top 10 pertanyaan buat 50 album musik terbaik indonesia 1955-2015

setiap kali ada usaha untuk mengkanonisasi anything, pertanyaan pertama yang harusnya dipikirkan adalah, siapa sih ini yang mau kanon2an? di kasus kali ini, buku “this album could be your life: 50 album musik terbaik indonesia 1955-2015” terbitan elevation books, penulis2nya bisa dideskripsikan sebagai gang jakartabeat, situs musik/pop culture yang udah metong di pertengahan 2010-an. tulisan2 musik di jakartabeat sering punya ambisi jadi semacam senyawa antara chuck klosterman dan jacques derrida, pengennya kitschy sekaligus—memakai istilah yang lagi heitz setelah perdebatan tentang film tilik—ndakik2. hasilnya ndakik2nya sering kerasa dipaksain ditempel2in aja sehingga senyawanya gak jadi kayak mark fisher malah jadi… nuran wibisono chuck klosterman. more kerplunk than k-punk.

elevation books dimiliki oleh taufiq rahman, yang juga cukong—memakai istilah buat label owner yang dipakai di buku ini—elevation records. terbitan elevation books yang paling menarik buat saya adalah “setelah boombox usai menyalak”, kumpulan esai ucok homicide (edisi terakhirnya memuat esai asoy tentang portishead yang mereferensi mark fisher). rilisan elevation records yang saya paling suka belum ada, tapi dua masuk di buku ini: semakbelukar dan bandempo. apakah posisi taufiq sebagai salah satu penulis di buku ini jadi bermasalah karena selain harus menjadi kritikus/kurator/juri/gatekeeper dia juga seorang cukong label aka produsen? mungkin sebenernya nggak juga, toh mendirikan sebuah label dan merilis rekaman juga sebuah usaha untuk menyusun kanon. paling nggak sekarang kita malah bisa melihat bisa nggak dia menjustifikasikan pilihannya pada semakbelukar dan bandempo (both sebagai cukong label dan sebagai kurator daftar ini)?

dari awal mendengar berita tentang buku ini sebenarnya saya udah rada zzz dengan judulnya. bukankah buku klasik azerrad mengangkat band2 indie underground yang dihapus dari sejarah rock, sementara daftar ini—yang dari komposisi penulisnya bisa dikira2 pasti akan memasukan koes plus, dara puspita, badai pasti berlalu, iwan fals, dan favorit2 oom2 boomer lain (dan emang bener)—bakal mengangkat band2/arteiz2/album2 yang udah legendaris hence mainstream semainstream2nya? judul ini false advertising atau nafsu mendakik2 ala jakartabeat tadi? “waaa keren ni bor kalau judulnya plesetan dari our band could be your life! ya nggak ya nggak,” jerit si nafsu mendakik2.

sambil menunggu buku ini nyampe ke rumah, saya mendengarkan rekaman virtual launch buku ini, yang diberi tajuk “esoteris atau laris?” selain penggunaan kata “esoteris/k” oleh taufiq yang rada aneh (“kita kan selalu memperhitungkan bahwa ini album bagus secara esoterik…”—1:35:24 di link di atas—sejak kapan esoteris jadi penanda kualitas?), satu hal lagi yang mengusik di diskusi ini adalah lho kok sepertinya penulis2nya masih bingung parameter “terbaik” di buku ini apa sih sebenernya? kok kayaknya mereka masih ragu-ragu icuk antara “terbaik” dan “paling berpengaruh”? gimana nih, kan bukunya udah rilis!

setelah itu saya juga mendengarkan interview taufiq dengan felix dass di rururadio. kebingungan kembali melanda. selama interview saya layangkan tiga pesan waslap ke felix yang baru terbaca setelah acara selesai.

ternyata setelah mulai membaca bukunya, pertanyaan2 saya makin banyak. daripada hilang ditelan pandemic amnesia, mending saya daftar di sini. inilah, 10 pertanyaan terbaik tentang 50 album musik terbaik indonesia (dikurasi oleh dewan juri manel saya sendiri):

  1. what’s with the inlanderism? intro buku ini (yang ditulis taufiq) diawali dengan generalisasi “orang indonesia memang banyak bicara”. such self-hatred. asersi yang lebih pantas masuk kanon stereotypes mochtar lubis “manusia indonesia” daripada sebuah daftar album best of. contoh lain lagi: “jauh sebelum media sosial membombardir penggunanya dengan lanskap kota-kota besar dunia, fariz sudah menulis kisah-kisah romansa dari lawatan ke barcelona, negeri sakura, dan los angeles. bayangkan imajinasi yang timbul di benak pendengar di kupang atau manado ketika mendengarkan lagu-lagu dari album yang bertajuk ‘living in the western world’.” (hlm. 185) this one basically borders on racism. minta ditimpuk cap tikus ga sih. jakarta gaze yang membayangkan orang kupang dan manado sebagai orang2 primitif tanpa imajinasi kosmopolitan (gaze yang juga berasumsi bahwa imajinasi kosmopolitan = kemajuan), wow, not ok boomer. ada juga ini: “tidak berlebihan jika mengatakan bangsa indonesia adalah salah satu yang paling khusyuk berdoa, paling dalam tenggelam di alam maya dan paling sibuk mencari surga…” (hlm. 226) hmmm no, emang berlebihan. file under: mochtar lubis, manusia indonesia, stereotyping, essentialism, native orientalist, latent inlanderism.
  2. ternyata tidak ada penjelasan perdebatan antara parameter “terbaik” vs. “paling berpengaruh” yang beberapa kali disebut di dua diskusi tadi di bukunya sendiri. atau penjelasan tentang parameter apapun. yang ada hanya klaim2 bombastis yang nggak menjelaskan atas dasar apa ke-50 album ini dipilih: “kami berdiskusi panjang dan sengit”, “pertemuan informal dengan minum kopi”, “membongkar bersama koleksi2 lama yang telah berdebu” (terbaik kok ga pernah didengerin?), “kami melakukan semuanya dengan kesadaran penuh bahwa apa yang dirilis pada tahun 2015 harus bisa diukur dengan standar yang juga akan diterapkan kepada musik dari dekade emas 1960-an dan 1970-an”—ya tapi standarnya apaaa bambang? eh taufiq, bin, idhar, samack, acum? satu2nya tanda kebingungan soal parameter ini ada di pembukaan artikel tentang igor tamerlan: “tiap era memiliki visioner-nya masing2. dekade 1970-an menghasilkan harry roesli, 1990-an punya sujiwo tejo sedangkan 2000-an memiliki zeke khaseli.” (hlm. 201) sepertinya ini satu2nya hint di buku ini bahwa para kuratornya ternyata mungkin mempertimbangkan juga faktor keberpengaruhan album/artisnya di daftar ini selain faktor terbaik/bukannya (secara estetika). but then again, if zeke was a visionary, kenapa albumnya zalacca salacca di nomor paling tidak terbaik/tidak berpengaruh, 50?
  3. di intro ada cerita (get yer violins out) “banyak ego yang terluka dan hati yang tersakiti ketika harus… menghadapi keputusan bahwa “badai pasti berlalu” tidak seharusnya ada di posisi sepuluh besar”. (hlm. 4) tapi lihat halaman 153: badai pasti berlalu ada di posisi… 5. buku ini diedit nggak ya? di intro ini juga ada klaim “daftar yang kami susun secara sadar mempertimbangkan representasi geografis dan gender yang lebih adil”. kenyataannya, hanya ada 2 (dua) album oleh artis perempuan di daftar ini, “melayang” january christy dan “jang pertama” dara puspita. doesn’t sound very adil to me. [edit: 28 agustus 2020, 22:58 WIB, as pointed out by ratri ninditya aka lolipopsuper, salah satu penulis popteori, representasi perempuan yang nyaris nihil ini tidak mengherankan karena kurator dan penulisnya semua cowok] saya menyadari titimangsa intro ini, “11 september 2019”. sementara buku ini baru terbit agustus 2020. karena ada juga ketidaksesuaian soal badai pasti berlalu, saya jadi bertanya2 apakah intro ini mungkin ditulis sebelum daftarnya selesai? tapi lagi2, jikapun itu benar, diedit gak sih buku ini?
  4. kenapa riri riza, seorang filmmaker, yang menulis sekapur sirih? and it’s not like he said anything interesting? beli kaset di jalan sabang, ikut pensi, mulai suka thrash di awal 90-an—ini ceritanya bahkan lebih klise daripada aadc!
  5. dalam entri tentang “ports of lima” sore (nomor 2) idhar resmadi memparalelkan kelahiran pop kreatif setelah pop kuacian dengan kelahiran “paloh pop” setelah pop melayu revival. in terms of timing bisa aja, tapi insinuasi bahwa sebagai genre paloh pop sebesar dan sepenting pop kreatif dalam sejarah musik indonesia? tolong dong dikasih justifikasi yang lebih kreatif (pun intended) daripada timing doang? kesimpulan2 mentah seperti ini lumayan sering dijumpai di buku ini, kadang diperparah dengan statement yang vague (atau vague karena kesimpulannya emang masih gak jelas?). misalnya: “kisah tentang perlawanan dara puspita menjadi semakin mempesona dengan persinggungan antara hiruk-pikuk masyarakat post-kolonial dan gerakan feminisme dunia ketiga dari era gerwani.” (hlm. 168) “mempesona”-nya itu gimana sih? dara puspita dimentori koes plus, so supposedly soekarno juga ga suka mereka? tapi gerwani pro-soekarno. so, were dara puspita feminists but not the gerwani kind? atau gimana? ada juga: “benny merekam ulang situasi mencekam gestapu pki dan menyimpulkannya sebagai sebuah perang jahat…. ‘in 1965’… menceritakan ulang ketakutan anti-komunis dari tahun gestapu.” (hlm. 177-178) jadi sebenernya si benny soebardja ini anti- atau pro-pki sih? selain statement yang vague, banyak juga statement2 bombastis yang segera diikuti dengan argumen yang nggak nyambung, misalnya: “keajaiban terbesar album ini tentu saja adalah olah vokal david, yang menyelam begitu dalam ke tradisi melayu lama dan bahkan bisa membuat p. ramlee dan oslan husein berbangga. ‘kok saya tidak pernah tahu siapa itu oslan husein,” david menjawab ketika ditanya seberapa jauh dia mengerti musik melayu lama.” (hlm. 223, tentang semakbelukar) *facepalm
  6. di halaman 323, samack mengeluhkan tentang “‘kecerobohan’ khas indonesia” (inlanderisme ini emang menular ya) yang termasuk “selalu saja ada typo yang tidak perlu”. di halaman yang sama dia langsung typo sendiri narsisistik jadi narsistik. perlu gak nih typonya? more ironic still, tentu banyak banget typo di buku ini (eg, puisi jadi puasa di entri tentang “orexas” remy silado). dan itu bukan masalah terbesar buku ini dalam hal ketidakakuratan. ada yang lebih gawat lagi, misalnya malapropism (eg—masih di entri tentang orexas, ditulis oleh acum, “apa yang dikatakan remy di lagu ini adalah sesuatu yang bahkan tidak sanggup dilakukan oleh musisi kita hari ini, bahkan yang paling underrated sekalipun.” (hlm. 274) sama masalahnya dengan pemakaian kata esoteris yang nggak pas/salah-makna tadi, sejak kapan “underrated” jadi sinonim “bagus”?) di artikel yang sama acum juga menulis “album ini bisa menjadi kompas dan pedoman bagi mereka yang ingin membuat lirik yang kritis tanpa tedeng aling-aling namun dengan gaya bahasa sastra mbeling yang tetap membuatnya berkelas.” walaupun ciri khas puisi mbeling ala remy sylado memang kritis dan tanpa tedeng aling-aling, tujuannya justru untuk menghancurkan puisi2 yang sok berkelas dan mahaadiluhung. mosok di sini malah dikontraskan dengan being critical and direct? habis malapropism, yang juga gawat adalah historical inaccuracies yang bertebaran di mana2, eg, idhar menulis “pemerintah orde baru lewat menteri penerangan sempat melarang musik pop kuacian berkembang”. sepertinya maksud dia sebenarnya adalah pop cengeng macam betharia sonata “hati yang luka”—yang dilarang menpen legendaris harmoko (saya masih ingat nonton laporan khususnya di tv. ok, boomer). pop cengeng adalah near-contemporary pop kreatif yang mulai muncul awal 80-an. sebagai seseorang yang di biografi di situs pribadinya mengaku sebagai penulis dan peneliti musik, howler macam ini rasanya inexcusable. (ya, some of these pertanyaan are actually pernyataan) ada juga ini: “yang paling sering terjadi adalah musik rock dan pop dipakai sebagai soundtrack bagi film-film yang kemudian menjadi warisan budaya; seperti ‘the blue danube’ yang menjadi abadi ketika menjadi latar bagi ‘2001: a space odyssey'” (hlm. 153). the blue danube memang lagu pop… di tahun 1866. di tahun 1968 pas space odyssey keluar the blue danube udah jadi abadi lebih dari 100 tahun. dan ini: “di tahun 1980-an, hanya ada dua pilihan untuk penyanyi perempuan indonesia: jarum neraka atau hati yang luka. nicky astria atau dian piesesha.” (hlm. 235) yessy robot kaliii. *roll eyes
  7. spekulasi2 lebay juga sangat mengganggu, straight from the nirwan dewanto school of criticism, “saya membayangkan…”, eg, “jika saja kemudian [benyamin] tidak terlalu sibuk di layar lebar, musik indonesia di awal 1980-an mungkin sudah memiliki album penuh seruwet ‘trout mask replica’ dari pahlawan betawi ini. mungkin.” (hlm. 151) yes, mungkin. in the absence of trout mask meleduk, can we stick to what actually happened?
  8. buku ini memasukkan banyak detil2 yang sepertinya diambil dari primary atau secondary sources (suara kereta api bocor ke studio pas rekaman “oi, kampuang” orkes gumarang, detil2 “recording boom” tahun 1920-an), tapi sering tidak disebutkan sourcesnya atau sering penyebutan sourcenya terlalu selektif. di halaman2 yang menyebutkan recording boom tadi, nama michael denning disebut, tapi cuma sebagai pendefinisi istilah “vernacularization of music”. detil2 yang sepertinya juga diambil dari bukunya “noise uprising” (juga tidak disebut) tidak diberi catatan kaki yang sebenarnya perlu. cobbling seperti ini juga inexcusable, especially buat buku yang suka menyindir2 hobi menyontek band2 seperti god bless di daftarnya sendiri.
  9. ketidaknyambungan dalam buku ini juga dijumpai dalam banyak usaha membuat oneliners yang supermaksa, eg, “woody allen pernah mengatakan bahwa ‘showing up is 80 percent of life’. untuk khasanah musik pop, adagium itu bisa dimodifikasi menjadi 80 persen mitos dan 20 persen keterampilan (skill) dalam bermain musik.” (p. 184) kayaknya non-sequitur stephen malkmus pun lebih make sense deh daripada ini. and can you get more ndakik2 than adagium? banyak juga kalimat2 berbunga2 sok puitis yang jadinya gak make sense maupun puitis, eg, “masih ada bunga jatuh ke kuping walau didengar sering. keringat perlawanannya pun, ke luar dan ke dalam, belum kering.” (hlm. 257, bin dan taufiq tentang kantata takwa) ??? ke luar? ke dalam? keluar di dalam ajaaaaa.
  10. and what’s with the hyperbolae? ini yang bikin saya jadi berpikir sebenernya entri2 di buku ini lebih pantas jadi liner notes daripada sebuah critical assessment sebuah album. “karya eksperimental yang monumental”, “ditopang semangat anti-mainstream yang paling jauh di garda depan”, “loncatan yang terlalu jauh”, “melampaui semua musik pada zamannya”, “visi avant-garde canggih yang terlalu maju pada masanya”. (hlm. 205, itu baru tentang satu album, “langkah pertama” igor tamerlan, no. 17) udah garda depan masih avant-garde lagi, kurang hiperbolik nih penulisnya!

inlanderisme penulis2 buku ini mungkin alasannya kenapa ada cukup banyak artis/album yang mereka pilih adalah artis/album yang pernah direissue oleh label2 luar negeri, seperti benny soebardja, aka, dan kelompok kampungan yang dirilis label reissue kanada strawberry rain, dara puspita dan koes bersaudara yang direissue label seattle sublime frequencies, dan shark move dan guruh gypsy yang direissue shadoks music dari jerman.

menarik bahwa di about page mereka, sublime frequencies mendeskripsikan diri sebagai “a collective of explorers dedicated to acquiring and exposing obscure sights and sounds from modern and traditional urban and rural frontiers”. saya langsung kepikiran tentang alfred russel wallace, van der tuuk, rumphius, dan eksplorer2 kulit putih lain yang menjadi tenar dari mengeruk curiosities from the east. remember rumphius’ “amboina curiosity cabinet”? atau (at the risk of sounding ndakik2 kayak penulis2 buku ini) tren mengoleksi cabinets of curiosities di antara aristokrat2 eropa abad 16-an?

tapi ini memang issue yang menarik. jadi nyambung (semoga) dengan apa yang sering saya pikirkan sedang terjadi dengan dunia film dan sastra indonesia. inlanderisme (aka, fetishism of the west) bisa menjadi alasan kenapa beberapa orang baru mau menyukai karya lokal setelah karya tersebut mendapatkan pengakuan di luar negeri, hence the wregas bhanuteja/cecep anggi noen effect di skena film indonesia dan eka kurniawan effect di skena sastra.

apakah buku ini hasil dari sebuah strawberry rain effect? atau, karena taufiq sendiri adalah seorang cukong label yang sudah mengeluarkan reissues dari dua album yang ada di daftar ini, sebenarnya ia menyimpan ambisi menjadi strawberry rain/sublime frequencies/shadoks/explorer of esoteric sounds sendiri? apakah sebenarnya buku ini memang koleksi liner notes buat rilisan2 masa depan elevation records? ha! this book could be his life!

Cover Version, yes or no?

cover-version

Kalau saya nyetir didampingi istri saya sepanjang jalan yang ‘unpredictable’ dari gandul-gandul sampai Gedung Victoria Blok M kami ditemani oleh radio Delta yang dulu pernah jadi tempat saya kerja. Sepanjang jalan itu kami akan sing along pada lagu yang diputar. Bukannya kami berdua super perhatian sama musisi-musisi yang dapat heavy rotation di radio. Tapi justru karena mayoritas lagunya memang sudah tidak asing di kuping.

Oh iya, balik lagi ke Delta, sekarang radio ini bukan radio lagu oldies kok. Jadi kenapa yang diputar mereka masih akrab di telinga? Ternyata lagu-lagu yang heavy rotation di radio itu semua lagu pop lokal lama dengan suara dan musik yang baru.

Titi DJ bawain ‘Bila Kuingat’ dari Lingua, Andien bawai lagu ‘Rindu’ dari Warna, Mike Mohede nyanyi ‘Sahabat Jadi Cinta’ milik Zigas, Marcell bawain lagu ‘Mau dibawa Kemana’ dari Armada. Yes you right! Mau dibawa kemana musik pop jaman sekarang? Mayoritas lagu yang mengudara adalah lagu daur ulang alias cover version.

Racikan cover version dari dulu memang sering ada di satu album seorang atau kelompok musisi. Tapi itu sejatinya adalah sebuah trik untuk musisi baru biar cepat T.O.P. Nah kalau diva macam Titi DJ nyanyiin lagu Lingua, itu tentu saja masalahnya bukan trik supaya dia terkenal. Bukan juga trik untuk membuat Titi DJ bersahabat dengan telinga anak muda sekarang, bok… Lingua aja top di dekade 90-an. Terus kenapa?

Mungkin jawabannya ada di toko-toko kaset yang sekarang tutup. Karena pencipta lagu itu kan hidupnya dari hak cipta yang nempel di produk fisik. Kalau penjualan RBT, kaset, CD, atau yang lebih baheula PH sudah gak ada, apa yang mereka hasilkan?

Dunia digital memang menawarkan digital store, tapi tetap itu rentan dibajak. Sekali online pasti menjalar ke kuping-kuping commuters yang dengar musik dari HP. Sekarang ada lagi layanan musik langganan seperti Spotify, tapi kalau sharenya dikit mending si pencipta lagu bikin jingle iklan aja deh ketauan.

Musisi tetap hidup dari manggung di inbox, tapi pencipta lagu terpaksa kencangkan ikat pinggang. Sedih memang, tapi sebenarnya walau si pencipta lagu berhak untuk ngeluh karena share mereka ledes, kita bisa balikan lagi, apakabar si NN pencipta Kampuang Nan Jauah di Mato?

Teks: Edo Wallad

Boneka Untuk Yoan – Kado Eufemisme Orde Baru

yoan

Orde baru dengan eufemismenya merasuk ke tulang sumsum bangsa Indonesia. Tidak luput lagu anak saat itu. Budaya bahasa eufemisme yang lebih suka mengatakan mengamankan daripada menghilangkan telah memberikan sudut pandang semu pada setiap hal. Begitu juga kebahagiaan. Yang akan dibahas di sini adalah sebuah lagu dari Yoan Tanamal yang berjudul ‘Aku Sedih’.

Semua orang juga tahu kalau Yoan adalah korban ekploitasi orang tua demi kapital. Uniknya lagi sang ayah berani blak-blakan mengungkapkan itu semua itu dengan mengabadikan kehidupan Yoan yang sunyi dalam sebuah lagu yang dia buat untuk Yoan ini.

Lagu ini jujur. Terlalu jujur untuk mengupas kesedihan Yoan di awal lagu ketika dia harus merenung sendiri karena ditinggal orang tua. Orang tua meninggalkan anak untuk bekerja adalah hal biasa. Bagian aku sedih duduk sendiri, papa pergi mama pergi ini bahkan sudah beberapa kali diadaptasi, seperti oleh Blake di Pesta Rap 2 dengan lagu ‘Bosan’.  bosan di rumah lagi sendirian, papa sibuk mama arisan, ga ada lagi yang bisa jadi perhatian, semua jadi bikin gw blingsatan. Tidak ketinggalan saya sendiri ketika menulis lagu untuk The Safari -Disko di Rumah; Ayahku pergi ibuku pergi sendiri di rumah.

Balik lagi ke lagu ‘Aku Sedih’. Ketika masuk ke bagian bridge orang tua Yoan yang pulang sore hari, di sinilah sepertinya mulai ada ketidak-jujuran di lagu itu, saya rasa ini sudah jadi kebohongan publik. Kehidupan seorang seniman seperti orang tua Yoan yang berkecimpung di dunia hiburan pasti menyita waktu yang banyak. Minimal pulang malam setiap hari kalau tidak harus menginap menyelesaikan syuting atau rekaman.

Sore di lagu ini buat saya adalah pulang malam hari yang dihaluskan- seperti menghilangkan yang jadi mengamankan-, ketika anak yang sudah tertidur dalam dekapan si mbok merindukan belaian orang tuanya, lalu untuk kebahagiaan semu mereka membelikan mainan. Yang lebih menyakitkan adalah ketika Yoan harus bahagia menerima teman boneka – terima kasih, mama dan papa, kiniku punya, teman boneka, ini baris paling mengenaskan- , sampai akhirnya dia ketika dewasa akrab bermain dengan narkoba.  Boneka dan narkoba sama-sama kebahagian palsu. Bedanya boneka adalah kepalsuan yang diamini, sedangkan narkoba sudah dihakimi sejak awal punya kodrat jahat.

Saya bukan mau menyalahkan orang tua –apalagi nyalahin narkoba hehehe…-, tapi saya lebih menggaris-bawahi kita yang permisif dan buta pada kebahagiaan semu yang diwakili oleh kata boneka dan mainan yang dipesan sang anak. Bayangkan itu hanya satu contoh di lirik lagu anak. Bagaimana dengan bahasa jurnalisme di era orde baru? Bagaimana tontonan di tv yang cuma satu TVRI?

 

divinyls* (mengoleksi vinyl sebagai laku asketis. pret!)

broken records

*jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan seorang wartawati femina. who turned out to be both a conceited bitch and a fucking idiot. ive retained all her original misspellings and idiocy. oleh Mikael Johani. pertama kali diterbitkan di sini.

 

Sejak kapan mulai mengoleksi plat

sejak 1992, begitu pindah ke australia untuk sekolah kelas 1 sma.

Kenapa plat

pindah dari koleksi kaset ke koleksi plat itu seperti pindah dari biasa nonton di laptop terus nonton di bioskop. good vinyl covers are just beautiful, apalagi yang double-fold, seperti pavement’s wowee zowee. atau yang ada fancy detailsnya, seperti actual zippers on the rolling stones’s sticky finger, or the sliding door cover on some girls. semua detil desain jauh lebih kelihatan, seperti tanduk-tanduk setan di sampul slayer’s reign in blood.

Jumlah

ratusan tapi ga pernah dihitung. i used to be obsessive about records, but not obsessive compulsive. koleksi yg sekarang juga sudah di-cull biar lebih gampang pindah dari australia balik ke jakarta dan juga karena dengan sengaja ingin membuang records yang tidak pernah benar2 saya dengarkan.

Koleksinya dari mana saja

berbagai macam record stores, second-hand and new, mail-order. mencuri jg pernah, single sex pistols holiday in the sun dari uni market. flea markets. jalan surabaya. mengemis punya orang tua teman. menemukan satu box penuh old black sabbath records di flat sewaan di sydney.

Belinya sekarang dimana sih?

mail order/online. kaskus. jalan surabaya yang udah overpriced dan koleksinya sdh habis diborong david tarigan dan dj2 ibukota circa 2004. ak.sa. reus. harga plat2 tety kadi, titiek sandhora, etc cuman 7rb-10rd di tahun 2000, pas 2004 apalagi setelah parc buka, ada monday mayhem, bisa jadi 100rb lebih!

Harganya berapa

macem2. dari $1 di bargain bins sampai priceless kata mastercard buat yg collectibles. personally i dont give a shit about collectibility (anymore). or limited editions, coloured vinyls, bla bla. heavy vinyls (180 gr) i like though. they seem to sound better than thin krupuk udang RCA ones. (lihat juga jawaban pertanyaan sebelumnya.)

Koleksi paling valuable, why

paling valuable yg merepresent a special time in my life, both happy and depressing. i love my morrissey’s education in reverse album bukan karena titelnya misprint dari versi australia viva hate, tp karena lirik2nya yang sentimental merepresentasikan hampir sempurna sentimentalisme (hidup) saya waktu sering mendengarkan album itu. waktu itu saya tinggal di sydney, kota yg desperate untuk dianggap multicultural tapi masih sempat ada race riot di tahun 2005. di situ sebagai orang indonesia saya merasa diterima, bisa makan ayam goreng 99 setiap hari kalau mau, tapi tetap saja hidup itu sedih dan susah. makanya lirik lagu bengali in platforms, yang membuat morrissey sempat dituduh rasis/a nazi, malah menyentuh banget buat saya. “life is hard enough when you belong here.” yeah! life is hard enough everywhere!

i also love my sandi shaw hello angel album almost for the same reason. morrissey wrote some of the songs in this album, reviving sandie shaw’s washed-up 60s starlet career. (habis itu sih tenggelam lagi wakakak.) none better than “please help the cause against loneliness”, the best song morrissey never officially released.

saya juga suka banget album the dwarves, blood guts & pussy. all the songs in this album seem to tell the story of the first year when i moved back from sydney to jakarta: back seat of my car, let’s fuck, drug store, fuck you up and get high, etc. even the album title, blood guts & pussy!

Cerita menarik selama mengoleksi (mis : rebutan dengan kolektor lain, koleksi lama ditawar orang dengan harga tinggi, belinya di luar negeri, hilang dicolong maling, dll)

kebanyakan plat saya memang belinya di luar negeri.

mencari/beli plat is never interesting, its actually always boring. browing through endless dusty stacks of the same records youve seen so many times just in the faint hope you find say, frank zappa’s weasels ripped my flesh in its original pressing. pret. id rather fuck you up and get high anytime!

Perawatan

vinyls actually really tough. you buy a cd, it gets scratched, thats it. vinyl scratches just make the vinyl crackles a bit, sometimes jumps. audiophiles call that character. ive seen a jalan surabaya vendor cleans his vinyl with rinso-ed water and a hard brush! that was when i asked if i can get a cleaner copy of nomo koeswoyo’s solo album “no koes”, album yg dia buat gara2 ngambek dikeluarin dari koes bersaudara.

Disimpan dimana

under my stereo.

Rencana ke depan, koleksi ini mau diapain

play them.

istri bagaimana, keberatan atau mendukung, why. pernah punya cerita seru dengan istri soal hobi mengoleksi ini?

unlike other people i actually marry someone i like. so no, my wife likes playing my records. she has her own favorites (currently curtis counce) and im not precious with my records so she can scratch em all she likes. even my 18-month old daughter loves listening to my records. her current fave is the b-52’s debut album, side two, especially there’s a moon in the sky (called the moon). haha, that IS a classic children’s non-sequitur!

Plat yang lagi dipengenin banget saat ini, why

the magnetic fields – 69 love songs. a box set with all the original liner notes/booklet. the original cd boxset had 3 cds with 23 songs on each cd. this is a bit lopsided, 69 songs on six 10” vinyls. still i want it bad. i love the album, which i bought online in 2000 from cdnow. i put in a glowing review of it in a+, which i was editing at the same time, to no effect hahaha. i want it even more now since i cant afford it!

Boleh dipinjem ga?

theres a saying, people who lend books are stupid, and those who borrow then return them are stupider. same goes for vinyls. except in deeper degree of stupidity.

*gambar dari sini

giring ganesha, sang mantan, sang juara

oleh: ratri ninditya
 

tadi malam, saya berdiskusi dengan si ngewer dan kakaknya mengenai Giring Ganesha, vokalis band Nidji yang makin hari makin mirip Ridho Roma.

ada beberapa kesimpulan tentang ‘seniman’ yang satu ini (dia ngaku loh dia itu seniman banget):

  1. Giring seorang megalomaniak
  2. Giring tidak pernah lulus atau suka mencontek ujian Bahasa Indonesia
  3. Giring is trying too hard to be poetic
  4. Giring stress karena kebanyakan tuntutan dari industri musik (pasar dan label rekamannya)

hal ini paling terlihat dalam lirik lagu Sang Mantan

dari judulnya, kita berasumsi ia menggunakan ‘Sang Mantan’ sebagai kata ganti orang ketiga karena ‘Sang’ fungsinya mirip ‘The’ pada Bahasa Inggris, yakni menyebut sesuatu yang telah dibicarakan sebelumnya. Jika digunakan dalam konteks ‘Mantan’, maka penggunaan kata depan ‘Sang’ berfungsi menekankan bahwa mantan pacar ini adalah orang yang berarti dalam hidup orang pertama yang menyebut. Dia bukan Si Mantan, satu dari sekian puluh yang ecek-ecek, melainkan Sang Mantan, yang meninggalkan memori manis tak terlupakan.

ternyata eh ternyata, Sang Mantan menunjuk pada diri sendiri, dapat dilihat pada bagian reffrain,

“… Saat ku terpuruk sendiri

Akulah sang mantan

Akulah sang mantan…”

geer banget ya dia, pede banget ngira mantannya ngomongin dia dan menganggap dia berarti.

kegeeran berlanjut, juga pada bagian reffrain,

“…Kini engkau pun pergi

Saat ku terpuruk sendiri……

Kini engkau pun pergi

Saat ku jatuh dan sendiri…”

kenapa kita tuduh geer, krn mau ampe kiamat juga namanya sendiri gak ada yg mungkin ninggalin pergi kan udah gak ada org lain lagi. kecuali, jika sendiri yang dia maksud adalah single atau tidak berpacar, namun masih sempat dikejar-kejar sang mantan. sekarang, mantan tersebut berhenti mengejar. sedangkan, giring gak mau kehilangan fans. sehingga, keadaan ‘terpuruk, jatuh, dan sendiri’ yang sudah dideritanya mungkin akan makin parah tanpa mantan yang mengejar. ha ha aha.

namun asumsi bisa jadi berlebihan, mungkin saja dia hanya gak bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar (lihat kesimpulan kedua dan ketiga). ada yang bilang lirik lagu tidak harus logis dan masuk akal, karena itu adalah seni. namun, fungsi yang tidak logis dan masuk akal itu untuk menguatkan rasa dalam lagu, seperti lirik Risalah Hati dari Dewa,

“Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku”

sedangkan lagu Sang Mantan ini malah membuat penciptanya terlihat tolol. ketololan berlanjut karena Giring nampak bersusah-payah menjadi poetic, sayangnya jadi terlihat pathetic. Contohnya,

“Kini roda telah berputar”

dan

“Sakit teriris sepi”

kalau yang ini sih lebih ke masalah selera. beberapa orang mgkn tidak keberatan dgn itu. tp klo buat saya sih mengganjal sekali, ditambah irama melayu gak karuan. enakan Ridho Rhoma kemana-mana deh. menurut si ngewer, Peter Pan lebih mengena,

“…engkau bukanlah segalakubiarkan hujan menghapus jejakmu…”

kalau tidak mau menyalahkan Giring, mungkin kita bisa anggap dia stress dapat tuntutan dari banyak pihak (kesimpulan 4). kalau saran saya buat Giring sih, daripada “…pikiran pusing tidak karuan, mendingan kumpul kebo (ya cuma kebo-keboan)…”

 

*pertama kali diposting di sini

**gambar diambil dari sini

giring dengan gayanya yang aduhai

 

Lirik Lagu Asyik


Teks. Edo Wallad

Rasanya yang kita dengar sekarang di lagu Indonesia hanya lagu seputaran sakit hati, janji, dan selingkuh. Formula itu harus ada agar lagu anda diterima label dan telinga masyarakat (atau membodohi masyarakat dengan membentuk opini publik kalau itulah yang mereka butuhkan). Yang membuat saya miris adalah ketika teman-teman saya akhirnya bermutasi dan berpura-pura bisa menikmati musik picisan itu. Sebut saja ada teman saya yang pernah mengenyam kuliah di negeri kanguru dan bisa menikmati musik seperti Sigur ros, Magnetic Fields, dan Muscles harus mengadaptasi kupingnya supaya bisa menikmati ‘cinta ini membunuhku’ atau ‘lalu bilang i love you padaku’. Bukan cuma dia, salah satu teman yang menjadi biduan di grup reggae terdepan indonesia harus men-tweet kalo dia sebaiknya bisa menikmati lagu-lagu itu agar dia bisa mengerti apa selera pasar Indonesia.

Ketika Fariz RM bincang di talkshow acara saya yang dipandu Farhan dia mengucapkan satu kalimat klise tapi sangat saya rasakan kebenarannya; “musisi 80 (jamannya pop kreatif) itu jamannya musisi menggiring industri, tapi sekarang yang terjadi kebalikkannya. ”

Mungkin lagu saya tidak pernah jadi mengiang di kepala orang banyak, tapi saya lebih baik mati mencoba untuk meningkatkan selera pasar indonesia, dari pada harus terus membodohi selera pasar.