Mungkin Sebenarnya Hidup Itu Memang Tak Bermakna: Re-encounter / Hye Hwa, Dong ( 혜화,동) (2010)

fullsizephoto146186

Hye Hwa (Yoo Da In)

“It might be possible that the world itself is without meaning.”
(Mrs. Dalloway – Virginia Woolf)

Apa yang terjadi kalau ternyata kehidupan ini pada akhirnya yah begitu saja dan tak ada maknanya? Entahlah. Mungkin banyak orang langsung tenggelam dalam depresi berkepanjangan atau histeris meratapi hidup tanpa akhir yang dicita-citakan. “Re-encounter / Hye Hwa, Dong ( 혜화,동)”, entah mengapa, meninggalkan rasa “mungkin sebenarnya hidup itu memang tak bermakna” tersebut buat saya.

“Re-encounter” dibuka dengan adegan Hye Hwa (Yoo Da In) mengendarai motor untuk menjemput seekor anjing pendatang yang tidak diinginkan oleh pemilik rumah. Hye Hwa nampaknya memiliki obsesi untuk menyelamatkan anjing-anjing terlantar atau yang tak diinginkan. Sebagai mata pencaharian, ia memiliki salon anjing kecil yang bersebelahan dengan klinik hewan, atau mungkin juga bagian dari klinik tersebut. Anak si dokter hewan klinik sebelah dekat dengan Hye Hwa, bahkan terkadang memanggilnya dengan “ibu”. Kedekatan Hye Hwa dengan sang anak dan aksi-aksi penyelamatannya terlihat seperti manifestasi penebusan entah rasa bersalah atau kehilangan atau bahkan keduanya karena di masa lalu Hye Hwa tidak dapat “menyelamatkan” bayinya sendiri yang meninggal tak lama setelah dilahirkan.

Paling tidak itulah yang tertanam di ingatannya selama 5 tahun. Sampai kemudian mantan kekasih dan ayah dari anaknya, Han Soo (Yeo Yeon Sook), yang menghilang sebelum kelahiran bayi mereka, mendadak muncul di hadapannya dan mengatakan bahwa anak mereka ternyata masih hidup.

“What if?”

The deadly question. Bagaimana jika ternyata Han Soo benar? Bagaimana jika ternyata anak mereka masih hidup dan tidak meninggal seperti yang selama ini tertanam di ingatan Hye Hwa? “Bagaimana jika” begitu menghantui Hye Hwa dan Han Soo hingga menjebak keduanya dalam delusi yang diciptakan Han Soo.

“Re-encounter” sebenarnya berpotensi untuk jadi melodrama super melankolis, tapi sutradara Min Young Keun nampaknya lebih tertarik untuk menghadirkan rasa sepi ketimbang bermain dengan air mata. Hye Hwa dewasa kini tinggal sendiri ditemani anjing-anjingnya. Ia masih memelihara kegemaran mengumpulkan potongan kukunya dalam sebuah tabung film kamera bekas, seperti ingin menyimpan bagian dirinya yang dibuang. Ibunya yang menua kini harus berpegangan pada bentangan tali rafia jika ingin ke kamar mandi. Han Soo yang kembali ke rumahnya kini berjalan setengah tertatih, mungkin akibat bekas luka tembakan atau cedera saat latihan saat dia di militer.

Semua disampaikan Min Young Keun dengan tenang, nyaris tanpa emosi eksterior. Suppressed emotions. Masuk akal mengingat kondisi kehidupan keluarga Hye Hwa. Untuk sebagian orang, mereka tidak mampu untuk jadi melankolis. Ada hidup yang harus dijalani, ada perut yang harus diisi. Mungkin bagi sebagian orang lainnya, apalagi mereka yang kehidupannya berada di tengah ke atas “Piramida Maslow”, hidup (idealnya) berisi mimpi-mimpi yang patut diperjuangkan untuk diwujudkan. Hye Hwa tidak berada di sini. Kesehariannya hanya diisi berkutat pada anjing, sama seperti banyak orang yang kesehariannya berisi rutinitas-rutinitas penyambung hidup. Kadang terlalu lelah bahkan untuk merasakan perasaannya sendiri, apalagi mencari makna.

fullsizephoto146176

Han Soo (Yoo Yeon Seok)

Perasaan-perasaan Hye Hwa dewasa yang ditekan hadir dengan subtil di tangan Yoo Da In (yang baru saya kenal melalui film ini), bertolak belakang dengan Hye Hwa remaja yang berani dan cuek. Yoo Yeon Seok, dalam peran terbaiknya (buat saya), mewujudkan Han Soo ke dalam sosok anak mama yang tak mampu menghalau patah hati sehingga menciptakan delusi untuk menyembuhkan luka, bukan hanya dirinya namun juga luka Hye Hwa.

Ketenangan, kesepian, kedataran, keheningan atau apalah perasaan yang nyaris tanpa gejolak ini entah kenapa begitu menghisap saya. Beberapa kali menyaksikan “Re-encounter”, saya tetap tidak mampu meraba dengan tepat perasaan film ini. Mungkin inilah yang membuat saya merasa mungkin pada akhirnya hidup yah begitu saja. Sekedar waktu yang berlalu, sampai nanti saatnya mati. Bahkan saat menulis ini pun rasanya begitu samar. Sama seperti tatapan Hye Hwa saat memundurkan mobilnya ke arah Han Soo. Samar.

Push Your Limit. See The Bigger Picture

oleh: Festi Noverini

 

Sedih dan patah hati. Itu yang saya rasakan belakangan ini. Dari mengikuti kasus pemerkosaan, pemisahan gerbong perempuan di kereta api sampai kemarin yang paling baru, meninggalnya pekerja iklan karena lembur 3 hari. Tweet terakhirnya berisi, “30 hours of working and still going strooong.”

Kasusnya mungkin beda-beda, tapi ada benang merah yang saya tarik dari komentar, pendapat serta reaksi orang-orang di media sosial dari tiga kasus tersebut, yaitu korbanlah yang harusnya berhati-hati, bukan sistem dan hukumnya yang dibenahi. Di kasus perkosaan banyak yang berkomentar, “Kenapa mau disuruh datang ke kos? Kenapa baru setelah hamil 7 bulan melapor ke polisi? Kenapa bisa terjadi berkali-kali?” Logika macam apa itu?

Di pemisahan gerbong perempuan banyak yang berpendapat itu sebagai sebuah tindakan perlindungan. Perlindungan terhadap apa? Terhadap nilai-nilai patriarki? Kalau perlindungan terhadap kejahatan seksual maupun kejahatan lainnya, bukan semestinya pelakunya yang dihukum? Kenapa justru melanggengkan diskriminasi dan melebarkan jurang kecurigaan atas nama perlindungan?

Mengubah pola pikir emang gak bisa ditempuh dalam jangka waktu pendek. Butuh waktu yang panjang, amat panjang bahkan, yang belum tentu dapat kita lihat atau rasakan hasilnya saat kita masih hidup. Tapi selalu terjebak dalam kebijakan-kebijakan darurat ya juga bukan solusi dan makin memperparah masa depan karena kita justru mencederai pemikiran, logika dan hati nurani.

Masing-masing kasus memang gak mungkin dibahas secara sempit dan disamaratakan. Perlu penelaahan, penjabaran, pemahaman bahkan penelitian yang lebih luas dan dalam lagi. Itu juga salah satu alasan tulisan saya ini.

Kejadian yang paling baru adalah meninggalnya seorang pekerja iklan karena lembur 3 hari ditambah mengkonsumsi terlalu banyak minuman penambah energi. Gak lama sesudah berita tersebut keluar lalu bermunculanlah di berbagai media sosial postingan menanggapi hal ini. Sebagian besar yang saya baca intinya bilang, “Perusahaan tuh memang serakah. Mereka cuma mau memeras pekerjanya. Makanya kita sebagai orkerja harus “Know Our Limit””. Duh kok kayaknya sederhana amat ya solusinya?

Apa iya semua orang di awal masa bekerjanya udah tau bahwa korporat-korporat besar itu jahatnya amit-amit? Saya rasa hampir semua orang juga belum tentu tahu hal tersebut saat mereka baru mulai masuk dunia pekerjaan. Yang mereka tau mungkin hanya abis sekolah/kuliah lalu kerja, entah untuk alasan eksistensi diri, cari makan atau bahkan hanya sekedar mengikuti standar tahap kehidupan manusia.

Yang bisa bilang “Know Your Limit” saya asumsikan sudah pernah melalui kegilaan tersebut atau cukup nyaman dengan hidupnya saat ini makanya bisa bilang cabut aja kalau rasanya udah gak nyaman. Tapi apakah semua orang punya privilege kenyamanan itu? Kalau nggak suka, cabut aja. Sama seperti saya sering banget dikomentarin, dari pada “marah-marah” melulu, mending pindah aja dari Indonesia. Ampun deh, kelas menengah Indonesia.

Belum lagi di dalam masyarakat selalu ada banyak hubungan kekuasaan, dari yang sehat sampai yang super sakit, seperti kasus perkosaan yang saya singgung sebelumnya. Ini disadari gak sih? Apakah solusinya hanya sesederhana “mawas diri”?

Apa iya ketika sudah tidak nyaman dengan sistem kerja perusahan, hanya dengan mengungkapkan keberatan pada atasan akan membawa perubahan? Kalau iya mungkin budaya sistem kerja, dalam hal ini dunia periklanan, sudah membaik dari kapan tau. Tapi nampaknya gak sesederhana itu. Dalam budaya kerja yang sangat kapitalistik manusia nampaknya hanya dilihat sebagai alat produksi, replaceable. Lo gak suka, silahkan cabut atau gue gantiin. Mengerikan bukan? Dan ini terjadi di banyak sektor pekerjaan lainnya.

Lalu bagaimana mungkin orang-orang yang tercekoki atau mencekoki orang lain dengan jargon-jargon macam “Push Your Boundaries” sekarang bicara “Know Your Limit”? Apalagi kalau ada yang merasa “been there done that”. Justru kalau sudah pernah melalui harusnya sadar bukan bahwa ada sistem lebih besar yang menggerakkan kehidupan kita sehari-hari? Atau selama ini gak pernah sadar? Ini kan menyedihkan.

“Push Your Boundaries” untuk apa? Untuk memenuhi pundi-pundi korporasi yang tamak? Untuk jadi yang “terbaik”? Untuk pencapaian prestasi yang abstrak? Sebuah ilusi yang dibentuk oleh propaganda korporasi kapitalis melalui ayat-ayat motivasinya.

Kita tentu saja tidak pernah seutuhnya independent karena kita selamanya interdependent, apalagi kalau kita hidup dalam sebuah sistem masyarakat dan negara. Bukankah kasus terakhir juga  terjadi dalam institusi yang mengagungkan team work? Lalu apa pertanggungjawaban mereka ketika ada kejadian ini? Saling mengingatkan untuk jaga diri sendiri karena resiko akhirnya ditanggung masing-masing?

Sayangnya, bukan hanya dalam hal kasus ini tapi juga dalam kasus-kasus lainnya, banyak orang cuma mau melihat yang ada di depannya aja. Overworked, salahkan perusahaan yang jahat dan diri yang gak tau batasan. Pelecehan seksual, pisahkan manusia berdasarkan gendernya. Perkosaan, baik-baik jaga diri. Padahal jauh sebelum hal-hal tersebut terjadi sudah ada proses panjang dan kompleks yang mendahului dan menjadi penyebabnya. Bahkan seringkali menciptakan lingkaran setan.

Entahlah. Mungkin banyak orang yang masih berpikir bahwa hal-hal ini terjadi akibat pilihan sendiri, maka berhati-hatilah karena akibatnya juga akan ditanggung sendiri. Terjadi di luar kekuasaan korporasi yang buas, negara yang lalai, hukum yang tiarap, gempuran nilai-nilai “positif” (kerja tim, prestasi, passion, dll dll) yang dimanipulasi perusahaan-perusahan besar dan raksasa untuk menggerakkan alat produksinya demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dll.

Mawas diri ya tentunya penting, tapi mawas diri bukan cuma sekedar “Know Your Limit”, lebih dari itu juga menyadari bahwa kita adalah bagian dari sebuah sistem yang lebih besar. Ada hal-hal yang bisa kita
kendalikan dari dalam diri kita sendiri, tapi lebih banyak lagi hal-hal yang butuh kekuatan besar untuk dapat mencapai sebuah perubahan. Butuh “penyadaran” kolektif.

Banyak hal yang mungkin akan terlalu sulit diubah, bahkan mungkin selamanya kita bisa terjebak dalam lingkaran setan tersebut. Tapi selalu penting untuk memiliki kesadaran akan hal-hal lain di luar diri kita
sendiri dan dunia kecil kita.

 

*Catatan ini merupakan sedikit rangkuman dari diskusi dengan teman-teman lainnya (Anya, Mike, Ninin, Edo, Iskandar, Eko, Yoshi, Acha, Fanny, Ney). Setengah lebihnya meminjam istilah dan pemikiran mereka. Pertama kali dimuat di festinoverini.wordpress.com pada tanggal 16 Desember 2013*

 

divinyls* (mengoleksi vinyl sebagai laku asketis. pret!)

broken records

*jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan seorang wartawati femina. who turned out to be both a conceited bitch and a fucking idiot. ive retained all her original misspellings and idiocy. oleh Mikael Johani. pertama kali diterbitkan di sini.

 

Sejak kapan mulai mengoleksi plat

sejak 1992, begitu pindah ke australia untuk sekolah kelas 1 sma.

Kenapa plat

pindah dari koleksi kaset ke koleksi plat itu seperti pindah dari biasa nonton di laptop terus nonton di bioskop. good vinyl covers are just beautiful, apalagi yang double-fold, seperti pavement’s wowee zowee. atau yang ada fancy detailsnya, seperti actual zippers on the rolling stones’s sticky finger, or the sliding door cover on some girls. semua detil desain jauh lebih kelihatan, seperti tanduk-tanduk setan di sampul slayer’s reign in blood.

Jumlah

ratusan tapi ga pernah dihitung. i used to be obsessive about records, but not obsessive compulsive. koleksi yg sekarang juga sudah di-cull biar lebih gampang pindah dari australia balik ke jakarta dan juga karena dengan sengaja ingin membuang records yang tidak pernah benar2 saya dengarkan.

Koleksinya dari mana saja

berbagai macam record stores, second-hand and new, mail-order. mencuri jg pernah, single sex pistols holiday in the sun dari uni market. flea markets. jalan surabaya. mengemis punya orang tua teman. menemukan satu box penuh old black sabbath records di flat sewaan di sydney.

Belinya sekarang dimana sih?

mail order/online. kaskus. jalan surabaya yang udah overpriced dan koleksinya sdh habis diborong david tarigan dan dj2 ibukota circa 2004. ak.sa. reus. harga plat2 tety kadi, titiek sandhora, etc cuman 7rb-10rd di tahun 2000, pas 2004 apalagi setelah parc buka, ada monday mayhem, bisa jadi 100rb lebih!

Harganya berapa

macem2. dari $1 di bargain bins sampai priceless kata mastercard buat yg collectibles. personally i dont give a shit about collectibility (anymore). or limited editions, coloured vinyls, bla bla. heavy vinyls (180 gr) i like though. they seem to sound better than thin krupuk udang RCA ones. (lihat juga jawaban pertanyaan sebelumnya.)

Koleksi paling valuable, why

paling valuable yg merepresent a special time in my life, both happy and depressing. i love my morrissey’s education in reverse album bukan karena titelnya misprint dari versi australia viva hate, tp karena lirik2nya yang sentimental merepresentasikan hampir sempurna sentimentalisme (hidup) saya waktu sering mendengarkan album itu. waktu itu saya tinggal di sydney, kota yg desperate untuk dianggap multicultural tapi masih sempat ada race riot di tahun 2005. di situ sebagai orang indonesia saya merasa diterima, bisa makan ayam goreng 99 setiap hari kalau mau, tapi tetap saja hidup itu sedih dan susah. makanya lirik lagu bengali in platforms, yang membuat morrissey sempat dituduh rasis/a nazi, malah menyentuh banget buat saya. “life is hard enough when you belong here.” yeah! life is hard enough everywhere!

i also love my sandi shaw hello angel album almost for the same reason. morrissey wrote some of the songs in this album, reviving sandie shaw’s washed-up 60s starlet career. (habis itu sih tenggelam lagi wakakak.) none better than “please help the cause against loneliness”, the best song morrissey never officially released.

saya juga suka banget album the dwarves, blood guts & pussy. all the songs in this album seem to tell the story of the first year when i moved back from sydney to jakarta: back seat of my car, let’s fuck, drug store, fuck you up and get high, etc. even the album title, blood guts & pussy!

Cerita menarik selama mengoleksi (mis : rebutan dengan kolektor lain, koleksi lama ditawar orang dengan harga tinggi, belinya di luar negeri, hilang dicolong maling, dll)

kebanyakan plat saya memang belinya di luar negeri.

mencari/beli plat is never interesting, its actually always boring. browing through endless dusty stacks of the same records youve seen so many times just in the faint hope you find say, frank zappa’s weasels ripped my flesh in its original pressing. pret. id rather fuck you up and get high anytime!

Perawatan

vinyls actually really tough. you buy a cd, it gets scratched, thats it. vinyl scratches just make the vinyl crackles a bit, sometimes jumps. audiophiles call that character. ive seen a jalan surabaya vendor cleans his vinyl with rinso-ed water and a hard brush! that was when i asked if i can get a cleaner copy of nomo koeswoyo’s solo album “no koes”, album yg dia buat gara2 ngambek dikeluarin dari koes bersaudara.

Disimpan dimana

under my stereo.

Rencana ke depan, koleksi ini mau diapain

play them.

istri bagaimana, keberatan atau mendukung, why. pernah punya cerita seru dengan istri soal hobi mengoleksi ini?

unlike other people i actually marry someone i like. so no, my wife likes playing my records. she has her own favorites (currently curtis counce) and im not precious with my records so she can scratch em all she likes. even my 18-month old daughter loves listening to my records. her current fave is the b-52’s debut album, side two, especially there’s a moon in the sky (called the moon). haha, that IS a classic children’s non-sequitur!

Plat yang lagi dipengenin banget saat ini, why

the magnetic fields – 69 love songs. a box set with all the original liner notes/booklet. the original cd boxset had 3 cds with 23 songs on each cd. this is a bit lopsided, 69 songs on six 10” vinyls. still i want it bad. i love the album, which i bought online in 2000 from cdnow. i put in a glowing review of it in a+, which i was editing at the same time, to no effect hahaha. i want it even more now since i cant afford it!

Boleh dipinjem ga?

theres a saying, people who lend books are stupid, and those who borrow then return them are stupider. same goes for vinyls. except in deeper degree of stupidity.

*gambar dari sini