Solomon’s Perjury – Coming of Age yang Kolektif

“It takes a village to raise a child”

Saking beratnya tugas ini, sampai-sampai (katanya) sebuah suku bangsa di benua Afrika sana merasa perlu orang sekampung untuk sama-sama memikul tanggung jawab menjaga proses pertumbuhan calon manusia dewasa. Bisa jadi Miyuko Miyabe juga terinspirasi pepatah ini, sampai kemudian melahirkan trilogi “Solomon no Gisho” yang terasa hampir seperti sebuah terjemahan harfiah pepatah tersebut. Setelah Solomon’s Perjury 1: Suspicion dan Solomon’s Perjury 2: Judgment, film 2 bagian produksi Jepang yang dirilis tahun 2015, di tahun 2016 Korea juga ikut mengadaptasi novel ini ke dalam drama seri televisi.

Cerita Solomon’s Perjury diawali dengan penemuan jasad Lee Seo Woo (Seo Young Joo) yang tertutup salju di halaman SMA Jeong Guk. Tanpa kehadiran petunjuk-petunjuk lain, pihak sekolah dan kepolisian memutuskan penyebab kematian Seo Woo adalah bunuh diri dengan melompat dari atap gedung sekolah. Namun, Go Seo Yeon (Kim Hyun Soo) menerima surat rahasia dari seseorang yang mengaku sebagai saksi pembunuhan Lee Seo Woo. Tidak puas dengan keputusan sepihak orang-orang dewasa yang dianggap menghiraukan kemungkinan lain yang mereka ajukan, atas inisiatif Go Seo Yeon, beberapa orang murid mengajukan usulan untuk melakukan investigasi dan mock trial mereka sendiri. Bukan untuk menghukum pelakunya kalau tertangkap, tetapi lebih untuk mengungkapkan penyebab sebenarnya di balik kematian Seo Woo.

Singkat dan efektif, Solomon’s Perjury hanya perlu 12 episode untuk mengupas tuntas semua aspek yang mungkin berkontribusi pada kematian Seo Woo, mulai dari sistem pendidikan yang korup (harfiah dan kiasan), school bullying (oleh siswa dan juga guru), hingga kesehatan mental. Miyuki Miyabe sepertinya selalu tertarik dengan hubungan antara perubahan kondisi sosioekonomi dan sosiopolitik masyarakat dan pengaruhnya terhadap pembentukan diri anggota-anggotanya. Misalnya, dalam novel “All She Was Worth” alias Kasha (火車) yang ditulisnya tahun 1992, Miyabe menggambarkan efek korosif konsumerisme di masyarakat Jepang.

Penulis naskah Kim Ho Soo cukup cermat menerjemahkan novel ini menjadi sebuah serial drama yang bersahaja tanpa intonasi bombastis dan narasi bertele-tele demi memenuhi detil triloginya maupun tuntutan rating. Dengan melakukan sedikit penyesuaian pada detil cerita, Solomon’s Perjury versi drama terasa lebih solid dan utuh, bahkan juga lebih tenang dan teratur dibandingkan versi filmnya yang frantic dan lompat-lompat. Salah satu contoh penyesuaiannya adalah jika dalam versi film Joto No. 3 merupakan sebuah SMP, di versi drama Jeong Guk adalah sebuah SMA. Dengan usia dan kematangan psikologis yang lebih dewasa, penggunaan medium mock trial pada versi drama terasa lebih masuk akal dibandingkan dengan versi filmnya.

Dalam budaya populer, bicara mengenai dunia remaja seringkali artinya bicara mengenai proses pencarian jati diri atau coming of age. Namun, coming of age versi Solomon’s Perjury jauh dari stereotip film-film dunia pertama yang seringkali bicara self melulu, seakan-akan self sungguh jumawa bisa berdiri lepas dari society. Ide proses menuju dewasa dalam Solomon’s Perjury tidak sesempit pencerahan pribadi, namun juga merupakan pencerahan kolektif yang dicapai melalui proses bersama semua anggota masyarakat. Di ujung proses ini, remaja sampai pada sebuah kesadaran bahwa mereka punya suara yang sama penting dan sama-sama merasakan kecemasan akan hal-hal yang terjadi di luar diri mereka seperti yang dialami orang-orang lebih tua dari mereka. Seperti kecemasan Seo Woo menyaksikan korosi moral yang terjadi di depan matanya. Sebuah proses menuju kedewasaan dimana para remaja ini melibatkan diri langsung dalam proses demokrasi atas dasar keadilan sosial.

Kritik Seo Woo yang terus menerus atas lingkungan sekolahnya yang carut marut tidak dimaknai sebagai negativitas (hadeuh cukup sudah positivity cult ini), namun sebagai kekecewaan dan kemarahan yang di dalamnya tetap tersimpan sedikit harapan akan dunia yang lebih baik. Paradoks sederhana yang nampaknya sulit dipahami oleh kaum kebelet bahagia yang kemudian dipuk-puk Hollywood.

vlcsnap-01417vlcsnap-01418vlcsnap-01419vlcsnap-01420vlcsnap-01421

Dalam konteks tatanan masyarakat yang hierarkis, Solomon’s Perjury adalah utopia, dimana anggota masyarakat yang lebih lemah didengarkan suaranya dan berdiri sejajar anggota yang lebih kuat. Lee Seo Woo mengguncang tatanan kaku ini dan kekuasaan tidak menyukainya. Dalam kesaksiannya, Han Kyung Mun (Jo Jae Hyun), Ketua Yayasan Jeong Guk Foundation mengatakan, “Sekolah juga merupakan masyarakat dan masyarakat hanya menyediakan tempat bagi mereka yang berusaha untuk berasimilasi. Namun masyarakat tidak memiliki tanggung jawab untuk merangkul mereka yang menyerah berusaha. Itulah Lee Seo Woo. Dia bahkan tidak berusaha untuk beradaptasi dengan masyarakat.”

Kekuasaan memang tidak mau Seo Woo beradaptasi, mereka hanya mau Seo Woo mematuhi. Sebuah potret buram kemapanan yang menua dan telah malas menerima perubahan, apalagi berjuang.

Solomon's Perjury 8

Lee Seo Woo (Seo Young Joo)

 

Solomon’s Perjury (솔로몬의 위증) tayang di JTBC (16 Desember 16, 2016 – 28 Januari, 2017). Ulasan aslinya ada di sini.

Pesta

Teks: Lukman Gunawan

Setelah rakyat berpesta (yang katanya) demokrasi. Kini giliran saya dong yang berpesta. Pesta atas terpilihnya saya menduduki kursi. Pesta atas pertarungan sengit yang terlewati. Pesta untuk membalas keringat dan busa-busa yang habis tak bersisa. Tidak lupa, ini juga pesta untuk teman-teman saya yang wataknya, ya, tidak jauh lah serupa dengan watak saya.

Inilah pesta akbar kami semua. Namanya juga perwakilan rakyat, jadi Anda tidak usah ikut campur, sok-sok-an ikut ribut mengenai pesta kita-kita ini. Kan sudah saya wakil-kan. Dan bagi Anda, rakyat jelata, jangan banyak bicara. Duduk manis, diam, dan jadilah penonton yang baik.

Pesta kita ini tidak mungkin lah murah-meriah. Karena kita kan orang terhormat. Kelasnya bukan kacangan. Amit-amit harus tampil seadanya. Maka wajar dong kalau sedikitnya miliaran rupiah harus dikeluarkan oleh negara. Ya dari uang-uang Anda semua, rakyat. Nah, begitu dong, itu tandanya meng-hor-ma-ti. Menghormati wakil rakyat. Maka dari itu Anda harus rela uang Anda diambil sedikit saja. Demi kami.

Kami kan perlu baju bagus disaat pelantikan. Bagus berarti harus mahal dong. Kami juga tidak mau detail-detail lainnya terlewatkan. Maka dari itu pantas lah bagi kami untuk dipakaikan pin kecil berharga Rp. 5 juta. Biar kinclong kalau difoto wartawan. Bling-bling-yoo…

Pesta ini menjadi titik tolak saya untuk menjadi seorang yang bebas berkuasa. Juga menjadi manusia yang aji mumpung. Mumpung bekuasa, mumpung berada di pemerintahan, maka mengambil kesempatan untuk kepentingan sendiri dan keluaraga tidak mungkin akan dilewatkan begitu saja.

Dan mumpung Anda-Anda semua masih menjadi rakyat, sekali lagi saya sarankan, jangan banyak omong. Diam saja. Pokonya turuti dan iya-iya saja terhadap tingkah laku saya dan teman-teman. Diam kan artinya emas… Masa Anda tidak mau menjadi emas?

Jadi jika Anda sok-sok-an mau berteori. Bisa jadi teorinya adalah Kemenangan sama dengan Kekuasaan. Mungkin… Mungkin saja. Karena saya tidak tahu pasti. Dan, ya, sebenarnya tidak peduli.