Inhibisi: Screening Film Pendek Bertema Keluarga

Pada Kamis 23 April lalu, Popteori mendapat kesempatan untuk terlibat dalam screening film daring yang digagas Sinecovi; sebuah portal screening film produk dari para mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) Semarang, dengan tema Inhibisi.  Fenomena larangan yang terjadi dalam lingkup keluarga, menjadi gagasan program bertajuk INHIBISI. Di screening ini dipilih dua film yaitu Sunday Story dan A Dinner with Astronaut.

A Dinner with Astronaut – Hantu Orde Baru di keluarga Indonesia

Film ‘A Dinner with Astronaut’ yang disutradarai oleh Rein Maychaelson ini, adalah sebuah film pendek bergenre komedi yang menghibur sejak awal. Bercerita tentang satu malam natal yang biasa saja saat satu keluarga ingin merayakannya dengan makan malam. Tiba-tiba, makan malam mereka dikejutkan oleh kedatangan astronot yang roketnya nyangsang di atap rumah.

Walau terkesan menghibur dan lucu tapi sebenarnya film ini mengisyaratkan masih hadirnya hantu Orde Baru di potret keluarga Indonesia jaman now. Hantu ini memang tidak mau (mudah) pergi, bagaimana tidak? Hampir setiap hari (tanpa siaran niaga) televisi menayangkan seri-seri drama keluarga heteronormatif yang bahagia. Orang yang hidup di era Orde Baru terutama dekade 80-an dijejali dengan seri seperti Rumah Masa Depan, Si Unyil, Losmen, Jendela Rumah Kita, Keluarga Rahmat dan banyak lagi yang secara halus membuat standar mengenai keluarga ideal saat itu.

Keluarga menjadi mikrokosmos tatanan negara yang patriarki dan heteronormatif. Ayah sebagai kepala keluarga adalah negara dan patron untuk anggota keluarganya , alias rakyat. Ayah boleh malas dan pamrih, tapi ayah harus dan selalu punya kontrol akan istri dan anaknya.

Hal yang sama dapat terbaca di film ‘A Dinner with Austronot’. Secara satir tersirat bagaimana ayah sebagai negara memperlakukan anak dan istrinya, sebagai warga negara, dengan semaunya sampai datang bantuan asing berwujud astronot. Di saat ayah kehilangan kendali pada istri dan anaknya, tanpa ragu dia menyingkirkan sang astronot yang telah menjadi alat bantu keberlangsungan keluarga itu. Ini mirip dengan apa yang dilakukan Orde Baru yang seakan ingin mengesankan kemandiriannya dengan menggusur “unsur asing” bernama kapitalisme lewat larangan siaran niaga di televisi. Tapi, negara berutang di balik jargon ‘swasembada pangan’ atau ‘pembangunan’.

Sunday Story (Kisah di Hari Minggu) – kerja emosional seorang ibu yang sering luput dari perhatian

Film pendek yang disutradarai dan ditulis oleh Adi Marsono ini mengangkat pentingnya peran ibu rumah tangga di dalam keluarga, mengingatkan kita bahwa ibu rumah tangga adalah bentuk kerja (labour), yang sama pentingnya dengan kerja-kerja lain di luar rumah. Jika meminjam istilah dari feminis-sosiolog Arlie Russel Hochschild, kerja ini disebut sebagai emotional labour. Ia mengatakan, bahwa jenis kerja seperti ini sangat sering dialami oleh perempuan, baik di ranah domestik maupun profesional. Efeknya adalah burnout, yang seringkali berimbas langsung pada kesehatan jiwa. Kerja emosional tidak punya kontrak dan jam kerja, dan tidak mendapatkan imbalan langsung berupa upah.

Isu ini diekspresikan dalam alur cerita sederhana sepanjang 8 menit. Kita mengikuti keseharian seorang ibu rumah tangga (diperankan dengan sangat baik oleh Erythrina Baskorowati) menyiapkan anak perempuannya sekolah, membangunkan suami, menyuruh anak lelaki mandi. Si suami (Rizky Sasono, juga sangat natural) tidak beranjak dari tempat tidurnnya, sampai si istri menyiram seember air saking kesalnya. Anak lelakinya bukannya mandi untuk bersiap sekolah, malah pergi memancing. Di akhir cerita (dan juga dinyatakan pada judul filmnya), sang istri akhirnya sadar bahwa hari itu hari libur. Rangkaian cerita ini menggarisbawahi bahwa pekerjaan rumah tangga tidak kenal hari Minggu, tidak kenal libur.

Hal lain yang saya tangkap adalah akting yang baik dari para pemain sampai sanggup menarik skrip lebih dalam dari intensinya semula. Kedataran ekspresi suami menyiratkan bahwa lupa hari libur ini adalah suatu hal yang sering terjadi (jadi ingat iklan/film pendek Ramayana Department Store, tentang nenek yang mengidap dementia dan mengira tiap hari adalah lebaran, jadi sekeluarga mengikuti saja kemauannya, pura-pura merayakan lebaran). Ia membiarkannya saja sampai si istri sadar sendiri, mungkin terlalu malas dan lelah untuk bicara. Ketiadaan dialog antara suami-istri, merupakan cerminan nyata dari banyak sekali kehidupan perkawinan. Makna dipertukarkan lewat gerak tubuh dan ekspresi.

Sayangnya, pembagian peran gender dalam keluarga dibuat kaku dan konservatif. Anak perempuan rajin dan penurut. Anak lelaki digambarkan lebih bangor dan bebas. Kenapa nggak anak cewek yang kabur main sementara yang cowok yang diseragamin? Suami mencuci piring diposisikan sebagai sebuah ekspresi sayang suami berusaha menghibur si istri yang stress (padahal cuci piring kewajiban). Apa mungkin memang begitu Adi Marsono melihat kenyataan di sekelilingnya? Apakah dia lelaki konservatif yang sekedar berempati pada ibunya, melihat perempuan hanya sebagai korban tak berdaya, tanpa kapasitas agency sama sekali? Karena itukah ia tidak bisa melihat kemungkinan peran gender yang lebih seimbang di ranah domestik?

film dalam radar isolasi

kami mengumpulkan film-film yang cuco menemani periode isolasi teman-teman. daftar ini akan terus diperbaharui, tapi gak janji. peringatan: ini bukan film yang membuatmu merasa lebih baik. ini film-film yang membantumu menerima kenyataan pahit ini.

Caliphate

Jika melupakan agenda liberal netflix dan bagaimana Islam hampir tidak ditampilkan sebagai sesuatu yang positif sedikit pun, serial ini akan terasa spektakuler. Caliphate bercerita tentang radikalisasi dan perekrutan para perempuan di Eropa oleh ISIS. Kebanyakan dari mereka adalah diaspora Timur Tengah yang lahir dan/atau besar di Eropa. Beberapa yang akhirnya memilih ikut ke Syria merespon sikap antipati Eropa terhadap Islam. Beberapa adalah korban kekerasan domestik dan dari kelas ekonomi bawah. Di Caliphate, pihak yang paling rentan di sini adalah perempuan tanpa support system dan yang berusia paling muda. Terlepas dari seberapa tepat film ini merefleksikan kenyataan di lapangan, Caliphate berhasil membongkar beberapa hal menarik: bagaimana polisi Eropa menekan informan di Syria tanpa peduli risiko yang akan informan hadapi di sana, bagaimana kode-kode Islami bisa diputarbalikan menjadi senjata perempuan (mengingatkan saya akan Battle of Algiers). It is a different kind of shit compares to the shit we’re having right now. Tapi perasaan terisolasi, terperangkap, dan a sense of helplessness yang sangat intens dari film ini is so present.

Born in Flames

Film ini membayangkan Amerika Serikat sepuluh tahun setelah revolusi sosialis-demokratis damai dan menampilkannya dengan gaya dokumenter. Di setting yang dibayangkan, seksisme masih marak terjadi. Film yang disutradarai Lizzie Borden ini mengikuti perjuangan beragam kelompok feminis bawah tanah dan bagaimana negara mencoba menyingkapnya. Di satu titik di film, seluruh kelompok feminis bersatu karena seorang pemimpin mereka ditahan dan dibunuh. Lizzie berhasil menampilkan banyak nuansa dari pergerakan Kiri. Sosialisme tidak akan cukup selama patriarki, rasisme, dan perbedaan kelas belum dibongkar. Perubahan tidak cukup terjadi di tingkat negara. Transformasi harus berlangsung secara kultural dalam kehidupan sehari-hari, di lingkup yang paling intim sekalipun. Nonton ini menegaskan keyakinan kalau negara kita masih sangat jauh dari cita-cita kesetaraan. Pandemi corona mungkin jadi satu-satunya hal yang membongkar paksa seluruh tatanan tersebut.  

I, Daniel Blake

Ini adalah cerita tentang orang-orang paling terlupakan oleh negara. Ken Loach, sang sutradara, membuatmu berpikir bahwa negara adalah sebuah konsep yang lebih banyak mudarot daripada faedahnya. Ia menunjukkan rumit dan kakunya birokrasi Inggris dalam menyalurkan mekanisme bantuan untuk kelompok orang tidak berpenghasilan. Alih-alih mempermudah hidup, negara justru membunuh warganya pelan-pelan . Ya kayak negara kita sekarang aja dibiarkan tenggelam dalam ketidaktahuan, di tengah hiper-yang-menjadi-mis-informasi. Kata-kata terakhir Daniel Blake yang tak sempat ia baca sungguh TER-LA-LU dekat dengan kondisi kita sekarang: “I am not a client, a customer, nor a service user. I am not a shirker, a scrounger, a beggar, nor a thief. I am not a national insurance number, nor a blip on a screen. I paid my dues, never a penny short and proud to do so. I don’t tug the forelock, but look my neighbour in the eye. I don’t accept or seek charity. My name is Daniel Blake, I am a man, not a dog. As such, I demand my rights. I demand you treat me with respect. I, Daniel Blake, am a citizen, nothing more, nothing less. Thank you.”

Violent 

Menceritakan ingatan seorang perempuan tentang orang-orang yang paling menyayanginya (sayang sohib, sayang obsesif mengarah suicidal, sayang sambil lalu dan sebagainya) persis sebelum dia meninggal. Ada banyak spekulasi tentang seperti apa momen kematian itu dan banyak refleksi tentang makna hidup dalam kacamata kelas menengah Eropa Utara. Filmnya tidak bisa dibilang subversif, namun beberapa hal yang direnungkan dalam film ini cukup mengusik, seperti keinginan untuk melarikan diri dari kehampaan dan menemukan kehampaan lainnya, menangkap kebahagiaan kecil di tengah ke-nothing-an tersebut, dan kesepian yang menyeretmu ke ambang kegilaan.

We Were Here

Film dokumenter berisi kisah para penyintas epidemi AIDS di San Fransisco yang merebak sejak akhir tahun 1970 dan awal 1980-an. Suburb queer San Fransisco yang mereka tinggali adalah ground zero epidemi AIDS saat itu. Surat kabar dipenuhi obituari. Setiap korban meninggal adalah teman, kerabat, keluarga, dan kekasih. Tiap anggota komunitas otomatis menjadi perawat korban terinfeksi dan tak lama terkena infeksinya juga. Menjadi subjek eksperimen obat diharapkan jadi cara untuk bertahan hidup, tapi risikonya justru kematian. Menonton bagaimana sebuah penyakit mempengaruhi tiap lapis kehidupan pribadi dan sosial di tengah pandemi corona ini is just. something. else. Menatap mata para penyintas yang selalu berkaca-kaca ketika mereka diminta mengingat masa lalunya membuat badan saya semutan dan suami saya tidak bisa tidur semalaman.
WerewolfMenceritakan sepasang remaja miskin pengguna metadon di Kanada. Film ini menyisir lingkaran jeruji tak tampak yang memerangkap hidup mereka: adiksi, keterbatasan uang. Gambar-gambar di film ini ditampilkan sangat close up dengan warna-warna pucat, membuatmu merasa seperti dapat jamur ajaib yang buruk.  Rambut mereka berminyak, baju tidak pernah ganti, jerawatan di bagian dagu. Nonton ini buat hiburan #stayathome siang-siang biar makin kerasa terperangkap. Kita tidak tahu sampai kapan air PAM tersedia ya kan.

High Life

Optimisme manusia akan masa depan kemanusiaannya sendiri dikalahkan dengan kuasa alam. Nothing is more fitting than watching fiksi ilmiah dengan mood yang seperti ini, saat ini. Juliette Binoche adalah dokter di dalam kapal ruang angkasa yang membawa narapidana sebagai objek eksperimennya. Kapal itu sendiri punya misi mengeruk sumber energi dari lubang hitam. Tentu rencana-rencana ini kandas dan Robert Pattinson ditinggal berdua dengan bayinya di kapal yang perlahan tapi pasti tersedot dalam lubang hitam.