RADEN MANDASIA: DONGENG CAMPURSARI RASA MAJAPAHIT

Pesan Pembuka:

Saya prihatin, sedih, dan tentunya terganggu mendengar kisruh paling mutakhir di antara penulis dan penyair Indonesia. Ketidaksetaraan gender dan seksisme adalah hal-hal yang masih saja menjadi masalah dalam struktur kesusastraan Indonesia. Saya berterima kasih kepada kawan-kawan yang sudah menyuarakan pendapat. Opini saya sendiri sudah terwakilkan oleh beberapa dari kalian.

Ini mengingatkan saya kalau saya berutang untuk membagikan unedited version dari review “Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi” karya Yusi Avianto Pareanom yang pernah terbit di Majalah Tempo Edisi 4 Juli 2016. Versi online-nya bisa diakses di sini.

Kebetulan saya memang sudah cukup lama mengenal Mas Yusi. Sejak awal 2000an, ketika saya masih aktif di Komunitas BungaMatahari (BuMa). Kalau tidak bertemu di acara-acara sastra, ya saat nongkrong di Coffeewar. Di acara yang lebih formal, ia mengundang saya jadi pembicara di sesi Inequality 4.0 JILF 2019. Oya, Mas Yusi juga ada di grup WhatsApp Residensi Penulis Indonesia (sebuah proyek bermasalah yang kapan-kapan akan saya bicarakan) Angkatan 2019 (((angkataaan))). Ya, karena ia termasuk sastrawan yang lolos seleksi. Intinya, sih, kami saling tahu posisi masing-masing di dunia persilatan sastra Indonesia. Dengan kata lain, bisa ngopi bareng tapi sering tidak sejalanterutama ketika Mas Yusi makin dekat dengan kekuasaan dan bahkan menjadi bagian dari kekuasaan tersebut. 

Jadi, ketika diminta membahas “Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi”, saya cukup kaget karena dari konten promosi dan kutipan-kutipan yang diangkat, dugaan saya adalah buku itu bukan secangkir teh yang cocok untuk saya (berusaha mengikuti gaya Mas Yusi mengadaptasi idiom luar negeri). Lalu, kok saya terima permintaan tersebut?

Kita semua tahu khalayak pembaca Mas Yusi sudah sangat luas, dan ia pun berpengaruh dalam mengorbitkan karir sejumlah penulis muda. Saya mengiyakan karena saya merasa perlu menawarkan pembacaan berbeda terhadap novel tersebut sekaligus mencoba menyampaikan langsung kepada penulisnya (saya kan bacanya setelah novelnya selesai ditulis, bukan sebelumnya) kalau karyanya sungguh bermasalah. Lucunya, setelah saya mengatakan kalau saya merasa tidak nyaman dengan isi novel Mas Yusi, Yandri sebagai moderator, malah bertanya, kurang lebih begini: “Tapi, Mbak Anya gak terganggu kan bacanya?” *facepalm*

Lalu, saya berpikir, masalah ini tidak cukup diperbincangkan dalam acara 1-2 jam atau ulasan yang terikat jumlah karakter. Apalagi tak lama kemudian novel ini memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa 2016, yang menunjukkan bagaimana para penentu selera di dalam kesusastraan Indonesia lebih banyak berpihak pada karya laki-laki yang seringkali melanggengkan nilai-nilai patriarkal dan heteronormatif. Soalnya, kalau menurut saya, seksisme sistemik dan manifestasi ketidakadilan lainnya tak hanya berlaku di dalam “daftar-daftar” dan “penghargaan-penghargaan” yang ada di skena sastra Indonesia, tetapi juga punya potensi merembes ke dalam karya-karya yang dihasilkan di dalamnya, bahkan karya-karya yang paling digadang-gadang sekalipun.

Makanya, saya ingin membayar utang tersebut sekarang. 

~~~

RADEN MANDASIA: DONGENG CAMPURSARI RASA MAJAPAHIT

Novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom, pemenang penghargaan Kusala Satra Khatulistiwa 2016 yang di sampul depannya berlabel “sebuah dongeng” ini, mencampur aduk beragam unsur kultur pop mulai dari tahun 1960an sampai sekarang. Cerita silat Kho Ping Hoo dan Jaka Sembung; karakter Tintin, Kapten Haddock, bahkan si anjing Snowy (Milo di terjemahan versi terkini); referensi dari Asterix dan Obelix; kisah Nabi Isa dan Nabi Yunus yang dicampursari/mash-up dengan Pinokio dan Moby Dick; film laga 300 dan masih banyak lagi. 

Dengan ketangkasan dan kecerdikan Yusi bersilat kata, pamer wawasan jadi bumbu cerita yang sedap. Tidak hanya dialog antar karakter yang terasa hidup, adegan demi adegan di dalam buku ini diceritakan dengan sangat lancar dan sinematik sehingga menimbulkan keasyikan membaca. Ini sudah terasa sejak halaman pertama ketika kita berkenalan dengan Raden Mandasia dan Sungu Lembu—nama yang terakhir tokoh utama sekaligus narator buku ini. 

Salah satu motif yang juga dipakai Yusi untuk menebar pesona kepada pembacanya adalah makanan. Berbagai jenis makanan dari berbagai penjuru dunia antah berantah yang diciptakannya mendapat porsi yang istimewa di buku ini. Tentang daging sapi buatan Raden Mandasia misalnya: “… daging-daging yang cukup dibakar dua sisi sebentar saja sampai setengah matang supaya keempukannya terjaga sehingga lumer saat digigit…” (hal. 20). Dan tentang masakan bibinya, Nyi Banyak: “… setiap harinya selalu enak, mulai sukun goreng, ketan serundeng, pecel kembang turi yang sambalnya pedas legit, sampai nasi kuning gurih dengan ayam bakar tulang lunak ditambah sambal goreng hati… (hal. 85). Semua ini membuat saya seperti menonton acara-acara kuliner Andrew Zimmern dan Anthony Bourdain yang berkeliling dunia sembari mencicipi makanan-makanan setempat yang unik sekaligus sedap. Semakin saya mengikuti sepak terjang Sungu Lembu dan Raden Mandasia, saya kadang merasa mereka seperti duo foodie snob dan travel junkie dari zaman Majapahit yang keluar dari saluran televisi gaya hidup. 

Gaya campursari itu diramu Yusi secara halus dan dengan teknik menulisnya yang hampir tanpa cela, saya tak heran banyak pembacanya yang mengklaim bisa melahap buku ini hanya dalam semalam atau dua. Pilihan Yusi menulis dengan gaya seperti itu juga membuat saya dengan girang menjuluki karya ini sebagai sebuah “babad milenial”. Yusi melakukan campursari antara tokoh-tokoh dari dongeng masa lalu dan dongeng masa kini dengan memukau. Bahkan Yusi mengadon pemikiran rasional dan takhayul di dalam maupun di antara karakter-karakternya, sebuah siasat yang sungguh canggih.

Tapi, ada yang mengusik saya, yaitu karakter Sungu Lembu (dan kebanyakan karakter laki-laki lainnya) yang terlampau macho dan seksis. Dalam sebuah diskusi di peluncuran buku ini—di mana saya jadi salah satu pembicaranya—Yusi mengatakan kalau Sungu Lembu memang sengaja ia bentuk menjadi karakter anak muda yang politically incorrect untuk menggulirkan cerita. Ini memang sepenuhnya hak Yusi sebagai penulis, tetapi sampai sekarang saya masih mempertanyakan sekaligus menyesali, mengapa Yusi mengambil keputusan itu—apalagi karena Yusi juga dikenal sebagai pengajar kelas penulisan kreatif yang sudah menelurkan sejumlah penulis muda. Sayang sekali kalau itulah warisan yang ingin ia turunkan kepada murid-murid dan pembaca-pembaca mudanya. 

Sudah banyak sastrawan dunia yang menulis ulang atau mencuri dongeng-dongeng yang sudah familiar di kalangan pembaca mereka untuk kemudian didaur ulang menjadi dongeng yang baru. Tetapi, mereka melakukannya dengan maksud yang jelas, misalnya untuk melawan nilai-nilai moral yang berlaku pada masa itu. Salah satu contoh yang lebih spesifik misalnya untuk melawan nilai-nilai patriarki yang menindas dan membatasi gerak-gerik perempuan, seperti yang dilakukan Angela Carter lewat kumpulan ceritanya yang berjudul The Bloody Chamber. Buku ini bahkan dianggap tidak hanya menulis ulang tetapi juga memanfaatkan motif-motif dongeng untuk lebih jauh mengeksplorasi bagaimana laki-laki dan, terutama, perempuan menemukan atau kehilangan diri mereka. 

Yang jelas, kalau dibandingkan dengan The Bloody Chamber, buku ini lebih mengeksplorasi kehidupan laki-laki yang heteronormatif, khususnya laki-laki ABG seksis seperti Sungu Lembu, karena ialah narator di cerita ini. Hasilnya, saya sebagai pembaca, suka atau tidak, harus melihat dunia di dalam buku ini lewat mata Sungu Lembu. Karakter-karakter perempuan di buku ini, mulai dari yang berperan kecil maupun besar, dilukiskan sebagai hidangan yang sama sensualnya seperti makanan-makanan yang disantap Sungu Lembu dan Raden Mandasia. Semua perempuan beragam rupa, bentuk, asal usul, profesi tak lain dan tak bukan berfungsi untuk melayani selera kedua lelaki tersebut. Atau sebaliknya, perempuan-perempuan itu begitu anggun dan suci sehingga memuaskan mata mereka dan/atau karakter laki-laki lainnya. Ya, tetap saja sebagai tontonan bahkan suguhan (seperti daging sapi!). 

Saya sangat berduka mengikuti perjalanan hidup perempuan-perempuan di dalam buku ini. Saya tidak bisa menghitung lagi berapa banyak perempuan yang berpengaruh di dalam kehidupan Sungu Lembu, tetapi kelihatannya hanya sedikit yang bertahan muncul cukup lama dan berumur panjang. Di dalam novel sepanjang 450 hal ini, perempuan-perempuan itu menghabiskan kebanyakan hidup mereka di dalam ruangan, mulai dari dapur, ruang tamu, rumah judi, dan tentu saja kamar tidur.  

Nyai Manggis adalah salah satu karakter perempuan ‘kuat’ di dalam kisah ini, tetapi kekuatannya tetap saja digambarkan bersumber dari kecantikan paras dan tubuhnya. Boleh saja memang memandang kedua hal tersebut sebagai kekuatan perempuan, tetapi apakah kekuatan perempuan hanya itu? 

Nyai Manggis mendapat banyak sekali perlindungan dari laki-laki. Ia bisa mencapai posisi yang disegani sebagai pemilik rumah dadu dan pejuang bawah tanah melawan kekuasaan rezim Watugunung—karena laki-laki. Hal ini diakui Nyai Manggis sendiri ketika ia menyadari ternyata ia mencintai Bandempo karena laki-laki itu ”menghormati dan memberinya kepercayaan” (hal. 154). Ini mungkin bisa dibaca sebagai kecerdikan dan kepanjangakalan Nyai Manggis dalam menggunakan privilesenya walaupun privilese itu datang dari laki-laki yang memiliki banyak privilese juga. Tetapi, ajalnya yang terlalu sederhana membuat saya meragukan pembacaan itu. Hanya karena sebuah teriakan gemulai, habislah peran Nyai Manggis yang menurut Yusi di dalam diskusi sukaria kami malam itu, “progresif”. Progresif? Kok, tiba-tiba saya ingin bernyanyi, “Waniii ta diii jajaaah pria sejak dulu…

Tokoh perempuan yang sebenarnya menjadi favorit saya adalah Parwati, salah satu tokoh dengan hidup terpendek di buku ini. Ia adalah seorang penari ronggeng yang tidak termakan bujuk rayu Sungu Lembu sehingga Sungu Lembu menjadi terobsesi dan mengikuti rombongan tari Parwati sampai satu setengah bulan. Mereka akhirnya bercinta, tetapi dengan cara yang tidak sesuai dengan bayangan Sungu Lembu. Begitu tidak sesuainya, Sungu Lembu malah “hanya bertahan sebentar” (hal. 116) serta merasa telah “dimanfaatkan” dan “kotor” (hal. 117). Tak lama kemudian Parwati sakit parah dan… ya benar, ia menemui ajalnya.

Setelah Parwati, Sungu Lembu mengalami lagi kejadian semacam ini. Kali ini di kamar Nyai Manggis yang ingin menghukumnya karena berani menyatakan cinta kepadanya. Nyai Manggis menutup mata dan mengikat Sungu Lembu di tempat tidurnya kemudian mengirimkan tiga perempuan penghibur untuk “menyerang”-nya (hal. 119-120). 

BDSM (Bondage, Discipline, Sadism and Masochism) adalah kegiatan seksual yang sangat berkaitan dengan permainan kuasa, orang-orang yang memutuskan untuk terlibat di dalamnya biasanya sudah mengikat kontrak dengan satu sama lain sebelum dengan sukarela menjalankan peran dominan atau submisif untuk pada akhirnya mencapai kenikmatan bersama. Tetapi, Sungu Lembu ternyata memaknai BDSM dengan terlalu sederhana. Walaupun di tengah-tengah permainan ia sempat teringat akan pengalamannya dengan Parwati dan juga “bertahan sangat sebentar” (hal. 120), setelah itu ia kembali lagi menjadi ABG bingung yang “tak akan pernah paham pemikiran perempuan” (hal. 120). 

Tentunya, saya tak ingin mendikte perasaan Sungu Lembu. Saya hanya menyayangkan bagaimana seks selalu digambarkan menyenangkan bagi banyak karakter laki-laki di buku ini, dalam bentuk maupun keadaan apapun kegiatan tersebut dipraktekkan. Seakan-akan seks hanya semacam hiburan gratis yang perlu dinikmati saja, bukan bentuk hubungan antarmanusia yang sangat mungkin dipakai sebagai alat kekerasan. Pada kenyataannya, perkosaan laki-laki, baik dilakukan oleh sesama laki-laki maupun perempuan, adalah hal yang sangat serius, sering terjadi, dan dapat mengakibatkan gangguan psikis yang sama beratnya dengan perkosaan yang korbannya perempuan. (Bagi yang tak percaya laki-laki bisa diperkosa, silahkan masukkan ‘male rape’ ke dalam mesin pencari Anda.)  

Saya sungguh menyayangkan bagaimana seks dalam dongeng ini—dan banyak hal lain—sebagai konsekuensi POV penggulir cerita Sungu Lembu yang politically incorrect dan naif itu, jadi sering digambarkan dengan simplistik, tidak mempertimbangkan dimensi lain yang lebih kompleks. Apa poin menggambarkan dunia dan peristiwa-peristiwa di dalamnya dengan simplistis di novel (se)besar ini? Apa tujuan segala kecanggihan akrobat teknik penulisan Yusi di dalam, sekali lagi, novel (se)besar ini? 

Padahal, menurut saya, jika ia ingin, Yusi mempunyai banyak kesempatan untuk mengembangkan karakter Sungu Lembu untuk menjadi lebih peka dalam melihat peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Contohnya, lewat hubungan Sungu Lembu dengan pamannya Banyak Wetan. Ia banyak membekali Sungu Lembu dengan peristiwa-peristiwa pemberontakan rakyat yang disebabkan oleh ketidakadilan yang terjadi karena perbedaan kelas. Banyak Wetan juga membekali Sungu Lembu dengan keahlian bela diri, meramu racun, dan buku-buku pengetahuan. Karena semua itu, Banyak Wetan adalah seseorang yang sangat dihormati dan disayangi Sungu Lembu.

Hm, apakah ini kuncinya?

Saya memang tidak bisa mengharapkan Yusi memanipulasi struktur dan motif babad-babad lain untuk mengomentari atau mengkritik kerakusan manusia beserta norma-norma sosial yang tidak ramah pada kaum tertentu. Sepertinya, saya perlu menerima saja kalau Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi adalah salah satu usahanya sebagai seorang “paman” untuk memamerkan jurus-jurus andalannya demi memukau penulis-penulis muda yang diasuhnya. 

Jadi, buat apa saya menulis ulasan ini, ya? Hahaha.

Ya, sudahlah, sudah kepalang tanggung. 

Buku ini diwacanakan sebagai dongeng yang tidak ingin menggurui atau memuat pesan moral apa pun. Sesungguhnya, saya kurang percaya wacana ini, sehingga saya akan tetap bertanya: Bukankah memilih untuk menulis tanpa pesan moral juga sebuah bentuk moralitas, bahkan posisi politis? Dan apakah proyek untuk mendongeng saja dan tidak melakukan kritik sosial ini jadinya malah melanggengkan nilai-nilai maskulin/heteronormatif/seksis yang sampai saat ini merupakan masalah besar di banyak bidang kehidupan manusia?

Saya setuju kalau di dunia yang sudah penuh masalah dan hidup sehari-hari begitu berat, terkadang kita perlu santai sedikit. Toh, sejak awal manusia memang selalu saling tipu, saling bunuh. Mungkin inilah pesan Yusi lewat dongengnya. Namun, menelan bulat-bulat pandangan semacam ini bisa juga membuat kita tersedak, apalagi jika kita letakkan buku ini dalam konteks sastra, politik sastra maupun politik negeri ini yang masih sarat dengan ketidakadilan. 

Sepertinya saya perlu minum segelas tuak atau setidaknya kahwa hangat bersama Sungu Lembu, yang kemungkinan besar malah akan saya keplak karena memelototi susu saya, sambil merenungkan jurus manakah yang lebih penting ketika seseorang menulis sebuah dongeng: teknik atau isi?

Mengapa Wiji Thukul Menolak Disebut Penyair Protes?

*oleh guest blogger Mumu Aloha
 
wiji thukul
 

Setahun lalu, ketika pulang ke Solo, saya menyempatkan diri jalan-jalan ke kios buku/majalah bekas di alun-alun. Ada pemandangan yang bagi saya menarik. Di antara buku-buku bekas yang dijual, terdapat setumpukan buku fotokopian. Umumnya adalah buku-buku lama Serat Wirid Hidayat Jati, Darmogandul dan Gatoloco dan sejumlah novel berbahasa Jawa. Tapi, ada juga buku sejarah seputar komunisme, seperti ‘ Aidit Menggugat Peristiwa Madiun’. Walaupun menarik, tapi semua itu tak cukup mengejutkan bagi saya. Yang mengejutkan adalah ketika saya menemukan puisi Wiji Tukul!

Saya sedikit terhenyak; fenomena apa ini? Dengan terheran-heran saya timang-timang dan buka-buka buku Wiji Tukul itu. Itu adalah kumpulan puisi pertamanya, Mencari Tanah Lapang, dengan pengantar dari sosiolog Arief Budiman. Mengapa buku ini sampai ada fotokopiannya?  Sejak kapan buku kumpulan puisi menjadi ‘primadona’ lapak buku bekas, sampai harus difotokopi segala? Apa hanya karena sang penyair yang hilang dalam huru-hara reformasi 98 itu orang Solo? Atau, apakah memang ada permintaan yang begitu tinggi?

Apapun kemungkinannya, fotokopian kumpulan puisi Wiji Thukul itu membuat saya berpikir, bahwa dalam dunia benda, dunia komoditas, puisi Wiji Thukul setara dengan kitab-kitab Jawa kuno dan buku-buku kiri yang kini tengah menjadi buruan para kolektor.

Membicarakan Wiji Thukul memang terlalu banyak dimensi. Godaan untuk menimbang aktivitas politiknya (dengan akhir yang dramatis: hilang) begitu sulit diabaikan sehingga menenggelamkan diskusi tentang estetika puisi-puisinya. Faktanya, hingga kini belum pernah ada kritikus sastra yang membahas puisi Wiji Thukul dengan serius. Salah satu penghalangnya adalah mitos yang telanjur jadi label (yang barangkali juga melekat pada Rendra) bahwa Thukul adalah penyair aktivis, sehingga puisi-puisinya (otomatis) dianggap sebagai puisi perlawanan, puisi protes, puisi pamlet.

Pelabelan semacam itu menjadi penyakit dalam kebudayaan kita, sebab sekali seorang seniman ditempeli dengan label tertentu (Rendra si Burung Merak, Rendra si penyair pamlet), maka hal itu mereduksi setiap upaya untuk memahami karya-karyanya.

Ketika Majalah Tempo menerbitkan edisi khusus Tragedi Mei 2008-2013 dengan cerita sampul Teka-teki Wiji Thukul, Goenawan Mohamad (GM) mendedikasikan halaman Catatan Pinggir-nya yang keramat dan konon selalu ditunggu-tunggu itu untuk membahas Wiji Thukul. Menurut GM, Wiji Thukul adalah sebuah catatan kaki. Dalam kitab besar sejarah Indonesia, politik dan sastra, ia bukan sebuah judul atau tokoh di tengah halaman. Ia ada di bawah lembar halaman, atau bahkan mungkin di akhir bab. Tidak ada penjelasan yang memadai tentang pernyataan itu. Namun, dari pernyataan itu bisa disimpulkan, bahwa puisi-puisi Wiji Thukul dianggap bukan “karya utama” dalam sastra Indonesia. Ia hanya pelengkap; dipandang sebelah mata.

Seandainya Wiji Thukul membaca esei itu, pasti ia tak akan peduli sedikit pun. Dalam menulis puisi, Wiji Thukul memang cenderung tak peduli apapun. Dalam segi bentuk, puisinya menabrak “aturan” tentang susunan bait, rima, metafora, pemilihan kosa kata dan sebagainya. Dalam segi “aliran”, ia tak peduli apakah puisinya “surealis atau naturalis”.

Ketika banyak pembaca puisi-puisinya menjuluki Wiji Thukul sebagai penyair kerakyatan, dengan polos ia justru “meluruskan” bahwa dirinya menulis puisi sama sekali bukan untuk membela rakyat. Ia menulis puisi karena percaya bahwa puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan orang kecil. Dan, orang kecil itu bukanlah siapa-siapa melainkan dirinya sendiri, atau dalam bahasa Wiji Thukul sendiri, “Orang tertindas semacam saya.” Dengan demikian, lewat puisi-puisi yang ditulisnya, Wiji Thukul bicara tentang dirinya sendiri; seorang buruh pelitur, yang beristri tukang jahit, bapaknya tukang becak, mertuanya pedagang barang rongsokan, dan lingkungannya orang-orang melarat. Mereka semua masuk dalam “dunia” puisi Wiji Thukul, sehingga dengan membela diri sendiri ternyata puisi-puisinya juga menyuarakan hak-hak orang lain.

Itulah sebabnya, Wiji Thukul menolak disebut penyair protes. Wiji Thukul adalah penyair yang menyadari proses. Bagi Wiji Thukul, menulis puisi persoalannya adalah selalu kembali ke persoalan diri sendiri. Tapi, yang disebut sebagai “persoalan diri sendiri” itu pada kenyataannya tidak pernah bisa lepas dari lingkungan. Maka, seiring dengan perkembangan biografi dan kesadaran jiwa Wiji Thukul, puisi-puisinya pun terus berkembang. Dari isu-isu kehidupan orang kampung ke masalah-masalah urban perkotaan, dari urusan ‘domestik’ keluarga ke persoalan-persoalan politik dan bangsa.

Namun, apapun yang hendak disampaikan Wiji Thukul lewat puisinya, pada dasarnya potret yang dihadirkan adalah kemiskinan, kekalahan dan ketertindasan, dan pada titik tertentu kadang muncul keputusasaan, yang disebabkan oleh ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa (dalam hal ini Orde Baru). Puisi ‘Apa yang Berharga dari Puisiku’ dengan gamblang menggambarkan seluruh sumber kegelisahan Wiji Thukul.

apa yang berharga dari puisiku
kalau adikku tak berangkat sekolah
karena belum membayar uang spp

apa yang berharga dari puisiku
kalau becak bapakku tiba-tiba
rusak jika nasi harus dibeli dengan uang
jika kami harus makan
dan jika yang dimakan tidak ada?

apa yang berharga dari puisiku
kalau bapak bertengkar dengan ibu
ibu menyalahkan bapak
padahal becak-becak terdesak oleh bis kota
kalau bis kota lebih murah siapa yang salah

apa yang berharga dari puisiku
kalau ibu dijeret utang
kalau tetangga dijiret uang?

apa yang berharga dari puisiku
kalau kami terdesak mendirikan rumah
di tanah pinggir-pinggir selokan
sementara harga tanah semakin mahal
kami tak mampu membeli
salah siapa kalau kami tak mampu beli tanah

apa yang berharga dari puisiku
kalau orang sakit mati di rumah
karena rumah sakit yang mahal?

Puisi ini menjadi contoh yang terang tentang bagaimana sebuah perspektif atau bahkan mungkin ideologi, menjadi jiwa sebuah puisi. Untuk memperjelas perspektif dan ideologi dalam puisi-puisi Wiji Thukul, mari kita bandingkan puisi tadi dengan karya Subagio Sastrowardoyo berjudul ‘Sajak’:

Apakah arti sajak ini
kalau anak semalam batuk-batuk
bau vicks dan kayuputih
melekat di kelambu
kalau istri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gajiku yang tekor buat
bayar dokter, bujang dan makan sehari
kalau terbayang pantalon
sudah sebulan sobek tak terjahit
apakah arti sajak ini
kalau saban malam aku lama terbangun
hidup ini makin mengikat dan mengurung

apakah arti sajak ini:
piaraan anggrek tricolor di rumah atau
pelarian kecut ke akhir hari?

‘Sajak’ karya Subagio Sastrowardoyo tersebut tampaknya memang merupakan sumber inspirasi Wiji Thukul ketika menulis ‘Apa yang Berharga dari Puisiku’. Namun, kita bisa lihat, bagaimana problem “kelas menengah” yang menjadi “keluhan” Subagio (gaji tekor untuk bayar dokter dan bujang, pantalon sobek, anggrek tricolor), di tangan Wiji Thukul berubah menjadi uang SPP adik yang tak terbayar, becak bapak yang rusak, ibu dan tetangga yang dijiret utang, dan problem-problem kemiskinan lainnya.

Dan, kalau kita sambung dengan menyimak puisi ‘Aku Menuntut Perubahan’, maka puisi tadi seolah menjadi puncak gambaran yang mewakili kekalahan dan keputusasaan orang-orang miskin, yang telah sampai pada kebosanan tanpa harapan.

Seratus lobang kakus
Lebih berarti bagiku
Ketimbang mulut besarmu
Tak penting
Siapa yang menang nanti
Sudah bosen kami
Dengan model urip kayak gini
Ngising bingung, hujan bocor
Kami tidak butuh mantra
Jampi-jampi
Atau janji
Atau sekarung beras
Dari gudang makanan kaum majikan
Tak bisa menghapus kemlaratan
Belas kasihan dan derma baju bekas
Tak bisa menolong kami
Kami tak percaya lagi pada itu
Partai politik
Omongan kerja mereka
Tak bisa bikin perut kenyang
Mengawang jauh dari kami
Punya persoalan
Bubarkan saja itu komidi gombal
Kami ingin tidur pulas
Utang lunas
Betul-betul merdeka
Tidak tertekan
Kami sudah bosan
Dengan model urip kayak gini
Tegasnya=
Aku menuntut perubahan

Begitulah, potret-potret kekalahan orang kecil terus membayangi puisi-puisi Wiji Thukul, bahkan ketika ia sedang bercerita tentang, mungkin semacam, liburan keluarga, seperti tampak pada puisi ‘Pasar Malam Sriwedari’. Beli karcis di loket/ pengemis tua muda anak-anak/ mengulurkan tangan/ masuk arena corong-corong berteriak/ udara terang benderang tapi sesak/ di stand perusahaan rokok besar/ perempuan montok menawarkan dagangannya/ di stand jamu tradisionil/ kere-kere di depan video berjongkok/ nonton silat mandarin.

Kembali ke soal perspektif dan ideologi tadi, maka kiranya akan semakin jelas membaca “dunia” dan “isi kepala” Wiji Thukul dengan membandingkan puisi tadi dengan puisi berobjek sama karya Rendra (dari kumpulan ‘Sajak-sajak Sepatu Tua’, 1972)

Pasa Malam Sriwedari Solo

Di tengah lampu aneka warna
balon mainan bundar-bundar
rok-rok pesta warna
dan wajah-wajah tanpa jiwa
kita jagal sendiri hati kita
setelah telinga jadi pekak
dan mulut terlalu banyak tertawa
dalam dusta yang murah
dan bujukan yang hampa

Mencubiti pantat wanita
tidak membuat kita tambah dewasa
dilindingi banyangan tenda-tenda
kita menutup malu kita
dengan kenakalan tanpa guna
tempat ini sangat bising dan bising sekali
gong, gendang, gitar dan biola
terkacau dalam sebuah luka
ayolah
anda sedang menertawakan dunia
ataukan dunia sedang menertawakan anda?

Pada Rendra, ‘Sriwedari’ menjadi ajang kontemplasi tentang gaya hidup “hedon” perkotaan, sedangkan pada Wiji Tukul, lagi-lagi yang muncul adalan bayangan kemiskinan dan orang-orang yang kalah (pengemis, SPG dan kere).

Saya akan membandingkan karya Wiji Thukul dengan satu puisi lagi, kali ini dari sesama penyair Solo yang menulis puisi-puisinya pada tahun-tahun yang sama dengan masa awal kepenyairan Wiji Thukul, yakni puisi Kriapur:

Solo

gerimis menyeret bulan
menghamburkan cahaya
dekat pohon-pohon bengawan
tengah malam dingin
gairah kehidupan tak undur
manusia seperti patung-patung
kantuk di kedalaman bunyi gamelan

Solo yang mistis dan eksotis tidak muncul dalam puisi-puisi Wiji Thukul. Pada Thukul, Solo adalah “pedagang kaki lima berderet-deret” (Monumen Bambu Runcing), atau “kampung…riuh dan berjubel/ seperti kutu kere kumal” di belakang “toko-toko baru dan macam-macam bangunan” (Gumam Sehari-hari), “kampung orang-orang kecil” (Sajak kepada Bung Dadi). Dan, dengan lantang Wiji Thukul bertanya, atau lebih tepatnya menggugat:

kota macam apa yang kita bangun/siapa yang merencanakan (Sajak Kota).

Itu baru satu dimensi dari puisi-puisi Wiji Thukul yang kaya. Kembali ke pertanyaan awal, mengapa Wiji Thukul menolak disebut penyair protes, karena memang ia berangkat dari keyakinan bahwa puisi itu alat perlawanan.

Dengan ekstrem, Wiji Thukul bahkan menyebut puisinya “bukan puisi”: tapi kata-kata gelap/ yang berkeringat dan berdesakan/ mencari jalan/ ia tak mati-mati/meski bola mataku diganti/ meski bercerai dengan rumah

Ada keyakinan, ada kekuatan dalam puisi-puisi Wiji Thukul. Keputusasaan yang muncul di karya-karya awal kepenyairannya –“sudah bosen kami dengan model urip kayak begini” (Aku Menuntut Perubahan)– menemukan titik baliknya pada puisi berjudul ‘Puisi untuk Adik’:

apakah nasib kita terus akan seperti/ sepeda rongsokan karatan itu?/ o, tidak, dik!/ kita akan terus melawan.

Seperti Subagio Sastrowardoyo yang percaya bahwa “sajak ini melupakan aku pada pisau dan tali/ sajak ini melupakan kepada bunuh diri“, dengan nada yang mungkin tak terlalu heroik, Wiji Thukul akhirnya kembali pada keyakinan yang sama. Jika tadi di awal sudah disebutkan bahwa Wiji Thukul berpuisi dengan kesadaran pada proses, maka di ‘Puisi untuk Adik’ dia menegaskan kesadaran itu:

kita harus membaca lagi/ agar bisa menuliskan isi kepala/ dan memahami dunia.

Dengan puisi, Wiji Thukul menghancurkan kebisuannya sendiri “sehingga…engkau mendengarkan“.