting voiceover nor was its curation methodology explained (why were most of the footages taken from “anonymous” youtube archivists? is what the film criticizes/problematicizes (biar more gen z) the common people’s canon(ization) of orba films?)

in the end the film is trying to say so many things — propaganda orba, orba gaze, jawakarta imperialism, pki, communism, capitalism, a smorgasbord of extreme cinema nuggets — but not very articulately. there’s a lack of coherence that may seem to mimic the diversity of topoi, tropes, and titillations that orba films offered but the filmmakers failed to make the parallel to highlight the point — that orba films’ segudang wajah are so diverse they’re impossible to distill into just one visage. perhaps they didn’t even see the parallel.

at the end of the film, the voiceover slash poet laureate namedropped kuleshov and with help from an agan harahap soeharto meme created a wikihow on soviet montage theory, what editing can do to generate different meanings. turns out kuleshov was the godfather of memes! homeboi was a tiktoker with mad capcut skillz.

so it’s almost only right and natural that the film can feel like doomscrolling on a gen z’s fyp, where you get everything from gore animemes to pororo the cat trying to flog kochengwear, the algorithm is wild af. similarly, in segudang wajah you get everything from ultra macho contemplation on marxism (atheis) to… ultra macho contemplation on eroticism (complete with raging sam-sam jawir hard-ons, in roro mendut).

aka, sinema orde baru was a deus ex memema! orba films were busy creating a myriad of memes for the future, they were cogs in a hyperactive meme-making machina!

what the filmmakers didn’t seem to realize was that their film was also (re)generating memes from/out of the sinema orba memes in order to distill and point out their tropes. father, forgive them; for they know not what they do. if they did, that would’ve tied the whole thing together: nih loh, we’re presenting you with segudang wajah filem orba, wajahnya emang ga koheren, sama kayak filem ini.

sayangnya sekarang it feels more like they’ve lovingly and painstakingly collected and curated segudang wajah sinema orba but then forgot to give you the key to the warehouse.

several people sitting in a half circle around white round tables and chairs, chatting
outside the microcinema at forlen in jagakarsa. very cool space, literally, thanks to the ceiling bricks imported from jatiwangi art factory

You and I on You and I

by mikael johani and ratri ninditya

you: eh nyin, gue liat di plurk lo bilang cedih abitch abis nonton you and i. macacih? kok gue rada berasa risetnya dangkal, footagenya kurang, (how many times kita harus liat atap mereka bolong?), jadinya karena konteks politiknya juga kayaknya sengaja dibikin minim ceritanya jadi kayak penyintas porn? apalagi pas di scene-scene terakhir mereka di rs, camera work-nya rada creepy-voyeuristic ga sih? i don’t know, gue jadi berasa film ini gak menawarkan sesuatu yang baru aja dalam discourse di rumah aja tentang 65 di sini. penyintas hidupnya menderita, ya iyalah!

i: revisi, gua gak cedih abitch tapi cediih. gua rasa maksud filmnya emang menyajikan sebwah narasi penyintas perempuan yang tentu menawarkan potret-potret kehydupan yang mikro di luar narasi besar-grande-kokoh 65 itu? it was obviously intentional menyorot rutinitas domestik dari Kusdalini dan Kaminah sebagai dua sobi di usia senja yang dilupakan sama negara. walopun menurutku (dan ketika aku nonton film itu pertama kali) film ini aku baca sebagai cerita persahabatan-kinship, di mana Kaminah sedang membalas budi Kusdalini selama ini yang nampung dia ketika Kaminah diusir sama keluarganya sendiri, instead of film korban 65? terus kalo kita bicara strategi advokasi 65 lewat film (seperti narasi yang digadang di promonya dan sosmed) bukankah film ini jadi nawarin angle yang specifically feminine (dan feminist)? mereka bukan keluarga heteronormatif ibu-ayah-2 anak, melainkan hanya hidup berdua dan kadang-kadang dibantu sama tetangga lewat barter dan kindness, tapi di luar itu mereka menopang hidupnya sendiri. jadi bikin orang ngobrolin implikasi 65 tanpa mengancam pake konten-konten “berbahaya”? bukankah itu bagian dari siasat feminis? gua rasa aspek itu menarik. 


kalo soal powerful scenes yang bikin gua jleb mungkin ketika mereka baringan di kasur dan Kusdalini mulai menyanyi. trus ada detil-detil yang menarik, kayak makanan pas di rumah sakit yang keliatan super gak napsuin, ngebayang kalo lg sakit suruh makan gituan? mendingan kasi gua obat tidur aja yang banyak biar gua kunjungin itu teman2 lain yang sudah berpulang duluan! sementara itu scene jasmerah, pandangan politik Kaminah, dan pertemuan dengan penyintas lain memang rasanya jadi sempalan saja dalam bangunan cerita. ngomongin scene jasmerah sebetulnya menarik juga, karena seperti sengaja mau dibenturkan Kusdalini yang mulai pikun vs. Kusdalini yang strong-willed (scene ngeyel gak mau narik tangan ke dalem pas di angkot, minta jemur keset, dan gak mau makan). karakter Kusdalini yang digambarin di sini mengingatkan gua sama eyang gue pas udah sakit (cediiih). gimmick2 propaganda ala penguasa mungkin bisa terlupa tapi semangat mah gak akan padam and that’s what matters.

 
beberapa angle scene rumah sakit bikin gua agak bertanya juga, ketika Kusdalini yang berbaring disorot dari sisi kakinya memang agak creepy. 


oiya talking about menderita, are they really? yang pasti mereka menderita karena usia dan (hampir) absennya jaminan sosial negara, tapi di luar itu kayaknya film ini gak secara asal ngeliatin mereka sebagai orang yang perlu dikasianin, lebih sebagai sosok yang perlu di-look up to. 


menurut lo risetnya harus diperdalam di mana? what are your expectations?

you: menarique dan di banyak hal i setubuh. kalau film ini berdiri sendiri dan belum ada diskografi film/literatur tentang 65 yang sudah cukup panjang gue mungkin lebih gampang menerima bahwa mungkin juga film ini bisa membawa diskursus tentang 65 ke tataran yang lebih mainstream tanpa dicancel oleh oknum. tapi masalahnya film/literatur tentang 65 di sini, terutama yang diproduksi oleh manikebuis atau protege-protege mereka, udah banyak banget yang mengedepankan sisi kemanusiaan (dengan sengaja) daripada sisi politiknya—yang bukan bagian dari kekerasan budaya ala yang dijelaskan wijaya herlambang i imagine dengan harapan yang sama untuk memainstreamkan isu ini tanpa ditakis orang-orang yang masih pki-phobic—tapi kok sejauh ini isunya ga mainstream-mainstream yak? yang ada malah konteks sejarah itu lama-lama hilang tak berbekas. jangan-jangan ini tujuan sebenernya! tiap tahun apalagi dekat-dekat september/oktober pasti harus jelasin lagi eh korban tragedi 65 itu orang-orang seperti kusdalini dan kaminah ini loh, bukan jenderal-jenderal ituh. so i guess what i’m looking for is balance? antara cerita tentang kemanusiaan dan analisa tentang politik anti-komunis yang tidak pernah manusiawi? the two don’t have to be mutually exclusive.


ke-queer-an mereka menarik sih emang, apakah itu sebuah metafora yang halus tentang survival sebagai penyintas 65? kalau mau survive ya kudu berada di luar sistem (seperti queer kids di dalam sexuality yang heteronormatif (atau non-homonormative queers di dalam queerdom yang just so?)). also bahwa kequeeran ini juga ga dibikin terang benderang menurut gue juga menarik, jadi antidote bagi kequeeran ala barat yang lebih mendominasi (di twatter!). tapi memang, walaupun gue jawir sendiri, ada juga momen di mana gue ragu, apakah si filmmaker membuat ini jadi super subtle dengan sengaja, atau dia justru tidak sadar dengan kemungkinan ini? (walaupun itu tentu bukan halangan buat sebuah queer reading tentangnya)


i also agree bahwa kusdalini dan kaminah, despite their (buat gue) obvious suffering, memang digambarkan sebagai superwomen buat dikagumi bukan karakter dalam poverty porn buat dikasihani. tapi gue jadi teringat sebuah kasus yang gue baca di twatter, tentang temen gue yang kena covid trus dia ga bilang siapa-siapa bahkan ke teman-teman terdekatnya, cuman isoman di kosan, beli makanan pakai paylater karena lagi tiris dan ga mau ngutang, sampai teman-temannya pada setengah marah pas dia spill penderitaan dia di twatter sehabis pulih. kebanyakan netijen membaca kisahnya sebagai kisah heroik tentang kekuatan individual buat survive di dalam sistem yang tidak mendukungnya samsek, memberikan bantuan seitil pun tidak. tapi buat gue di dalam kisah tedxable ini keabsenan negara/pemerintah jadi pretty much terlupakan, they didn’t get the roasting they deserved. gue sih juga pengen nyembah sungkem sama kusdalini dan kaminah, tapi gue ga akan lupa kalau yang membuat mereka harus tinggal di rumah beratap bolong (the state is unwilling to put roof over their heads!) adalah negara. 


ekspektasi gue mungkin jadi lumayan tinggi karena gue udah nonton film dialitanya udin yang sayangnya sampai sekarang belum bisa rilis (if you must know salah satunya karena beberapa kontennya dianggap terlalu berbahaya!). film itu juga tentang persahabatan, bahkan di antara beberapa perempuan penyintas sekaligus (a full community, not just an isolated couple!), dan menurutku di situ udin bisa tuh menggali lebih jauh ingatan kolektif tentang 65 sekaligus emosi-emosi pribadi perempuan-perempuan penyintas ini dan mengkombokannya menjadi sebuah cerita yang hiks banget bikin mewek tapi juga tidak memalingkan muka terhadap fakta-fakta sejarah yang membuat cerita mereka jadi hikz bingitz. sori gue ngomong tentang film yang lo belum nonton, i’ll try to keep it short, tapi mungkin keunggulan film udin, yang kemudian jadi gue harapkan ada di you and i juga, salah satunya adalah struktur narasi filmnya. di situ perempuan-perempuan penyintasnya sejak awal juga super fierce, tapi ke-fierce-an ini sedikit demi sedikit digerogoti seiring makin jauh mereka bercerita dan mengalami kembali personal/political herstories mereka sampai akhirnya, di sebuah scene tak terlupakan di antara dua mbah-mbah yang pernah dipenjara di plantungan, ke-fierce-an tadi runtuh, saat mereka menyadari yang mereka punyai tinggal satu sama lain. jika yang satu mati, ga ada lagi you and i, yang ada cuman this fucking state and i. how unfair to both of them. nah di situ pinter banget sih menurutku si udin “memainkan” emosi kita, membuat kita sempat percaya bahwa human will shall triumph over all adversities, tapi kemudian meretakkan kepercayaan itu sedikit demi sedikit sampai akhirnya hancur berantakan. bukan sesuatu yang manipulative in a bad way menurutku, why be adverse to emotional manipulation in a doco?, justru menurutku itu deskripsi yang akurat tentang delusi yang kita semua butuhkan agar dunia berasa gak taik-taik amat dan kita gak cabs aja dari situ bukan?


sementara buat gue you and i cukup puas dengan menonton saja. the film is just there to document, not to make a comment, let alone manipulate the story to present an argument about state crime. valid-valid aja i suppose, baiknya dia jadi menangkap momen-momen kecil yang memberi film ini tekstur (ngeyel ga mau masukin tangan di jendela angkot itu juga kaporit gue), jeleknya buat gue film ini mungkin akan selalu perlu advokator kayak lo buat menjelaskan tempatnya dalam konteks historiografi tentang 65 agar gak diadopsi sama manikebuis jadi bagian dari pki-erasure mereka. 

i: di sini kayaknya jadi ada sebwah kesimpulan yang gua tarik secara sotoy yang ada kaitannya sama swasensor dan akses kebanyakan orang sama film 65 (gue si sebenernya, warga endonesa dengan akses secukupnya tapi tidak ekstra). banyaknya film tema 65 yang ngedepanin sisi humanis dan sulitnya film-film yang dianggep “berbahaya” disebarluaskan secara masif itu hubungannya akibat-sebab yang jadi lingkaran setan yah. selama akses sama film berbahaya dibatesin, eksplorasi pembuat film dan literasi penontonnya sama topik-topik 65 ya muter di situ-situ aja. the fact that i haven’t seen film Udin tentang Dialita dan elo udah itu aja udah jadi contoh. diskusi soal film udin ini cuman jadi teaser buat gua doang jadinya, hiks. buat pembuat film, jadi pinter-pinteran bersiasat di ruang yang terbatas, karena apa gunanya bikin film kalo sulit ditonton orang. jadi ada swasensor yang gua curigain bahkan terjadi di proses ngide. kayaknya kalo mau menunjuk state lebih tegas, keseluruhan ekosistemnya juga harus dibongkar dengan menyediakan lebih banyak ruang-ruang aman buat film “berbahaya”. gimana kita mau ngarep punya estetik dan narasi subversif kalo pemutaran film 65 yang paling subtil aja dilarang-larang? (ini belom ngomongin global funding yang nganggep 65 seksi yah, itu kayaknya lebi rumit lagi masalahnya).


disadari atau pun nggak, pembacaan non-normative kinship (terminologi apa pula ini? ngarang gua) tetep penting karena artinya ada tekstur lain yah yang bisa dieksplorasi di tema besar 65 ini dan tekstur itu ternyata ada di pengalaman sehari-hari perempuan di luar sistem serta seluruh affect dan habitus yang menyertainya. ide bahwa we only have each other menurut gua juga tersirat di narasi akhir you and i ini, di caption in memoriam terhadap Kaminah. pas kelar itu gua pikir daym, Kaminah nyusul Kusdalini karena mungkin selama ini Kaminah bertahan hidup buat sahabatnya itu juga. 


let’s hope advokator kiri masi lebi banyak dibanding yang humanis universalis manikebuis itu dan aku bisa segera nongton pilemnya udin so we can have a further discussion x)))

*You and I disutradarai oleh Fanny Chotimah. bisa ditonton di bioskop online. foto dicopyleft dari cineverse.id

Mogul Mowgli: Gelisah Hibriditas Budaya

Menyaksikan Mogul Mowgli seakan diingatkan pada rasa sakit yang melumpuhkan, hence it feels viscerally painful and personal. For years, I have had and still have two of what are considered the most excruciating illnesses, acute pancreatitis (which led to gallbladder removal) and endometriosis + adenomyosis combo which forced me to be homebound, bedridden, and being dependent on pain killers to get by for months. Just a little background.

Tidak pernah menyaksikan Riz Ahmed sebelumnya kuanggap sebagai sebuah keuntungan karena aku menyaksikan Zed yang utuh, bukan Riz Ahmed sebagai Zed/Zaheer. Ahmed mengaburkan batas antara dirinya dan Zed, bahkan mungkin menguliti dirinya sendiri demi melebur ke dalam Zed. Mungkin juga Mogul Mowgli merupakan semi otobiografi Ahmed secara dia juga terjun langsung sebagai co-writer. Whatever that is, he is electrifying & breathtaking.

Karir Zed (Riz Ahmed), rapper Inggris berdarah Pakistan yang tinggal di New York, kelihatannya menuju lepas landas seiring dengan tawaran menjadi penampil pembuka tur Eropa artis lainnya. Sebelum tur dimulai, Zed menyempatkan diri pulang kampung ke London setelah disindir sehingga cekcok dengan pacarnya, Bina (Aiysha Hart). Di sinilah mimpi buruk Zed dimulai. Tiba-tiba Zed mendapati dirinya menderita kondisi autoimun yang menyerang otot, yang artinya pergerakan fisik Zed menjadi sangat terbatas. Ketakutan mimpinya pupus, ia menyetujui tawaran untuk mengikuti program pengobatan eksperimen dengan resiko kemandulan, sebuah keputusan yang ditentang ayah Zed karena menurutnya apalah arti manusia tanpa keturunan.

Ayah Zed, Bashir (played brilliantly by Alyy Khan), meninggalkan Pakistan dan pindah ke Inggris setelah Pemisahan India tahun 1947. Puluhan tahun berlalu dan Bashir masih menutup mulut setiap topik ini mengemuka. Guneeta Singh Bhalla, pendiri Arsip Partisi 1947 (sebuah organisasi non-profit di Berkeley, California) mengatakan, “Because their experiences weren’t given importance for so many decades, they just learned to feel that what they experienced wasn’t really worth talking about.”

Setiap kali Zed berada dalam kondisi tertekan, ia bermimpi (atau itu mungkin manifestasi kenangan buruk ayahnya) berada dalam gerbong kereta hantu (karena membawa mayat orang-orang yang dibantai saat berusaha melintasi perbatasan India dan negara baru Pakistan) dan menyaksikan kebrutalan pembantaian pengungsi yang terjadi selama migrasi massal tahun 1947 tersebut. Migrasi massal terbesar dalam sejarah manusia. Dalam mimpi dan halusinasinya, Zed juga selalu menjumpai laki-laki dengan muka tertutup rangkaian bunga (mala) menggumamkan nyanyian “Toba Tek Singh” (nama sebuah kota di Punjab yang juga dijadikan judul cerita pendek berlatar belakang pemisahan India oleh Saadat Hasan Manto), namun Zed tidak pernah memahami penuh arti kehadiran sosok tersebut. Mimpi dan halusinasi Zed bagaikan luka masa lalu Bashir yang diwariskan menjadi kegelisahan identitas Zed. Lahir dan besar di Inggris namun selalu dipertanyakan asal-usulnya. Semua diterjemahkan Ahmed dalam lirik “Where You From”. A brilliant and heartbreaking poem.

They ever ask you “Where you from?”
Like, “Where you really from?”
The question seems simple but the answer’s kinda long
I could tell ’em Wembley but I don’t think that’s what they want
But I don’t wanna tell ’em more ’cause anything I say is wrong

Britain’s where I’m born and I love a cup of tea and that
But tea ain’t from Britain, it’s from where my DNA is at
And where my genes are from
That’s where they make my jeans and that
Then send them over to NYC, that’s where they stack the P’s and that

Skinheads meant I never really liked the British flag
And I only got the shits when I went back to Pak
And my ancestors’ Indian but India was not for us
My people built the West, we even gave the skinheads swastikas

Now everybody everywhere want their country back
If you want me back to where I’m from then bruv I need a map
Or if everyone just gets their shit back then that’s bless for us
You only built a piece of this place bruv, the rest was us

Demi dapat kembali berdiri di atas kedua kakinya sendiri, Zed meruntuhkan idealismenya dan mencoba metode penyembuhan apapun yang ditawarkan; mulai dari metode medis (terapi eksperimen yang dapat berakibat kemandulan permanen) hingga tradisional (dari minum air yang didoakan, hingga menyerah untuk di-cupping secara diam-diam oleh keluarganya. Menurut mereka, “toh trennya sekarang semua atlit di-cupping dan semua orang beralih ke kunyit untuk pengobatan alamiah”. Insinuations for the white’s cultural appropriation of healthy and natural lifestyles craze). Menerima diobati secara tradisional seperti sebuah tamparan bagi ‘kemodernan’ Zed. Namun bagaimana mau mempertahankan prinsip dan memiliki otoritas penuh terhadap tubuh sendiri, ketika untuk bergerak pun masih membutuhkan bantuan orang lain? Tangisku meledak saat menyaksikan Zed bangun di rumah sakit dengan ayahnya membaca Al-Qur’an di samping tempat tidur. Juga di lain waktu saat ia bangun mendapati ibunya sedang mengelus kepalanya dan bapaknya sedang sholat di kursi. They are scenes that are too familiar with me. Sebagai anak yang sudah dewasa, sulit rasanya kembali bersandar (secara harfiah) pada orang tua yang notabene tidak lagi kuat.

Alyy Khan & Riz Ahmed

Bersandar pada orang tua juga ‘memaksa’ Zed kembali menghadapi pertentangan nilai dengan orang tua, terutama ayahnya. But at the end of the day, they are still family walaupun mereka acapkali bersitegang. Adalah Bashir yang menenangkan Zed yang frustasi, “Zaheer, sabaar. Insya Allah there’ll be more opportunities” (Lagi-lagi kubanjir air mata. Persis seperti mamakku kalau aku lagi frantic).

Façade Zed yang defensif, bahkan terkadang agresif, menjadi tameng atas kerapuhan Zaheed Anwar. Hibriditas budaya yang melahirkan konflik identitas berlapis Zed, walaupun di satu sisi menjadi inspirasi berkeseniannya, namun di sisi lain selalu membuatnya limbung dan gelisah. All of his insecurities and anxieties speak to me. Seperti misalnya, aku ingat ketegangan dan kegelisahanku di masa muda saat pertama kali menghadapi cupika cupiki, satu tradisi ‘anak gaul’ yang saat itu lumayan jauh dari nilai-nilai yang kupegang, coming from a rather conservative background aka si anak alim. Saat itu aku merasa seperti harus meminggirkan keislamanku demi dapat diterima lingkungan yang lebih ‘keren’? Mungkin sama seperti Zaheer yang memilih panggilan Zed. His cousin thinks he surrendered to the West, while he thinks he made a choice. Padahal sih inlander aja dia. So was I. Thanks to the wave of wokeness and intersectionality, we now realised that our insecurities and anxieties are valid. For a very long time, as people of colonised nations, we were made to believe that our cultural (and religious) values are backward or irrational than of the colonisers that a lot of times it makes us invalidated them.

This movie hits so close to home on so many aspects and dimensions; the cultural and value clashes, lost identity, illness and its effects, parents attending their adult-age child care, and taken away dream. I was so not prepared for the surge of emotions this movie brings. A wonderful feature debut by Bassam Tariq, who also co-wrote it with Riz Ahmed. Beberapa mungkin akan berpikir terlalu banyak yang ingin disampaikan film ini, tapi kalau kita pernah berada dalam persimpangan budaya seperti Zed, semuanya terasa sangat relevan.

Menjelang akhir, setelah gagal mengeluarkan sperma untuk dibekukan, Zed meludah ke dalam tabung, lalu memanggil suster sambil berkata “I’m finished”. Mungkin Zaheer yang lelah dengan semuanya menyerah memiliki keturunan, seperti tergambar dalam lirik rapnya,


“I tried to stand up for my blood but my blood won’t let me stand up
Let there me no more after me at least we’ll be at peace
If there is no seed after me Zaheer would be at peace”

Foto diambil dari https://www.mogulmowgli.co.uk/

apa yang berharga dari

menarik membandingkan interpretasi malkan junaidi tentang arti metaforik “istirahatlah” dalam puisi wiji vs. artinya setelah dijadikan judul film biopik itu.

dalam film itu, ada mixed messages soal “istirahatlah”, di satu sisi wiji digambarkan mengeluh soal nggak bisa tidur, di lain sisi dia digambarkan tidur melulu, bahkan waktu ketemu anaknya lagi (yang begitu dia rindukan menurut film ini dengan petunjuk2 audio klise seperti tangisan bayi dan kepedulian wiji pada bayi tetangga di pengasingan yang menangis tiap kali lampu mati (listrik gagal masuk desa?)) instead of main2 sama anaknya melampiaskan kekangenan dia juga malah tidur nyenyak (lagi).

memang puisi “istirahatlah kata-kata” dalam film itu termasuk yang dihidangkan (dalam voice over yang lumayan kena, pelonya gunawan maryanto keren) secara hampir penuh, kalau tidak salah sampai baris “kita bangkit nanti” kalau nggak sampai habis (lupa). jadi kalau mau generous, ada celah untuk menginterpretasi film ini sebagai waktu tidur, siesta, buat kata-kata, untuk bangkit nanti (di sequelnya, hanya ada satu kata: lawan!? 😛).

tapi kemudian kita harus mempertimbangkan dua hal lagi (paling tidak) menurut saya sebelum memutuskan kira2 sutradara ini pakek judul itu kenapa: film2 sutradaranya yang lain dan aspek2 lain dalam film yang ini selain pemanfaatan judul puisi tadi.

kalau kita lihat di film2nya yang lain dari vakansi yang janggal, lady caddy who never saw a hole in one, sampai kisah cinta yang asu, sutradaranya si cecep ini memang lihay memberi kesan seolah2 film2nya mengandung social commentary padahal konsentrasinya lebih ke kisah romancenya, yang seringnya juga difokuskan kepada ketegangan seksualitas yang direpresi (instead of perjuangan rakyat yang direpresi).

seperti saya tulis di review saya, this guy is like the gm of indon indie filmmaking. kemudian salah satu bagian lain dari film ini yang sangat merepresentasikan pov sutradaranya adalah keputusannya mengubah scene di puisi baju loak sobek pundaknya wiji jadi beberapa scene yang menampilkan rok mini merah menyala.

itu penting banget menurut saya.

seperti ditunjukkan mumu aloha di tulisan ini, salah satu senjata wiji dalam menulis puisi adalah kritik intertextualnya terhadap influencesnya yang terlalu borjuis seperti subagio dan rendra.

puisi2 wiji kalau pake bahasa afrizal di esai ini mengganti mata kedua dan ketiga penyair2 macam rendra dan subagio tentang kehidupan wong cilik dengan laporan pandangan mata pertama langsung dari dunia kemiskinannya.

dia saksi sejarah kehidupan rakyat miskin di indonesia. baju loak sobek pundaknya dalam puisi wiji adalah simbol yang sangat kuat buat penderitaan rakyat miskin yang diopresi orba waktu itu, dan lebih spesifik lagi, penderitaannya sebagai buron yang diburu penguasa karena berorganisasi.

“karena aku berorganisasi bojoku.”

(perhatikan baju itu sobek di pundaknya, tempat epaulet tanda pangkat dipasang di seragam tentara).

“baju” ini diganti menjadi rok mini merah, yang walaupun loakan juga, dengan drastis mengganti isi puisi wiji itu menjadi apa ya? hasrat bercinta yang istirahat selama pengasingan? “merah”-nya perjuangan wiji? darahnya yang tak lama setelah itu ditumpahkan kopassus?

sepertinya interpretasi pertama yang lebih mungkin, mempertimbangkan kecenderungan filmmakernya dalam film2 sebelumnya dan juga scene selanjutnya di mana si wiji meminta sipon memakai rok mini itu waktu mereka check in di hotel di solo pas dia akhirnya pulang.

(ingat juga di puisinya, wiji menunda kepulangan itu, “kalau aku pulang bojoku”.)

dalam dunia perwacanaan puisi ini, baju loak yang jadi simbol rindu wiji pada sipon (udah powerful) yang diiringi penjelasan kenapa rindu itu mungkin tak akan kesampaian (karena wiji adalah buronan penguasa, jadi makin powerful dan mengharukan), diganti dengan simbol lain yang klise (rok mini merah, kira2 simbol seksualitas nggak yaaa) dan menyempitkan puisi aslinya (kalau kita menganggap versi film ini sebagai “puisi” alternatif (more on that later).

penggantian simbol ini, dalam film yang katanya puitik, mementahkan kritik puisi2 wiji terhadap puisi2 salon pendahulunya seperti yang dijelaskan mumu tadi.

puisi wiji yang dengan jeli menyinyiri problem kelas menengah subagio (pantalon sobek etc) dengan menggelarkan problem real rakyat miskin (becak rusak, baju loak, etc) dibalikkan lagi menjadi puisi salon tentang seksualitas (bukan perjuangan berorganisasi!) yang terrepresi.

menimbang2 semua hal ini, sepertinya lebih banyak bukti tekstual dan kontekstual yang menganjurkan bahwa si sutradara film ini sebenarnya mungkin gak sedalam2 itu amat mempertimbangkan konsekuensi peminjaman judul istirahatlah kata-kata untuk judul filmnya.

mungkin kita malah perlu lebih banyak melihat pewacanaan arti film ini oleh pihak2 yang mendukungnya, yang sejauh ini selalu menekankan betapa berartinya kesunyian dalam pengasingan wiji, bahwa inilah penderitaan yang sebenarnya, bukan dimasukkan ke dalam tong hidup2 kemudian dilarung di kepulauan seribu!

untuk soal ini sepertinya masalahnya simpel aja, sutradaranya predictably masih terhegemoni oleh kanonisasi puisi indonesia oleh kaum manikebuis salaharahis, yang selalu mengagungkan kesunyian, kesepian, penantian blablabla di atas chaosnya perjuangan yang kayaknya gimana ya kayaknya kok norak bener kalau dijadiin subyek film art house! jadi con air nanti!

*foto dari antitankproject.wordpress.com

Inhibisi: Screening Film Pendek Bertema Keluarga

Pada Kamis 23 April lalu, Popteori mendapat kesempatan untuk terlibat dalam screening film daring yang digagas Sinecovi; sebuah portal screening film produk dari para mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) Semarang, dengan tema Inhibisi.  Fenomena larangan yang terjadi dalam lingkup keluarga, menjadi gagasan program bertajuk INHIBISI. Di screening ini dipilih dua film yaitu Sunday Story dan A Dinner with Astronaut.

A Dinner with Astronaut – Hantu Orde Baru di keluarga Indonesia

Film ‘A Dinner with Astronaut’ yang disutradarai oleh Rein Maychaelson ini, adalah sebuah film pendek bergenre komedi yang menghibur sejak awal. Bercerita tentang satu malam natal yang biasa saja saat satu keluarga ingin merayakannya dengan makan malam. Tiba-tiba, makan malam mereka dikejutkan oleh kedatangan astronot yang roketnya nyangsang di atap rumah.

Walau terkesan menghibur dan lucu tapi sebenarnya film ini mengisyaratkan masih hadirnya hantu Orde Baru di potret keluarga Indonesia jaman now. Hantu ini memang tidak mau (mudah) pergi, bagaimana tidak? Hampir setiap hari (tanpa siaran niaga) televisi menayangkan seri-seri drama keluarga heteronormatif yang bahagia. Orang yang hidup di era Orde Baru terutama dekade 80-an dijejali dengan seri seperti Rumah Masa Depan, Si Unyil, Losmen, Jendela Rumah Kita, Keluarga Rahmat dan banyak lagi yang secara halus membuat standar mengenai keluarga ideal saat itu.

Keluarga menjadi mikrokosmos tatanan negara yang patriarki dan heteronormatif. Ayah sebagai kepala keluarga adalah negara dan patron untuk anggota keluarganya , alias rakyat. Ayah boleh malas dan pamrih, tapi ayah harus dan selalu punya kontrol akan istri dan anaknya.

Hal yang sama dapat terbaca di film ‘A Dinner with Austronot’. Secara satir tersirat bagaimana ayah sebagai negara memperlakukan anak dan istrinya, sebagai warga negara, dengan semaunya sampai datang bantuan asing berwujud astronot. Di saat ayah kehilangan kendali pada istri dan anaknya, tanpa ragu dia menyingkirkan sang astronot yang telah menjadi alat bantu keberlangsungan keluarga itu. Ini mirip dengan apa yang dilakukan Orde Baru yang seakan ingin mengesankan kemandiriannya dengan menggusur “unsur asing” bernama kapitalisme lewat larangan siaran niaga di televisi. Tapi, negara berutang di balik jargon ‘swasembada pangan’ atau ‘pembangunan’.

Sunday Story (Kisah di Hari Minggu) – kerja emosional seorang ibu yang sering luput dari perhatian

Film pendek yang disutradarai dan ditulis oleh Adi Marsono ini mengangkat pentingnya peran ibu rumah tangga di dalam keluarga, mengingatkan kita bahwa ibu rumah tangga adalah bentuk kerja (labour), yang sama pentingnya dengan kerja-kerja lain di luar rumah. Jika meminjam istilah dari feminis-sosiolog Arlie Russel Hochschild, kerja ini disebut sebagai emotional labour. Ia mengatakan, bahwa jenis kerja seperti ini sangat sering dialami oleh perempuan, baik di ranah domestik maupun profesional. Efeknya adalah burnout, yang seringkali berimbas langsung pada kesehatan jiwa. Kerja emosional tidak punya kontrak dan jam kerja, dan tidak mendapatkan imbalan langsung berupa upah.

Isu ini diekspresikan dalam alur cerita sederhana sepanjang 8 menit. Kita mengikuti keseharian seorang ibu rumah tangga (diperankan dengan sangat baik oleh Erythrina Baskorowati) menyiapkan anak perempuannya sekolah, membangunkan suami, menyuruh anak lelaki mandi. Si suami (Rizky Sasono, juga sangat natural) tidak beranjak dari tempat tidurnnya, sampai si istri menyiram seember air saking kesalnya. Anak lelakinya bukannya mandi untuk bersiap sekolah, malah pergi memancing. Di akhir cerita (dan juga dinyatakan pada judul filmnya), sang istri akhirnya sadar bahwa hari itu hari libur. Rangkaian cerita ini menggarisbawahi bahwa pekerjaan rumah tangga tidak kenal hari Minggu, tidak kenal libur.

Hal lain yang saya tangkap adalah akting yang baik dari para pemain sampai sanggup menarik skrip lebih dalam dari intensinya semula. Kedataran ekspresi suami menyiratkan bahwa lupa hari libur ini adalah suatu hal yang sering terjadi (jadi ingat iklan/film pendek Ramayana Department Store, tentang nenek yang mengidap dementia dan mengira tiap hari adalah lebaran, jadi sekeluarga mengikuti saja kemauannya, pura-pura merayakan lebaran). Ia membiarkannya saja sampai si istri sadar sendiri, mungkin terlalu malas dan lelah untuk bicara. Ketiadaan dialog antara suami-istri, merupakan cerminan nyata dari banyak sekali kehidupan perkawinan. Makna dipertukarkan lewat gerak tubuh dan ekspresi.

Sayangnya, pembagian peran gender dalam keluarga dibuat kaku dan konservatif. Anak perempuan rajin dan penurut. Anak lelaki digambarkan lebih bangor dan bebas. Kenapa nggak anak cewek yang kabur main sementara yang cowok yang diseragamin? Suami mencuci piring diposisikan sebagai sebuah ekspresi sayang suami berusaha menghibur si istri yang stress (padahal cuci piring kewajiban). Apa mungkin memang begitu Adi Marsono melihat kenyataan di sekelilingnya? Apakah dia lelaki konservatif yang sekedar berempati pada ibunya, melihat perempuan hanya sebagai korban tak berdaya, tanpa kapasitas agency sama sekali? Karena itukah ia tidak bisa melihat kemungkinan peran gender yang lebih seimbang di ranah domestik?

film dalam radar isolasi

kami mengumpulkan film-film yang cuco menemani periode isolasi teman-teman. daftar ini akan terus diperbaharui, tapi gak janji. peringatan: ini bukan film yang membuatmu merasa lebih baik. ini film-film yang membantumu menerima kenyataan pahit ini.

Caliphate

Jika melupakan agenda liberal netflix dan bagaimana Islam hampir tidak ditampilkan sebagai sesuatu yang positif sedikit pun, serial ini akan terasa spektakuler. Caliphate bercerita tentang radikalisasi dan perekrutan para perempuan di Eropa oleh ISIS. Kebanyakan dari mereka adalah diaspora Timur Tengah yang lahir dan/atau besar di Eropa. Beberapa yang akhirnya memilih ikut ke Syria merespon sikap antipati Eropa terhadap Islam. Beberapa adalah korban kekerasan domestik dan dari kelas ekonomi bawah. Di Caliphate, pihak yang paling rentan di sini adalah perempuan tanpa support system dan yang berusia paling muda. Terlepas dari seberapa tepat film ini merefleksikan kenyataan di lapangan, Caliphate berhasil membongkar beberapa hal menarik: bagaimana polisi Eropa menekan informan di Syria tanpa peduli risiko yang akan informan hadapi di sana, bagaimana kode-kode Islami bisa diputarbalikan menjadi senjata perempuan (mengingatkan saya akan Battle of Algiers). It is a different kind of shit compares to the shit we’re having right now. Tapi perasaan terisolasi, terperangkap, dan a sense of helplessness yang sangat intens dari film ini is so present.

Born in Flames

Film ini membayangkan Amerika Serikat sepuluh tahun setelah revolusi sosialis-demokratis damai dan menampilkannya dengan gaya dokumenter. Di setting yang dibayangkan, seksisme masih marak terjadi. Film yang disutradarai Lizzie Borden ini mengikuti perjuangan beragam kelompok feminis bawah tanah dan bagaimana negara mencoba menyingkapnya. Di satu titik di film, seluruh kelompok feminis bersatu karena seorang pemimpin mereka ditahan dan dibunuh. Lizzie berhasil menampilkan banyak nuansa dari pergerakan Kiri. Sosialisme tidak akan cukup selama patriarki, rasisme, dan perbedaan kelas belum dibongkar. Perubahan tidak cukup terjadi di tingkat negara. Transformasi harus berlangsung secara kultural dalam kehidupan sehari-hari, di lingkup yang paling intim sekalipun. Nonton ini menegaskan keyakinan kalau negara kita masih sangat jauh dari cita-cita kesetaraan. Pandemi corona mungkin jadi satu-satunya hal yang membongkar paksa seluruh tatanan tersebut.  

I, Daniel Blake

Ini adalah cerita tentang orang-orang paling terlupakan oleh negara. Ken Loach, sang sutradara, membuatmu berpikir bahwa negara adalah sebuah konsep yang lebih banyak mudarot daripada faedahnya. Ia menunjukkan rumit dan kakunya birokrasi Inggris dalam menyalurkan mekanisme bantuan untuk kelompok orang tidak berpenghasilan. Alih-alih mempermudah hidup, negara justru membunuh warganya pelan-pelan . Ya kayak negara kita sekarang aja dibiarkan tenggelam dalam ketidaktahuan, di tengah hiper-yang-menjadi-mis-informasi. Kata-kata terakhir Daniel Blake yang tak sempat ia baca sungguh TER-LA-LU dekat dengan kondisi kita sekarang: “I am not a client, a customer, nor a service user. I am not a shirker, a scrounger, a beggar, nor a thief. I am not a national insurance number, nor a blip on a screen. I paid my dues, never a penny short and proud to do so. I don’t tug the forelock, but look my neighbour in the eye. I don’t accept or seek charity. My name is Daniel Blake, I am a man, not a dog. As such, I demand my rights. I demand you treat me with respect. I, Daniel Blake, am a citizen, nothing more, nothing less. Thank you.”

Violent 

Menceritakan ingatan seorang perempuan tentang orang-orang yang paling menyayanginya (sayang sohib, sayang obsesif mengarah suicidal, sayang sambil lalu dan sebagainya) persis sebelum dia meninggal. Ada banyak spekulasi tentang seperti apa momen kematian itu dan banyak refleksi tentang makna hidup dalam kacamata kelas menengah Eropa Utara. Filmnya tidak bisa dibilang subversif, namun beberapa hal yang direnungkan dalam film ini cukup mengusik, seperti keinginan untuk melarikan diri dari kehampaan dan menemukan kehampaan lainnya, menangkap kebahagiaan kecil di tengah ke-nothing-an tersebut, dan kesepian yang menyeretmu ke ambang kegilaan.

We Were Here

Film dokumenter berisi kisah para penyintas epidemi AIDS di San Fransisco yang merebak sejak akhir tahun 1970 dan awal 1980-an. Suburb queer San Fransisco yang mereka tinggali adalah ground zero epidemi AIDS saat itu. Surat kabar dipenuhi obituari. Setiap korban meninggal adalah teman, kerabat, keluarga, dan kekasih. Tiap anggota komunitas otomatis menjadi perawat korban terinfeksi dan tak lama terkena infeksinya juga. Menjadi subjek eksperimen obat diharapkan jadi cara untuk bertahan hidup, tapi risikonya justru kematian. Menonton bagaimana sebuah penyakit mempengaruhi tiap lapis kehidupan pribadi dan sosial di tengah pandemi corona ini is just. something. else. Menatap mata para penyintas yang selalu berkaca-kaca ketika mereka diminta mengingat masa lalunya membuat badan saya semutan dan suami saya tidak bisa tidur semalaman.
WerewolfMenceritakan sepasang remaja miskin pengguna metadon di Kanada. Film ini menyisir lingkaran jeruji tak tampak yang memerangkap hidup mereka: adiksi, keterbatasan uang. Gambar-gambar di film ini ditampilkan sangat close up dengan warna-warna pucat, membuatmu merasa seperti dapat jamur ajaib yang buruk.  Rambut mereka berminyak, baju tidak pernah ganti, jerawatan di bagian dagu. Nonton ini buat hiburan #stayathome siang-siang biar makin kerasa terperangkap. Kita tidak tahu sampai kapan air PAM tersedia ya kan.

High Life

Optimisme manusia akan masa depan kemanusiaannya sendiri dikalahkan dengan kuasa alam. Nothing is more fitting than watching fiksi ilmiah dengan mood yang seperti ini, saat ini. Juliette Binoche adalah dokter di dalam kapal ruang angkasa yang membawa narapidana sebagai objek eksperimennya. Kapal itu sendiri punya misi mengeruk sumber energi dari lubang hitam. Tentu rencana-rencana ini kandas dan Robert Pattinson ditinggal berdua dengan bayinya di kapal yang perlahan tapi pasti tersedot dalam lubang hitam.   

E(xtreme Cinema)=m(asteng)c(etek)²

“One small step for Siman, one giant leap for mas-maskind…”

Siman peeping tom yang mengintip hoax terbesar dalam sejarah manungsapiens: Padoeka Jang Moelia Stanley “Soekarno” Kubrick membuat film propaganda CIA “Pendaratan di Bulan”… di Parangtritis. Siman ketauan dan Siti belum lahir untuk menyelamatkannya sehingga ia dihukum potong lidah, sekarang ia bisu dan PTSD. Selanjutnya di film terakhir Cecep Anggi Noen yang lagi heitz ini, ia bergerak bagai Buzz Aldrin alon-alon ra kelakon yo rapopo no biar selow kayak Bela Tarr. Seperti menonton film-film Cecep sebelumnya, menonton “The Science of Fictions” kita seperti ditantang untuk memecahkan teka-teki (rumus?) simbol-simbol visual/aural yang dikandung di dalamnya. Namun kabar baik bagi sejuta umat manusia yang ada di dunia, simbol-simbol Cecep selalu gamblang dan heavy-handed banget sehingga tenang aja, ga perlu baca A Barthes Reader untuk mengertinya. Judulnya pun sudah kasih clue yang begitu murah hati: mulai saja dengan membedah apa “fictions” di film ini, dan bagaimanakah “science”-nya?

Dalam dunia palelofuturis Siman, waktu bergoyang maju-mundur sleb-sleb, peristiwa-peristiwa sejarah-politik (yes, 65) berjalin berkelindan siap ndan! dengan laju Leistungsgesellschaft budaya pop (odong-odong, Instagram, la vie vérité, jathilan – Extreme Cinema alert!), critique aras-arasan terhadap kapitalisma (kaleng-kaleng Khong Guan of the Lost Ark), exposisi masteng Jawir cishet values yang asu (PTSD Siman sembuh sementara pertama kali dengan cara, yak, mengenthu Asmara Abigail!), etc etc, yang efek akhirnya adalah film ini pada saat yang bersamaan membicarakan begitu banyak hal tapi juga nggak ngomong apa-apa yang begitu berarti. Sejarah Indonesia adalah fiksi? Really? Alerta alerta!

Dalam sebuah komen ablist yang diucapkan salah satu karakter di film ini untuk mengomentari kebisuan Siman (yasss, he’s our fucked up history’s silent witness! Semacam Forrest Gump yang belum diendorse Nike), ia digambarkan sebagai “Iso krungu ning ra iso nyatakke” = “Mampu mendengar tapi tidak mampu berbicara”. Frase Jawir “ra iso nyatakke” di sini menarik juga, karena secara literal bisa juga diterjemahkan sebagai “namun tak mampu put his thoughts into words” atau dalam versi less keminggrisia dan lebih radikal lagi, “tidak mampu membuat [pikirannya] jadi nyata.” Sehingga Siman menjadi satu-satunya karakter dalam film ini yang direnggut agency-nya dan waduh gimana ya tar dia ga bisa menciptakan fictions-nya sendiri dong sementara semua orang di sekitarnya asik-asik ajib nggambleh ngabodor menciptakan fictions mereka sendiri untuk memarginalkan Siman??? Tapi tenang, enter Permak Lepis dan akal-akalan kere:

“So here am I sitting in a Khong Guan can…”

Fictions dalam The Science of Fictions juga bisa merujuk kepada sugesti klise dalam film ini bahwa bukankah dunia ini hanya panggung sandiwara? Job Less! Atau bahwa film ini sendiri – dan consequently all films – hanyalah sebuah fiksi (dapat salam dari 8 1/2!). Di scene terakhir yang menyindir latahisme Instagrammers dan antusiasme mereka pada taman bunga plastik di tengah hutan, sekelompok post-alay naik odong-odong menyerbu rumah Apollo-chic DIY Siman di tengah hutan bambu dan ceklak-ceklik, post, liked by gabbermodusoperandi and 696969 others. What is Cecep saying? Bahwa dunia fiksi Siman yang direproduksi dalam ribuan post Instagram² menjadi terfiksikan sekali lagi (terfiksikan kuadrat!), and that‘s the Science of fictions ––> repro atas repro atas repro dan seterusnya atas kenyataan dalam dunia fantasi yang mengelabui kita semua? Bahwa sebenernya di dunia (fantasi) ini, ora ono sik iso nyatakke opo-opo? Maybe. Tapi kok I feel some/most of the times like overreading this stuff? This ain’t exactly Hito Steyerl!

“Mantap Boschque…”

Masalahnya juga, seperti dalam film-film Cecep sebelumnya, poin-poin yang sepertinya serius ini dinyatakan (dinyatakke!) dengan sekaligus setengah-setengah, sok ironis sehingga kayak menuntut pemirsa untuk menyatakan setengahnya lagi, tapi juga sekaligus dengan so obvious menggunakan simbol-simbol yang klise (Siman yang bisu as silent witness of the official history of NKRI, Siman yang gagal lepas landas sebagai simbol Repelita Orba yang gagal lepas landas, Siman yang dikomodifikasi sebagai pemain jathilan sebagai simbol pengkomodifikasian lumpen prole, kaleng Khong Guan sebagai simbol gurita kapitalisma dan tin can ambition NASA, etc etc.) tapi di(re)presentasikan seakan-akan no one else has ever used them in a work of fiction. Efeknya justru nggak jauh-jauh mata juga dari dipaksa menikmati parade pamer fictionalized kekerenan di Instagram!

Selain itu, kenapa juga film ini masih harus mine the same ole same ole themes and tropes dari Kamus Besar Extreme Cinema, Auto-Erasure dan Self-Orientalism Indonesia: 65 (is he saying anything new or merely reproducing counter-narratives yang itu-itu aja?), jathilan, seragam diktator chic, fantasi (fiction!) TKI (“Benar tidak duit di Arab dibuat dari emas?” Hampir aja aku salah denger jadi “Bener nggak sih Palme d’Or terbuat dari emas?” Phew.), sexual obsession of Javanese men, etc etc.? Apakah ini post-Wregas/Senyawa effect yang ditempelkan di film ini agar fiksi ala mas-mas Jogjosss ini bisa langsung bikin programer-programer festival film luar negeri ngaceng (old argument I know, sudah berdiri sejak Philip Cheah)? Ataukah sebenernya Cecep tidak se-Machiavellian itu (to mention someone who’s really into fiction!) tapi memang masih belum mampu aja keluar dari belenggu inlanderisme seniman-seniman Indonesia yang ingin go internesyenel? Now we all know that’s no fiction.

Images from kino-zeit.de, sennhausersfilmblog.ch, infoscreening.co

Downsizing: Menjadi Kerdil Untuk Kepentingan Siapa?

Setiap orang pasti pernah mengalami masa menyerah pada lingkungan dan ingin pergi dari masalah. Eskapisme ini bisa berwujud dalam banyak bentuk. Ada yang akhirnya memilih untuk mengunjungi alam tidak sadar alias mabuk dengan berbagai substansi, ada juga yang bertindak lebih konkret dengan memilih kehidupan yang jauh berbeda dari kesehariannya, misalnya pindah dari kota ke desa. Tapi, apakah pelarian ini berhasil menjadikan hidup seseorang jadi lebih baik?

Downsizing adalah film komedi fiksi spekulatif yang rilis di tahun 2017. Film yang dibintangi Matt Damon ini melihat eskapisme dari kacamata Barat. Di film itu, seorang ilmuwan dari Skandinavia menemukan teknologi untuk menyusutkan tubuh manusia. Seperti liliput di cerita Perjalanan Gulliver.

Teknologi itu tadinya dibuat dengan maksud menjaga keberlangsungan bumi yang mulai overpopulasi satu mahluk hidup: manusia. Dengan mengecilkan tubuh manusia diharapkan kebutuhan akan sumber daya alam seperti makanan, energi, air, dan lain-lain jadi lebih sedikit.

Alih-alih menjadi cara untuk menyelamatkan bumi, teknologi yang disebut dengan downsizing itu justru hanya menjadi alat untuk menyelamatkan manusia, satu species makhluk hidup yang dianggap utama dalam narasi descartesian. Pertanyaan selanjutnya, manusia yang mana?

Orang di seluruh dunia berbondong-bondong minta di-downsizing karena dunia mereka sudah mengibarkan bendera putih. Aset yang dimiliki di kehidupan awal mereka konversi ke dunia mini sehingga nilainya menjadi berlipat ganda. Lagi-lagi kapitalisme bicara.

Film ini penuh dengan lelucon yang pintar. Dari awal, ia terlihat ingin menertawakan ketamakan warga kulit putih kelas menengah atas yang tidak pernah merasa cukup, yang bosan dan membosankan, sehingga ketika dihadapi dalam situasi ketidak-berdayaan masih ingin jadi pahlawan dengan membina hubungan romantis dengan perempuan Asia berkebutuhan khusus. Matt Damon berhasil memerankan tokoh pecundang yang boring dan naif. Sayang, dia tidak mati saja ketimbun batu di akhir, malah tobat dan rujuk sama pacar barunya. Selain dia ada deretan aktor seperti Christoph Waltz, Kristen Wiig, Laura Dern, Jason Sudeikis, dan Neil Patrick Harris.

Kim Ji Young, Born 1982: Perempuan Dalam Lingkaran Toksik Patriarki

Kim Ji Young Born 1982 Poster 1

 

“사부인 (sabuin atau ibu dari menantu laki-laki), aku juga ingin melihat anakku”. Lalu blaaar… berderai air mataku.

Terjemahan bahasa Indonesia dan Inggris memang kurang dapat menggambarkan kompleksitas istilah keluarga dan kekerabatan Korea. Kupikir merupakan keputusan yang tepat untukku menonton filmnya sebelum membaca bukunya. Ada nuansa yang mungkin tidak tersampaikan dalam bacaan versi terjemahannya (ya walaupun, aku juga gak bisa bahasa Korea sih), seperti dalam sebuah adegan yang membuatku tercekat ketika Ji Young menegur mertuanya dengan panggilan besan perempuan.

Novel “Kim Ji Young, Born 1982” pertama kali masuk dalam radarku saat mencari referensi untuk ulasan drama Because This Is My First Life (2017). Saat itu novel ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Tulisan ini merupakan salah satu sumber acuan berbahasa Inggris paling jelas yang saya temui saat itu. Drama Because This Is My First Life sendiri nampaknya dibuat sebagai jawaban atas segala permasalahan yang muncul di novel Kim Ji Young, Born 1982.

Jika Because This Is My First Life (atau drako-drako woke lainnya) menjadi perlawanan suara perempuan yang diopresi dalam masyarakat patriarkal, bahkan mungkin cita-cita utopis, Kim Ji Young, Born 1982 justru menghempaskan penonton kembali pada realita yang berkebalikan 180 derajat, apalagi novel ini memang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi Cho Nam Joo. Dibandingkan dengan perkembangan drama Korea yang beberapa tahun terakhir semakin tajam mengkritisi diskriminasi dalam masyarakat – termasuk isu-isu gender (terutama sejak pembunuhan di toilet umum Gangnam yang memantik gerakan #MeToo di Korea Selatan), serta memberi ruang bagi representasi kelompok minoritas yang dipinggirkan (seperti LGBTQ) – industri film mainstream Korea sepertinya malah ketinggalan dalam hal ini. Bisa jadi karena industrinya sendiri masih sangat didominasi laki-laki. Data yang dikeluarkan The Korean Film Commission pada tahun 2017 menunjukkan kurangnya representasi perempuan dalam dan di belakang layar film-film Korea, termasuk di antaranya sutradara, produser, penulis, dan videografer. Sedangkan kebalikannya, hampir 90% penulis drama Korea adalah perempuan, bahkan sebagian besar adalah ibu rumah tangga. Cho Nam Joo sendiri juga merupakan mantan penulis untuk program televisi. But I’ll save this discussion for another day.

 

Kim Ji Young Born 1982 7

 

Kim Ji Young (Jung Yu Mi), memulai hari dengan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Lalu sambil mengurus Ha Young, anak perempuan mereka, ia melanjutkan pekerjaan rumah tangga lainnya hingga malam menjelang. Sebelah tangannya dibebat untuk meredam sakit. Kalau suaminya bisa pulang lebih cepat, ia akan segera membantu memandikan anaknya. Di antara timbunan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, Ji Young sering termenung memandang matahari terbenam di teras apartemen mereka. Dia juga tidak mengerti mengapa belakangan memandang matahari terbenam membuatnya merasa gundah.

Setiap hari, rutinitas yang sama.

 

Kim Ji Young Born 1982 3

 

Ji Young remaja bermimpi menjadi penulis, walaupun akhirnya dia bekerja di bidang pemasaran. Ambisinya berkarir dikesampingkan setelah ia memiliki anak. Sebagai salah satu negara dengan tingkat pendidikan tertinggi di antara negara-negara OECD, perempuan Korea Selatan harus patah hati berkali-kali di setiap fase kehidupan. Mimpi mereka selalu dihancurkan oleh patriarki yang mendarah daging karena ujung-ujungnya ‘setinggi-tingginya menuntut ilmu, peran utama perempuan adalah sebagai istri seseorang, ibu seseorang, anak seseorang. Identitas mereka adalah sebagai pelengkap laki-laki’. Kesenjangan antargender ini ironisnya bahkan jauh di bawah Indonesia yang notabene tingkat ekonomi dan pendidikannya berada jauh di bawah Korea, dengan Indonesia berada di peringkat 84 dan Korea Selatan berada di peringkat 118 dari 144 negara berdasarkan The Global Gender Gap Report 2017.

 

Kim Ji Young Born 1982 4

Jung Yu Mi (Kim Ji Young) dan Gong Yoo (Jung Dae Hyun) dalam pertemuan layar ke-4 mereka

Sutradara Kim Do Young berhasil memadatkan segudang problematika yang umum dihadapi perempuan Korea Selatan (seumum pemberian nama Kim Ji Young pada bayi perempuan yang lahir tahun 1982 di Korea Selatan) dalam potongan-potongan kehidupan semua karakter perempuan dan mengemasnya dalam narasi yang sederhana dan sangat sehari-hari. Tidak ada makna berlapis dan simbol-simbol penanda yang membebaskan penonton bersemiotika. Bisa jadi karena alasan buruknya kesenjangan gender yang berbanding terbalik dengan kemajuan pendidikan dan ekonomi tadi sehingga ia memilih untuk menyampaikan pesan secara letterlijk. Beratnya kehidupan perempuan dalam masyarakat patriarkal dan konservatif dikontraskan dengan gambaran laki-laki yang bikin frustasi. Kalau pun mereka tidak misoginis, mereka clueless, seperti suami dan adik Ji Young. Jung Dae Hyun (Gong Yoo) digambarkan sebagai suami yang cukup suportif. Namun posisinya yang ‘membantu’ kerja domestik istri menyiratkan bahwa laki-laki se-‘progresif’ Dae Hyun pun tidak memahami konsep berbagi tanggung jawab domestik dan kesetaraan saking lamanya hidup dalam dunia yang diciptakan oleh, untuk dan berputar di sekitar laki-laki.

Nyaris tidak ada gejolak besar dan percakapan filosofis, tetapi sepanjang film penonton disuguhkan rangkaian kekerasan yang dinormalisasi di setiap tahap kehidupan perempuan dan semua terasa luar biasa sedih, karena sebagai perempuan yang hidup di negara patriarkal Indonesia, semuanya terasa begitu familiar. Dan menyakitkan.

Film ini merupakan kali ke-4 Jung Yu Mi dan Gong Yoo bekerjasama. Sebelumnya mereka bermain di film Silenced (2011) dan Train To Busan (2016), serta menjadi cameo di salah satu episode drama Dating Cyrano Agency (2013). Jika di kedua film sebelumnya, selalu Gong Yoo yang menjadi karakter utama, kali ini giliran Jung Yu Mi yang berperan sebagai tokoh sentral. Kemunculan Gong Yoo yang lebih terasa sebagai pemeran pembantu, apalagi film ini memang berfokus di perempuan, membuat saya berpikir apakah Gong Yoo dipasang untuk ‘bemperin’ film ini? Walaupun tetap saja tidak menghentikan kontroversi Kim Ji Young Born 1982 yang terus berlanjut dalam ‘ratings terror’.

Jung Yu Mi memang tidak dikenal untuk ekspresinya yang dramatis, namun di sini kedatarannya justru memberi nyawa pada karakter Ji Young yang saking lelahnya tidak lagi sanggup melawan dan menyerah pada tekanan sistemik. Kemarahannya yang ditekan bermanifestasi dalam bentuk gangguan kesehatan mentalnya. Di antara hubungan Ji Young dengan orang-orang di sekitarnya, yang paling menyentuh sekaligus menyakitkan adalah hubungan Ji Young dengan ibunya. Menyakitkan karena ibunya harus menyaksikan Ji Young terjebak dalam siklus lingkaran toksik patriarki seperti dirinya. Kim Mi Kyung yang berperan sebagai ibu Ji Young mengalirkan kehangatan dan kebijaksanaan yang khas ‘ibu Kim Mi Kyung’ (you’ll know what I mean if you watch her dramas). Klimaks film ini pun ada di tangannya saat ia mendapati Ji Young berbicara sebagai neneknya.

 

Kim Ji Young Born 1982 6

Kim Mi Kyung yang selalu menawan

 

Walaupun film ini menyesakkan dari awal hingga akhir, namun Kim Do Young memilih untuk menyisipkan sedikit harapan sebagai penutup. Mengutip ucapannya dalam konferensi pers, “The novel shows bitterness of the reality throughout, but when writing the screenplay for the movie, I wanted to send a hopeful message to all Kim Ji-youngs in 2019, that they are living in a better world than Ji-young’s mother, and their children will be as well.” Somehow I can understand this and appreciate the choice she made.

“Ji Young, lakukanlah apa yang membuatmu bahagia.”

 

Kim Ji Young Born 1982 9

 

k-pop haram: upaya mengambil alih ruang milik perempuan

Oleh: Ratri Ninditya

Beberapa waktu lalu, seruan Ustad Somad menyebut penggemar Korea kafir membuat publik gusar. Ada satu hal yang ingin saya angkat di sini. Ketika sebuah ruang yang didominasi perempuan muncul, laki-laki cis straight akan berbondong-bondong datang untuk mengatur dan mengambil alih. Perlu dicatat, tulisan ini tidak berasumsi bahwa semua penggemar korea adalah perempuan, tapi nilai-nilai yang kita anut membuat perempuan (terutama yang muslim) menjadi subjek yang sangat disorot dalam komunitas penggemar ini. Penggemar korea sering dibilang gila, obsesif, tidak rasional (tapi apakah penggemar otomotif dan olahraga lebih valid dan masuk akal?).

Ustad Somad adalah orang yang kesekian menggunakan perspektif agama untuk mengecam para penggemar Korea Selatan (untuk selanjutnya kita sebut Korea saja). Seorang ustad lain bernama Fuadh Naim, dengan cara yang lebih persuasif menghimbau umatnya untuk “hijrah” dari obsesi mereka akan Korea. Menurutnya, menggemari artis Korea adalah dosa. Fuadh Naim menggunakan dirinya sendiri sebagai contoh orang yang telah hijrah. Dia menyebut dirinya seorang mantan penggemar Korea, atau dalam bahasanya, #pernahtenggelam. Fuadh Naim secara elaboratif melakukan berbagai upaya untuk berhenti suka dengan Korea, termasuk melakukan wisata selamat tinggal ke Korea Selatan (bersama istri). Fuadh Naim bahkan memproduksi sebuah web series dengan alur dan formula drama Korea, tapi diperankan oleh perempuan berhijab dengan pesan-pesan ketaqwaan pada Islam. Serial yang berjudul “Teman ke Surga” ini ia promosikan sebagai “pengganti drama Korea”.

Secara garis besar, Teman ke Surga menceritakan kisah cinta Dinda, seorang jurnalis kampus berhijab yang taat, dengan Farhan, seorang musisi yang tidak religius. Dinda menerbitkan cerita tentang rencana Farhan menyumbang kepada rakyat Palestina, padahal maksud Farhan hanya bercanda. Untuk menyelamatkan mukanya, Farhan butuh uang untuk betulan menyumbang, dan satu-satunya cara adalah menikah (dengan Dinda). Kisah cinta mereka tumbuh dari lawan menjadi kawan, dari saling benci menjadi cinta. Sambil keduanya cinta-cintaan, Dinda menggiring Farhan menjadi lebih religius.

Walau sarat pesan ketaatan beragama, drama ini menunjukkan nilai mana dari drama Korea yang serupa dan cocok dengan perspektif seorang pria muslim dan nilai mana yang ditentang. Yang mengejutkan, nilai yang dipertentangkan sangat sedikit. Drama menggambarkan keresahan serupa mengenai pernikahan dan pentingnya membentuk keluarga. Karakter perempuan dirayakan dan digambarkan sebagai sosok perempuan ideal. Dinda sebagai istri justru mengimani suaminya Farhan untuk jadi lebih religius. Dinda, seperti pemeran utama perempuan pada kebanyakan drama Korea, adalah sosok yang cerdas, pekerja keras, dan tegas menyatakan pendapatnya. Perbedaannya hanya pada bagaimana ia menolak sentuhan fisik sebelum menikah, cara berpakaiannya, dan usia muda pernikahannya (yang mungkin sudah ilegal dengan kebijakan baru usia minimum menikah!). Di episode pertama, Dinda menolak hand-grab, gesture tipikal pada drama korea yang menandakan dominasi, otoritas, dan posesifnya tokoh laki-laki kepada tokoh perempuan. Lalu cerita menggunakan justifikasi pernikahan untuk menampilkan adegan-adegan yang perlu dan jadi bumbu serial tersebut: sentuhan fisik dan kohabitasyiong.

Dalam khotbah-khotbah sosial medianya, Fuadh Naim juga sering mengolok-olok reaksi seksual perempuan berhijab terhadap idol Korea dan menghubungkannya dengan ayat Al-Quran dan hadis. Dalam postingan ini misalnya, ia men-screencap seorang komentar fans berhijab yang ingin jadi botol yang diminum seorang idol. Naim berkhotbah, bahwa ia diciptakan sebaga khalifah, bukan fangirl, apalagi botol. Postingan-postingan Naim dimaksudkan untuk jadi kontroversial. Kebanyakan yang merespon adalah perempuan berhijab dan muslim, yang kelihatannya merupakan target pasarnya.

Fuadh Naim adalah contoh bagaimana sistem patriarki masyarakat mencoba mengatur subjektivitas perempuan. Lucunya, cara ia mengatur adalah dengan merayakan sifat-sifat perempuan asertif, mandiri, dan intelek yang masih bisa diterima perempuan muslim Indonesia.

Di tahun 2011, Hyun Bin berkunjung ke markas angkatan laut Indonesia di Cilandak, Jakarta. Kunjungannya disebut media sebagai bagian dari tugas wajib militernya. Namun Hyun Bin diundang tidak hanya sebagai prajurit tapi juga dalam rangka pembelian senjata dan perangkat militer dari Korea Selatan (pesawat T-50 dan kapal selam). Selama kunjungan itu, Hyun Bin menjadi semacam badut ganteng yang tak hanya ikut latihan militer sekedarnya tapi juga menyanyi untuk puluhan (atau ratusan?) fans ibu-ibu di Jakarta.

Kunjungan ini menandakan pentingnya menciptakan citra baik militer Indonesia. Acara ini juga dapat dibaca sebagai sebuah gesture simbolis dari sebuah institusi maskulin mengambil alih sebuah ruang yang dikenal sangat non-maskulin.

Korean wave sebagai sebuah ruang yang didominasi perempuan ternyata sanggup membuat senewen struktur patriarki, yang terwujud dalam tokoh agama dan instansi militer yang berbondong-bondong mengokupasi dan mengatur. Dinamika ini menunjukkan potensi readership perempuan untuk memutarbalikkan kuasa ke arah berbeda, tempat perempuan dapat membayangkan relasi antar gender yang lebih setara.

Catatan cucoklogi:

Fenomena budaya pop Asia sendiri memang mendapatkan relevansinya di masyarakat Indonesia yang berlatar belakang agama cukup kuat. Konteks historisnya adalah pergeseran dominasi maskulin/militer pasca orde baru, terbukanya arus informasi transasia, etos kapitalisme, dan kebutuhan untuk memiliki representasi alternatif dari Hollywood, di mana tokoh-tokohnya berorientasi pada hasil akhir. Sifat kerja keras pantang menyerah tokoh perempuan dalam drama Korea dihargai sebagai nilai moral itu sendiri, yang kebetulan sejalan dengan ajaran agama Islam yang berusaha dan berserah diri ketika semua usaha sudah diupayakan.

Melalui etos kapitalis ini (kerja keras pantang menyerah), perempuan kelas menengah Indonesia bisa membayangkan hubungan yang lebih emansipatif di masyarakat, menjadi kuat dan mandiri di tengah struktur masyarakat yang patriarkis sambil tetap memegang teguh nilai agama dan nilai kolektif dalam keluarga.

Sumber catatan cucoklogi:

Chua, BH 2012, Structure, Audience and Soft Power in East Asian Pop Culture, TransAsia: Screen Cultures, Hong Kong University Press, HKU, Hong Kong.

Heryanto, A 2014, Identity and pleasure : the politics of Indonesian screen culture, Kyoto CSEAS series on Asian studies / Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University ; 13, NUS Press in association with Kyoto University Press Japan, Singapore.