
Jangan pegang piringnya, mau gue insta duluuu! Ih di pojok situ lightingnya cakeeeep–fotoin gue di situ dong mak! Bebep gamer akuh di YouTube baru aplot video baru–naisuu! Stranger Things season 3 dah mau keluar di Netflix! Bikin potkes yok!
Kita bisa mendengar komentar-komentar demikian dalam percakapan keseharian kita. Mereka mengalir dari lidah kita dan meluncur dari mulut kita dengan sangat natural. Atau, sebaliknya, kita bisa jadi adalah salah satu dari orang-orang dari rentang usia tertentu yang masih mencoba mengikuti kosa kata masa kini—leksikon 4.0, yang, suka atau tidak, harus kita terima dan kuasai.
Internet hanyalah sebuah aspek lain dari hidup kita, tentang bagaimana kita berkomunikasi, sebagai sebuah medium dan sekaligus sebagai sebuah sarana bagi kita untuk mengekspresikan diri sendiri. Jadi, jika kita prihatin bahwa internet “masih” sebuah lahan yang tidak setara di 2019 ini, kita harus mulai menyadari bahwa hal ini hanya merefleksikan segala hal yang terjadi dalam kehidupan “luar jaringan” (sebagai lawan dari istilah “dalam jaringan” alias daring) kita.
Bagi saya, ketidaksetaraan adalah ketidaksetaraan titik.
Di awal tahun 2000, saya menemukan sebuah komunitas puisi daring di Yahoo! Groups (sebuah sarana media sosial 2.0!). Saya terinspirasi untuk melakukannya karena saya sendiri merupakan salah seorang anggota dari sebuah perkumpulan puisi daring yang berbasis di AS bernama pathetic.org (ya, namanya memang disengaja). Setiap anggota mendapatkan situs-mini masing-masing untuk memajang karya-karya mereka dan setiap orang bebas untuk saling mengunjungi situs anggota lainnya. Yang terasa spesial adalah bahwa format itu memungkinkan setiap orang untuk menuliskan pendapat mereka tentang puisi-puisi yang mereka baca dengan cara-cara yang jujur, tanpa kepura-puraan, terperinci, dan juga menyenangkan, yang membuat saya merasa disambut baik dan memungkinkan saya bertumbuh sebagai seorang penulis.
Suatu kali, saya menggunakan frase “seorang gadis hitam” di salah satu puisi karya saya. Maksud saya adalah untuk menggambarkan diri saya sendiri sebagai makhluk yang tercipta dari bayangan di tembok, tapi jelas saya gagal menghantarkan citra itu sehingga karya itu malah jadi terlihat rasis. Cukup banyak teman saya yang mengomentari puisi itu dan menunjukkan—beberapa di antara mereka dengan cara yang baik—bermasalahnya hal itu. Percakapan-percakapan tersebut mencerahkan saya.
Saya ingin meniru dinamika-dinamika yang terbuka, saling mendukung, tapi juga otokritis di Komunitas BungaMatahari (BuMa). Saya bahagia karena kami cukup berhasil dalam mencapai hal itu secara alami. Kami telah mengalami bagaimana rasanya saling memberdayakan sebagai bagian dari sebuah komunitas para penulis—dari berbagai gaya—selain juga memiliki kebebasan untuk bereksperimen dan mengeksplorasi seni puisi sebagai individu.
Moto kami, semua bisa berpuisi, adalah kunci tentang bagaimana kami berkomunikasi dan menghadirkan diri kami sendiri dalam berbagai proyek berbeda yang kami kerjakan daring atau IRL. Kami membuka pintu kami untuk siapapun yang bercita-cita untuk mengejar karir penulisan, menulis untuk kesenangan mereka sendiri, atau bahkan menikmati tulisan dan hanya sesekali menulis di antara pekerjaan harian mereka yang membosankan. Sangat menarik untuk mempelajari bahwa para anggota BuMa adalah sebuah kumpulan yang sangat beragam: para pemilik warung internet, pegawai bank, seorang pramuniaga untuk perusahaan distributor udang, seorang staf perusahaan asuransi, selain juga para copywriter, para desainer grafis, dan para pekerja lain dari industri kreatif yang sudah bisa diduga.
Saya ingat bahwa sejak tahun-tahun awal, kami memiliki keingintahuan alami untuk mengenal orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama dalam puisi dan sastra pada umumnya. Kami juga meluaskan jaringan kami, bergabung dengan berbagai milis sastra dan menghadiri ajang-ajang dan diskusi sastra. Kami bertemu dan berbincang dengan para penulis yang menarik, para aktivis sastra, dan para penggemar buku, yang termasuk Wien Muldian, Olin Monteiro, Richard Oh, Joko Pinurbo, Saut Situmorang, dan Katrin Bandel. Rumah Dunia (diorganisir oleh Gola Gong di Serang), dan para tokoh termasyhur seperti Teater Utan Kayu (TUK) Goenawan Mohamad/Salihara dan Yayasan Lontar milik John McGlynn.
Setelah beberapa waktu, kami semakin akrab dengan pemetaan yang ada dan, tentunya, politik sastra negara kami. Salah satu yang paling memilukan adalah mengetahui bahwa di awal 90an, salah satu yang harus dilakukan oleh seorang penulis pemula yang ingin maju dalam karirnya atau menerima kesempatan pendanaan atau meraih visibilitas, adalah dengan berada dekat sekali dengan sebuah kelompok kecil tertentu, khususnya TUK dan jaringannya.
Tentu saja ada kritikan dan protes yang dilontarkan pada perkumpulan kuat ini. Tapi, karena mereka juga secara praktis “mengkurasi” halaman-halaman sastra di koran-koran nasional terbesar (pada saat itu adalah saluran paling bergengsi bagi para penulis Indonesia), mereka lebih dari mampu untuk membatasi oposisi mereka di internet; sebuah alam dan medium yang mereka anggap sebagai “tong sampah”, lokus diskusi tidak penting, untuk menjaga otoritas mereka selain membungkam suara-suara pengkritik mereka—di mana pada saat yang sama duduk di kursi pengemudi untuk mengendalikan “selera” sastra bangsa, memutuskan sastra jenis apa yang bisa dianggap berharga akan pengakuan nasional dan/atau internasional.
Para penjaga gerbang sastra ini memiliki kekuatan untuk “menghapus” para penulis yang mereka anggap tidak cocok ke dalam narasi politis dan imajinasi mereka tentang wujud sastra Indonesia yang seharusnya. Salah satu penjaga gerbang sastra ini adalah Goenawan Mohamad, seorang operator (sastra)-politik cerdik yang menjalankan TUK, kini Salihara. Internet adalah situs di mana kelompok oposisi atas Goenawan pertama berkembang. Dua dari para kritikus yang vokal akan kelompok TUK adalah penyair Saut Situmorang dan kritikus Katrin Bandel, yang pada suatu masa merupakan tokoh polisi baik-polisi jahat dalam sastra Indonesia.
IRL, buku penting almarhum Wijaya Herlambang berjudul “Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film”—mengikuti jejak buku “Who Paid the Piper?: the CIA and the Cultural Cold War” karya Frances Stonor Saunders—menunjukkan bagaimana Goenawan bisa jadi telah menerima bantuan dari Kongres Kebebasan Budaya (Congress for Cultural Freedom/CCF), sebuah organisasi filantropis yang dibentuk oleh Central Intelligence Agency (CIA) pada 1950, dalam upaya-upayanya untuk menyetir arah sastra Indonesia setelah 1965, saat banyak penulis kiri Indonesia—termasuk Pramoedya Ananta Toer—dibui, diasingkan, atau dibunuh.
Dalam sebuah artikel di IndoProgress, filsuf dan novelis Martin Suryajaya menggali arsip-arsip di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin dan menemukan berbagai korespondensi antara Goenawan dan Ivan Katz, perwakilan Program Asia. Martin menyebut Katz sebagai “manajer politis” Goenawan dan menunjukkan surat-surat di mana Katz menginstruksikan Goenawan untuk menulis pamflet-pamflet mengkritisi kegiatan-kegiatan kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saya tidak menyalahkan para penulis yang telah memutuskan untuk bersekutu dengan TUK/Salihara karena saya menyadari bahwa akses pada sumber-sumber finansial, atau sumber daya apapun di Indonesia, dibatasi untuk sekumpulan kecil kalangan istimewa. Hal ini membuat saya frustrasi karena melihat orang-orang di kekuasaan ini mengeksploitasi kemiskinan banyak penulis Indonesia untuk menopang pandangan sempit mereka tentang bagaimana wujud sastra Indonesia seharusnya.
Kini yang semakin membuat frustrasi adalah bahwa pemerintah akhirnya menyediakan pendanaan publik untuk program-program sastra, tapi akses ke pendanaan itu masih sedikit banyak dikendalikan oleh para penjaga gerbang ini.
Dalam salah satu malam open mic BuMa (sebelum istilah open mic masuk dalam leksikon kita sehari-hari), kami terkejut mendapati sebuah artikel di Republika, salah satu koran terkemuka Indonesia, berjudul “Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah?” pada terbitan 29 April 2001. Artikel itu ditulis oleh Ahmadun Yosi Herfanda, editor koran itu, dan salah satu argumennya adalah bahwa puisi-puisi dari internet adalah puisi-puisi yang ditolak oleh koran-koran.
Saya merasa terhina secara personal. Pemikiran muda saya berkata bahwa media internet dan cetak adalah tidak lebih dari sebuah medium. Karya-karya yang tampil di kedua media layak untuk dipuji atau dikritisi dengan adil. Tapi Ahmadun memilih untuk menjadi salah satu penjaga gerbang itu; yang menghentikan kemungkinan-kemungkinan para penulis mengeksplorasi internet sebagai sebuah panggung dan teknologi, sebagai sebuah medium untuk menciptakan tulisan-tulisan yang menguji batas-batas dari teknologi dan sastra itu sendiri.
Cara berpikir bahwa mereka memiliki hak untuk menaruh para penulis dalam kotak-kotak: sastra koran vs sastra maya, adalah manifestasi sesungguhnya dari ketidaksetaraan 2.0!
***
Sastra adalah salah satu dari banyak bentuk seni yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan cerita-cerita akan kesedihan kita, harapan, sukacita, dan penderitaan. Ada banyak cara bagi kita untuk menyampaikan cerita-cerita. Sastra seharusnya memungkinkan para penulis dan pembaca untuk melihat berbagai kemungkinan kehidupan sebagai seorang individu dan sebagai bagian dari sebuah keluarga atau komunitas, di kancah nasional dan global. Sastra seharusnya memberdayakan kita untuk mengenali penderitaan kita dan ketidaksetaraan yang berdasarkan keyakinan, norma-norma, kelas, ras, orientasi seksual, dsb. Sastra seharusnya memampukan kita untuk melihat dinding-dinding di antara kita yang telah diciptakan oleh ketidaksetaraan, dan memberikan kita kekuasaan untuk meruntuhkannya.
Tapi jika sastra tidak membuat kita mampu untuk melakukan salah satu dari hal tersebut di atas, menurut saya, kita sebagai para penulis dan pembaca sama-sama bersalah melestarikan dinding-dinding tersebut.
Menulis, di antara berbagai hal lainnya, adalah sebuah tindakan mengakui/mendokumentasikan/merefleksikan/mempertanyakan kenyataan seseorang. Itulah mengapa sangat penting bagi para penulis untuk menggali lebih dalam ke diri mereka sendiri dan tempat atau situasi di mana mereka berada, sehingga mereka bisa mengerti diri sendiri dengan lebih baik dan memiliki kemampuan untuk menemukan suara mereka dan mengetahui cara menggunakan suara mereka. Saya percaya saat mereka mengenali dirinya sendiri, karya-karya mereka akan mewakili pandangan unik mereka tentang dunia.
Seperti ukuran negara kita, kontur tanahnya, dan beragam etnis yang menyusun populasi kita, lanskap sastra Indonesia selalu luas, bervariasi, dan beragam. Untuk mencapai dan merawat kesetaraan, keberagaman, dan kebebasan berpendapat bagi seluruh penulis Indonesia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, tanpa mengesampingkan ras mereka, agama, kelas sosial, gaya dan bentuk penulisan, daerah asal, bahasa ibu, bahasa dan dialek, dan tentu saja, pandangan politik; kita perlu mengakui mereka seluruhnya sebagai bagian-bagian yang terlihat dari sejarah sastra bangsa kita. Hanya mempromosikan sekumpulan penulis di berbagai festival nasional dan internasional atau residensi, adalah tindakan penghapusan yang kejam.
Representasi internasional akan sastra Indonesia telah didominasi oleh Yayasan Lontar milik John McGlynn. Menurut sebuah artikel berjudul “John McGlynn: The uphill climb for Indonesian literature” (Jakarta Post, 11 September 2017), yayasan tersebut “didirikan pada 1987 oleh McGlynn, yang awalnya datang ke Indonesia untuk mempelajari seni wayang pada 1977, selain mempelajari para penulis terkemuka Indonesia seperti Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Umar Kayam.”
Artikel tersebut menyebutkan bahwa “yayasan tersebut didirikan sebagai sebuah cara untuk menerjemahkan sastra Indonesia bagi pasar-pasar luar negeri” tapi “yayasan itu… kini menerapkan proses seleksi yang lebih ketat untuk memilih karya-karya sastra yang mereka terjemahkan.”
Seperti apa itu “seleksi lebih ketat”? Kriteria apa yang digunakan Lontar untuk menyeleksi karya-karya yang mereka pilih untuk diterjemahkan? Seperti apa proses kuratorialnya? Apakah seluruh proses tersebut pernah diumumkan pada publik?
McGlynn dan Goenawan keduanya tergabung dalam Komite Buku Nasional yang mengatur partisipasi Indonesia dalam festival-festival buku internasional seperti Frankfurt Book Fair dan London Book Fair; seberapa banyak hak yang mereka miliki dalam memutuskan penulis mana dan karya mana yang akan “dijual” di pameran-pameran? Apakah mereka memiliki kesetaraan dalam pikirannya saat membuat keputusan-keputusan ini?
Namun, hal yang menarik setelah eksistensinya selama 32 tahun, tidak satupun penulis yang telah diterjemahkan oleh Lontar berhasil meraih tawaran besar untuk menulis buku di luar negeri. Penulis Indonesia yang paling terkenal di panggung internasional saat ini, Eka Kurniawan, mendapat tawaran-tawaran awal untuk menerbitkan buku (lewat New Directions dan Verso) melalui upayanya sendiri yang persisten untuk menerjemahkan karyanya dan membawanya dalam forum-forum diskusi di luar negeri.
Dengan mempertimbangkan rekam jejak ini, lalu mengapa McGlynn masih dipercaya untuk menjadi kepala kontingen Indonesia de facto di berbagai pameran buku internasional tersebut? Jika para penulis Indonesia masih kesulitan untuk menembus pasar internasional, apakah itu salah internet, atau salah dari para perantara sastra seperti McGlynn?
Semakin saya membaca artikel itu, semakin saya merasa tidak nyaman. McGlynn mengklain bahwa “banyak hal yang ditulis oleh orang Indonesia dalam bahasa Inggris cenderung terasa datar.” Sebenarnya, banyak penulis Indonesia yang telah menulis puisi-puisi yang luar biasa dan sukses dalam bahasa Inggris. Banyak orang Indonesia yang telah meraih gelar sarjana di negara-negara berbahasa Inggris, atau merupakan keturunan kedua orangtua penutur bahasa Inggris, dan telah terpapar pada buku-buku, lagu-lagu, berbagai film dan konten media sosial di internet (!) nyaris setiap hari dalam bahasa Inggris.
Beberapa penulis, termasuk saya sendiri, membagikan pemikiran-pemikiran kami tentang pernyataan McGlynn dalam “Is Indonesian Literature Written in English Still Indonesian Literature?” (Jakarta Globe, 12 April 2018). Kami semua setuju bahwa, walaupun kami menulis dalam bahasa Inggris, karya-karya kami masih menjadi bagian dari sastra Indonesia.
Dari sudut cara pandang pascakolonial, codeswitching atau alternasi bahasa bukanlah sebuah halangan, namun sebuah keistimewaan yang dapat digunakan untuk keuntungan kita: hal ini memberikan kita sebuah strategi lain untuk menulis perlawanan pada Empire.
***
Bagi penulis seperti saya, anak-anak internet, sangatlah membingungkan jika sebuah mimbar bergengsi seperti Jakarta International Literary Festival, yang digagas oleh salah satu institusi seni paling prestisius di Indonesia, masih saja (di tahun 2019!) mengkritisi internet dengan berspekulasi bahwa “internet masih belum mampu menyamakan lapangan permainan dalam hal mendapatkan karya-karya para penulis dari negara-negara asing maupun berkembang untuk menembus pasar internasional.”
Saya masih bingung melihat bagaimana para elite kini menuntut agar internet, yang belum lama lalu mereka kecam sebagai sebuah tong sampah—saya tidak akan bosan mengingatkan mereka tentang fakta ini berulang kali—harus bertindak sebagai penyelamat mereka, sebagai satu-satunya panggung yang dapat meluncurkan karier internasional mereka! Saat hal ini belum juga terjadi, mereka menuduhkan kecurangan dan menyalahkan internet karena gagal memenuhi janji-janjinya (yang tidak pernah dijanjikan).
Jadi apakah internet, wahai arus utama sastra Indonesia, tong sampah atau penyelamatmu? Pilih salah satu.
Namun, biarkan saya sampaikan, bahwa apapun yang terjadi bukanlah dan tidaklah akan pernah menjadi kesalahan internet.
Negara-negara Selatan seperti Indonesia, dalam dunia neokolonialis yang kita hidupi sekarang, menghadapi ketidaksetaraan dalam berbagai bentuk, termasuk ketidaksetaraan dari pasar buku global. Tapi, alih-alih memanipulasi mereka untuk menjadi keuntungan kita—seperti yang telah dilakukan Hallyu—kadang kita hanya tersangkut pada debat tanpa akhir tentang siapa atau bagaimana kita ingin sastra kita direpresentasikan di panggung internasional.
Percakapan-percakapan yang perlu tentang identitaas, ideologi, keterwakilan, pemosisian, dan kaitan-kaitan kuasa antara Barat dan Timur (dan Selatan) telah terjadi, tapi kita masih rentan tersandung ke dalam jebakan-jebakan untuk mengeksotiskan diri kita guna menarik sebuah pasar yang boleh dibilang masih dikendalikan oleh Barat.
Karena itu, adalah sangat mengkhawatirkan saat John McGlynn, dalam artikel Jakarta Post yang telah sebelumnya saya diskusikan, mengatakan: “Para penerbit tidak mencari Anda, mereka mencari Indonesia.” Apakah ia menyiratkan bahwa para penulis Indonesia harus mengabaikan ekspresi diri kami sendiri, tentang seni dan keterampilan menulis yang telah diasah bertahun-tahun oleh sebagian dari kita, tentang kisah-kisah dan kekhawatiran-kekhawatiran kita sendiri, dan sebaliknya mencukupkan diri kita sendiri dengan menjadi informan-informan setempat bagi pasar buku internasional?
Kita perlu mengingatkan diri kita sendiri bahwa lapangan permainan sastra Indonesia belum pernah setara. Jika kita ingin melawan ketidaksetaraan, kita harus memulai di halaman belakang kita sendiri. Sebuah representasi adil dari sastra Indonesia tidak akan pernah hadir selama para elite yang mengklaim diri mereka sendiri sebagai para penjaga gerbang sastra negara ini terus mengkotak-kotakkan para penulis dan karya-karyanya menjadi yang sesuai dengan selera mereka—yang telah dengan strategis mereka propagandakan melalui media nasional dan internasional, berbagai festival dan penghargaan—dan yang tidak sesuai.
Tepat sebelum London Book Fair 2019, di mana Indonesia menjadi market focus, sebuah percakapan di Twitter—dimulai oleh Tiffany Tsao, Norman Erikson Pasaribu, Madina Malahayati Chumaera, Theodora Sarah Abigail, Intan Paramaditha, dan Mikael Johani—tentang cara-cara problematik di mana sastra Indonesia digambarkan oleh para penjaga gerbang di atas menjadi agak viral.
Tidak lama, Theodora menerbitkan sebuah esei tentang isu tersebut di Jakarta Globe. Eka juga menyampaikan pemikirannya tentang hal ini di laman Facebook miliknya.
Kritik ini bukanlah hal baru. Banyak dari pada pendahulu dan rekan sezaman mereka telah meneriakkan kekhawatiran-kekhawatiran yang sama, tapi mereka tidak berhasil memenuhi KPI yang dibutuhkan untuk terus menggulirkan bola tentang topik ini.
Saya juga berpendapat bahwa aksi-aksi mereka dan reaksi audiens mereka adalah bukti bahwa, dalam dunia di mana semakin banyak orang diberdayakan untuk melawan balik para penindas mereka, maka semakin banyak pula penulis Indonesia yang juga mengklaim (kembali) hak-hak mereka, menggunakan media sosial (internet) bukan hanya sebagai sebuah panggung untuk mempromosikan tulisan dan pengaruh mereka, tapi juga sebagai sebuah alat perlawanan.
Walaupun saat ini riak (Twitter) yang mereka ciptakan telah surut, ini tidak berarti perlawanan telah berakhir. Saya telah melihat para penulis dan karya-karya kolektif dan kolaborasi di luar skena sastra arus utama untuk menciptakan ruang dan ide-ide mereka sendiri tentang bagaimana wujud sastra Indonesia seharusnya.
Estetika BuMa, mengutip pengalaman saya sendiri, banyak dipengaruhi oleh skena indie tahun 90an dan budaya bawah tanah. Beberapa anggota awal kami mengidentifikasi diri mereka dengan gaya hidup dan semangat punk/DIY (Do It Yourself), baik dalam busana maupun cara berpikir. Setelah menolak tawaran Salihara untuk menggelar ajang open mic kami sendiri di tempat mereka, kami menyadari bahwa kami akan melakukan pekerjaan kami sendiri, dalam hal pendanaan dan visibilitas. Mengingat ini lagi, saya lega bahwa kami tetap setia pada ungkapan, “Jika kamu tidak bisa menemukan apa yang kamu sukai, lakukanlah sendiri.”
BuMa kemudian mengadakan banyak kolaborasi dengan kelompok-kelompok lain, LSM, UNICEF, dan pusat kebudayaan Prancis untuk membawa puisi ke publik yang lebih luas. Kami mengadakan ajang open mic di stasiun kereta Gambir, mengadakan flash mob di sebuah bioskop (termasuk menempelkan puisi-puisi di kubikel toilet tempat itu—secara literer sebagai tempat di mana orang membuang sampah mereka), sebuah kompetisi menulis puisi untuk anak-anak (para pemenang membawakan puisi-puisi mereka bersama seorang pantomim Prancis di Taman Menteng), sebuah workshop puisi bersama Jurnal Perempuan, dan sebuah pergerakan kecil untuk meninggalkan sebuah puisi yang tertulis di secarik kertas di transportasi publik dan tempat-tempat publik, sehingga penumpang taksi berikutnya atau orang yang duduk berikutnya di sebuah kafe setelah Anda akan membacanya.
Saya terberkati karena dikelilingi oleh orang-orang yang percaya bahwa puisi adalah milik kita semua. Dua tahun lalu, kami menciptakan sebuah pentas baru untuk para penulis dari latar belakang berbeda dan dari berbagai tahapan karir untuk menampilkan karya-karya mereka, dan sejak itu saya merasakan kebahagiaan saat melihat berlimpahnya talenta-talenta muda setiap bulan di Paviliun Puisi, satu-satunya malam open mic bulanan di Jakarta.
Para penulis urban muda ini—yang rutin mendatangi tempat kami dan menulis tentang kenyataan menyedihkan bekerja untuk perusahaan-perusahaan multinasional, yang mewajibkan mereka untuk tampil sempurna, namun masih hidup dengan gaji pas-pasan; perjuangan mereka untuk menyembunyikan dan memamerkan identitas seksual mereka; stigma seputar kesehatan dan kesakitan fisik dan mental mereka; perjuangan mereka melawan nilai-nilai patriarki dalam keluarga mereka, tempat kerja, lingkungan teman-teman; beban-beban untuk meraih sukses saat mereka tidak memiliki akses akan pendidikan yang layak; dan seterusnya.
Mereka sangat cerdas menggunakan internet, sangat terpengaruh oleh apa yang mereka sukai atau tidak sukai di Instagram, Twitter, Netflix, Spotify, dan mampu untuk dengan cerdik mengikutsertakannya dalam karya-karya mereka. Banyak dari mereka yang juga menggunakan kosa kata sehari-hari, idiom-idiom populer, campuran bahasa Inggris dan Indonesia—suatu hal yang masih dianggap tidak puitis oleh para penghuni bangunan sastra Indonesia yang lebih konservatif. Mereka juga telah berkolaborasi dengan para musisi, para seniman visual, kelompok teater, penari, dan DJ. Setelah mengamati satu demi satu penampilan mereka, saya merasa justru para penguasa sastra itulah yang rugi tidak bisa menyaksikan dan mengapresiasi variasi-variasi dari gaya dan tema yang diciptakan para penulis muda ini.
Para penulis yang saya sukai sekarang ini termasuk tapi tidak terbatas pada Ratri Ninditya, Kezia Alaia, Mikhael Ray, Syarafina Vidyadhana, Rara Rizal, Farhanah, Edo Wallad, Waraney Herald Rawung, Yoshi Fe, Catharina Dwiyandani, Kafiel Alawy, Puri Dewayani, Malkan Junaidi, Y. Thendra BP, dan Arie Saptaji.
Beberapa di antara mereka telah mendapatkan tawaran penerbitan dari para penerbit besar, beberapa lainnya memutuskan bergabung dengan penerbit independen, sebagian lagi masih mengerjakan manuskrip-manuskrip mereka, dan saya bahkan menduga bahwa beberapa dari mereka tidak merasa penting untuk dipublikasikan. Tapi mereka memiliki karya penulisan penting yang tidak bisa dihiraukan oleh siapapun yang mau belajar lebih tentang puisi Indonesia.
Pertukaran-pertukaran puitis yang terjadi setiap bulan di Paviliun Puisi juga menunjukkan pada saya bahwa dialog antargenerasi, baik daring dan IRL, harus dirawat. Sebagai seseorang yang merasa telah berinvestasi dalam sastra Indonesia dan telah mencoba menggunakan keistimewaan yang telah saya raih untuk menyamakan lapangan permainan—tidak hanya membuatnya semakin mudah diakses untuk para pembaca buku domestik tapi juga, terutama, untuk mengamplifikasi suara-suara para penulis, baik yang berisik maupun yang lemah lembut—selama 19 tahun terakhir, saya telah mencoba untuk bicara pada, dan terlibat dengan, sebanyak mungkin orang dalam industri sastra dan buku.
Saya menyadari bahwa kini ada beberapa generasi yang memenuhi lapangan: 60an hingga 70an, 80an hingga 90an, dan tahun 2000an hingga 2010an. Saya mengerti bahwa mereka semua pasti memiliki opini dan kekhawatiran berbeda.
Namun, dalam pengamatan saya, situasi saat ini masih memperkenankan budaya usang patronisasi untuk kembali unjuk muka. Adalah sebuah hal alami untuk belajar dari seseorang yang kita anggap lebih berpengalaman. Tapi hal ini terbukti sangat problematik karena skena yang ada telah semakin terfragmentasi dan, dengan demikian, berisiko untuk dikendalikan oleh kelompok penulis elitis, yang, sebaliknya, mempromosikan penyebaran kesempatan-kesempatan dan pendanaan yang tidak setara.
Selama beberapa tahun terakhir, sejak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mulai menyediakan dana-dana hibah untuk menerjemahkan karya-karya Indonesia melalui sebuah program bernama LitRI yang dikelola oleh Komite Buku Nasional, yang para anggotanya termasuk Goenawan Mohamad dari Salihara, John McGlynn dari Lontar dan juga para perwakilan dari penerbit-penerbit besar Indonesia, jadi sangat jelas bahwa mereka telah mempromosikan para penulis yang itu-itu lagi di berbagai pasar buku internasional dan bahkan dengan bebas memberikan pendanaan pada proyek-proyek mereka sendiri.
Menurut saya, “konflik kepentingan” adalah cara yang baik dan sederhana untuk menggambarkan situasi ini.
Kolusi dan patronisasi seperti itu harus berakhir. Sebagaimana dikatakan Pramoedya Ananta Toer: “Seseorang yang berpendidikan akan adil dalam pemikirannya, apalagi dalam perbuatan-perbuatannya.” Semua penulis, selain juga seniman dari beragam disiplin, harus dipertimbangkan menurut kecakapan mereka dan bukan dari bagaimana terkait(atau tidak)nya mereka dengan kekuasaan.
Saat ini, saya tidak bisa mengatakan bahwa saya optimistis. Namun begitu, pergerakan-pergerakan akar rumput dan arus samping terus berkembang. Banyak penulis muda Indonesia semakin sadar politik, pandai bicara, banyak akal, dan ingin tahu akan sejarah bangsa dan sastra mereka. Mereka yang memiliki kemewahan-kemewahan pendidikan, jaringan, pengikut di media sosial, dan/atau uang sehingga bisa meluangkan waktu untuk berpikir tentang seni dan pergerakan mereka kebanyakan mampu menggunakan kemewahan-kemewahan ini tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk teman-teman sebaya mereka yang tidak mendapatkan kemewahan-kemewahan tersebut.
Karena hal ini, kadang-kadang di suatu malam saya berani bermimpi bahwa akan datang masanya di mana sastra Indonesia, baik itu dilahirkan di sebuah kota besar, desa terpencil, dalam buku harian seseorang, dalam sebuah aplikasi di ponsel cerdas, dan lalu diterbitkan atau didistribusikan melalui media sosial atau oleh sebuah penerbit besar maupun independen, akan merefleksikan kekayaan bangsa selain juga mencatat dan menebus dosa-dosa para penjaga gerbang sastranya.
Dalam sebuah dunia yang ideal, saya ingin melihat sastra arus utama, para penerbit besar, dan himpunan-himpunan kebudayaan dapat hidup dengan berbagai kolektif indie, bawah tanah, dan arus samping untuk menciptakan, memenuhi, dan berkembang bersama di ekosistem sastra Indonesia. Bukan dengan mengkooptasi atau “menghadiahi” penulis dan/atau komunitas yang “lebih kecil”, atau dengan mengikutkan mereka dalam sebuah, misalnya, festival sastra yang “bergengsi” dan “mewah” (sayangnya, JILF adalah salah satu contohnya) sebagai penghibur-penghibur pinggiran, tapi dengan bekerja bersama mereka sebagai pembuat keputusan yang setara dan sebagai perwakilan dari masing-masing estetika dan ideologi mereka.
Ketidaksetaraan di internet hanyalah ekses dari ketidaksetaraan di semua aspek kehidupan dalam sebuah masyarakat yang memang tidak adil. Masyarakat yang selalu tidak adil secara sistemik, baik kita hidup dalam era 2.0 atau 4.0. Mari kita tidak menutup-nutupi kenyataan dan mulai membuka mata kita akan ketidakadilan yang mencolok yang telah menodai bangsa kita selama berabad-abad. Selama skena sastra kita masih bergantung pada patronisasi dan kolusi, mari bersiap untuk fajar Ketidaksetaraan 5.0.
*diterjemahkan dari versi asli berbahasa Inggris “Inequality 4.0 or Simply Inequality” oleh salah satu atau banyak dari Dean Benitez, Felicca Patricia Madiadipura, Isyana Artharini, Yoga Prasetyo Lordason, atau Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie untuk panel berjudul Inequality 4.0 di Jakarta International Literary Festival (JILF) 2019; ditambah dengan revisi minor yang berhubungan dengan tata bahasa, dan kesalahan tulis di teks sumber