Yang Muda, Yang Berwacana

review Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan (foreign festival title: The Myriad of Faces of the Future Challengers), realisator: I Gde Mika & Yuki Aditya, durasi: 91 menit, ditonton di: bioskoop mikro Forum Lenteng.

a micro cinema with foam soundproof walls and ceiling. two men stand at the front facing the audience.
l-r: “realisator” i gde mika and yuki aditya

film, atau filem kalau mengikuti nomenklatur ala forlen, yang berusaha menginvestigasi “segudang wajah” sinema orde baru lewat montase potongan-potongan adegan yang didownload dari file-file “anonymous” di youtube yang diiringi voiceover pseudo-puitis dan theory-adjacent (namedropping kuleshov, bazin, tarkovsky, etc, ✅). potongan-potongan adegannya iconiiiic! so memeable, seperti doomscrolling fyp a true gen z. seru banget jadi pengen nonton lagi cintaku di rumah susun karena footages dari film nya abbas akup ini disandingkan dengan manis dengan adegan-adegan dari the ladies man jerry lewis, menunjukkan keintertekstualitasan di antara mereka alias apa aja yang dicontek nya abbas; voiceover yang muda, yang berwacana sepanjang filem ini, not so seru. ranging from poetic epiphanies yang oke juga (“film, seperti jemuran, juga memerlukan cahaya” — di permulaan film yang nunjukin banyaknya dan, sepertinya, pentingnya scene jemuran dalam film orba) tapi terus nggak dilanjutin poinnya. are they airing orba’s dirty laundry, or what? malah langsung segue ke biopic sjuman djaja (iirc). seperti banyak gen z (i gde mika: born 1999) yang hobi bikin megathread di twitter, voiceover film ini juga sotoy tapi strangely hollow, sophisticated-sounding tapi ternyata shallow. comot teori sana teori sini, gabungin dengan gaya deklamasinya, jadi word salad dengan dressing aan mansyur (plenty of shady toppings soal dominasi jawakarta juga di sini).

during a discussion after the film screening i asked mika about the purple prose of the voiceover, why and what it was trying to achieve. mika said, “nggak pengen terlalu langsung ngomongnya.” okurrr, another bilang begini, maksudnya begitu sapardian then. (why do gen zs still read sapardi?)

the opaqueness of the narration sometimes results merely in unintended hilarity (i have a soft spot for “ornamen massa”, whatever that means) but sometimes it also makes you wonder not only about what are the filmmakers trying to say, but also about whose voice(over) is this anyway?

misalnya ada adegan aneh di hampir akhir film yang dimulai dengan voiceover bombastis, “komunis beraksi dalam gelap”, kemudian diikuti scene jenderal-jenderal matiin lampu di menteng mansion mereka pas malam tanggal 30 september 1965 yang diambil dari film penumpasan pengkhianatan g 30 s pki. but the film was the greatest propaganda movie ever? it made triumph of the will feel like free willy. in reality the pki wasn’t an underground party back then? they weren’t an underground, shadowy bahaya laten (yet)? was the voiceover being ironic, haha, komunis beraksi dalam gelap, yakeles. or was it, inadvertently perhaps, reinforcing the special place in hellish darkness orba reserved for pki anything?

in the discussion after the film, yuki explained how many of the ideas for the film were hashed out by writing simple descriptions of film footages that caught the filemmakers’ eye. quite an organic process. i asked if the voiceover in the above scene then became a sort of ersatz alt text for the visually impaired but nothing more? mika’s answer was vague. didn’t sound like he knew what alt text was? was it another case of bilang gak tahu, maksudnya tahu, tapi nggak mau kasitahu (secara langsung)? 🤷🏻‍♀️

but then again, yang matiin lampu-lampu dalam adegan di atas kan jenderal-jenderal, antek-antek imperialis kolonialis kapitalis. jadi seharusnya mereka dong yang beraksi dalam gelap? (if you were writing an alt text for the scene.)

segudang wajah adalah sebuah filem essay, tapi lebih seperti essay yang difilemkan, not quite a film essay ala sans soleil chris marker misalnya, yang juga mengandalkan jukstaposisi antara documentary footage dan poetic monologue tapi the sum is greater than its parts. the sum of segudang wajah seringnya malah bikin makin gak jelas wajah sinema orba sebenernya kayak rano karno atau meriam bellina?

sometimes the voiceover is also simply historically naive. in one of the scenes it said that revolusi indonesia berakhir dengan perang dingin dan proyek mercusuar bung karno, seperti gbk dan… konferensi asia-afrika 🤦‍♀️. the images that accompanied the voiceover were interesting, an offshore oil rig from a wim umboh film and a pasak bumi rawdogging the earth from a sjuman djaya one (cmiiw). were the footages used to slyly stan the voiceover, that to the filmmakers soekarno was also an extractive capitalist? but in other parts of the film they seemed to sympathize with the soekarnoists and communists (though at the same time skeptical about marxism and communism). were the filmmakers aware of the anti-soekarno montage effect they’ve created in this scene (or at least that it could easily be interpreted that way) or were they not aware? were the footages selected following a certain ideology, or out of a desire to be cynical about any orde, lama maupun baru?

di skena contemporary art sekarang, namines senang bermain-main dengan arsip. tontey dengan local wisdom manahasa atau tintin wulia dengan arsip-arsip ’65, tropic fever (belum nonton). dalam poetry, buku seperti blakwork alison whittaker yang men-decolonize legal archives kolonial inggris mengenai orang aborigin, atau human looking andy jackson yang men-subvert archives dan government policies tentang disability. filem ini juga bermain-main dengan arsip sinema orde baru, tapi agak tidak jelas apa yang berusaha dilakukannya, walaupun di tengah-tengah film ada pernyata/tanyaan yang sepertinya jadi origin story film ini: “apa yang dikatakan oleh sinema orde baru yang kita tidak tahu?” — or something like that (maaf baru nonton sekali dan tidak punya superpower menulis notes dalam kegelapan, jadi quotes sepanjang review ini mungkin sekali ga verbatim, please check with the filmmakers!). does it treat sinema orba as an archive on its own or is it protesting against previous attempts at archiving it (by whom?)?

the footages were mostly pilfered from anonymous youtube channels, but not all of them. so the filem can’t really claim to be decolonizing youtube archivists either. the filmmakers are a gen z x gen x duo (kira-kira, i know yuki from the old sedot-sedotan film scene of the early 2010s, kayaknya sih dia sempat merasakan orba secara langsung), so we can’t really say this is a post-orba critique of orba films either. some sort of curation was obviously involved (many of the films included — yang muda, yang bercinta; kerikil-kerikil tajam; ibunda; et al — are already part of the sinema orba canon, no segitiga emas here), but the process wasn’t really acknowledged in the highfaluting voiceover nor was its curation methodology explained (why were most of the footages taken from “anonymous” youtube archivists? is what the film criticizes/problematicizes (biar more gen z) the common people’s canon(ization) of orba films?)

in the end the film is trying to say so many things — propaganda orba, orba gaze, jawakarta imperialism, pki, communism, capitalism, a smorgasbord of extreme cinema nuggets — but not very articulately. there’s a lack of coherence that may seem to mimic the diversity of topoi, tropes, and titillations that orba films offered but the filmmakers failed to make the parallel to highlight the point — that orba films’ segudang wajah are so diverse they’re impossible to distill into just one visage. perhaps they didn’t even see the parallel.

at the end of the film, the voiceover slash poet laureate namedropped kuleshov and with help from an agan harahap soeharto meme created a wikihow on soviet montage theory, what editing can do to generate different meanings. turns out kuleshov was the godfather of memes! homeboi was a tiktoker with mad capcut skillz.

so it’s almost only right and natural that the film can feel like doomscrolling on a gen z’s fyp, where you get everything from gore animemes to pororo the cat trying to flog kochengwear, the algorithm is wild af. similarly, in segudang wajah you get everything from ultra macho contemplation on marxism (atheis) to… ultra macho contemplation on eroticism (complete with raging sam-sam jawir hard-ons, in roro mendut).

aka, sinema orde baru was a deus ex memema! orba films were busy creating a myriad of memes for the future, they were cogs in a hyperactive meme-making machina!

what the filmmakers didn’t seem to realize was that their film was also (re)generating memes from/out of the sinema orba memes in order to distill and point out their tropes. father, forgive them; for they know not what they do. if they did, that would’ve tied the whole thing together: nih loh, we’re presenting you with segudang wajah filem orba, wajahnya emang ga koheren, sama kayak filem ini.

sayangnya sekarang it feels more like they’ve lovingly and painstakingly collected and curated segudang wajah sinema orba but then forgot to give you the key to the warehouse.

several people sitting in a half circle around white round tables and chairs, chatting
outside the microcinema at forlen in jagakarsa. very cool space, literally, thanks to the ceiling bricks imported from jatiwangi art factory

You and I on You and I

by mikael johani and ratri ninditya

you: eh nyin, gue liat di plurk lo bilang cedih abitch abis nonton you and i. macacih? kok gue rada berasa risetnya dangkal, footagenya kurang, (how many times kita harus liat atap mereka bolong?), jadinya karena konteks politiknya juga kayaknya sengaja dibikin minim ceritanya jadi kayak penyintas porn? apalagi pas di scene-scene terakhir mereka di rs, camera work-nya rada creepy-voyeuristic ga sih? i don’t know, gue jadi berasa film ini gak menawarkan sesuatu yang baru aja dalam discourse di rumah aja tentang 65 di sini. penyintas hidupnya menderita, ya iyalah!

i: revisi, gua gak cedih abitch tapi cediih. gua rasa maksud filmnya emang menyajikan sebwah narasi penyintas perempuan yang tentu menawarkan potret-potret kehydupan yang mikro di luar narasi besar-grande-kokoh 65 itu? it was obviously intentional menyorot rutinitas domestik dari Kusdalini dan Kaminah sebagai dua sobi di usia senja yang dilupakan sama negara. walopun menurutku (dan ketika aku nonton film itu pertama kali) film ini aku baca sebagai cerita persahabatan-kinship, di mana Kaminah sedang membalas budi Kusdalini selama ini yang nampung dia ketika Kaminah diusir sama keluarganya sendiri, instead of film korban 65? terus kalo kita bicara strategi advokasi 65 lewat film (seperti narasi yang digadang di promonya dan sosmed) bukankah film ini jadi nawarin angle yang specifically feminine (dan feminist)? mereka bukan keluarga heteronormatif ibu-ayah-2 anak, melainkan hanya hidup berdua dan kadang-kadang dibantu sama tetangga lewat barter dan kindness, tapi di luar itu mereka menopang hidupnya sendiri. jadi bikin orang ngobrolin implikasi 65 tanpa mengancam pake konten-konten “berbahaya”? bukankah itu bagian dari siasat feminis? gua rasa aspek itu menarik. 


kalo soal powerful scenes yang bikin gua jleb mungkin ketika mereka baringan di kasur dan Kusdalini mulai menyanyi. trus ada detil-detil yang menarik, kayak makanan pas di rumah sakit yang keliatan super gak napsuin, ngebayang kalo lg sakit suruh makan gituan? mendingan kasi gua obat tidur aja yang banyak biar gua kunjungin itu teman2 lain yang sudah berpulang duluan! sementara itu scene jasmerah, pandangan politik Kaminah, dan pertemuan dengan penyintas lain memang rasanya jadi sempalan saja dalam bangunan cerita. ngomongin scene jasmerah sebetulnya menarik juga, karena seperti sengaja mau dibenturkan Kusdalini yang mulai pikun vs. Kusdalini yang strong-willed (scene ngeyel gak mau narik tangan ke dalem pas di angkot, minta jemur keset, dan gak mau makan). karakter Kusdalini yang digambarin di sini mengingatkan gua sama eyang gue pas udah sakit (cediiih). gimmick2 propaganda ala penguasa mungkin bisa terlupa tapi semangat mah gak akan padam and that’s what matters.

 
beberapa angle scene rumah sakit bikin gua agak bertanya juga, ketika Kusdalini yang berbaring disorot dari sisi kakinya memang agak creepy. 


oiya talking about menderita, are they really? yang pasti mereka menderita karena usia dan (hampir) absennya jaminan sosial negara, tapi di luar itu kayaknya film ini gak secara asal ngeliatin mereka sebagai orang yang perlu dikasianin, lebih sebagai sosok yang perlu di-look up to. 


menurut lo risetnya harus diperdalam di mana? what are your expectations?

you: menarique dan di banyak hal i setubuh. kalau film ini berdiri sendiri dan belum ada diskografi film/literatur tentang 65 yang sudah cukup panjang gue mungkin lebih gampang menerima bahwa mungkin juga film ini bisa membawa diskursus tentang 65 ke tataran yang lebih mainstream tanpa dicancel oleh oknum. tapi masalahnya film/literatur tentang 65 di sini, terutama yang diproduksi oleh manikebuis atau protege-protege mereka, udah banyak banget yang mengedepankan sisi kemanusiaan (dengan sengaja) daripada sisi politiknya—yang bukan bagian dari kekerasan budaya ala yang dijelaskan wijaya herlambang i imagine dengan harapan yang sama untuk memainstreamkan isu ini tanpa ditakis orang-orang yang masih pki-phobic—tapi kok sejauh ini isunya ga mainstream-mainstream yak? yang ada malah konteks sejarah itu lama-lama hilang tak berbekas. jangan-jangan ini tujuan sebenernya! tiap tahun apalagi dekat-dekat september/oktober pasti harus jelasin lagi eh korban tragedi 65 itu orang-orang seperti kusdalini dan kaminah ini loh, bukan jenderal-jenderal ituh. so i guess what i’m looking for is balance? antara cerita tentang kemanusiaan dan analisa tentang politik anti-komunis yang tidak pernah manusiawi? the two don’t have to be mutually exclusive.


ke-queer-an mereka menarik sih emang, apakah itu sebuah metafora yang halus tentang survival sebagai penyintas 65? kalau mau survive ya kudu berada di luar sistem (seperti queer kids di dalam sexuality yang heteronormatif (atau non-homonormative queers di dalam queerdom yang just so?)). also bahwa kequeeran ini juga ga dibikin terang benderang menurut gue juga menarik, jadi antidote bagi kequeeran ala barat yang lebih mendominasi (di twatter!). tapi memang, walaupun gue jawir sendiri, ada juga momen di mana gue ragu, apakah si filmmaker membuat ini jadi super subtle dengan sengaja, atau dia justru tidak sadar dengan kemungkinan ini? (walaupun itu tentu bukan halangan buat sebuah queer reading tentangnya)


i also agree bahwa kusdalini dan kaminah, despite their (buat gue) obvious suffering, memang digambarkan sebagai superwomen buat dikagumi bukan karakter dalam poverty porn buat dikasihani. tapi gue jadi teringat sebuah kasus yang gue baca di twatter, tentang temen gue yang kena covid trus dia ga bilang siapa-siapa bahkan ke teman-teman terdekatnya, cuman isoman di kosan, beli makanan pakai paylater karena lagi tiris dan ga mau ngutang, sampai teman-temannya pada setengah marah pas dia spill penderitaan dia di twatter sehabis pulih. kebanyakan netijen membaca kisahnya sebagai kisah heroik tentang kekuatan individual buat survive di dalam sistem yang tidak mendukungnya samsek, memberikan bantuan seitil pun tidak. tapi buat gue di dalam kisah tedxable ini keabsenan negara/pemerintah jadi pretty much terlupakan, they didn’t get the roasting they deserved. gue sih juga pengen nyembah sungkem sama kusdalini dan kaminah, tapi gue ga akan lupa kalau yang membuat mereka harus tinggal di rumah beratap bolong (the state is unwilling to put roof over their heads!) adalah negara. 


ekspektasi gue mungkin jadi lumayan tinggi karena gue udah nonton film dialitanya udin yang sayangnya sampai sekarang belum bisa rilis (if you must know salah satunya karena beberapa kontennya dianggap terlalu berbahaya!). film itu juga tentang persahabatan, bahkan di antara beberapa perempuan penyintas sekaligus (a full community, not just an isolated couple!), dan menurutku di situ udin bisa tuh menggali lebih jauh ingatan kolektif tentang 65 sekaligus emosi-emosi pribadi perempuan-perempuan penyintas ini dan mengkombokannya menjadi sebuah cerita yang hiks banget bikin mewek tapi juga tidak memalingkan muka terhadap fakta-fakta sejarah yang membuat cerita mereka jadi hikz bingitz. sori gue ngomong tentang film yang lo belum nonton, i’ll try to keep it short, tapi mungkin keunggulan film udin, yang kemudian jadi gue harapkan ada di you and i juga, salah satunya adalah struktur narasi filmnya. di situ perempuan-perempuan penyintasnya sejak awal juga super fierce, tapi ke-fierce-an ini sedikit demi sedikit digerogoti seiring makin jauh mereka bercerita dan mengalami kembali personal/political herstories mereka sampai akhirnya, di sebuah scene tak terlupakan di antara dua mbah-mbah yang pernah dipenjara di plantungan, ke-fierce-an tadi runtuh, saat mereka menyadari yang mereka punyai tinggal satu sama lain. jika yang satu mati, ga ada lagi you and i, yang ada cuman this fucking state and i. how unfair to both of them. nah di situ pinter banget sih menurutku si udin “memainkan” emosi kita, membuat kita sempat percaya bahwa human will shall triumph over all adversities, tapi kemudian meretakkan kepercayaan itu sedikit demi sedikit sampai akhirnya hancur berantakan. bukan sesuatu yang manipulative in a bad way menurutku, why be adverse to emotional manipulation in a doco?, justru menurutku itu deskripsi yang akurat tentang delusi yang kita semua butuhkan agar dunia berasa gak taik-taik amat dan kita gak cabs aja dari situ bukan?


sementara buat gue you and i cukup puas dengan menonton saja. the film is just there to document, not to make a comment, let alone manipulate the story to present an argument about state crime. valid-valid aja i suppose, baiknya dia jadi menangkap momen-momen kecil yang memberi film ini tekstur (ngeyel ga mau masukin tangan di jendela angkot itu juga kaporit gue), jeleknya buat gue film ini mungkin akan selalu perlu advokator kayak lo buat menjelaskan tempatnya dalam konteks historiografi tentang 65 agar gak diadopsi sama manikebuis jadi bagian dari pki-erasure mereka. 

i: di sini kayaknya jadi ada sebwah kesimpulan yang gua tarik secara sotoy yang ada kaitannya sama swasensor dan akses kebanyakan orang sama film 65 (gue si sebenernya, warga endonesa dengan akses secukupnya tapi tidak ekstra). banyaknya film tema 65 yang ngedepanin sisi humanis dan sulitnya film-film yang dianggep “berbahaya” disebarluaskan secara masif itu hubungannya akibat-sebab yang jadi lingkaran setan yah. selama akses sama film berbahaya dibatesin, eksplorasi pembuat film dan literasi penontonnya sama topik-topik 65 ya muter di situ-situ aja. the fact that i haven’t seen film Udin tentang Dialita dan elo udah itu aja udah jadi contoh. diskusi soal film udin ini cuman jadi teaser buat gua doang jadinya, hiks. buat pembuat film, jadi pinter-pinteran bersiasat di ruang yang terbatas, karena apa gunanya bikin film kalo sulit ditonton orang. jadi ada swasensor yang gua curigain bahkan terjadi di proses ngide. kayaknya kalo mau menunjuk state lebih tegas, keseluruhan ekosistemnya juga harus dibongkar dengan menyediakan lebih banyak ruang-ruang aman buat film “berbahaya”. gimana kita mau ngarep punya estetik dan narasi subversif kalo pemutaran film 65 yang paling subtil aja dilarang-larang? (ini belom ngomongin global funding yang nganggep 65 seksi yah, itu kayaknya lebi rumit lagi masalahnya).


disadari atau pun nggak, pembacaan non-normative kinship (terminologi apa pula ini? ngarang gua) tetep penting karena artinya ada tekstur lain yah yang bisa dieksplorasi di tema besar 65 ini dan tekstur itu ternyata ada di pengalaman sehari-hari perempuan di luar sistem serta seluruh affect dan habitus yang menyertainya. ide bahwa we only have each other menurut gua juga tersirat di narasi akhir you and i ini, di caption in memoriam terhadap Kaminah. pas kelar itu gua pikir daym, Kaminah nyusul Kusdalini karena mungkin selama ini Kaminah bertahan hidup buat sahabatnya itu juga. 


let’s hope advokator kiri masi lebi banyak dibanding yang humanis universalis manikebuis itu dan aku bisa segera nongton pilemnya udin so we can have a further discussion x)))

*You and I disutradarai oleh Fanny Chotimah. bisa ditonton di bioskop online. foto dicopyleft dari cineverse.id

my stupid boss: kebegokan yang emang gitu ajah

unnamed

Film terbaru Upi yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis chaos@work adalah satu dari banyak film yang potensial menghibur tapi nggak jadi menghibur karena karakter yang nggak logis dan nggak jelas perkembangannya sepanjang cerita.

Reza Rahadian kali ini bermain sebagai bos perusahaan spareparts mobil tua (nampaknya, karena itu gak terlalu jelas). Bodinya gendut sumpelan dan kepala agak botak. Istrinya anak konglomerat yang hobi belanja furniture mewah 2x sebulan dan masak masakan rusia. Bossman ini pelit medit setengah mati sering gak bayar gaji anak buahnya, malas beli ac baru, dan nunggak bayar internet dan sewa tanah sampe disatronin mafia malaysia. Lalu ujug-ujug pak bos ini berubah jadi filantropis di akhir cerita gara-gara ketemu anak yatim piatu berkaki O yang membimbing temannya yang tuna netra kembali ke panti asuhan. Tapi, jangan sedih, dia tetep merki kalo sama perusahaan dan anak buahnya.

BCL jadi pemeran utama sekaligus narator cerita bernama Diana yang nggak betah jadi istri nganggur di negeri Jiran sementara suaminya susah diajak ngobrol karena manteng muluk depan laptop, semacam pekerja lepas yang nggak perlu ngantor. Jadilah Diana ikrip sama tetangga rumpi yang doyan banget ngejelekin orang. Tapi bukan itu juga yang mendasari dia cari kerja, karena dia tampak menikmati rumpian sama mereka. Sementara suaminya ngaku gak mau denger curhatan soal kerjaan, karena Bossman adalah sahabat lamanya waktu sekolah di amrik (kenapa harus amrik macam drama2 korea? apakah ini masih aspirasional?)

Karakter pendukung lain juga secara permukaan cukup menarik. Pekerja kantor, karyawan bengkel, semua punya keunikan, walaupun klise. Yang Melayu Islam sibuk zikir sambil baca buku fiqih wanita, yang Cina kompeten tapi underused jadi ngantuk terus, yang arab sibuk sisiran memikat Melayu Islam satunya yang tampak cukup beres kerja, tapi gak jelas juga kerjanya apa, lalu ada teknisi india dan bangladesh yang matter-of-factly banget.

“Dia emang gitu orangnya,” Alex Abbad yang makin cungkring bergigi coak berulang kali menjelaskan kenapa bos kantor baru istrinya (BCL) ini begitu nyebelin. Mungkin “emang gitu orangnya” inilah yang ada di kepala Upi saat membangun karakter-karakternya.

Ada banyak banget potensi konflik yang menarik di sini. Mungkin masculinity issue Reza Rahadian? Mungkin ketidakbahagiaan BCL sama perkawinannya karena sulit konek sama Alex Abbad yang pasif? Pelecehan seksual di kantor? Eksploitasi pekerja? Tapi sayangnya, semua dialognya gak menuju ke mana-mana. BCL cuma sibuk jadi tukang protes yang tiba-tiba bernafsu pengen balas dendam lempar bom sama bosnya, tapi begitu rencana dijalanin yang paling pol cuman gunting kabel speaker dan ngambek gak masuk kantor. Bahkan kompetensi kerja dia yang katanya hebat itu gak keliatan. Reza Rahadian hanya jadi seorang bos yang udah keras kepala bloon lagi. Tapi semua masalah yang dia timbulkan reda sendiri. Alex Abbad ya jadi penengah.

Bahkan ada satu adegan yang harusnya bisa jadi sebuah scene memorable yang penting dalam sejarah sinema Indonesia, simbol kemenangan kelas pekerja terhadap pemilik modalnya: saat semua karyawan dari semua ras nari rame-rame pake lagu Melayu. Sayangnya, menang atas apa nggak jelas (gara-gara nelpon bos tengah malem?). Jadilah adegan itu sekedar sempalan absurd yang menuhin checklist bahwa film ini harus memenuhi semua stereotipe kita sama Malaysia. Padahal, saya berharap Upi nggak sekedar menghasilkan film yang “emang gitu aja.”

Oleh: Ratri Ninditya

 

*gambar diambil dari sini