k-pop haram: upaya mengambil alih ruang milik perempuan

Oleh: Ratri Ninditya

Beberapa waktu lalu, seruan Ustad Somad menyebut penggemar Korea kafir membuat publik gusar. Ada satu hal yang ingin saya angkat di sini. Ketika sebuah ruang yang didominasi perempuan muncul, laki-laki cis straight akan berbondong-bondong datang untuk mengatur dan mengambil alih. Perlu dicatat, tulisan ini tidak berasumsi bahwa semua penggemar korea adalah perempuan, tapi nilai-nilai yang kita anut membuat perempuan (terutama yang muslim) menjadi subjek yang sangat disorot dalam komunitas penggemar ini. Penggemar korea sering dibilang gila, obsesif, tidak rasional (tapi apakah penggemar otomotif dan olahraga lebih valid dan masuk akal?).

Ustad Somad adalah orang yang kesekian menggunakan perspektif agama untuk mengecam para penggemar Korea Selatan (untuk selanjutnya kita sebut Korea saja). Seorang ustad lain bernama Fuadh Naim, dengan cara yang lebih persuasif menghimbau umatnya untuk “hijrah” dari obsesi mereka akan Korea. Menurutnya, menggemari artis Korea adalah dosa. Fuadh Naim menggunakan dirinya sendiri sebagai contoh orang yang telah hijrah. Dia menyebut dirinya seorang mantan penggemar Korea, atau dalam bahasanya, #pernahtenggelam. Fuadh Naim secara elaboratif melakukan berbagai upaya untuk berhenti suka dengan Korea, termasuk melakukan wisata selamat tinggal ke Korea Selatan (bersama istri). Fuadh Naim bahkan memproduksi sebuah web series dengan alur dan formula drama Korea, tapi diperankan oleh perempuan berhijab dengan pesan-pesan ketaqwaan pada Islam. Serial yang berjudul “Teman ke Surga” ini ia promosikan sebagai “pengganti drama Korea”.

Secara garis besar, Teman ke Surga menceritakan kisah cinta Dinda, seorang jurnalis kampus berhijab yang taat, dengan Farhan, seorang musisi yang tidak religius. Dinda menerbitkan cerita tentang rencana Farhan menyumbang kepada rakyat Palestina, padahal maksud Farhan hanya bercanda. Untuk menyelamatkan mukanya, Farhan butuh uang untuk betulan menyumbang, dan satu-satunya cara adalah menikah (dengan Dinda). Kisah cinta mereka tumbuh dari lawan menjadi kawan, dari saling benci menjadi cinta. Sambil keduanya cinta-cintaan, Dinda menggiring Farhan menjadi lebih religius.

Walau sarat pesan ketaatan beragama, drama ini menunjukkan nilai mana dari drama Korea yang serupa dan cocok dengan perspektif seorang pria muslim dan nilai mana yang ditentang. Yang mengejutkan, nilai yang dipertentangkan sangat sedikit. Drama menggambarkan keresahan serupa mengenai pernikahan dan pentingnya membentuk keluarga. Karakter perempuan dirayakan dan digambarkan sebagai sosok perempuan ideal. Dinda sebagai istri justru mengimani suaminya Farhan untuk jadi lebih religius. Dinda, seperti pemeran utama perempuan pada kebanyakan drama Korea, adalah sosok yang cerdas, pekerja keras, dan tegas menyatakan pendapatnya. Perbedaannya hanya pada bagaimana ia menolak sentuhan fisik sebelum menikah, cara berpakaiannya, dan usia muda pernikahannya (yang mungkin sudah ilegal dengan kebijakan baru usia minimum menikah!). Di episode pertama, Dinda menolak hand-grab, gesture tipikal pada drama korea yang menandakan dominasi, otoritas, dan posesifnya tokoh laki-laki kepada tokoh perempuan. Lalu cerita menggunakan justifikasi pernikahan untuk menampilkan adegan-adegan yang perlu dan jadi bumbu serial tersebut: sentuhan fisik dan kohabitasyiong.

Dalam khotbah-khotbah sosial medianya, Fuadh Naim juga sering mengolok-olok reaksi seksual perempuan berhijab terhadap idol Korea dan menghubungkannya dengan ayat Al-Quran dan hadis. Dalam postingan ini misalnya, ia men-screencap seorang komentar fans berhijab yang ingin jadi botol yang diminum seorang idol. Naim berkhotbah, bahwa ia diciptakan sebaga khalifah, bukan fangirl, apalagi botol. Postingan-postingan Naim dimaksudkan untuk jadi kontroversial. Kebanyakan yang merespon adalah perempuan berhijab dan muslim, yang kelihatannya merupakan target pasarnya.

Fuadh Naim adalah contoh bagaimana sistem patriarki masyarakat mencoba mengatur subjektivitas perempuan. Lucunya, cara ia mengatur adalah dengan merayakan sifat-sifat perempuan asertif, mandiri, dan intelek yang masih bisa diterima perempuan muslim Indonesia.

Di tahun 2011, Hyun Bin berkunjung ke markas angkatan laut Indonesia di Cilandak, Jakarta. Kunjungannya disebut media sebagai bagian dari tugas wajib militernya. Namun Hyun Bin diundang tidak hanya sebagai prajurit tapi juga dalam rangka pembelian senjata dan perangkat militer dari Korea Selatan (pesawat T-50 dan kapal selam). Selama kunjungan itu, Hyun Bin menjadi semacam badut ganteng yang tak hanya ikut latihan militer sekedarnya tapi juga menyanyi untuk puluhan (atau ratusan?) fans ibu-ibu di Jakarta.

Kunjungan ini menandakan pentingnya menciptakan citra baik militer Indonesia. Acara ini juga dapat dibaca sebagai sebuah gesture simbolis dari sebuah institusi maskulin mengambil alih sebuah ruang yang dikenal sangat non-maskulin.

Korean wave sebagai sebuah ruang yang didominasi perempuan ternyata sanggup membuat senewen struktur patriarki, yang terwujud dalam tokoh agama dan instansi militer yang berbondong-bondong mengokupasi dan mengatur. Dinamika ini menunjukkan potensi readership perempuan untuk memutarbalikkan kuasa ke arah berbeda, tempat perempuan dapat membayangkan relasi antar gender yang lebih setara.

Catatan cucoklogi:

Fenomena budaya pop Asia sendiri memang mendapatkan relevansinya di masyarakat Indonesia yang berlatar belakang agama cukup kuat. Konteks historisnya adalah pergeseran dominasi maskulin/militer pasca orde baru, terbukanya arus informasi transasia, etos kapitalisme, dan kebutuhan untuk memiliki representasi alternatif dari Hollywood, di mana tokoh-tokohnya berorientasi pada hasil akhir. Sifat kerja keras pantang menyerah tokoh perempuan dalam drama Korea dihargai sebagai nilai moral itu sendiri, yang kebetulan sejalan dengan ajaran agama Islam yang berusaha dan berserah diri ketika semua usaha sudah diupayakan.

Melalui etos kapitalis ini (kerja keras pantang menyerah), perempuan kelas menengah Indonesia bisa membayangkan hubungan yang lebih emansipatif di masyarakat, menjadi kuat dan mandiri di tengah struktur masyarakat yang patriarkis sambil tetap memegang teguh nilai agama dan nilai kolektif dalam keluarga.

Sumber catatan cucoklogi:

Chua, BH 2012, Structure, Audience and Soft Power in East Asian Pop Culture, TransAsia: Screen Cultures, Hong Kong University Press, HKU, Hong Kong.

Heryanto, A 2014, Identity and pleasure : the politics of Indonesian screen culture, Kyoto CSEAS series on Asian studies / Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University ; 13, NUS Press in association with Kyoto University Press Japan, Singapore.

Love Alarm: Alarm Pengingat Ekses Teknologi Pada Interaksi Sosial Manusia

Kalau dunia barat punya Black Mirror sebagai rambu-rambu ekses teknologi pada kehidupan sosial manusia ‘in the near future’, asia juga kini meresponnya dengan cara-cara yang lebih subtle namun juga tetap mengerikan. Salah satunya dalah sebuah serial drama korea Love Alarm yang tayang di Netflix.

Cerita ini ditandai dengan ditemukannya sebuah aplikasi Love Alarm. Aplikasi yang menghubungkan perasaan manusia dengan smartphone hingga bia seseorang yang dia taksir berada dalam radius 10 meter dan orang itu juga terdaftar dalam aplikasi Love Alarm, maka alarm di smartphone-nya akan berbunyi.

Love-Alarm-Season-1-Netflix-Title-Poster

Karakter tokoh utama di drama ini adalah Kim Jo-jo yang diperankan Kim So-hyun. Seorang gadis ceria yang menyimpan sejarah kelam dan diwarisi hutang keluarga, yang menyalakan Love Alarm milik model ganteng kaya raya dengan keluarga yang tidak harmonis; Hwang Sun-Oh. Jo-jo juga menyalakan Love Alarm milik seorang SJW, Lee Hye-yeong sahabat Sun-Oh.

Segala konflik dalam drama ini mengikuti pakem drama Korea yang sudah ada, tapi menariknya justru ekses aplikasi Love Alarm ini, karena lambat laun menyalanya alarm cinta itu menjadi sebuah afirmasi dari perasaan lawan jenis atau pasangan. Bahkan lebih jauh lagi menjadi sebuah currency, karena bila seseorang alarmnya dinyalakan ribuan orang karena saking charmingnya dia akan memiliki badge dan diberi fasilitas-fasilitas khusus, seperti membership klab dan diundang ke event-event heits -mengingatkan kita pada episode Nosedive di serial Black Mirror-.

Ini menyebabkan keuntungan akan selalu dimiliki oleh orang yang populer juga menarik sedangkan orang yang tidak populer akan semakin terpinggirkan seperti menggambarkan orang yang punya privilese akan semakin beruntung kebalikannya orang serba kekurangan akan semakin terpinggirkan, bahkan puncaknya banyak orang yang bergabung dengan komunitas Zero Ring dan memutuskan bunuh diri masal. Zero Ring adalah orang-orang yang Love Alarmnya tidak pernah berdering alias gak ada yang naksir. Ini  menyebabkan protes besar-besaran oleh sebagian orang pada aplikasi Love Alarm.

Ada sebagian orang lagi seperti Lee Hye-yeong yang memutuskan untuk mengabaikan ketergantungannya pada Love Alarm dengan meng-uninstall karena ingin merasakan bagaimana hidup tanpa aplikasi tersebut. Ide seperti nostalgia pada masa lalu ini juga pernah disajikan sebuah film rom-com Filipina, Ang Babaeng Allergic Sa WiFi (2018) yang menceritakan ketika seorang perempuan menderita alergi pada sinyal wifi dan akhirnya bernostalgia hidup di daerah terpencil tanpa sinyal wifi dan embracing hidup tanpa teknologi, ini untuk sebagian orang Indonesia mungkin tidak sulit dibayangkan karena masih banyak orang yang tidak menikmati hidup dengan sosmed, teknologi, dan atribut-atribut kehidupan modern. Atau barangkali justru mereka menikmati hidup tanpa perasaan FOMO bila tidak melihat timeline?

Bagaimana cerita “KKN di Desa Penari” menggambarkan masyarakat kita

Oleh: Ratri Ninditya

Ketika cerita KKN di Desa Penari jadi viral di Twitter, pembahasan terpanas dari beberapa orang di sekitar saya adalah seputar ada atau tidaknya hantu. Di WhatsApp group RT saya, bahkan seorang dokter mengkaitkan firasat dan kemampuan melihat hantu dengan gejala psikosis.

Di tulisan ini, ada atau tidaknya hantu tidak terlalu penting, begitu juga akurat atau tidaknya cerita. Yang menarik buat saya adalah bagaimana cerita ini menggambarkan cara pandang kita terhadap hal tertentu, terutama menyangkut seksualitas, tubuh (terutama yang muda dan perempuan), dan agama. Bagi saya, cerita ini menunjukkan bahwa kita masih misoginis dan normatif. Cerita ini masih berfungsi sebagai sebuah pedoman moral, yang menciptakan batasan akan apa yang “diperbolehkan” dan “dilarang” dan apa konsekuensinya jika seseorang “menolak patuh”.

Dalam cerita, seluruh karakter protagonis perempuan digambarkan tidak berdaya dan butuh bantuan lelaki lebih tua untuk keluar dari kutukannya (Widya dan Nur). Sebaliknya, karakter perempuan yang bertindak mengikuti hasrat seksualnya (Ayu) digambarkan sebagai antagonis dan dihukum di dalam cerita. Hubungan seks di luar pernikahan dipandang sebagai sebuah kesalahan fatal, padahal hubungan tersebut sesuai persetujuan kedua belah pihak. Lebih jauh lagi, cerita ini menyebutkan bahwa Ayu membuat Bima mau tidur dengannya melalui guna-guna (selendang hijau yang dipinjamkan oleh Badarawuhi), bukan karena Bima sendiri yang bersedia. Bima “khilaf”, menurut penutur cerita.

Selain itu, aktivitas menari dikaitkan dengan ritual pengorbanan. Dalam tarian di cerita ini, tubuh perempuan diobjektivikasi, bukannya mendapat otoritas. Perempuan menari untuk menghibur warga lelembut (sebelum dikorbankan). Tubuh perempuan penari di cerita ini adalah milik warga lelembut, bergerak di luar keinginannya sendiri. Menari juga dijadikan sebuah hukuman akan ketidakpatuhan Ayu yaitu berhubungan seks di luar nikah. Badarawuhi, sebagai tokoh perempuan sakti, berbeda dari Nyi Roro Kidul atau tokoh lain yang sering Suzanna perankan. Karena di cerita ini, Badarawudi meminta tumbal berupa perempuan perawan muda, alih-alih lelaki hidung belang.

Dari plot tersebut, tampak juga bahwa cerita ini mengkultuskan keperawanan dan kemudaan perempuan. Kenapa tumbalnya harus seorang perempuan muda perawan? Apa yang istimewa dari kondisi tersebut?

Yang terakhir, mencoba mengelaborasi diskusi dengan seorang teman, hukuman menari terhadap Ayu uncannily mengingatkan kami dengan kasus-kasus persekusi warga terhadap pasangan yang berhubungan seks luar nikah. Buat kami, Ayu dan Bima adalah satu contoh dari korban persekusi lain di seluruh Indonesia yang trauma dengan tindakan warga lalu terkena gangguan mental.

KKN di Desa Penari, baik itu versi Widya atau Nur, adalah produk masyarakat patriarki dan misoginis yang masih sibuk dengan kepatutan sikap perempuan di ruang publik dan privat. Saya menunggu banget versi feminis cerita ini.

*cerita KKN di Desa Penari dapat dibaca di sini dan sini

**gambar diambil dari sini dan sini