ideologi yang bersembunyi di balik ironi (review jalanan)

jalanan

 

 

jalanan karya daniel ziv adalah produk khas generasi x yang menuntut segalanya harus ironis, termasuk cara menikmatinya. film ini menyajikan kolase kegetiran yang memaksa kita untuk tertawa miris tanpa merasa perlu menjelaskan kegetiran itu disebabkan oleh apa. film ini menggantungkan diri sekali kepada dramatic irony, bahwa ho tidak sadar keinginannya membangun keluarga sakinah mawaddah wassalam bertolak belakang dengan perilaku masteng seksisnya, bahwa titi tidak sadar impian modernitasnya untuk mendapatkan ijazah tidak akan membantu dia juga pada akhirnya jika ijazah itu datang dari sistem pendidikan indonesia yang tidak mengajarkan apa-apa selain mis-/disinformasi, bahwa boni tidak sadar penggusurannya dari arcadia (eh, hyatt) di bawah jembatan yang susah-susah dia bangun tidak akan berakhir di tempat yang lebih baik seperti janji-janji surganya kepada pacarnya–tapi penonton sadar tentang itu, dan diharapkan tertawa. miris. tapi tertawa. (dan memang banyak yang ketawa pas saya nonton di blok m square.)

 

tapi terus apa kerennya dramatic irony seperti ini? apa bedanya menertawakan, walaupun dengan miris, nasib ho, titi, dan boni, dengan menertawakan laporan pandangan mata pernikahan ruben onsu di bali yang dikasih soundtrack “what’s love got to do with it?”? buat film yang mempromosikan dirinya sendiri sebagai sebuah karya tentang–

Indonesia, musik jalanan, asmara, penjara, politik, seks, korupsi, hamparan sawah, globalisasi, dan patah hati!

–adakah hal yang lebih dalam daripada sinisme yang ditawarkannya tentang politik, korupsi, dan globalisasi (nggak usah ngomong tentang (((hamparan sawah))) dulu deh) yang telah menjerumuskan ketiga talking heads kita di atas ke dalam kemiskinan struktural?

 

dengan narasi yang tersengal-sengal seperti metro mini bobrok, dan camera work yang superklise (sob stories incoming… extreme close up!), jalanan hanya menawarkan argumen klise tentang a fucked-up third-world city: bahwa rakyat kecilnya yang oh-so-naive bakal selamanya digangbang oleh triumvirat korupsi, birokrasi, dan horang kayah. tidak ada analisa yang lebih dalam tentang itu–apakah ia sedang berkomentar tentang globalisasi saat menyajikan adegan ho menikah dengan mengenakan t-shirt “save darfur”? atau biar lucu aja? apa lucunya?

 

jalanan seperti tidak sadar dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan ketiga karakter ini: bahwa ketiga-tiganya berusaha membangun arcadia (hyatt dalam kasus boni) di tengah-tengah neraka jalanan urban megalopolutan jakarta. ini sebenarnya tema yang menarik buat film dokumenter yang punya ambisi ingin jadi lebih dari (quote dari press release-nya) “film dokumenter biasa (yang umumnya berat dan cenderung membosankan).” (sepertinya daniel ziv belum pernah nonton the act of killing, leviathan, up the yangtze, last train home, negeri di bawah kabut, spellbound, chronique d’un été, banyak deh!) namun tema itu tersingkirkan oleh ambisi ingin memancing cheap laughs dari para audiencenya (though at rp75,000 a pop at plaza senayan xxi, not so cheap!).

 

selain itu, ada satu hal yang sangat mengganggu saya tentang jalanan (dan bukan adegan faux-pastoral titi membentangkan tangan menghirup udara segar (((hamparan sawah))) di kampungnya–only #kelasmenengahngehek zakarta sok slumming it yang akan melakukan ini (or a documentary subject under instruction?)): bahwa di balik tirani ironinya, film ini dengan sangat hati-hati menyembunyikan ideologi yang, jika bukan fanatik pro-modernitas ala barat, maka paling tidak menghiraukan dengan paripurna aspek keposkolonialan hidup di indonesia saat ini.

 

dalam satu adegan, titi sedang belajar tentang sistem politik di kosan temannya. mereka mencoba menjawab soal-soal dangkal pilihan ganda tentang sistem politik apa yang berlaku di inggris dan china, kemudian mereka ngomong ngalor-ngidul tentang HAM, komunisme, dan kemakmuran. dari percakapan mereka, terlihat sekali pengaruh kuat mis-/disinformasi pendidikan orde baru terhadap kedua karakter ini. bahwa komunisme kejam karena tidak mempedulikan HAM, bahwa liberalisme identik dengan kebebasan, dan bahwa, menurut titi, ada sebuah arcadia di dunia barat sana di mana tidak ada dikotomi kaya-miskin (dramatic fade-out…).

 

pov kamera dalam adegan ini pun tiba-tiba bermetamorfosis menjadi fly-on-the-wall, padahal sepanjang film karakter-karakternya lebih sering sadar kamera (literally) dan seringkali memperlakukan kamera sebagai teman curhat. seakan-akan dalam adegan ini, yang sebenarnya berpotensi paling tidak mengorek sedikit luka warisan kolonialisme dan imperialisme barat di indonesia (betapa ironis jika kedua karakter ini menganggap liberalisme barat akan menyelamatkan hidup mereka, padahal kita sebagai penonton tahu justru kebajinganan (neo)liberalisme itulah sekarang yang sedang menghancurkannya–tapi film ini malah bertingkah seolah-olah tidak sadar (atau memang tidak sadar) dengan ironi yang satu ini), film ini justru cuci tangan dan pura-pura tidak tahu tentang konteks historis dan politis percakapan titi dan temannya.

 

film ini seperti ingin bilang bahwa ketiga karakter ini dibikin patah hati oleh jalan(an) kehidupan mereka. namun apa yang bikin mereka patah hati? sekedar korupsi dan politrik, atau roda sejarah yang hanya mengubah lagu kebangsaan dan tidak pernah mengubah nasib (dalam digresi narasi tentang sejarah hidup ayah titi), atau kapitalisme, atau imperialisme baru dunia barat (via korporasi multinasional), atau apa? nggak jelas. seakan-akan film ini menyerah berargumen dan cuma mengangkat bahu, “ya gitu deh, nasib wong cilik.”

 

seakan-akan. karena saya curiga jalanan mencoba menghindari untuk berbicara tentang kenyataan bahwa kemiskinan struktural ho, titi, dan boni adalah salah satu warisan kolonialisme dan imperialisme barat, salah satu ciri khas sebuah negara poskolonial. waktu boni mengecat arcadia bawah jembatan tosarinya dengan logo hotel hyatt, apakah film ini sedang menertawai ilusi boni, tertawa bersama boni yang sense of humournya oke punya cing, atau mereduksi sebuah simbol semakin mengguritanya kuasa kapital barat di indonesia (sampai kolong jembatan!) menjadi sekedar simbol kuasa brand dalam imajinasi wong cilik atau lebih buruk lagi, menjadi sekedar pemancing yet more cheap laughs dari audience yang dimabuk ironi? nggak jelas.

 

jalanan adalah film yang maunya main aman aja, nggak mau terlalu dalam ngomong tentang problem-problem riil di negara ini dan cukup hepi bersembunyi di balik ironi dan cheap laughs. mungkin maksud sebenarnya daniel ziv pengen bikin film dokumenter yang nggak “berat” dan “membosankan” adalah dia pengen bikin yang ringan dan eskapis. and i don’t mean that ironically.

 

*gambar dari sini

How I Made Your Mother A Back Up Plan Until I Have The Chance To Pursue The (What I Delusionally Think) Love Of My Life

Image

by: Festi Noverini

 

As a fan of ‘How I Met Your Mother’, of course I was one of those who are enraged by how the creators ended the series. If I haven’t seen all, I would say that it’s probably one of the worst season’s finales in the history of sitcoms, even series.

Having said that, I think there’s still one good thing that came out of it. Alyson Hannigan. As the series developed, she became the most well-rounded character in it’s final episodes. Every Lily’s heartbreak, be it the realisation that she’s just not “artsy” enough to pursue a career as an artist or many things eventually changed with the gang, felt more sincere than many emotions delivered by almost any character in sitcoms I’ve ever watched. Just like what Alyssa Rosenberg said in Washington Post’s blog, “Lily’s heartbreak is rooted in the same ideas about adult relationships…”

This is one of the strengths of televison format compared to movie, I think. It gives time for the creators to develop the characters and the actors to, in a way, BE the characters.

Sitcoms are mostly, if not all, are clichés. Friends, maybe one of the most celebrated sitcoms, is definitely built on piles of clichés. It is then, or probably still, considered very successful. Though after re-watching some of it’s early episodes, I found myself just couldn’t laugh at it or connected to it like I used to. Maybe I just don’t relate to it anymore (I didn’t really relate to it the first time it aired because I was not on the same life’s phase) or maybe now I see it just as neatly knitted clichés, right to very end.

Now back to HIMYM. I guess I still can’t digest why the creators decided to cramp everything in the last 2 episodes and they’re not even well-cramped! Of course HIMYM is also one of those sitcoms that’s built on piles of clichés but somewhere along the way they managed to develop the characters and made those who follow the series feel connected to it. Which I kinda like, no real black or real white.

But then they just threw away years and years of characters’ development into two disastrous episodes. Well, season 9 wasn’t exactly an exciting and great season anyway; it is stretched way too long, but still. It nullifies the entire “adult life lessons” that they’ve been saying to their audience for the past 5 seasons (starting from when Barney and Robin began to have feelings for each other but tried to hide it because of the Bro Code) that “you don’t always get what you want in life” and trash it into Disney black hole where “the boy finally gets the girl of his dream and they lived happily ever after”.

It’s so sloppy, messy and wrecked I begin to think that it was intentional. Now here’s my theory. Maybe, just maybe, somewhere along the way the creators thought that they want to create one of the most unforgettable unexpected season finales in the history of TV series. So they decided to ruin it, big time. After lots of twists and turns, they finally made one last huge twist, a huge disappointment one to most fans. And if that’s the case, well then I salute them. Because that, would make a brilliant plot to make fun of the whole series and it’s devoted fans and life, really. But if not, then I supposed it’s just a very very very bad decision.

I guess life DOESN’T always turn out to be just the way people want it to be. So once a jerk will always be a jerk, no matter how much you’ve learnt that it’s the emptiness inside that drove all of your inhuman behaviours, you just can’t help it. You’re born with the DNA. You don’t have the capabilities to think or to feel, because your fate has been predetermined.

And I guess in real life, just like the Disney life, the guy (or the girl) always gets the girl (or the guy) of his dream, eventually. Just as long as you keep the dream (or the illusion) alive, date some people along the way and even marry someone that you love enough to have a family with, then once she’s off the hook, and you, who always secretly wish to be with her, are also off the hook, you can always try to rekindle the romance, right? The once short-lived relationship with the girl who think of you as a back up plan that you romanticised in your head for years. And the ambitious girl who were willing to give up her marriage for her career and pathetically seemed quite happy when her back up plan, the “ideal” guy, suddenly showed up in front of her apartment with the blue French horn after oh I don’t know how many years and suddenly just forgot that she was never really in love with him but as ambitious as she is now and as determine as she always has been, it is only reasonable to settle for the guy that seems to check all the right boxes in traditionalists how-to-find-the-one-that-will-last-forever manual’s checklist. Yup! That’s THE dream. After all, first love never dies, right?

Almost sounds like Diana-Charles-Camilla’s love triangle there, minus the complications of class value sets and royal family rules. Oh and plus he was never (I guess) a pathetic back up plan for her.

 

“Last Forever” what now? They never really got to make those last episodes, right?

 

*This review was first posted on festinoverini.wordpress.com on April 2, 2014*

Push Your Limit. See The Bigger Picture

oleh: Festi Noverini

 

Sedih dan patah hati. Itu yang saya rasakan belakangan ini. Dari mengikuti kasus pemerkosaan, pemisahan gerbong perempuan di kereta api sampai kemarin yang paling baru, meninggalnya pekerja iklan karena lembur 3 hari. Tweet terakhirnya berisi, “30 hours of working and still going strooong.”

Kasusnya mungkin beda-beda, tapi ada benang merah yang saya tarik dari komentar, pendapat serta reaksi orang-orang di media sosial dari tiga kasus tersebut, yaitu korbanlah yang harusnya berhati-hati, bukan sistem dan hukumnya yang dibenahi. Di kasus perkosaan banyak yang berkomentar, “Kenapa mau disuruh datang ke kos? Kenapa baru setelah hamil 7 bulan melapor ke polisi? Kenapa bisa terjadi berkali-kali?” Logika macam apa itu?

Di pemisahan gerbong perempuan banyak yang berpendapat itu sebagai sebuah tindakan perlindungan. Perlindungan terhadap apa? Terhadap nilai-nilai patriarki? Kalau perlindungan terhadap kejahatan seksual maupun kejahatan lainnya, bukan semestinya pelakunya yang dihukum? Kenapa justru melanggengkan diskriminasi dan melebarkan jurang kecurigaan atas nama perlindungan?

Mengubah pola pikir emang gak bisa ditempuh dalam jangka waktu pendek. Butuh waktu yang panjang, amat panjang bahkan, yang belum tentu dapat kita lihat atau rasakan hasilnya saat kita masih hidup. Tapi selalu terjebak dalam kebijakan-kebijakan darurat ya juga bukan solusi dan makin memperparah masa depan karena kita justru mencederai pemikiran, logika dan hati nurani.

Masing-masing kasus memang gak mungkin dibahas secara sempit dan disamaratakan. Perlu penelaahan, penjabaran, pemahaman bahkan penelitian yang lebih luas dan dalam lagi. Itu juga salah satu alasan tulisan saya ini.

Kejadian yang paling baru adalah meninggalnya seorang pekerja iklan karena lembur 3 hari ditambah mengkonsumsi terlalu banyak minuman penambah energi. Gak lama sesudah berita tersebut keluar lalu bermunculanlah di berbagai media sosial postingan menanggapi hal ini. Sebagian besar yang saya baca intinya bilang, “Perusahaan tuh memang serakah. Mereka cuma mau memeras pekerjanya. Makanya kita sebagai orkerja harus “Know Our Limit””. Duh kok kayaknya sederhana amat ya solusinya?

Apa iya semua orang di awal masa bekerjanya udah tau bahwa korporat-korporat besar itu jahatnya amit-amit? Saya rasa hampir semua orang juga belum tentu tahu hal tersebut saat mereka baru mulai masuk dunia pekerjaan. Yang mereka tau mungkin hanya abis sekolah/kuliah lalu kerja, entah untuk alasan eksistensi diri, cari makan atau bahkan hanya sekedar mengikuti standar tahap kehidupan manusia.

Yang bisa bilang “Know Your Limit” saya asumsikan sudah pernah melalui kegilaan tersebut atau cukup nyaman dengan hidupnya saat ini makanya bisa bilang cabut aja kalau rasanya udah gak nyaman. Tapi apakah semua orang punya privilege kenyamanan itu? Kalau nggak suka, cabut aja. Sama seperti saya sering banget dikomentarin, dari pada “marah-marah” melulu, mending pindah aja dari Indonesia. Ampun deh, kelas menengah Indonesia.

Belum lagi di dalam masyarakat selalu ada banyak hubungan kekuasaan, dari yang sehat sampai yang super sakit, seperti kasus perkosaan yang saya singgung sebelumnya. Ini disadari gak sih? Apakah solusinya hanya sesederhana “mawas diri”?

Apa iya ketika sudah tidak nyaman dengan sistem kerja perusahan, hanya dengan mengungkapkan keberatan pada atasan akan membawa perubahan? Kalau iya mungkin budaya sistem kerja, dalam hal ini dunia periklanan, sudah membaik dari kapan tau. Tapi nampaknya gak sesederhana itu. Dalam budaya kerja yang sangat kapitalistik manusia nampaknya hanya dilihat sebagai alat produksi, replaceable. Lo gak suka, silahkan cabut atau gue gantiin. Mengerikan bukan? Dan ini terjadi di banyak sektor pekerjaan lainnya.

Lalu bagaimana mungkin orang-orang yang tercekoki atau mencekoki orang lain dengan jargon-jargon macam “Push Your Boundaries” sekarang bicara “Know Your Limit”? Apalagi kalau ada yang merasa “been there done that”. Justru kalau sudah pernah melalui harusnya sadar bukan bahwa ada sistem lebih besar yang menggerakkan kehidupan kita sehari-hari? Atau selama ini gak pernah sadar? Ini kan menyedihkan.

“Push Your Boundaries” untuk apa? Untuk memenuhi pundi-pundi korporasi yang tamak? Untuk jadi yang “terbaik”? Untuk pencapaian prestasi yang abstrak? Sebuah ilusi yang dibentuk oleh propaganda korporasi kapitalis melalui ayat-ayat motivasinya.

Kita tentu saja tidak pernah seutuhnya independent karena kita selamanya interdependent, apalagi kalau kita hidup dalam sebuah sistem masyarakat dan negara. Bukankah kasus terakhir juga  terjadi dalam institusi yang mengagungkan team work? Lalu apa pertanggungjawaban mereka ketika ada kejadian ini? Saling mengingatkan untuk jaga diri sendiri karena resiko akhirnya ditanggung masing-masing?

Sayangnya, bukan hanya dalam hal kasus ini tapi juga dalam kasus-kasus lainnya, banyak orang cuma mau melihat yang ada di depannya aja. Overworked, salahkan perusahaan yang jahat dan diri yang gak tau batasan. Pelecehan seksual, pisahkan manusia berdasarkan gendernya. Perkosaan, baik-baik jaga diri. Padahal jauh sebelum hal-hal tersebut terjadi sudah ada proses panjang dan kompleks yang mendahului dan menjadi penyebabnya. Bahkan seringkali menciptakan lingkaran setan.

Entahlah. Mungkin banyak orang yang masih berpikir bahwa hal-hal ini terjadi akibat pilihan sendiri, maka berhati-hatilah karena akibatnya juga akan ditanggung sendiri. Terjadi di luar kekuasaan korporasi yang buas, negara yang lalai, hukum yang tiarap, gempuran nilai-nilai “positif” (kerja tim, prestasi, passion, dll dll) yang dimanipulasi perusahaan-perusahan besar dan raksasa untuk menggerakkan alat produksinya demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dll.

Mawas diri ya tentunya penting, tapi mawas diri bukan cuma sekedar “Know Your Limit”, lebih dari itu juga menyadari bahwa kita adalah bagian dari sebuah sistem yang lebih besar. Ada hal-hal yang bisa kita
kendalikan dari dalam diri kita sendiri, tapi lebih banyak lagi hal-hal yang butuh kekuatan besar untuk dapat mencapai sebuah perubahan. Butuh “penyadaran” kolektif.

Banyak hal yang mungkin akan terlalu sulit diubah, bahkan mungkin selamanya kita bisa terjebak dalam lingkaran setan tersebut. Tapi selalu penting untuk memiliki kesadaran akan hal-hal lain di luar diri kita
sendiri dan dunia kecil kita.

 

*Catatan ini merupakan sedikit rangkuman dari diskusi dengan teman-teman lainnya (Anya, Mike, Ninin, Edo, Iskandar, Eko, Yoshi, Acha, Fanny, Ney). Setengah lebihnya meminjam istilah dan pemikiran mereka. Pertama kali dimuat di festinoverini.wordpress.com pada tanggal 16 Desember 2013*

 

Les Misérables: Kita Yang Miskin, Kita Yang Merana

 

les_miserables_ver11
oleh: Festi Noverini

 

So long as there shall exist, by virtue of law and custom, decrees of damnation pronounced by society, artificially creating hells amid the civilization of earth, and adding the element of human fate to divine destiny; so long as the three great problems of the century—the degradation of man through pauperism, the corruption of woman through hunger, the crippling of children through lack of light—are unsolved; so long as social asphyxia is possible in any part of the world;—in other words, and with a still wider significance, so long as ignorance and poverty exist on earth, books of the nature of Les Misérables cannot fail to be of use.
HAUTEVILLE HOUSE, 1862.

Bahkan setelah layar kembali hitam, setelah kembali ke rumah, setelah kembali bertemu dengan mall dan kedai-kedai kopi (ke)mahal(an), saya tidak mampu menyingkirkan hantu kepedihan manusia-manusia merana dalam Les Misérables.

Kenikmatan menonton Les Misérables 2012 (ini untuk membedakan dari Les Misérables 1998) tentunya akan lebih paripurna jika pernah menonton pertunjukan musikal dan membaca bukunya. Namun tentunya tidak murah untuk pergi dan melihat pertunjukan ini di West End maupun di Broadway dan juga tidak mudah untuk membaca novel setebal 1200 halaman lebih karya Victor Hugo tersebut. Reading is one thing, comprehending is a whole other thing.

Les-Miserables-Victor-Hugo-Project-Gutenberg-220x347

Tetapi sebenarnya begitu mudah untuk ‘merasakan’ Les Misérables. Toh ini memang realitas kita sehari-hari. Kita lepas dari mulut harimau, jatuh ke mulut buaya. Seperti nyanyian Gavroche cilik:

There was a time we killed the King;
We tried to change the world too fast.
Now we have got another King;
He is no better than the last.

 
This is the land that fought for liberty
Now when we fight we fight for bread!

Here is the thing about equality
Everyone’s equal when they’re dead.

Ya. Kita memang baru akan setara ketika mati nanti. Walaupun saat ini kita (mungkin) sudah mati. Mati seperti Fantine yang habis dihajar kehidupan.

I had a dream my life would be
So different from this hell I’m living
So different now from what it seemed
Now life has killed the dream I dreamed.

Atau seperti Éponine yang mati menyedihkan setelah menjalani kehidupan yang merana.

Paling tidak mungkin itu yang dirasakan petani-petani di Genikan dalam dokumenter Negeri Di Bawah Kabut (The Land Beneath The Fog) karya Shalahuddin Siregar ketika mereka mentertawakan dengan miris kehidupan mereka. Daripada hidup sulit mending mati saja. Tapi mati juga susah, mau datang dari mana uang untuk penguburannya? Dan hidup adalah lingkaran serta sejarah yang berulang.

Sebagai film, Les Misérables tidak mungkin dilepaskan dari karya adaptasi musikalnya, apalagi dari novelnya sendiri. Maka akan jadi terlalu sederhana menyaksikan Les Misérables sebagai ‘hanya’ sebuah produksi film dengan kehebatan gambarnya dan kekurangmampuan aktor-aktornya bernyanyi dengan ‘layak’, yang dalam hal ini Russell Crowe bahkan mungkin dianggap cacat nada serta adalah ‘kecelakaan’ dalam pemilihan pemain.

Les Misérables adalah kita. Kita yang miskin, kita yang merana, kita yang terhempit, kita yang terjebak dalam lingkaran setan, tapi terlalu takut untuk melawan setan-setan di ‘atas’ sana. Seperti penduduk yang menutup pintu bagi para pemuda –  anak-anak yang dulunya ditimang orang tuanya – saat mereka meminta pertolongan lalu mati dihabisi ‘rekan-rekan sebangsa dan setanah air’ dalam adu senjata antara The Friends of the ABC (Les Amis de l’ABC ) dan National Guard (la Garde Nationale).

Then the gloomy love of life awoke once more in some of them. Many, finding themselves under the muzzles of this forest of guns, did not wish to die. This is a moment when the instinct of self-preservation emits howls, when the beast re-appears in men. They were hemmed in by the lofty, six-story house which formed the background of their redoubt. This house might prove their salvation. The building was barricaded, and walled, as it were, from top to bottom. Before the troops of the line had reached the interior of the redoubt, there was time for a door to open and shut, the space of a flash of lightning was sufficient for that, and the door of that house, suddenly opened a crack and closed again instantly, was life for these despairing men. Behind this house, there were streets, possible flight, space. They set to knocking at that door with the butts of their guns, and with kicks, shouting, calling, entreating, wringing their hands. No one opened. From the little window on the third floor, the head of the dead man gazed down upon them.

Lalu apakah dengan menjadi takut atau diam kita salah? Apakah mereka yang berbuat ‘sesuatu’ lebih benar atau lebih baik daripada mereka yang tidak berbuat ‘sesuatu’? Well, we mostly (probably) did not wish to die. The dead are in the right and the living are not in the wrong. (Volume V – Jean Valjean; Book First; Chapter XX)

Kita adalah Gavroche, anak bangsa yang ditelantarkan ‘orang tua’-nya sendiri. Anak-anak yang terlalu buta, atau mungkin memang tidak pernah tahu ada ‘orang tua’ di luar sana yang benar-benar melindungi dan mengasihi anak-anaknya.

The pavements were less hard to him than his mother’s heart.

This child lived, in this absence of affection, like the pale plants which spring up in cellars. It did not cause him suffering, and he blamed no one. He did not know exactly how a father and mother should be.

Tapi kita kadang ingat, kita masih punya rasa cinta untuk ibu pertiwi.

Nevertheless, abandoned as this child was, it sometimes happened, every two or three months, that he said, “Come, I’ll go and see mamma!”

Naif seperti anak-anak, seperti Gavroche. Seperti anak bayi yang belajar berjalan. Keinginan menggebu-gebu tapi tidak punya sokongan tubuh yang kuat. Kita mungkin memiliki semangat yang berapi-api, tapi tidak punya pengetahuan politik dan wawasan lainnya yang cukup untuk mengimbangi semangat yang (ke)tinggi(an). Ujung-ujung mati konyol (if not patriotic).

Mungkin kita adalah Enjolras, yang keluar dari kenyamanan kelas dan memilih untuk berjuang demi apa yang dianggap benar. Walau mungkin juga ragu untuk apa.

It is time for us all
To decide who we are
Do we fight for the right
To a night at the opera now?
Have you asked of yourselves
What’s the price you might pay?
Is it simply a game
For rich young boys to play?

Dan sebagian dari kita adalah Javert, manusia-manusia robot yang kosong. Dibentuk untuk taat kepada penguasa yang berkuasa. Terlalu taat bahkan hidup tanpa pikir, hidup tanpa jiwa.

Namun seburuk-buruknya penampilan (dan suara) Russell Crowe, memang hanya kosong yang kita temukan di wajahnya, kecuali saat ia dihadapkan pada dilema untuk terus mengabdikan diri mengejar Jean Valjean, ‘penjahat’ kelas teri yang memilih untuk tidak membalaskan penderitaannya pada Javert saat Valjean punya kesempatan atau menghilang saja dari muka bumi ini karena tak sanggup menanggung konsekuensi dari keyakinan butanya yang terkoyak.

The world I have known is lost in shadow.
Is he from heaven or from hell?
And does he know
That granting me my life today
This man has killed me even so?

And many of us are definitely Cosette, pretty Cosette, sheltered Cosette. Oh, sheltered Cosette. Oh and this is why I think Amanda Seyfried is perfect for the role. She just is Cosette.

Dan tentunya ratusan bahkan mungkin ribuan Jean Valjean tersebar di negeri tercinta ini. ‘Anak-anak’ kelaparan yang dihukum ‘orang tua’-nya sendiri karena mencuri untuk mengganjal rasa lapar. Sungguh Les Misérables adalah saat ini. Tempat ini.

Dimana mereka yang berjanji tak pernah lupa untuk mengingkari.

“Can any one understand,” exclaimed Feuilly bitterly, “those men,—[and he cited names, well-known names, even celebrated names, some belonging to the old army]—who had promised to join us, and taken an oath to aid us, and who had pledged their honor to it, and who are our generals, and who abandon us!”

Menikmati Les Misérables dalam bentuk film tentu akan selalu menggiring penonton (yang tahu) untuk membandingkan dengan versi musikalnya. Maka kemudian lahirlah tuntutan bahwa semua pemainnya harus bersuara bagus, minimal mendekati kemampuan pemain musikalnya. Here’s the thing, ‘kecacatan’ kemampuan bernyanyi mereka justru menjadikan film ini lebih nyata dari ‘sekedar’ pertunjukan musikal. Bahkan Tom Hooper sepertinya berusaha untuk lebih mendekatkan film ini ke novelnya daripada berpegang teguh pada pakem pertunjukan musikalnya.

Bukan hanya itu, close up shots para pemain anehnya memberikan perasaan seolah kita berada di dalam sebuah ruangan pertunjukan tapi sekaligus mencapai apa yang ruangan pertunjukan tidak dapat berikan, yaitu kedekatan secara jarak.

Akan sangat mudah bagi penonton untuk jatuh cinta pada permainan Anne Hathaway, dengan adegan menyanyinya yang ‘besar’ dan fenomenal sambil menangis, meratap dan berdarah-darah, tapi mata saya hanya tertuju pada Samantha Barks yang berperan sebagai Éponine. Barks brings subtleties that Hathaway can never deliver, well at least not so far.

Dan tentunya saya juga jatuh hati pada Daniel Huttlestone, si anak jalanan Gavroche. Kebetulan juga Barks dan Huttlestone pernah berperan sebagai Éponine dan Gavroche di versi musikal Londonnya.

Samantha Barks (Éponine) & Daniel Huttlestone (Gavroche)

Akhirnya, menyaksikan Les Misérables tentunya juga akan menjadi suatu pengalaman yang paripurna jika kita juga menyaksikan Negeri Di Bawah Kabut karya Shalahuddin Siregar dan The Act Of Killing karya Joshua Oppenheimer.

And so my friends, I’ll leave our dying souls with this:

He sleeps. Although his fate was very strange, he lived. He died when he had no longer his angel. The thing came to pass simply, of itself, as the night comes when day is gone

 

Catatan:

  1. This review is subject to change or revision depending on latest interpretation J
  2. Semua kutipan berasal dari lirik lagu serta dari buku Les Misérables karya Victor Hugo versi terjemahan bahasa Inggris di laman ini: http://www.gutenberg.org/files/135/135-h/135-h.htm#linknote-70
  3. Sepertinya terjemahan bahasa Inggris dari Norman Denny lebih puitis. Tapi saya tidak bisa menemukan halaman bebasnya di internet.

Selamat meresapi Les Misérables dengan paripurna.

*Pertama kali dimuat di festinoverini.wordpress.com pada tanggal 1 Februari 2013*

divinyls* (mengoleksi vinyl sebagai laku asketis. pret!)

broken records

*jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan seorang wartawati femina. who turned out to be both a conceited bitch and a fucking idiot. ive retained all her original misspellings and idiocy. oleh Mikael Johani. pertama kali diterbitkan di sini.

 

Sejak kapan mulai mengoleksi plat

sejak 1992, begitu pindah ke australia untuk sekolah kelas 1 sma.

Kenapa plat

pindah dari koleksi kaset ke koleksi plat itu seperti pindah dari biasa nonton di laptop terus nonton di bioskop. good vinyl covers are just beautiful, apalagi yang double-fold, seperti pavement’s wowee zowee. atau yang ada fancy detailsnya, seperti actual zippers on the rolling stones’s sticky finger, or the sliding door cover on some girls. semua detil desain jauh lebih kelihatan, seperti tanduk-tanduk setan di sampul slayer’s reign in blood.

Jumlah

ratusan tapi ga pernah dihitung. i used to be obsessive about records, but not obsessive compulsive. koleksi yg sekarang juga sudah di-cull biar lebih gampang pindah dari australia balik ke jakarta dan juga karena dengan sengaja ingin membuang records yang tidak pernah benar2 saya dengarkan.

Koleksinya dari mana saja

berbagai macam record stores, second-hand and new, mail-order. mencuri jg pernah, single sex pistols holiday in the sun dari uni market. flea markets. jalan surabaya. mengemis punya orang tua teman. menemukan satu box penuh old black sabbath records di flat sewaan di sydney.

Belinya sekarang dimana sih?

mail order/online. kaskus. jalan surabaya yang udah overpriced dan koleksinya sdh habis diborong david tarigan dan dj2 ibukota circa 2004. ak.sa. reus. harga plat2 tety kadi, titiek sandhora, etc cuman 7rb-10rd di tahun 2000, pas 2004 apalagi setelah parc buka, ada monday mayhem, bisa jadi 100rb lebih!

Harganya berapa

macem2. dari $1 di bargain bins sampai priceless kata mastercard buat yg collectibles. personally i dont give a shit about collectibility (anymore). or limited editions, coloured vinyls, bla bla. heavy vinyls (180 gr) i like though. they seem to sound better than thin krupuk udang RCA ones. (lihat juga jawaban pertanyaan sebelumnya.)

Koleksi paling valuable, why

paling valuable yg merepresent a special time in my life, both happy and depressing. i love my morrissey’s education in reverse album bukan karena titelnya misprint dari versi australia viva hate, tp karena lirik2nya yang sentimental merepresentasikan hampir sempurna sentimentalisme (hidup) saya waktu sering mendengarkan album itu. waktu itu saya tinggal di sydney, kota yg desperate untuk dianggap multicultural tapi masih sempat ada race riot di tahun 2005. di situ sebagai orang indonesia saya merasa diterima, bisa makan ayam goreng 99 setiap hari kalau mau, tapi tetap saja hidup itu sedih dan susah. makanya lirik lagu bengali in platforms, yang membuat morrissey sempat dituduh rasis/a nazi, malah menyentuh banget buat saya. “life is hard enough when you belong here.” yeah! life is hard enough everywhere!

i also love my sandi shaw hello angel album almost for the same reason. morrissey wrote some of the songs in this album, reviving sandie shaw’s washed-up 60s starlet career. (habis itu sih tenggelam lagi wakakak.) none better than “please help the cause against loneliness”, the best song morrissey never officially released.

saya juga suka banget album the dwarves, blood guts & pussy. all the songs in this album seem to tell the story of the first year when i moved back from sydney to jakarta: back seat of my car, let’s fuck, drug store, fuck you up and get high, etc. even the album title, blood guts & pussy!

Cerita menarik selama mengoleksi (mis : rebutan dengan kolektor lain, koleksi lama ditawar orang dengan harga tinggi, belinya di luar negeri, hilang dicolong maling, dll)

kebanyakan plat saya memang belinya di luar negeri.

mencari/beli plat is never interesting, its actually always boring. browing through endless dusty stacks of the same records youve seen so many times just in the faint hope you find say, frank zappa’s weasels ripped my flesh in its original pressing. pret. id rather fuck you up and get high anytime!

Perawatan

vinyls actually really tough. you buy a cd, it gets scratched, thats it. vinyl scratches just make the vinyl crackles a bit, sometimes jumps. audiophiles call that character. ive seen a jalan surabaya vendor cleans his vinyl with rinso-ed water and a hard brush! that was when i asked if i can get a cleaner copy of nomo koeswoyo’s solo album “no koes”, album yg dia buat gara2 ngambek dikeluarin dari koes bersaudara.

Disimpan dimana

under my stereo.

Rencana ke depan, koleksi ini mau diapain

play them.

istri bagaimana, keberatan atau mendukung, why. pernah punya cerita seru dengan istri soal hobi mengoleksi ini?

unlike other people i actually marry someone i like. so no, my wife likes playing my records. she has her own favorites (currently curtis counce) and im not precious with my records so she can scratch em all she likes. even my 18-month old daughter loves listening to my records. her current fave is the b-52’s debut album, side two, especially there’s a moon in the sky (called the moon). haha, that IS a classic children’s non-sequitur!

Plat yang lagi dipengenin banget saat ini, why

the magnetic fields – 69 love songs. a box set with all the original liner notes/booklet. the original cd boxset had 3 cds with 23 songs on each cd. this is a bit lopsided, 69 songs on six 10” vinyls. still i want it bad. i love the album, which i bought online in 2000 from cdnow. i put in a glowing review of it in a+, which i was editing at the same time, to no effect hahaha. i want it even more now since i cant afford it!

Boleh dipinjem ga?

theres a saying, people who lend books are stupid, and those who borrow then return them are stupider. same goes for vinyls. except in deeper degree of stupidity.

*gambar dari sini

kerja dengan laki-laki

oleh: ratri ninditya

di kantor, tim saya didominasi oleh laki-laki. ini bukan laki-laki yang senang bersolek, tapi yang sepenuhnya mengembrace maskulinitasnya. laki yang main call of duty di waktu istirahat dan ambil cuti buat naik gunung atau touring motor. laki yang bersiul lirih kalau perempuan lewat. laki-laki yang masih bergidik kalau dekat laki-laki homoseksual. di beberapa aspek mereka bisa masuk kategori laki neandhertal. walaupun tidak semua. dan tidak selalu.

saya tidak pernah terpikir bahwa hal ini akan jadi masalah, sampai suatu hari saya sadar bahwa saya sudah mulai mengubah cara bicara saya supaya mirip mereka. saya juga sadar kalau mereka suka bercanda kalau saya itu laki-laki, bukan perempuan. lalu saya sedih. haruskah saya jadi lelaki supaya bisa jadi bagian dari tim laki-laki? lalu tentunya karena saya doyan mengomentari isu-isu yang sedang terjadi (atau film, musik, apa pun lah), mereka menjuluki saya “si tukang kritik”, “si tukang komen”, “si yang tak pernah puas”.

belakangan lagi saya sadar mereka sering mentertawai saya nggak hanya di depan, tapi di belakang saya, dan kadang memancing reaksi tertentu dari saya yang mereka tertawakan bersama kemudian. gila deh. dan yang lebih sedih hal macam gini pasti sering banget terjadi sama banyak orang dan dianggap wajar.

ternyata di tahun 2014 yang gegap gempita teknologi ini di dalam dunia kerja yang didominasi lelaki seorang perempuan diharapkan berpikir dan bertindak persis seperti mereka, konform aja lah jangan macem-macem kalau tidak mau diolok-olok. agak dandan dikit dan obrolin topik “cewek” aja dengan cewek lainnya. diam saja dan jadi pasif selamanya.

selamat hari kartini!

*gambar diambil dari sini

Beban Captain America

capt

oleh: Edo Wallad

“Captain America’s been torn apart. Now he’s a court jester with a broken heart”

Beban Sekuel 

Menurut saya, sulit untuk menyamai okenya Captain America pertama dari segi cerita. Tapi premis betapa depresinya jadi seorang pahlawan yang sekadar simbol itu hacep banget. Dan itu jadi sesuai konteks jaman karena Captain America hidup di jaman Perang Dunia. Tapi bagaimana kalau dia harus bangun di jaman modern ketika internet dan teknologi sudah merajalela? Apalagi Perang Dunia dan Perang Dingin sudah gak jaman. Oke kita skip tragedi New York yang ada di film The Avengers ketika sang Kapten harus join-join kopi dengan para superhero lain yang egonya segede tugu liberti semua. Kita langsung ke film Captain America: Winter Soldier.

Satu hal yang konsisten dijalani Steve Rogers di film ini adalah naif. Mungkin dia lebih naif dari David Naif karena menyangka dunia ini cuma ada hitam dan putih dan dia akan selalu berada di sisi putih. Akhirnya karena membabi buta membela yang benar dia jadi sering buta melihat dunia yang penuh kepalsuan.

Beban Politik 

Sayang kalau kegagapan Captain America aka Steve Rogers ke era modern tidak diekspos lebih banyak, alasannya kalau menurut saya sih, karena beban politiknya sudah hilang. Captain America seperti superhero lainnya di komik adalah alat propaganda Amerika untuk menghadapai lawan politik mereka. Nah karena film ini terlanjur dibuat dia bangun ketika perang dunia berakhir, jadi susah deh untuk setia pada plot kalau Winter Soldier adalah super villain patriot komunis. Ya memang beban politik Captain America sangat berat, karena untuk sidekick aja dia harus punya Falcon. Seorang superhero bersayap yang ngambil nama dari lambang coat of arms America, berkulit hitam, biar dibilang mewakili Africa American seperti halnya War Machine di Iron Man 2. Sekalian aja Natasha Romanoff ganti nama jadi Lady Liberty ketimbang Black Widow.

Beban Judul 

Planting tokoh Bucky yang di kemudian hari jadi Winter Soldier di First Avenger cukup subtle, sayangnya, porsinya kurang besar untuk karakternya dijadikan judul film. Film ini lebih seperti film action tentang dunia ahensi, bukan ahensi iklan tapi ahensi intelejen. Jadi kadang-kadang menurut saya kenapa ini gak dijadiin Agent of Shield OVA aja ya, karena porsi SHIELD yang sangat besar.

transcendence (mentransendensi ego filsuf dan kepentingan box office)

transcendence0-0

oleh Ratri Ninditya

apa reaksimu ketika paul bettany, cillian murphy, dan johnny depp bermain bareng di dalam satu film sci-fi? ngibrit nonton sambil ngeces. tapi rupanya aktor hot tidak menjamin ngecesnya saya sepanjang film kalo tidak didukung sama skrip yang jejeg.

film dengan christopher nolan sebagai produser eksekutif, dan sutradara Wally Pfister bercerita tentang trio jenius pengembang nano komputer (johnny depp, rebecca hall, dan paul bettany–slurp!) yang bercita-cita menciptakan sebuah artificial intelligence yang akan mengubah dunia menjadi lebih baik. di sebuah presentasi, Will (depp) mendapat serangan dari kelompok anti AI yang dipimpin Bree (kate mara). kelompok ini juga menghabisi seluruh tim pengembang dan hasil penelitian sekian dekade di perusahaan tempat joseph (morgan freeman) bekerja dan semua perusahaan IT lain di amerika, yang menjadikan will satu-satunya (tentu saja film ini menganggap amrik-eropa satu-satunya negara di dunia ini) orang yang tersisa yang punya kapasitas melanjutkan penelitian. Will yang sedang pulih dari tembakan awalnya menolak. Tapi begitu ia tahu ia akan mati karena ternyata peluru yang mengenainya memancarkan radiasi ke seluruh tubuhnya, ia menyetujui rencana gila istrinya (Evelyn, dimainkan Hall) untuk mengabadikan pikirannya jadi sebuah artificial intelligence.

Rencana mereka berhasil dan Max (Paul Bettany) menganggap ini sudah melewati batas2 kemanusiaan, dan cabut meninggalkan mereka. Sementara tubuh Will jadi abu, pikirannya berkembang pesat, dari sekedar layar menjadi healer menjadi sosok semi tuhan multidimensional dan metafisikal. Membangun sarang di sebuah kota gak penting amerika dan punya hasrat untuk terus mengembangkan dirinya lebih besar lagi.

Film berkembang dari sebuah klise (setup awal yang terlalu in-your-face, keyboard jadi penyangga pintu, komputer jadi rongsokan yang dibarter dengan barang-barang kebutuhan primer) menjadi sangat menyeramkan, terutama di adegan saat lengan-lengan mekanis menghidupkan tanaman yang sudah mati. Itu baru awal. Saya makin bergidik saat AI Will telah menjadi nano partikel yang masuk ke udara dan menyebar ke seluruh dunia, menghubungkan semua orang di dunia dengan “kepala”nya dengan tujuan membuat dunia jadi lebih baik versus ketakutan fbi mesin yang berkembang di luar kendali. Saya berpikir, yeahhhh this is gonna be an awesommme movie. Apakah keberadaan kita memang sebuah antitesis dari alam itu sendiri? Apakah ego kita sebagai manusia memang ditakdirkan untuk merusak alam sehingga keberadaan mesin yang mencoba memperbaiki alam dan manusia itu artinya sudah kelewat batas? Jika manusia akan ditingkatkan levelnya tapi punya kesadaran kolektif di bawah pimpinan sebuah AI apakah itu salah? Bukankah kita memang makhluk dengan kesadaran kolektif di bawah pimpinan sebuah entitas yang kita namai tuhan?

Tapi saya tertipu euy.

Di satu adegan yang jadi titik balik film ini dari keren banget ke katrok banget, Max dengan sangat patronizing, bilang ke Evelyn, bahwa selama ini ia gak pernah percaya bahwa sebuah AI bisa mengubah dunia. bahkan Will selama ini tidak ingin mengubah dunia. impian itu adalah impian Evelyn. dan selama ini Max cuma play along ngepukpuk egonya dia. tentunya pernyataannya itu membuat Evelyn rela mengorbankan nyawanya untuk dimasuki virus dan diunggah ke sistem Will (dan seluruh sistem di dunia yang terhubung dengan internet). kasian dia! memangnya kenapa kalau punya impian membuat dunia lebih baik? memangnya kenapa kalau tak ingin kehilangan suami dan ingin menyimpan sisa sisa dirinya yang masih mungkin? romantisme Evelyn justru lebih nyata dibanding perasaan theodore (joaquin phoenix) terhadap her. tapi evelyn ternyata cuma jadi eve seperti di semua kitab suci, disalahkan atas pilihan-pilihannya yang tak logis menurut kepala patriarki. (padahal ini omongannya paul, bilang kalau manusia itu kompleks dengan segala kontrasiksi di perasaan dan tindakannya)

adegan ini bisa jadi sangat masuk akal dan konsisten dengan premis awal jika tidak dilanjutkan dengan: pertentangan hasrat kemesinan Will vs. kemanusiaannya yang masih tersisa persis sebelum mengunggah Evelyn ke dalam sistemnya. akhirnya kemanusiaannya yang menang. mereka mati bersama berpelukan di atas kasur (Will berhasil menghidupkan tubuhnya kembali). Beberapa tahun kemudian, entitas mesin paduan mereka berdua ditemukan paul menghidupkan bunga matahari di belakang halaman rumah mereka, sementara dunia sekarat tanpa komputer. pusara akhir yang abadi. cinta sejati hidup selamanya.

film yang terasa sangat nyata berbalik drastis untuk memenuhi optimisme kosong hollywood dan memasukkannya ke dalam daftar blockbuster. yayy for their money. dan cillian murphy sodara2!! dia lagi-lagi hanya jadi tokoh polisi sampingan tolol yang tak punya pendapat.

rupanya transendensi di film dan di dunia nyata sama-sama tidak membuahkan hasil yang bagus!

Saya kasih film ini 2 bintang dari 5.

Jalanan: Bukan (Resensi) Film

aldiron

oleh Mumu Aloha*

Sebelum nonton ‘Jalanan’, sebuah film dokumenter karya Daniel Ziv yang sedang menjadi perbincangan hangat kelas menengah terdigital Jakarta di Blok M Square, Minggu (13/4/2014) saya melewati 7-Eleven Melawai. Seperti biasanya, selain bapak-bapak ambon yang duduk-duduk layaknya orangtua linglung sedang menikmati masa pensiun, selalu ada balita dan ibunya yang tidur di emperan salah satu sisi. Kalau kau duduk di dalam, dan sedikit melongok ke luar kaca, ke bawah, maka tampaknya ibu dan balinya itu. Mereka kotor, penyakitan dan tidur begitu saja, seolah di kamarnya sendiri, kalau memang mereka punya rumah atau kontrakan.
Lewatlah di situ jam berapapun, dan pemandangannya selalu sama. Kadang-kadang jumlah ibu-ibu dan balitanya itu begitu banyak, cukup untuk membayangkan sebuah acara arisan. Kalau tidak sedang tidur, mereka biasanya makan mie dalam wadah plastik, seperti sedang piknik.
Setelah melewati itu, kau akan melihat deretan toko emas. Di depannya selalu ada: perempuan yang duduk mengemis dengan bayi berkepala besar, yang selalu tidur, seperti setengah mati atau setengah hidup. Seingat saya, sudah 10 tahun lebih saya melewati jalan itu, dan bayi itu tak pernah tumbuh jadi dewasa, hanya kepalanya yang terus membesar. Dan, bayangkan, waktu 10 tahun tak mengubah apa-apa, selain 7-Eleven yang dulunya tidak ada. Hanya itu. Di samping perempuan itu, ada dua-tiga pria yang jualan kacang dan buah-buah dalam plastik-plastik mungil, digantung di tiang kayu kecil sehingga bisa ditenteng ke mana-mana. Ada juga bapak-bapak penjual lemang dalam nampan platik kecil yang dijajakan di atas pot besar pohon palem hiasan pinggir jalan depan Blok M Square. Kalau kamu taksir nilai “dagangan” mereka itu, masing-masing tak akan lebih dari satu kali kau duduk-duduk ngopi di Starbucks Pasaraya yang tak jauh dari situ. Bahkan, kalau semua dagangan mereka kamu gabung, total nilainya tak akan menguras dompetmu saat itu.
Saking seringnya lewat situ, dan dalam waktu yang terhitung bertahun-tahun, kadang saya merasa menjadi bagian dari kehidupan kecil di tempat itu. Barangkali mereka juga mengenali wajah saya sebagai salah satu warga Jakarta yang kerap berseliweran di daerah itu. Jam berapapun saya lewat, pria-pria itu pasti berjongkok di situ, ngobrol, bercanda, sambil menunggu pembeli.
Pada sisi yang lain dari area yang sama, kau tahu, ada terminal. Sesekali rasakanlah suasana kehidupan malam di situ. Atau, mau dengar saja cerita saya? Suatu kali, saya makan nasi gule di situ. Saya memang cukup sering makan di situ. Bakwan malang, nasi goreng, sate padang, yang berbaur dengan asap metromini yang ngetem. Pedagang kakilima di situ tak bisa ditertibkan. Petugas akhirnya membuat aturan, mereka hanya boleh berjualan di malam hari. Sudah mirip pasarlah itu salah satu sisi di bagian depan Terminal Blom M itu. Kalau duniamu hanya sebatas garis terluar lobi mall, tempat kamu biasa ngantri taksi Blue Birds berjam-jam, barangkali sulit membayangkan kehidupan macam apa yang bisa dan mungkin terjadi di panggung semacam terminal bus dalam kota dalam propinsi seperti itu.
Panggung itu seolah jauh, tak terjangkau, atau bahkan mungkin tak terlihat, kecuali sesekali saja dari balik kaca Avanza-mu, kalau kebetulan kamu pas mengangkat kepala dari layar iPhone.
Jadi ceritanya, saya makan nasi gule, dan tiba-tiba seorang perempuan, dengan daster buluk dan menebar bau duduk di samping saya. Seusai makan, ia berbisik pada saya dengan nada yang malu-malu, intinya minta saya menambahi uangnya untuk membayar nasi gule itu. Dengan gagah dan jumawa saya langsung bilang, tenang bu nanti saya bayarin saja sekalian. Lalu ia mengajak ngobrol setelah mengucapkan terima kasih. Ia tinggal di sekitar Blok M Mall (terletak di area bawah tanah terminal). Saya tak begitu menangkap maksudnya, tapi kemudian dia menjelaskan bahwa ia tinggal di sebuah sudut di areal parkir basement. Kerjaan sehari-harinya memulung. Cerita persis asal-usulnya saya lupa, yang jelas sudah pasti klise. Ia merantau dari Surabaya karena suatu sebab. Anak lelakinya kadang menengoknya, dan ia menemuinya di sekitaran Blok M situ juga.
Kenapa tidak pulang saja ke kampung? Setiap bertemu dengan perempuan-perempuan seperti itu, baik di terminal maupun di dalam metromini, pertanyaan seperti itu selalu dijawab sama; jawaban yang tak jelas, tak konkret, yang intinya hanya ingin menghindari pertanyaan itu. Sebab, bagi mereka, hidup itu ya yang terjadi dan dihadapi saat ini. Keinginan, rencana dan pilihan itu tidak ada.
Pertemuan dengan orang-orang seperti itu biasanya lalu membuat dada saya jadi terasa bolong, hampa. Saya selalu teringat kembali dengan kejadian saat saya makan di kakilima di trotoar antara Kampus Atmajaya dan Plaza Semanggi. Ketika saya sedang makan, seorang ibu-ibu berlogat luar Jawa datang dan berkata pada tukang sate padang: Bang, boleh beli ketupatnya saja, uang saya tidak cukup. Kalimat ibu itu seperti gema yang terus berdengung di telinga saya, dan membuat saya ingin menangis.
Saya lalu memperhatikannya; pakaiannya bagus, bersih, pantas. Sama sekali bukan gelandangan. Tapi, apa bedanya? Setiap ingat itu lagi, saya selalu menyesal kenapa waktu itu tak membayarinya. Waktu itu saya masih baru di Jakarta dan masih percaya oleh mitos yang mengatakan bahwa Jakarta ini kota yang sangat kejam sehingga jangan sekali-kali berinteraksi dengan orang yang tak kamu kenal.
Semua orang Jakarta, saya rasa, hidup dalam mitos itu selama bertahun-tahun, sehingga mereka memilih untuk membuat dinding yang membentengi dirinya. Dinding itu bernama ketidakpedulian.
Belakangan saya belajar banyak hal tentang Jakarta. Saya telah mengalami, atau setidaknya melihat, hampir semua modus kejahatan yang bisa terjadi di jalanan. Bukannya tidak takut, tapi saya telah memilih: mengakrabi jalanan sebagai bagian dari denyut kehidupan untuk menciptakan sebuah kota dengan interaksi sosial yang manusiawi.
*pertama kali diterbitkan di sini