tulisan ini akan mereview serial Extracurricular untuk merespon artikel ini.
di artikel tersebut, ada beberapa masalah. masalah ini penting untuk saya tulis karena ini berkaitan dengan gimana definisi tentang “perempuan berdaya” sering dibicarakan. kita terlalu sering mengangkat keberhasilan perempuan mengangkat dirinya sendiri di dalam lingkup industri dan korporasi sebagai ukuran pemberdayaannya. figur perempuan dingin dan “rasional” dengan killer look hak tinggi dan lipstik merah, anti pernikahan dan tinggal sendirian di sebuah apartemen mewah telah menjadi pahlawan-pahlawan para perempuan di budaya populer.
kenapa kita suka banget championing figur perempuan yang sukses di karir sebagai perempuan berdaya? mereka benar berdaya, tapi hanya sebagian saja benarnya. bukankah dia masih ditindas sama sistem kapitalisme ketika dia cuman sukses jadi CEO startup digital? keberhasilan individu tidak semerta-merta menjadi ukuran sebuah perjuangan feminisme. pandangan ini akan memerangkap kita dalam narasi postfeminisme, yang menganggap perjuangan telah usai hanya karena kini perempuan sudah “bisa cari duit sendiri”.
jika kita mengklaim bahwa sekarang drama korea sudah menampilkan tokoh perempuan yang jadi fokus utama cerita, membongkar stereotipe, dan multidimensi seperti artikel yang saya sebut di atas, itu tidak tepat. keberhasilan drama asia timur di pasar indonesia justru berporos pada karakter perempuan yang jadi fokus cerita, membongkar stereotipe, dan multidimensional. drama-drama ini menghadirkan suatu kebaruan dari tren sinetron dan drama bollywood yang populer di era 90-an. sejak awal popularitas drama taiwan-korea-jepang, karakter perempuan sudah tidak lagi dangkal dan jadi objek kasih sayang. mereka punya impian, melawan ketika ditindas ibu mertua, walaupun akhirnya mereka jadian juga sama tokoh utama laki-lakinya. tapi nggak semua juga. rika akana di tokyo love stories akhirnya pisah dengan kanji. ngomongin dangkal, minami di long vacation justru membantu sena mengurai traumanya pada piano. kita ingat san chai di meteor garden yang jago berkelahi. formula meteor garden diadaptasi dari hana yori dango, dan diduplikasi di the heirs. bahkan di full house, karakter yang dimainkan song hye kyo jadi fokus yang setara dengan rain. fokus cerita pada lelaki juga terkait pada drama ini ditujukan buat pemirsa yang mana. fokus pada cowok seringkali jadi objek seksual pemirsa perempuannya. scene perut papan penggilesan jadi wajib sampai beberapa tahun yang lalu.
artinya, figur perempuan mandiri yang sukses dalam pencapaian karirnya sudah jadi stereotipe perempuan dalam drama korea, mungkin, lebih tepatnya prototipe. tentu benar juga kata penulis, masih banyak drakor menye-menye yang perempuannya jadi hiasan. tapi kita nggak membicarakan itu karena buat saya drama-drama itu praktis jadi fosil, tidak relevan lagi untuk dibicarakan.
yang juga menjadi daya tarik adalah bahwa figur perempuan asertif ini dibingkai dalam pemenuhan mimpi-mimpi materialistis, seperti posisi di korporasi, top student di kampus, tinggal di luar negeri. di sini drama-drama itu belum bisa keluar dari kelindan struktur lain yang membelenggunya: kapitalisme dan neokolonialisme. selain itu, obsesi atas kesempurnaan tubuh dan kemapanan finansial menumpuk jadi racunnya sendiri yang menjadi klimaks beberapa tahun terakhir ini (dengan terkuaknya banyak kasus pelecehan seksual lewat gelombang #metoo korsel).
efek samping dari pesatnya pertumbuhan ekonomi korea selatan yang salah satunya disokong pasar kpop dan kdrama kemudian direspon dalam banyak film (parasite, one of the most obvious) dan drama korea. beberapa dari efek ini adalah pelecehan seksual pada perempuan, eksploitasi anak, gentrifikasi, gangguan mental masif, dan munculnya kelompok-kelompok orang terpinggirkan (yang gak kebagian “sukses”). review-review popteori sebelumnya telah banyak mengurai hal ini. salah satu respon terhadap berbagai fenomena ini ada di drama produksi netflix berjudul extracurricular.
di bawah ini adalah review awal nonton 7 episode, belum semua. tapi yang saya ingin tekankan adalah ada banyak karakter perempuan yang perlu dirayakan di luar dari yang sekadar sukses berkarir.
serial extracurricular dipenuhi tokoh-tokoh yang menjadi ekses dari “kesuksesan” korea selatan menjadi negara superpower. tokoh perempuan pertama adalah Bae Gyu Ri. ia anak seorang CEO kpop agency. menghabiskan hampir seluruh hidupnya menemukan kesalahan dari para calon bintang kpop, ibunya tidak pernah menganggapnya pantas dan baik. padahal gyu ri siswa berprestasi plus jago taekwondo. berikutnya, Seo Min Hee, seorang pekerja seks bawah umur. ia ingin dapat uang banyak supaya bisa traktir-traktir pacarnya, Kwak Ki Tae, yang juga trainee boyband kpop. Ki Tae sendiri adalah seorang bully, baik terhadap teman maupun pacarnya. Dia adalah wujud bullying sistemik yang terjadi di dunia hiburan korsel. Sementara Oh Ji Soo, cowok teladan tanpa cela, sebenarnya adalah mucikari digital berbasis aplikasi, yang menjadi perantara para pekerja seks dengan klien mereka sekaligus penyedia jasa pengamanan. Ji Soo butuh uang karena bapaknya penjudi sementara dia ingin masuk universitas unggulan. keempatnya lalu ketelingsut dalam konflik yang rumit.

yang buat saya menarik adalah bagaimana mereka ditampilkan sebagai korban dari busuknya sistem di dunia pendidikan dan hiburan. masing-masing karakter punya motif yang tidak bisa dimasukkan dalam kotak hitam ataupun putih. keremajaan mereka jadi kekuatan sekaligus kelemahan. terkadang mereka naif, terkadang mereka luar biasa cerdik. keluwesannya dengan teknologi dan bahasa inggris dikontraskan ketika Ji Soo bertemu preman gen x. tapi extracurricular menunjukkan bahwa teknologi sama sekali tidak memperbaiki busuknya situasi. racun-racun yang sama tereproduksi dengan lebih mengerikan dengan internet.
di sini ada kritik juga tentang pengeksotisan kelas pekerja. di tiap argumen, ji soo selalu menyerang gyu ri karena gyu ri sebagai partner in crimenya hanya melihat dari jauh, tanpa terkena risiko. sementara bagi ji soo dan min hee risikonya adalah kematian. gyu ri mendorong ji soo untuk mengembangkan bisnis mucikari ini. tapi menurut ji soo, semua ini hanya mainan bagi gyu ri.
min hee adalah sosok yang selalu dikerdilkan pacarnya, Ki Tae. Dia mencoba meningkatkan “daya tawar” dalam hubungannya dengan membelikan Ki Tae macam-macam. Tapi tujuan itu gak sampai. Yang perlahan ia sadari justru penilaian baru atas dirinya. kita masih harus melihat lebih jauh apakah min hee ini adalah stereotipe tokoh pekerja seks yang jadi korban sistem dan harus diselamatkan laki-laki. tapi kelihatannya justru gyu ri yang akan menyelamatkannya.
ini menurut saya multidimensional. sosok perempuan ditampilkan lengkap dengan luka, obsesi, dan anxiety dan disituasikan dalam posisi kelasnya. mereka menunjukkan bahwa ada sisi gelap di balik upaya perempuan mengejar “sukses”. di balik narasi neoliberal akan pencapaian pribadi, opresi sistemik lain bersembunyi.
foto diambil dari https://www.elle.com.sg/first-look-netflix-upcoming-kdrama-thriller-extracurricular/ dan https://mydramalist.com/photos/62BEp