Inhibisi: Screening Film Pendek Bertema Keluarga

Pada Kamis 23 April lalu, Popteori mendapat kesempatan untuk terlibat dalam screening film daring yang digagas Sinecovi; sebuah portal screening film produk dari para mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) Semarang, dengan tema Inhibisi.  Fenomena larangan yang terjadi dalam lingkup keluarga, menjadi gagasan program bertajuk INHIBISI. Di screening ini dipilih dua film yaitu Sunday Story dan A Dinner with Astronaut.

A Dinner with Astronaut – Hantu Orde Baru di keluarga Indonesia

Film ‘A Dinner with Astronaut’ yang disutradarai oleh Rein Maychaelson ini, adalah sebuah film pendek bergenre komedi yang menghibur sejak awal. Bercerita tentang satu malam natal yang biasa saja saat satu keluarga ingin merayakannya dengan makan malam. Tiba-tiba, makan malam mereka dikejutkan oleh kedatangan astronot yang roketnya nyangsang di atap rumah.

Walau terkesan menghibur dan lucu tapi sebenarnya film ini mengisyaratkan masih hadirnya hantu Orde Baru di potret keluarga Indonesia jaman now. Hantu ini memang tidak mau (mudah) pergi, bagaimana tidak? Hampir setiap hari (tanpa siaran niaga) televisi menayangkan seri-seri drama keluarga heteronormatif yang bahagia. Orang yang hidup di era Orde Baru terutama dekade 80-an dijejali dengan seri seperti Rumah Masa Depan, Si Unyil, Losmen, Jendela Rumah Kita, Keluarga Rahmat dan banyak lagi yang secara halus membuat standar mengenai keluarga ideal saat itu.

Keluarga menjadi mikrokosmos tatanan negara yang patriarki dan heteronormatif. Ayah sebagai kepala keluarga adalah negara dan patron untuk anggota keluarganya , alias rakyat. Ayah boleh malas dan pamrih, tapi ayah harus dan selalu punya kontrol akan istri dan anaknya.

Hal yang sama dapat terbaca di film ‘A Dinner with Austronot’. Secara satir tersirat bagaimana ayah sebagai negara memperlakukan anak dan istrinya, sebagai warga negara, dengan semaunya sampai datang bantuan asing berwujud astronot. Di saat ayah kehilangan kendali pada istri dan anaknya, tanpa ragu dia menyingkirkan sang astronot yang telah menjadi alat bantu keberlangsungan keluarga itu. Ini mirip dengan apa yang dilakukan Orde Baru yang seakan ingin mengesankan kemandiriannya dengan menggusur “unsur asing” bernama kapitalisme lewat larangan siaran niaga di televisi. Tapi, negara berutang di balik jargon ‘swasembada pangan’ atau ‘pembangunan’.

Sunday Story (Kisah di Hari Minggu) – kerja emosional seorang ibu yang sering luput dari perhatian

Film pendek yang disutradarai dan ditulis oleh Adi Marsono ini mengangkat pentingnya peran ibu rumah tangga di dalam keluarga, mengingatkan kita bahwa ibu rumah tangga adalah bentuk kerja (labour), yang sama pentingnya dengan kerja-kerja lain di luar rumah. Jika meminjam istilah dari feminis-sosiolog Arlie Russel Hochschild, kerja ini disebut sebagai emotional labour. Ia mengatakan, bahwa jenis kerja seperti ini sangat sering dialami oleh perempuan, baik di ranah domestik maupun profesional. Efeknya adalah burnout, yang seringkali berimbas langsung pada kesehatan jiwa. Kerja emosional tidak punya kontrak dan jam kerja, dan tidak mendapatkan imbalan langsung berupa upah.

Isu ini diekspresikan dalam alur cerita sederhana sepanjang 8 menit. Kita mengikuti keseharian seorang ibu rumah tangga (diperankan dengan sangat baik oleh Erythrina Baskorowati) menyiapkan anak perempuannya sekolah, membangunkan suami, menyuruh anak lelaki mandi. Si suami (Rizky Sasono, juga sangat natural) tidak beranjak dari tempat tidurnnya, sampai si istri menyiram seember air saking kesalnya. Anak lelakinya bukannya mandi untuk bersiap sekolah, malah pergi memancing. Di akhir cerita (dan juga dinyatakan pada judul filmnya), sang istri akhirnya sadar bahwa hari itu hari libur. Rangkaian cerita ini menggarisbawahi bahwa pekerjaan rumah tangga tidak kenal hari Minggu, tidak kenal libur.

Hal lain yang saya tangkap adalah akting yang baik dari para pemain sampai sanggup menarik skrip lebih dalam dari intensinya semula. Kedataran ekspresi suami menyiratkan bahwa lupa hari libur ini adalah suatu hal yang sering terjadi (jadi ingat iklan/film pendek Ramayana Department Store, tentang nenek yang mengidap dementia dan mengira tiap hari adalah lebaran, jadi sekeluarga mengikuti saja kemauannya, pura-pura merayakan lebaran). Ia membiarkannya saja sampai si istri sadar sendiri, mungkin terlalu malas dan lelah untuk bicara. Ketiadaan dialog antara suami-istri, merupakan cerminan nyata dari banyak sekali kehidupan perkawinan. Makna dipertukarkan lewat gerak tubuh dan ekspresi.

Sayangnya, pembagian peran gender dalam keluarga dibuat kaku dan konservatif. Anak perempuan rajin dan penurut. Anak lelaki digambarkan lebih bangor dan bebas. Kenapa nggak anak cewek yang kabur main sementara yang cowok yang diseragamin? Suami mencuci piring diposisikan sebagai sebuah ekspresi sayang suami berusaha menghibur si istri yang stress (padahal cuci piring kewajiban). Apa mungkin memang begitu Adi Marsono melihat kenyataan di sekelilingnya? Apakah dia lelaki konservatif yang sekedar berempati pada ibunya, melihat perempuan hanya sebagai korban tak berdaya, tanpa kapasitas agency sama sekali? Karena itukah ia tidak bisa melihat kemungkinan peran gender yang lebih seimbang di ranah domestik?

Gentefied, Kisah Gentrifikasi di Jaman Woke

Latin Amerika terutama Meksiko bukan hanya tentang telenovela, Thalia dengan trinitas Marianya  (Marimar, Maria Mercedes, María la del Barrio). Di dekade 90an Indonesia diramaikan dengan budaya hip-hop, saya langsung kepincut sama musisi-musisi Amerika latin. Mulai dari Cypress Hill, A Lighter Shade of Brown, juga semua artis yang ada di soundtrack film ‘I Like It Like That’. Perpaduan budaya modern dengan budaya klasik latin Amerika menjadi hal yang unik dan menarik.

Lalu jauh ke depan sampai ketika saya mulai berlangganan Netflix saya selalu mencari seri-seri menarik tentang kehidupan latin Amerika atau setidaknya yang mengedepankan karakter latin Amerika seperti Blanca, Mother House of Avengelista di serial Pose. Blanca yang transgender, brown (latin), dan mengidap HIV adalah satu sosok yang terkena marjinalisasi berlapis-lapis. Lalu ada serial coming of age latin Amerika; On My Block yang menggambarkan bagaimana remaja latin Amerika growing up di Los Angeles yang keras, menghadapi pilihan apakah harus masuk gangster atau menjadi anak biasa-biasa saja yang menjalani cinta remaja serta pertemanan dengan kawanannya. Menurut saya film ini bisa diadu bagusnya dengan seri Sex Education.

Ketika drama korea Crash Landing On You selesai dan ada Itaewon Class, ternyata kemudian ada yang lebih real dan woke dari Itaewon Class yaitu Gentefied. Gentefied adalah sebuah serial kehidupan keluarga Morales, latin Amerika yang berusaha mempertahankan kedai Taco mereka dari perubahan jaman dan pola budaya akibat gentrifikasi. Masalahnya hampir mirip dengan Itaewon Class. Mereka sama-sama bicara mempertahankan kedai namun dengan alasan yang beda. Ketika kedai di Itaewon Class ingin menjadi hype namun Mama Fina, kedai di Gentefied, justru ingin bertahan dari serangan para hipster dan berusaha tetap menjadi autentik.

Kedai Taco Mama Fina dimiliki oleh seorang abuelo Morales yang dikelilingi cucunya. Pertama ada Erik yang punya masalah toxic masculinity dan selalu mencoba menyelesaikan masalah sendiri. Lalu ada Chris yang dianggap white-washed latino dan terakhir ada Ana seorang seniman gay feminis.  Penuh dengan narasi-narasi woke serial Gentified menceritakan bagaimana mereka akhirnya secara perlahan menyerah pada gentrifikasi yang datang dari segala arah.

Nonton lalu dengerin playlist lagunya di sini

Downsizing: Menjadi Kerdil Untuk Kepentingan Siapa?

Setiap orang pasti pernah mengalami masa menyerah pada lingkungan dan ingin pergi dari masalah. Eskapisme ini bisa berwujud dalam banyak bentuk. Ada yang akhirnya memilih untuk mengunjungi alam tidak sadar alias mabuk dengan berbagai substansi, ada juga yang bertindak lebih konkret dengan memilih kehidupan yang jauh berbeda dari kesehariannya, misalnya pindah dari kota ke desa. Tapi, apakah pelarian ini berhasil menjadikan hidup seseorang jadi lebih baik?

Downsizing adalah film komedi fiksi spekulatif yang rilis di tahun 2017. Film yang dibintangi Matt Damon ini melihat eskapisme dari kacamata Barat. Di film itu, seorang ilmuwan dari Skandinavia menemukan teknologi untuk menyusutkan tubuh manusia. Seperti liliput di cerita Perjalanan Gulliver.

Teknologi itu tadinya dibuat dengan maksud menjaga keberlangsungan bumi yang mulai overpopulasi satu mahluk hidup: manusia. Dengan mengecilkan tubuh manusia diharapkan kebutuhan akan sumber daya alam seperti makanan, energi, air, dan lain-lain jadi lebih sedikit.

Alih-alih menjadi cara untuk menyelamatkan bumi, teknologi yang disebut dengan downsizing itu justru hanya menjadi alat untuk menyelamatkan manusia, satu species makhluk hidup yang dianggap utama dalam narasi descartesian. Pertanyaan selanjutnya, manusia yang mana?

Orang di seluruh dunia berbondong-bondong minta di-downsizing karena dunia mereka sudah mengibarkan bendera putih. Aset yang dimiliki di kehidupan awal mereka konversi ke dunia mini sehingga nilainya menjadi berlipat ganda. Lagi-lagi kapitalisme bicara.

Film ini penuh dengan lelucon yang pintar. Dari awal, ia terlihat ingin menertawakan ketamakan warga kulit putih kelas menengah atas yang tidak pernah merasa cukup, yang bosan dan membosankan, sehingga ketika dihadapi dalam situasi ketidak-berdayaan masih ingin jadi pahlawan dengan membina hubungan romantis dengan perempuan Asia berkebutuhan khusus. Matt Damon berhasil memerankan tokoh pecundang yang boring dan naif. Sayang, dia tidak mati saja ketimbun batu di akhir, malah tobat dan rujuk sama pacar barunya. Selain dia ada deretan aktor seperti Christoph Waltz, Kristen Wiig, Laura Dern, Jason Sudeikis, dan Neil Patrick Harris.

Love Alarm: Alarm Pengingat Ekses Teknologi Pada Interaksi Sosial Manusia

Kalau dunia barat punya Black Mirror sebagai rambu-rambu ekses teknologi pada kehidupan sosial manusia ‘in the near future’, asia juga kini meresponnya dengan cara-cara yang lebih subtle namun juga tetap mengerikan. Salah satunya dalah sebuah serial drama korea Love Alarm yang tayang di Netflix.

Cerita ini ditandai dengan ditemukannya sebuah aplikasi Love Alarm. Aplikasi yang menghubungkan perasaan manusia dengan smartphone hingga bia seseorang yang dia taksir berada dalam radius 10 meter dan orang itu juga terdaftar dalam aplikasi Love Alarm, maka alarm di smartphone-nya akan berbunyi.

Love-Alarm-Season-1-Netflix-Title-Poster

Karakter tokoh utama di drama ini adalah Kim Jo-jo yang diperankan Kim So-hyun. Seorang gadis ceria yang menyimpan sejarah kelam dan diwarisi hutang keluarga, yang menyalakan Love Alarm milik model ganteng kaya raya dengan keluarga yang tidak harmonis; Hwang Sun-Oh. Jo-jo juga menyalakan Love Alarm milik seorang SJW, Lee Hye-yeong sahabat Sun-Oh.

Segala konflik dalam drama ini mengikuti pakem drama Korea yang sudah ada, tapi menariknya justru ekses aplikasi Love Alarm ini, karena lambat laun menyalanya alarm cinta itu menjadi sebuah afirmasi dari perasaan lawan jenis atau pasangan. Bahkan lebih jauh lagi menjadi sebuah currency, karena bila seseorang alarmnya dinyalakan ribuan orang karena saking charmingnya dia akan memiliki badge dan diberi fasilitas-fasilitas khusus, seperti membership klab dan diundang ke event-event heits -mengingatkan kita pada episode Nosedive di serial Black Mirror-.

Ini menyebabkan keuntungan akan selalu dimiliki oleh orang yang populer juga menarik sedangkan orang yang tidak populer akan semakin terpinggirkan seperti menggambarkan orang yang punya privilese akan semakin beruntung kebalikannya orang serba kekurangan akan semakin terpinggirkan, bahkan puncaknya banyak orang yang bergabung dengan komunitas Zero Ring dan memutuskan bunuh diri masal. Zero Ring adalah orang-orang yang Love Alarmnya tidak pernah berdering alias gak ada yang naksir. Ini  menyebabkan protes besar-besaran oleh sebagian orang pada aplikasi Love Alarm.

Ada sebagian orang lagi seperti Lee Hye-yeong yang memutuskan untuk mengabaikan ketergantungannya pada Love Alarm dengan meng-uninstall karena ingin merasakan bagaimana hidup tanpa aplikasi tersebut. Ide seperti nostalgia pada masa lalu ini juga pernah disajikan sebuah film rom-com Filipina, Ang Babaeng Allergic Sa WiFi (2018) yang menceritakan ketika seorang perempuan menderita alergi pada sinyal wifi dan akhirnya bernostalgia hidup di daerah terpencil tanpa sinyal wifi dan embracing hidup tanpa teknologi, ini untuk sebagian orang Indonesia mungkin tidak sulit dibayangkan karena masih banyak orang yang tidak menikmati hidup dengan sosmed, teknologi, dan atribut-atribut kehidupan modern. Atau barangkali justru mereka menikmati hidup tanpa perasaan FOMO bila tidak melihat timeline?

Black Mirror: Bandersnatch, pilih sendiri reviewmu

black-mirror-bandersnatch-endings-explained

Desember adalah saatnya berbagi kado akhir tahun. Seperti tidak mau ketinggalan, Netflix juga memberikan kado buat pelanggannya dengan meluncurkan satu produk baru dari antologi sci-fi Black Mirror. Seperti halnya episode khusus “White Chrismas”, kali ini Black Mirror juga hadir dengan episode khusus yang bentuknya adalah satu film panjang. Bahkan bisa jadi panjaaaaaaang sekali. “Bandersnatch” demikian judul dari film Black Mirror rilis pada tanggal 28 Desember 2018, adalah satu kado akhir tahun dari Netflix yang istimewa. Karena film ini menawarkan pengalaman  menikmati tontonan yang berbeda. Berbeda karena dengan bantuan teknologi, kini kita bisa menikmati  tontonan dengan cara yang berbeda, yaitu tontonan dengan genre ‘pilih sendiri ceritamu’. Cara menikmati cerita dengan gaya pilih sendiri sebenarnya sudah dilakukan seperti pada buku “Choose Your Adventure”. Begitu juga menikmati semua hal yang ada sekarang ini. Dimana sekarang kita bisa lebih lentur memilih tontonan, musik, bahkan berita dengan layanan streaming di internet.

Nah sekarang, saatnya kamu yang memilih. Review siapa yang ingin kamu baca?

Ratri Ninditya

Edo Wallad

Malam Jumat bersama para Laki Kebelet Macho

Poster-film-Sabtu-Bersama-Bapak-1

Di satu malam Jumat yang ceria, beberapa penulis Pop Teori nonton Sabtu bersama Bapak. Karena banyak kesamaan pendapat, kami kumpulkan dalam satu postingan ini, dengan 3 angle dari 3 orang yang beda.

rinduayah sekedar tagar (Edo Wallad) 

Bapak saya meninggal di bulan Ramadhan. Ada banyak penyesalan yang saya simpan pada beliau sampai-sampai ketika beliau koma saya tidak mau pergi dari rumah sakit dan akhirnya bisa menemani dia di saat terakhir. Meski begitu penyesalan masih tersimpan karena ada banyak yang belum saya sampaikan pada dia. Saat itu saya harus berusaha mengikhlaskan hati saya supaya beliau bisa pergi dengan tenang ketimbang harus menanggung sakit yang luar biasa. Tapi bertahun kemudian, jika saya bisa mengulang waktu, saya merasa satu hari lagi bersamanya adalah hari yang berarti. Saya tidak punya privilege untuk punya rekaman video bapak yang bisa saya putar di tiap hari sabtu makanya saya berharap film ‘Sabtu Bersama Bapak’ akan jadi film pengobat #rinduayah. Apalagi film ini adalah film yang dapat panggung di waktu lebaran.

Monty Tiwa sebelumnya pernah menjadi sutradara ‘Test Pack’ yang adalah satu film sangat bagus menurut kami dan sangat bisa relate ke orang-orang yang #rindujadiayah namun lagi-lagi tidak punya privilege, untuk jadi ayah. Berbeda dengan Satya dan Cakra. Mereka berdua punya privilege untuk menunggu hari sabtu agar bisa menonton rekaman video almarhum si bapak dan khusus untuk Satya dia punya privilege lain, jadi orang yang punya segudang prestasi dan akhirnya tinggal di Paris bersama istri dan dua orang anak laki-lakinya. Sayang sekali #rinduayah yang digadang-gadang menurut saya cuma jadi sekadar tagar dan judul ‘Sabtu Bersama Bapak’ jadi sekadar judul janji palsu.

Premis meninggalkan pesan untuk dibaca/ditonton setelah orang tersebut mati bukan hal yang baru dalam sastra dan film populer. P.S. I Love You melakukannya dalam bentuk surat. Il Mare dan adaptasi Hollywoodnya, The Lake House, adalah variasi lebih advance dari komunikasi lintas jaman karena dua pihak bisa bales-balesan walaupun dari dua timeline yang beda. Anjali di ‘Kuch Kuch Hota Hai’ menunggu setiap hari ulang tahunnya agar dia bisa baca surat dari almarhum ibunya yang membawa dia akhirnya menjodohkan sang ayah dengan cinta lamanya. Ibu Anjali tidak hanya sekadar memberi nasehat template yang bisa didapat dari guru bela diri (sang bapak di film sabtu bersama bapak seorang taekwondoin) tapi ibu dari Anjali bisa bercerita panjang lebar tentang persahabatan ayahnya dengan seorang istimewa yang jadi inspirasi nama Anjali. Pesan yang disampaikan ibu tidak normatif dan harfiah tapi bisa membuat Anjali nekad untuk mencarikan bapaknya jodoh. Tekad yang ditanamkan secara subtle itu tidak bisa dilakukan di pesan-pesan moralis dan normatif Mario Teguh bertampang Abimana. Pengulangan premis nggak pernah masalah, tapi apa Sabtu bersama Bapak bisa membuat ini lebih menyentuh? Padahal menurut saya ada banyak hal yang bisa menyentuh dari kenangan anak laki-laki pada almarhum bapaknya yang bisa jadi tearjerker. Seperti saya yang selalu minta tidur dengan baju ayah ketika ayah sedang tugas keluar kota.

Ketika media yang menjadi alat pesan itu adalah sebuah video, seharusnya dia bisa lebih lincah bukan sekadar rekaman bapak duduk seperti seorang ketua parpol mengucapkan selamat idul fitri di stasiun TV. Bro… kenapa si bapak gak merekam tips-tips hidup yang lebih praktis dan dalam angle yang tidak statis seperti cara memaku dengan palu yang benar, cara mengikat dasi, cara menulis surat untuk cewek  gebetan atau bahkan mengajarkan sang anak bagaimana mengganti ban mobil yang kempes. Mungkin pesan yang disampaikan jadi sangat maskulin namun kesannya subtle dan tidak formal. Bahkan adegan sang ayah mengajarkan taekwondo pada Satya ada baiknya ada di rekaman video, bukan rekaman ingatan. Tapi akan lebih bagus lagi pesan yang disampaikan ayah bukanlah pesan yang melulu maskulin. Seperti bagaimana mengganti popok bayi, mencari kutu di rambut anak, menanam bunga di taman atau teknik memasak cepat dan mudah -ini dibutuhkan Satya ketika ditinggal istri di luar negri-.
krisis maskulinitas (Ratri Ninditya)

Nampaknya Adhitya Mulya punya krisis maskulinitas dan Monty Tiwa mengamini konsep-konsep kelakilakian dia. Sabtu bersama Bapak jadi film yang dijejali dengan prinsip “lelaki sejati” ala iklan rokok dan minuman energi, ceramah-ceramah nggak jejek, dan karakter yang nggak bikin simpatik, karena mungkin penulisnya terlalu malas untuk memahami karakter yang ia tulis sendiri.

Sebelum diluncurkan film ini terlihat sangat menjagokan premisnya. Sehingga kami otomatis menonton karena ingin mencari pesan apa sih yang bapak itu sampein? Pasti ada sesuatu yang sangat spesial. Ternyata, pesan bapak adalah kalimat-kalimat klise yang berulang kali bisa kita baca di buku pelajaran agama Islam dan buku-buku self-help yang semarak menghiasi toko buku Gramedia.

Sabtu bersama Bapak hanya mengulang prinsip prinsip kuno yang menganggap suami itu adalah imam, adalah breadwinner keluarga, adalah satu-satunya orang yang menentukan keluarga ini mau dibawa ke mana. Laki-laki harus selalu berprestasi (adegan sejembreng piala di rumah lengkap dengan ijazah-ijazah universitas terkemuka di Bandung itu seperti sebuah deskripsi malas yang dilakukan banyak sinetron untuk menunjukkan pencapaian). Laki-laki harus kuat, harus ada banget tuh adegan latihan taekwondo. Bapak punya dua anak lelaki. Anaknya si Satya punya dua anak lelaki juga. Kenapa nggak cewek? Yang paling penting, laki-laki harus bisa melengkapi dirinya sendiri. Pesan terakhir itu dikemas dalam film ini seperti sebuah filosofi kehidupan pamungkas yang dinyatakan sambil ada background vokal seriosa dan angin sepoi-sepoi pantai ancol. Tapi buat kami, gitu aja nih?

Hal ini menguatkan keyakinan kita, bahwa penulis dan sutradara punya krisis maskulinitas akut yang mereka tidak sadari. Kenapa? Kalo sadar, ya bikin dong karakternya lebih nelongso, lebih gagal, lebih penuh beban pada pundak brototnya. Sayangnya, semua karakter cowok di sini serba flat (apalagi karakter ceweknya). Mana penderitaannya? Mana strugglenya? Nampaknya jomblo 30 tahun dan ditinggal kabur beberapa hari oleh istri udah jadi ultimate cobaannya mereka. What’s the big deal?

Krisis maskulinitas akut juga sangat literal keluar dalam dialog-dialog di film ini: “istri adalah perhiasan”, “kamu telah gagal jadi istri”, “saya mau kamu jadi pacar saya” (bukannya nanya, mau gak kita pacaran), “benerin dulu masakan kamu”, “saya udah kasih rumah buat kamu itu sia-sia?”. Nggak ada kalimat/aksi balasan di cerita ini yang setara buat nimpalin makian seksis itu. Bahkan, Satya nyadar dosanya maki-maki istrinya saat liat istrinya nanya resep sama ibunya sambil sit up. Tuhan, tolonglah hambaMu, sampai kapan endonesa mau nganggep kalo istri yang baik adalah yang masaknya nyamain masakan ibu si suami, yang di rumah ngurus anak, jaga bodi tetep singset, dan nurut rencana yang disusun suami?

Lalu, yang lebih parah lagi, film ini tidak memberi ruang buat kami untuk mengenal sosok sang bapak. Siapa dia selain tukang ceramah dalam televisi yang mukanya kebetulan ganteng? Film ini, yang niatnya mau memuliakan figur bapak justru menempatkan dia sebagai orang yang control freak, diktator dengan segudang ego yang berkedok sayang istri anak, mirip para lelaki Corleone di film The Godfather, yang (kami yakin ini bukan kebetulan) dijadikan pajangan di kantor Cakra. Kode lain sepertinya lebih tidak sengaja muncul di saat Satya tangannya patah ketiban “pipa” yang jatuh dan dia nggak mau kasih tau istrinya (phallus yang jatuh, kelaki-lakian yang gagal), saat yang bikin Cakra jatuh cinta adalah sepatu hak tinggi seorang perempuan (simbol seksual berkedok religi yang super obvious. lagian bukannya kalo di kantor mau sholat lo ganti sendal jepit yeh).

Dari segi casting, dua hal yang sangat mengganggu. Kenapa Ira Wibowo harus jadi versi muda si ibu juga? Kedua, semua talent anak kaku dan ngeselin. Ada lagi, semua bakat potensial aktor dan aktrisnya sama sekali nggak digali, atau lebih tepatnya, nggak tergali karena karakterisasi cetek kurang riset. Mustinya kita bikin tagar baru lah, #rinduriset #rindubacabuku #rindunonton biar penulis ama sutradaranya bisa lebih menghargai profesi mereka sendiri.

sabtu bersama bapak = tuesdays with morrie? (Festi Noverini)

Pertama kali denger judul film ini tentunya kami nggak bisa melepaskan kecurigaan bahwa bukunya si Adhitya Mulya amat sangat ‘terinspirasi’ oleh “Tuesdays With Morrie”-nya Mitch Albom. Antara ya dan tidak. Saya sampai harus membaca ulang buku tersebut, which turned out to be a waste of my precious time (we’ll get to there in another review).

Adhitya mengikuti pola yang sama dengan Albom. Anak muda cemen yang berpikir bahwa prestasi adalah segala-galanya kemudian tercerahkan setelah belajar dari yang lebih tua, lebih bijaksana. Satya dan Albom sama-sama terjebak materialisme karena ketakutan kehilangan waktu yang berharga. Dua-duanya in demand, dua-duanya hotshot, dua-duanya clueless dan kurang wawasan. Adhitya dan Albom justru semakin meneguhkan stereotip bahwa mereka yang hidupnya penuh prestasi ya pada akhirnya akan jadi cetek aja karena #kurangbelajar #kurangpikir #kurangwawasan. Yang mereka tau ya cuma itu-itu aja. Walaupun gak se-patriarkal Adhitya, Albom juga sama konservatifnya (“This is okay with you, isn’t it? Men crying?”) Klisenya sih sama. In the end “Love wins. Love always wins.” Pret. Semacam chick lit versi laki-laki. Can we please come up with a term for this? Biar seksisnya adil.

Setelah hampir 20 tahun lalu berlalu, gak ada perubahan yang berarti dari buku-buku genre ini. ‘Tuesdays’ diterbitkan tahun 1997, ‘Sabtu’ tahun 2014. Dua-duanya sama-sama berbagi kisah inspiratif dari self-absorbed privileged people. Nyaris nggak ada tuh hubungan mereka dengan atau bagaimana mereka melihat dunia luar (kalaupun ada di ‘Tuesdays’, ya rasanya cuma sebagai alasan nggak esensial), yang ada cuma “self, self, self”. Hasilnya ya dua anak yang clueless bin teoritis karena yang dipelajarin cuma kuliah satu arah dari video si Bapak.

Lucu bahwa kami melihat Bapak sebagai seorang control freak karena Albom pun juga seorang control freak.
“Instead I buried myself in accomplishments, because with accomplishments I could control things, I could squeeze in every last piece of happiness before I got sick and died, like my uncle before me, which I figured was my natural fate.”

Dimana ‘Tuesdays’ (dan ‘PS I Love You’, ‘Il Mare’, ‘The Lake House’, Kuch Kuch Hota Hai’ dll) menghadirkan pengulangan kehadiran si orang lain sebagai tokoh utama lainnya, di Sabtu si Bapak cuma jadi perhiasan aja, sama seperti gimana dua anak si Bapak memandang perempuan-perempuan di kehidupan mereka seperti perhiasan. Menyedihkan. Si Bapak nggak pernah benar-benar ‘hadir’ dalam hidup mereka. Cuma jadi legenda, mitos dan silabus yang ditunggu setiap Sabtu tapi muncul cuma secuil di film ini. Satu-satunya adegan yang sedikit membuat saya tersentuh ya cuma saat Satya bermimpi ketemu Bapaknya dan melapiaskan kemarahan ke Bapaknya karena pesan-pesannya “misleading” (lha lu aja yang gableg mikir kok literal amat). Ada sedikit ketulusan walau itupun juga diragukan apakah karena bagian itu ditulis lebih baik atau memang karena Abimana aktor yang ok aja (karena Arifin, yang emang punya tendensi lebay, agak lebay di sini).

Satya, Saka dan ibunya lebih terlihat sebagai 3 manusia yang hidup sendiri-sendiri yang dihubungkan oleh ilusi “the Great Bapak”. Entah apakah novelnya juga sepatah-patah ini atau memang penyutradaraan filmnya saja yang patah-patah. Dari Satya, loncat ke Saka, loncat ke Ibu, semua dengan isunya masing. Sure, setiap orang punya isunya masing-masing dan idealnya memang setiap tokoh dihadirkan utuh tanpa ada yang jadi lebih utama dan selebihnya jadi figuran. Tapi ini cemplang banget lho, kayak mata lo tiba-tiba disenterin di ruang gelap pekat, gak ada transisinya. KZL kan? Ditambah akting semua pemain di luar Abimana yang kayak shooting FTV kejar setoran, kayak si dua anak buah gengges yang jadi bikin kami mikir, ini kantor atau playgroup? Lengkap sudah garingnya.

Cover Version, yes or no?

cover-version

Kalau saya nyetir didampingi istri saya sepanjang jalan yang ‘unpredictable’ dari gandul-gandul sampai Gedung Victoria Blok M kami ditemani oleh radio Delta yang dulu pernah jadi tempat saya kerja. Sepanjang jalan itu kami akan sing along pada lagu yang diputar. Bukannya kami berdua super perhatian sama musisi-musisi yang dapat heavy rotation di radio. Tapi justru karena mayoritas lagunya memang sudah tidak asing di kuping.

Oh iya, balik lagi ke Delta, sekarang radio ini bukan radio lagu oldies kok. Jadi kenapa yang diputar mereka masih akrab di telinga? Ternyata lagu-lagu yang heavy rotation di radio itu semua lagu pop lokal lama dengan suara dan musik yang baru.

Titi DJ bawain ‘Bila Kuingat’ dari Lingua, Andien bawai lagu ‘Rindu’ dari Warna, Mike Mohede nyanyi ‘Sahabat Jadi Cinta’ milik Zigas, Marcell bawain lagu ‘Mau dibawa Kemana’ dari Armada. Yes you right! Mau dibawa kemana musik pop jaman sekarang? Mayoritas lagu yang mengudara adalah lagu daur ulang alias cover version.

Racikan cover version dari dulu memang sering ada di satu album seorang atau kelompok musisi. Tapi itu sejatinya adalah sebuah trik untuk musisi baru biar cepat T.O.P. Nah kalau diva macam Titi DJ nyanyiin lagu Lingua, itu tentu saja masalahnya bukan trik supaya dia terkenal. Bukan juga trik untuk membuat Titi DJ bersahabat dengan telinga anak muda sekarang, bok… Lingua aja top di dekade 90-an. Terus kenapa?

Mungkin jawabannya ada di toko-toko kaset yang sekarang tutup. Karena pencipta lagu itu kan hidupnya dari hak cipta yang nempel di produk fisik. Kalau penjualan RBT, kaset, CD, atau yang lebih baheula PH sudah gak ada, apa yang mereka hasilkan?

Dunia digital memang menawarkan digital store, tapi tetap itu rentan dibajak. Sekali online pasti menjalar ke kuping-kuping commuters yang dengar musik dari HP. Sekarang ada lagi layanan musik langganan seperti Spotify, tapi kalau sharenya dikit mending si pencipta lagu bikin jingle iklan aja deh ketauan.

Musisi tetap hidup dari manggung di inbox, tapi pencipta lagu terpaksa kencangkan ikat pinggang. Sedih memang, tapi sebenarnya walau si pencipta lagu berhak untuk ngeluh karena share mereka ledes, kita bisa balikan lagi, apakabar si NN pencipta Kampuang Nan Jauah di Mato?

Teks: Edo Wallad

Kegagalan generasi menurut Noah Baumbach

Oleh: Ratri Ninditya

Saya menonton While We’re Young dan merasa sangat bersimpati pada kegatalan Noah Baumbach untuk mengkritik generasi Millenials yang acakadut: memuja gaya hidup organik (bukan cuma sayur, tapi semua yang analog dan DIY), nggak takut nikah muda menghambat karir, tapi di sisi lain haus popularitas dan merasa semua bisa dicapai dengan instan. Walaupun ini adalah cerita orang-orang kulit putih dan sangat priveleged di New York, tapi aspirasi dan kegelisahannya kejadian juga sama orang-orang yang sering saya dengar dan temui di Jakarta, yang biasa diberi judul kelas menengah ngehek. Ketakutan Ben Stiller (sebagai Josh) saat melihat Adam Driver (sebagai Jamie) dengan mudah mencuri panggungnya sebagai seorang pembuat film “dokumenter” dengan idenya yang pop, straighforward, dan gampang dicerna, adalah ketakutan kita sama anak-anak baru lulus kuliah luar negeri yang cerdas dan bergelimang piala. Ada sesuatu yang begitu nyata dan menyakitkan dalam ambisi bang Adam untuk mendapatkan titel seniman sukses yang terhormat. Sangat menyedihkan melihat om Ben memandang Adam dan berpikir ia akhirnya jadi panutan juga, jadi orang dewasa terpandang juga, dan di bagian akhir film ketauan ternyata tujuan dedek Adam nggak lebih karena duit istrinya (Naomi Watts, sebagai Cornelia) aja. Yang menarik juga adalah bagaimana pasangan hipster muda ini tau bagaimana harus menampilkan diri di hadapan pasangan uzur dari generasi X (no google, i dont have facebook, we built the table ourselves, he’s always on the move). Seolah mereka tahu apa harapan generasi tuwir waktu mudanya dulu yang nggak pernah kesampaian. Seolah, seperti yang sudah banyak dibahas di artikel-artikel hipsterdom, menjadi hipster adalah tau mana yang keren dan menyelimuti diri dengan aneka atribut kekerenan itu. Menjadi hipster adalah soal menjaga citra dan siapa lo sebenarnya jadi nggak terlalu penting. Dan sebagai sebuah generasi yang muncul dengan menolak nilai dan moralitas generasi sebelumnya, mas Noah merasa generasi hipster-millenials gagal mencapai itu karena semua hanya aksesori tambal sulam. Kita gak jadi masyarakat madani (uhuk) yang lebih baik, kita malah jadi makin buruk.

Tapiiii… masnya kan dateng dari generasi tua. Di sepertiga terakhir film argumennya kerasa seperti keluhan khas orang uzur saat ia menyimpulkan, “Ah dia kan nggak jahat, cuman muda aja.” Lah dia kata anak muda semua oportunis? Wacananya soal parenthood juga ajaib. Menunjukkan orang tua baru yang narsis terasa agak basi dan lebay, karena lo nggak akan punya temen yang nyuruh lo tetep punya anak walaupun tahu lo udah berkali-kali coba dan keguguran, abis itu masih ditemenin pula. Lalu kenapa semua masalah selesai saat pasangan ini memutuskan untuk adopsi anak? Apa kita balik lagi ke anggapan klise kalau kehadiran seorang anak jadi obat krisis rumah tangga? Atau apakah, adegan itu justru sebuah ledekan Baumbach terhadap generasinya sendiri, bahwa pada akhirnya mereka akan kembali ke konformitas: berkeluarga sakinah mawadah warohmah, beranak, dan nikmatin privelege kelasnya sendiri? Buat saya, om Baumbach lebih nyaman mengamini aspirasi populis itu.

 

*Gambar diambil dari sini

Cinta Brutal di Crimson Peak

Oleh: Ratri Ninditya

 

Fiksi gothic menjawab era pencerahan yang kerasa basi karena semuanya pasti-pasti aja. Cerita-cerita bertema gothic selalu merayakan misteri, keajaiban, dan ketakutan. Adanya karya-karya gothic menandakan bahwa di tengah kemajuan ilmu pengetahuan sebetulnya masih banyak yang nggak bisa dijelaskan dengan logika, masa lalu yang menghantui (literally and figuratively), dan brutalismeee (ahay).

Film terbaru yang disutradarai Guillermo del Toro dibilangnya masuk kategori gothic romance, artinya ada cinta-cintaan tapi ada gaib dan darah-darahan. Ramuan cucok untuk nendang pasar mainstream. Oom del Toro ini dilihat-lihat cukup produktif juga ya. Nggak hanya jadi sutradara tapi juga produser, nulis buku, dan nggadunin brondong*. Dengan portofolio sebanyak itu serta cukup mainstream sejak The Devil’s Backbone dan Pan’s Labyrinth, mungkin kritikus-kritikus udah pada gak nganggep karyanya serius lagi. Dan secara box office gue kurang merhatiin sih sukses atau nggaknya.

Cuman karena saya bukan kritikus, tapi komentator (yang doyan drama korea), film dia mah why not bangget. Saya selalu suka romance yang racikannya pas, yang brutal kayak gini, yang badass kaya Edge of Tomorrow, atau yang agak platonis slash badass jugak kayak Pacific Rim. Loh rupanya film yang saya sebutin ada hubungannya sama dia semua yah. Mungkin cucok seleranya ama Oom.

Kenapa racikannya pas, karena di film ini ada Tom Hiddleton. Haha. Nggak ding. Karena film ini ngomongin satu kenyataan yang penting banget yang mendasari cerita cinta itu sendiri: kalo modernitas itu kosong.

((mulai dari sini spoiler)) Di film ini ada cewek anak bisnismen sukses amerikiyin (Mia Wasikowska) yang rela meninggalkan semuanya karena kepincut misteri keinggrisan — sesuatu yang gak rasional, tapi yah, dengan kata lain kepincut pesona licik nan syahdu Tom Hiddleton.

Tom Hiddleton sendiri berperan sebagai tuan tanah Inggris yang darahnya biru tapi dompetnya transparan, alias kere. Dia terpikat dengan segalanya yang kekinian, alias modern, yaitu duit, mesin-mesin, bisnis lah pokoknya. Itu sebabnya dia pura-pura minat sama si Mia supaya bisa morotin bapaknya. Eh ternyata oh ternyata dia punya dosa gede banget di masa lalu yang menghantui dia ampe sekarang. Dosanya itu segede mansionnya yang mau ambruk ketelen tanah liat. Tom Hiddleton punya kakak cewek yang kayak nenek sihir (Jessica Chastain) yang lebih nyeremin daripada hantu-hantu di mansionnya dan demen banget ngatur dedek Tom harus ngapain. Dia juga cemburu banget sama si Mia. Abis mereka ngewi malam pertama pernikahan, eh dia ngamuk. Dah tau dong sebenernya dia itu apa… Yak benar! Incest doi ama adeknya ndiri. Yah seperti banyak cerita gothic lainnya, incest dan kekerasan muncul sebagai sumber teror yang lebih menakutkan daripada hantu.

Cerita punya cerita, si Tom jatuh cinta beneran sama Mia. Sementara Mia udah diingetin terus ama setan-setan dari kecil kalo ati-ati tuh sama Crimson Peak, nama daerahnya si duo incest ini. Namanya juga orang dimabok cinta ya, mana denger doi. Tapi pas ketauan adeknya cinta beneran, ngamuk si Jessica bunuh-bunuhin semuanya, ampe adeknya sendiri kena sasaran, ditusuk matanya!! Ternyata juga mereka selalu memperistri orang kaya, lalu bunuhin setelah dapet uangnya. Emaknya sendiri aja dibunuh. Mungkin karena ketauan incest. Jessica yang selama ini bunuh. Dedek Tom obral pesona ajah. Ciyan dia.

Jadi, balik lagi soal kekosongan modernitas, ihiy. Yang dikejar duo incest ini nggak ada artinya. Itu cuman supaya mereka bisa nerusin kedoknya sebagai kakak-adek normal pewaris mansion itu. Tiap abis dapet duit, gagal benerin mesin, duitnya abis. Hal ini bikin si Tom setres sejadi-jadinya (cini cini nyender di dada aku), dan tobat berbalik ngelawan kakaknya sendiri. The best thing that ever happened to Tom was actually si Mia, yang mewakili semua hal yang anti modern, dengan percaya hantu, gut feeling, dan percaya kekuatan CINTA hahaha. Tom baru bisa jadi hero setelah dia jadi serpihan masa lalu (hantu maksutnya. Tapi beneran bentuk hantunya dia kayak serpihan gitu).

Dengan alurnya yang cukup ketebak dan visualnya yang sangat emejing, film ini tetep memuat pesan gotika yang kuat yang membungkus cerita cintanya, bahwa kadang the only way to move forward is to step back.

 

*im just saying, eh just kidding.

**Gambar diambil dari https://stitchmediamix.files.wordpress.com/2015/09/crimson-peak1-bloody-disgusting.jpg

IKEA Craze & Inlanderisme*

Ikea Craze & Inlanderisme

 

Oleh popteori

 

Setelah membaca kritik penulis kami jadi tergelitik untuk bertanya, apa sih yang ada di kepala penulis ketika dia mengaitkan kebiasaan setelah makan atau buang sampah sembarangan dengan Revolusi Mental? Menurut dia Revolusi itu apa? Semacam mukjizat yang datang dari langit gitu ya?

Mungkin penulis perlu mengintip pendapat Wijaya Herlambang dalam koranopini.com. Mengutip jawaban wawancaranya, ”Pertama, istilah Revolusi Mental ala Jokowi tidak ada hubungannya dengan arti revolusi itu sendiri. Kenapa? Karena setiap revolusi adalah sebuah perubahan drastis dari satu sistem ke sistem lain. Artinya, revolusi selalu dan melulu berhubungan langsung dengan reformasi kondisi sosial dalam waktu yang singkat.”

Berangkat dari konsep bahwa revolusi adalah perubahan drastis dari satu sistem ke sistem lain, jika penulis punya landasan pemahaman ini, tentunya dia akan dengan lebih mudah memahami bahwa selama sistem-sistem yang berjalan di masyarakat masih sama dengan kondisi sebelum pencanangan misi ambisius Revolusi Mental, ya jangan ngarep mentalnya juga otomatis berubah, malih!

Dengan tulisannya yang holier-than-thou, penulis menggebu-gebu sekali mengajukan argumen-argumen menggelikannya.  Salah satunya misalnya penulis menyatakan bahwa IKEA mengusung “semangat global.” Bah, apa pula itu semangat global? Sepahaman kami, global memiliki makna berlaku umum (di seluruh dunia kalau mengacu pada konteks tulisan penulis). Apa yang penulis definisikan dalam “semangat global”-nya tentu tidak terjadi di seluruh dunia melainkan sebuah gambaran akan kebiasaan negara-negara yang umumnya tingkat pendapatan masyarakat tidak jauh berbeda antara satu jenis pekerjaan dengan pekerjaan jenis lainnya sehingga masyarakat dipaksa untuk “self-reliant” karena mereka tidak akan sanggup membayar untuk bantuan, misalnya bantuan rumah tangga. Sekali lagi, sistemnya yang memaksa mereka untuk “self-reliant”, bukan mentalnya yang memaksa.

Alih-alih terdengar global dan modern (apa pula maknanya sifat-sifat tersebut?) seperti keinginannya mengidentifikasikan diri dengan IKEA, si penulis malah terlihat super-Inlander!

Inlander atau Pribumi-Nusantara (“anak dari tanah/bumi Nusantara“) atau Pribumi-Indonesia adalah istilah yang mengacu pada kelompok penduduk di Indonesia yang berbagi warisan sosial budaya yang sama dan dianggap sebagai penduduk asli Indonesia.

Istilah “Pribumi” sendiri muncul di era kolonial Hindia Belanda setelah diterjemahkan dari Inlander (bahasa Belanda untuk “Pribumi”), istilah ini pertama kali dicetuskan dalam undang-undang kolonial Belanda tahun 1854 oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk menyamakan beragam kelompok penduduk asli di Nusantara kala itu, terutama untuk tujuan diskriminasi sosial. Selama masa kolonial, Belanda menanamkan sebuah rezim segregasi (pemisahan) rasial tiga tingkat; ras kelas pertama adalah “Europeanen” (“Eropa” kulit putih); ras kelas kedua adalah “Vreemde Oosterlingen” (“Timur Asing”) yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain; dan ras kelas ketiga adalah “Inlander“, yang kemudian diterjemahkan menjadi “Pribumi”. Sistem ini sangat mirip dengan sistem politik di Afrika Selatan di bawah apartheid, yang melarang lingkungan antar-ras (“wet van wijkenstelsel“) dan interaksi antar-ras yang dibatasi oleh hukum “passenstelsel“. Pada akhir abad ke-19 Pribumi-Nusantara seringkali disebut dengan istilah Indonesiërs (“Orang Indonesia”). [1]

Di masa kolonial, Inlander adalah ejekan orang Belanda buat penduduk asli di Indonesia. Secara etimologis, “Inlander” adalah kata Belanda untuk “Islanders” atau bahasa Indonesianya, “Pribumi”. Sekarang, ejekan “Inlander” ini sudah mengalami perluasan arti, bukan cuma digunakan untuk menjelek-jelekkan orang pribumi oleh overlord kolonialnya, tapi juga oleh sesama orang pribumi sendiri untuk mencela orang-orang katro yang mem-fetish-kan (memuja-muja tanpa alasan) segala macam hal yang berbau “Barat”.

Mungkin tulisan Eko Armunanto, Indonesia dalam Fenomena Jokowi-Ahok: Egaliter VS Inlander, dapat menjelaskan kepada si penulis sedikit banyak aspek poleksosbudhankam mentalitas Inlander-nya.

Mari kita baca lagi artikel di atas: judulnya saja sudah super-Inlander! “Mereknya Sih IKEA, Tapi Kelakuan Kita Masih Indonesia”—kenapa “Indonesia” diantitesiskan dengan “IKEA”, seakan-akan IKEA mewakili peradaban yang lebih maju dan Indonesia mewakili segerombolan monyet cari kutu di hutan rimba? Apa yang salah dengan “Indonesia”?

Penggunaan kata “tapi” dan “masih” dalam paragraf ini jelas menunjukkan si penulis merasa subyek pertama (IKEA) melambangkan sesuatu yang sifatnya lebih baik, lebih superior, sedangkan subyek kedua (Indonesia) adalah representasi dari sesuatu yang sifatnya lebih katro, lebih inferior.

Dengan kompleks inferioritasnya (inlanderismenya!), penulis membandingkan budaya IKEA yang (klaimya) serba teratur, mandiri dan disiplin dengan budaya orang Indonesia yang di tulisannya digambarkan jorok, seenak udelnya dan manja ala-ala pejabat dan putra keraton.

“Namun mungkin memang dasarnya kita bangsa Indonesia, terlalu sering dilayani oleh orang lain.” Sejak kapan kita, bangsa Indonesia (kalau mau menggunakan penyamarataan sifat yang dipakai penulis) terlalu sering dilayani oleh orang lain?

Kalau penulis melek sejarah, mungkin penulis bisa memahami bahwa “pelayanan” (dari yang dianggap subordinat kepada superiornya) adalah salah satu hasil dari praktek politik feodalisme dimana masyarakat dipecah-pecah menjadi kelas-kelas sosial yang kemudian melahirkan pembagian kerja dan derajat (buatan) berdasarkan kelas-kelas tersebut.

Apakah kemudian masyarakat yang dilanggengkan kelas-kelas sosialnya sampai sekarang ini semuanya “terlalu sering dilayani orang lain”? Bagaimana dengan mereka yang karena kelas sosialnya justru selalu menjadi subordinat dan melayani?

Katakanlah memang benar bangsa Indonesia jadi manja karena terlalu sering dilayani orang lain, bagaimana kalau kita bereskan saja mental cemen yang katanya suka keenakan dilayani orang lain ini? Dari hal sederhana aja, hapuskan jenis pekerjaan ART. Secara sistematis dan konstitusional. Toh ART sendiri juga merupakan suatu bentuk feodalisme kan? Kalau bisa, nah itu baru namanya revolusioner.

Di argumen ini, dengan stereotip dangkalnya, si penulis sudah gagal memahami kompleksitas masyarakat yang dia sendiri pun adalah bagian di dalamnya.

Penulis mungkin lupa bahwa kita hidup dalam sebuah ekosistem yang sangat tidak sehat dimana rakyat dikondisikan untuk “manja”. Negara tidak pernah hadir untuk rakyat. Jangankan bicara kenyamanan, kebutuhan dasar aja tidak dipenuhi karena dalam negara yang ultra-kapitalistik ini, pemenuhan kebutuhan dasar tanpa mencekik kantong rakyat gak bawa untung buat negara dan mengancam keberlangsungan hidup negara. Bagaimana kita merasa aman menyandarkan diri (senderan doang lho, belum sampai gantungan) pada negara saat negara tidak dapat menjalankan fungsi idealnya sebagai orang tua. Ingat gak dulu saat kita sekolah kita dicekoki dengan jampi-jampi untuk mencintai Ibu Pertiwi? Yah mungkin buat orang-orang macam si penulis ini gak penting untuk memahami makna dan konsekuensi dari istilah Ibu Pertiwi, yang penting “I’m Proud To Be Indonesian” aja, cyin!

Selain kelakuan pengunjung yang dianggap jorok dan seenak udelnya itu, juga banyak reaksi atas tulisan ini yang kemudian menunjuk pengunjung-pengunjung yang ogah antri. Apa bedanya dengan kondisi berkendara (dan urusan antri-antri lainnya) di Indonesia? Sama aja. Tentu saja kelakuan main serobot, main selak, gak mau tau peraturan dsb dsb selalu bikin panas. Tapi apakah yang memaki-maki juga mau melihat bahwa kondisi tersebut adalah gambaran gunung es carut marutnya negara ini?

Peraturan basa-basi, hukum dari yang karet sampai yang mandul, penegak hukum yang gak ada gunanya. Apakah keteraturan bisa terwujud hanya dari usaha sepihak tanpa memaksa pihak lain untuk turut berpartisipasi? Jalanan, terutama jalanan Jakarta, acakadut dan terasa seperti neraka juga tercipta terutama karena sumbangan polisi dan hukum lalu lintas yang gak pernah adil dan mencla-mencle. Kusut!

Melihat jalanan di kota-kota besar di Indonesia, atau minimal Jakarta deh, bak melihat kondisi kelas sosial di Indonesia. Kelas-kelas sosial di Indonesia merupakan produk dari ratusan tahun ketidakadilan. Mereka yang ada di atas rata-rata mendapatkan posisinya dengan berada dekat dengan kekuasaan. Oportunis lah. Bukan hal aneh bukan lihat pengendara kendaraan mahal, manusia-manusia bertas mahal bergadget terkini main serobot, main selak?

Mereka yang ada di kelas yang dianggap kelas bawah pun juga awur-awuran. Tentu bukan atas dasar alasan yang sama dengan si kaya. Ketika hidup dalam kesempitan, yang bisa dilakukan ya “survival of the fittest aja”. Udah begitu aja masih aja sering dianggap tidak bersyukur. Ck ck ck. Buruh masukin klausul meminta jatah susu merk tertentu dan biaya nonton bioskop per bulan banyak yang ngetawain. Bahkan ada yang komentar “beberapa orang emang ada yang gak tau bersyukur yah”. Karena (ternyata) kesenangan itu hanya boleh dimiliki oleh orang-orang yang punya uang. Karena mimpi akan hal-hal yang lebih baik hanya inspiratif selama tidak mengganggu kenyamanan batas kelas sosial. #bahagiaitukatanyasederhana.

Yang kejepit di tengah ya ada aja yang jadi kayak si penulis ini. Walaupun sama-sama keder tapi ya udah, belagak holier-than-thou aja.

Jadi kalau di kehidupan sehari-hari yang berlaku hukum rimba, bagaimana mungkin si penulis mengharapkan keajaiban hanya dalam hitungan selangkah kaki saja?

Begitu juga dengan IKEA. Bagaimana mau mengharapkan orang-orang tertib dan disiplin kalau stafnya sendiri pun masih blang bentong menjalankan kedisplinan tersebut. Kami mengalami juga diselak pengunjung lain di customer station. Tapi staf tidak menghiraukan hal tersebut sampai kami ajukan keberatan dan berkelit dengan alasa tidak melihat keberadaan kami. Bagi penulis yang pastinya sudah pernah mengunjungi IKEA tentu menyadari bahwa customer station di area gudang itu lowongnya kayak apaan tau. How can you miss a person standing in front of you?

 

wpid-imag2216.jpg

 

Demi terciptanya sebuah lingkungan yang super ideal teratur nyaman seperti sedang menikmati kemakmuran negeri-negeri Skandinavia sana, staf juga bertanggungjawab mengatur antrian. Staf juga bertanggungjawab menjawab pertanyaan pelanggan sesuai urutan kedatangan, bukan berdasarkan panjang pendeknya pertanyaan atau lama atau sepintas lalu pertanyaan itu diajukan. Tanggung jawab itu sifatnya 2 arah. Kalau staf alpa melakukan ini, apakah ini artinya manajemen juga ternyata alpa ? Well, in that case they are as uncivilised as the people they or the writer accused to be.

Penulis menganggap seakan-akan IKEA adalah sebuah realitas yang terpisah dari realitas lainnya di luar sana. Sebuah utopia di mana setiap manusia pribumi yang menginjakkan kakinya di sana diharapkan merevolusi mental primitif mereka dan meng-upgrade-nya dengan trolley kuning-biru, meteran kertas, dan sopan santun ala Skandinavia.

Sejujurnya kami pun lupa bahwa di utopia bernama IKEA ini kami diharapkan mengembalikan peralatan makan kotor di tempat yang telah disediakan, kebiasaan yang jauh lebih inggil daripada kebiasaan di luar sana. Ini kemudian kembali memunculkan pertanyaan, apakah si penulis dengan naif berpikir bahwa semua orang yang melangkahkan kaki ke dalam IKEA Indonesia pasti sudah pernah ke IKEA di luar Indonesia sebelumnya dan pasti paham dengan keberadaban IKEA? Bukankah ini berarti si penulis sama ignorant-nya, jika tidak lebih buruk, dari orang-orang yang dia kritik tersebut?

Betapa arogannya. IKEA bukan sebuah agen perubahan sosial budaya. It’s just another mega company trying to gain more profit in another country. Kalau si penulis menganggapnya sebagai another Thomas Stanford Raffles yang menyunggi white man’s burden untuk menularkan modernitas kepada kacung-kacung pribumi, maka justru ialah yang jelas perlu segera merevolusi mental inlandernya!

IKEA hadir di Indonesia? Santai aja. Sekali lagi, IKEA kan bukan sebuah agen perubahan sosial budaya.

Eh, ngomong-ngomong penulis sudah baca belum gimana cara IKEA ngadalin negara (dalam kasus ini Australia) supaya bisa meminimalisir pembayaran pajak? Katanya sih… ini merk global yang bersih dan beretika.

 

 

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Pribumi-Nusantara#cite_note-Pribumi-1

 

 

  *artikel ini adalah hasil bahasan bersama Edo Wallad, Festi Noverini, Gratiagusti Chananya Rompas, Mikael Johani dan Ratri Ninditya