My Ahjussi: Kelindan Feminisme, Kapitalisme dan Kolektivisme dalam Perlawanan yang Sunyi

my ahjussi 2
Oleh Festi Noverini dan Ratri Ninditya

Orang sering heran mengapa kami nonton drama korea. Drama Korea kan seksis, kata mereka. Buat kami, drama korea bukan tidak mungkin mengandung pesan-pesan subversif, yang mempertanyakan konvensi gender dan kelas di masyarakat kontemporer Korea Selatan. Malah justru mereka bisa menyajikannya di tengah keterbatasan formula dan tuntutan untuk tetap komersil. Keberadaan drama-drama semacam ini juga sangat menarik karena merefleksikan potensi penonton untuk menerima pesan subversif tersebut.

My Ahjussi adalah salah satunya. Drama ini bicara feminisme dalam bahasa dan konteks budayanya sendiri tanpa perlu menjadi imitasi Hollywood. Drama ini mampu mengilustrasikan pertentangan gender dan kelas yang berkelindan dengan kolektivisme khas Korea dalam eksplorasi karakter yang berlapis-lapis dan cerita yang menggugah.

Marx pernah bilang kalau kapitalisme mengasingkan individu dari individu lainnya dan juga dari masyarakatnya, bahkan ujung-ujungnya, dari esensi manusia itu sendiri. Ini merupakan konsekuensi dari menjadi bagian mekanis dari sebuah kelas sosial.

Kapitalisme memang kejam, tapi yang membuat lebih merana adalah terperangkap kekejaman sistem kapitalisme dalam tatanan sosial yang konservatif dan kolektif. Sudahlah orang limbung kehilangan dirinya, di saat yang bersamaan mereka juga dipaksa tetap hadir dalam keguyuban. Korea (Selatan dan Utara), memiliki sebuah identitas kolektif yang disebut sebagai Uri (우리), yang secara harfiah berarti ‘Kita’ atau ‘Kami’. Makna Uri tentunya tidak sesederhana arti kata ‘Kita’ atau ‘Kami’ tadi. Dalam tatanan masyarakat yang hiperkolektif, ‘Saya’ hilang di dalam ‘Kita’. Identitas kolektif Uri kemudian berkelindan (intersects) dengan kelas dan maskulinitas dan menekan anggota-anggotanya untuk mematuhi kode-kode normatif yang telah disepakati untuk mencapai keteraturan dan keharmonisan masyarakat yang hakiki.

my ahjussi 5

Park Dong Hoon (Lee Sun Kyun)

Kelindan ini diilustrasikan dengan sangat realistis dalam karakter utama lelaki Park Dong Hoon (si om) yang diperankan oleh Lee Sun Kyun. Park Dong Hoon ada di pusat ini semua. Di sini kita juga melihat bahwa imbas dari patriarki tidak hanya pada perempuan, tapi juga laki-laki. Si om adalah seorang pekerja kantoran medioker kelas menengah. Hidupnya terlihat ideal: berpenghasilan tetap, beristri cantik dan bisa menyekolahkan anaknya di luar negeri. Di balik itu semua, ia terepresi dan hampa karena seumur hidup berusaha menjadi kelas menengah budiman penyokong hidup keluarga inti dan keluarga besarnya. Istrinya yang pengacara ingin ia berhenti kerja di kantor itu karena ia tidak kunjung naik jabatan. Beban maskulinitas untuk selalu stabil secara finansial membuat ia bertahan di pekerjaan itu daripada mempertaruhkan uang untuk menjadi wiraswasta dan gagal seperti kakaknya.

Di sini, Uri meleburkan konsep diri si Om sebagai individu. Mimpi dan kebahagiaannya adalah mimpi keluarga besar dan istrinya. Kesedihan dan kegusarannya tersembunyi dalam kehidupan kolektif ini. Di depan keluarga, ia hadir dengan senyum dan uang dan statusnya yang membanggakan sebagai pegawai kantoran. Cukup baik, walaupun tidak pernah benar-benar memuaskan (karena kapitalisme menuntutmu untuk terus dan terus memperbaiki diri, alias cari uang lebih banyak lagi). Jalinan Uri, kapitalisme, dan patriarki juga menghasilkan relasi sosial yang racun, sebuah lingkaran setan yang memerangkap individu, seringkali merusak kesehatan tubuh dan mental. Jam kerja yang panjang dan penghargaan yang tidak setimpal membuat orang Korea butuh “piknik”, yang diulas dalam artikel ini sebagai ‘play culture’. Si om memiliki dua saudara kandung laki-laki, Sang Hoon (Park Ho San) dan Gi Hoon (Song Sae Byeok). Mereka kumpul rutin untuk puk-puk bro berjamaah, mengasihani dan menjustifikasi maskulinitasnya masing-masing ditemani alkohol dan kesedihan yang ditekan dalam-dalam. Setelah ritual selesai, ketika sendirian di tempat tidur masing-masing, kegusaran mereka kembali hadir.

Lalu apa sih yang specifically feminis dari drama yang jika diterjemahkan berjudul “Om Aku” dan memasang dua tokoh utama (Lee Sun Kyun dan IU) yang rentang umurnya dua puluh tahunan? Kok kedengaran seperti romantisasi yang disturbing hubungan daddy-daddy dan sugar babynya?

 

Dalam konvensi drama Korea kebanyakan, gaze, atau pandangan, tertuju pada perempuan. Tubuh dan kelakuan perempuan seolah menjadi kiblat di mana nilai-nilai kebaikan berpijak. Saat perempuan tokoh utama kehilangan nilai-nilai kebaikan ini maka peran lelaki adalah untuk datang dan menyelamatkannya dari jurang nestapa. Biasanya butuh dua laki-laki untuk ‘meluruskan’ si perempuan, yang satu dapat ciuman tulus dan satu lagi gigit jari.

Namun, gaze dalam My Ahjussi selalu milik tokoh utama perempuan. Selama 24 jam setiap hari ia mengawasi gerak-gerik si Om melalui ponsel om yang dia sadap. Di sebuah kota dengan mata (secara kiasan dan harfiah) yang selalu mengawasi dan siap mengadili tubuh-tubuh warganya setiap saat, penggunaan elemen sadap yang justru dilakukan oleh tokoh perempuan adalah unsur yang sangat menarik dari serial ini. Alih-alih mengadili tingkah laku perempuan, serial ini menginterogasi cara pandang masyarakat urban Korea Selatan terhadap perempuan, terutama yang muda dan miskin, pengkotak-kotakan gender dan perannya di masyarakat, termasuk tuntutan-tuntutan untuk menjadi lelaki “tulen”. Yang juga menarik, gaze versi perempuan ini bentuknya bukan video/visual, melainkan suara, sebuah sindiran terhadap istilah “perempuan adalah pendengar yang baik.” Dengan alat sadapnya, perempuan tokoh utama, Lee Ji An, yang diperankan IU, adalah dalang cerita dan selalu berada beberapa langkah di depan orang lain. Ia punya kontrol penuh atas hidupnya dan bahkan sanggup mengendalikan hidup orang lain.

my ahjussi 6

Lee Ji An (IU)

Lee Ji An hadir sebagai sosok subversif antitesis Park Dong Hoon: miskin, nyablak, agresif, mengganggu keimanan si om. Ji An tidak merasa perlu ikut ‘hweshik’ alias makan-makan kantor demi menjalin keakraban dengan rekan kerja. Dia cuma melakukan pekerjaan kantor seperlunya, pulang ke rumah menemui neneknya yang sudah tidak bisa berjalan, lalu minum 3 sachet kopi instan. Selain karena gratis dan biar lekas kenyang,  kandungan gula tinggi dalam kopi instan jadi penawar hidupnya yang terlalu pahit dan melelahkan.

Karena kelas, usia dan gendernya, tak ada yang menyangka Ji An pandai dan cerdik, sebuah refleksi masyarakat yang selalu menganggap enteng perempuan muda apalagi jika ia berasal dari kelas pekerja. Ji An memanfaatkan citra tersebut untuk lebih leluasa memutarbalikkan situasi agar menguntungkan dirinya. Lewat earphone murahan, nafas Dong Hoon terdengar di telinga Ji An sepanjang hari, menyadarkannya bahwa pria paruh baya ini selalu kelelahan, secara harfiah dan kiasan, tidak berbeda dari dirinya. Kesamaan inilah yang membuat Ji An terobsesi pada Dong Hoon.

Humor pahitnya: Dong Hoon selalu berusaha untuk menyelamatkan Ji An, tapi malah Ji An yang berkali-kali menyelamatkannya. Dong Hoon adalah orang terakhir yang tahu mengenai hubungan istri dengan atasannya sendiri. Sembari Dong Hoon berusaha menjadi ksatria berkuda putih, Ji An membereskan semua orang yang berusaha menjebak Dong Hoon dan memastikan Dong Hoon naik pangkat. Atta gurl!

Lewat sempilan percakapan Ji An dan neneknya yang bisu, drama ini juga menyindir arogansi kelas dan positivity craze. Saat neneknya mengatakan Dong Hoon adalah orang baik, Ji An dengan tajam menjawab, “gampang jadi orang baik kalau punya uang.”

Nenek Ji An yang bisu seakan menjadi metafora tentang muted feelings, berbagai perasaan yang direpresi sehingga tak ada yang bisa mengerti. Sementara Ji An hadir sebagai si maha pendengar yang memahami segala (bahkan bahasa isyarat!).

Ji An juga selalu dikejar-kejar Lee Kwang Il (Jang Ki Young) yang bahkan sudah tidak sadar lagi apakah dia mem-bully Ji An sekedar untuk menagih hutang dan membalas dendam atau justru sedang cari perhatian dengan cara yang sangat misoginis karena dia sendiri juga sebenarnya sangat terasing.

Istri Dong Hoon, Kang Yoon Hee (Lee Ji Ah), tidak digambarkan sesederhana sebagai istri pengkhianat. Ia punya kesedihannya sendiri. Ia tidak tahan dengan nilai-nilai patriarkis yang dianut suami beserta keluarganya. Sebagai seorang pengacara mungkin penghasilannya lebih besar dari Dong Hoon. Tiap ia berkunjung ke rumah mertua, ia dihadapkan dengan mertua yang tidak pernah mempersilakan ia membantu di dapur. Sikap pasif agresif ini mungkin akibat dari rasa  malu karena justru Yoon Hee yang berpenghasilan paling tinggi melebihi anak-anak laki-lakinya. Ia benci dengan Dong Hoon yang selalu minta maaf, seolah-olah ia adalah istri tak tahu berterima kasih. Di sisi lain, ia ingin Dong Hoon keluar dari kantor keparatnya karena tak tahan melihat suaminya yang sudah habis gairah hidup.

Kecanggungan juga diperumit dengan rasa rendah diri ibu dan saudara-saudara Dong Hoon karena mereka berada di kelas sosial yang berbeda dari sang istri. Perbedaan kelas ini yang mungkin menimbulkan perbedaan nilai dalam memandang keluarga. Si istri kelas atas-berpendidikan menganggap keluarga inti adalah prioritas, sementara keluarga besar kelas menengah bawah merasa perlu terlibat dalam gono-gini semua anggota keluarga besarnya.

Yang juga menarik di drama ini, semua karakter perempuan berada di pihak yang lebih agresif (berlawanan dengan konvensi drama Korea yang seringkali memposisikan perempuan sebagai makhluk pasif). Di luar Ji An dan Yoon Hee, ada ibu dari tiga bersaudara Hoon, Byeon Yo Soon (Go Doo Shim), yang merupakan single parent. Sampai tua pun dia masih mengurusi anak-anaknya, terlebih ketika Sang Hoon dan Gi Hoon jadi pengangguran, padahal dia sendiri juga hidup pas-pasan. Jung Hee (Oh Na Ra) – si pemilik bar yang menyediakan kebahagiaan semu bagi para laki-laki paruh baya dengan pekerjaan yang jauh dari gambaran sukses – mengkonfrontasi mantan kekasihnya yang dulu tiba-tiba memutuskan jadi biksu. Istri Sang Hoon, Jo Ae Ryun (Jung Young Joo) menceraikan Sang Hoon. Lalu Choi Yoo Ra (Nara), yang tadinya benci setengah mati lalu berbalik mengejar Gi Hoon dengan alasan yang cukup konyol tapi jadi pukulan telak buat arogansi Gi Hoon, karena sekarang dia juga sama-sama jadi pecundang!

Kolektivisme memang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi dia memberikan beban normatif bagi anggota masyarakat, namun di sisi lain dia menjadi sumber kekuatan untuk melalui rintangan bersama, dan Korea Selatan sudah membuktikan ini berkali-kali, seperti saat perang Korea, serta mungkin yang paling fenomenal di masa kita, krisis keuangan Asia. Dalam My Ahjussi, kolektivisme ini ditunjukkan dalam proses pembentukan manusia. Saya pernah bilang kalau saya suka bagaimana drama Solomon’s Perjury menerjemahkan dengan baik pepatah “butuh orang sekampung untuk membesarkan seorang anak”. Kehangatan keluarga yang hilang dari kedua orang tuanya pelan-pelan digantikan oleh gerombolan om-om dan seorang tante yang mengantarkan Ji An pulang ke rumah dan “menitipkannya” pada tetangga, serta hadir dan mengurusi semua kepentingan pemakaman neneknya. Mungkin jika Kwang Il juga menerima sedikit saja kebaikan dari lingkungannya, dia tidak akan tumbuh jadi sesadis itu. Mungkin.

Dengan karakter perempuan yang subversif, serial ini dapat disebut sebagai counter genre daddy long legs yang memberikan penonton sebuah potongan kehidupan masyarakat kontemporer Korea Selatan tanpa melupakan segala kompleksitasnya.

hijab, piety, beauty

Many researches have considered intersectionality on beauty studies (Elias, 2017). A lot have also put attention to how religious values are appropriated in the industry (Indarti and Peng, 2017; Bucar, 2016). However, little has investigated on how religious values are incorporated and performed within the beauty construction. In Indonesia, Islamic values are commodified into the beauty industry through the quality marker halal and portrayals of modest women, which mainly, although not necessarily, use hijab.

In this article, I focus on modest beauty advertising and celebrity endorsement in Indonesia. I critically analyse the advertising campaign of Wardah, an Indonesian halal beauty brand, in how it incorporates Islamic values into the neoliberal femininity to attract middle-class Muslims. I argue that this new form of femininity have a disciplinary power, recognised and reinforced by Wardah and its social media followers. However, the femininity also serves as a cultural capital that has exchangeable value with their fame and endorsement. These relations between Islamic norms and beauty construction suggest that hijab and piety have a more nuanced meaning for women in Indonesia than simply a symbol of oppression.

The research will be a case study of several textual analyses: Wardah television commercials and Instagram posts, comments on “inappropriate” ads, website content on Wardah celebrity ambassadors, and the Instagram page of Wardah ambassadors.

Firstly, I will define the values of Islam and neoliberal femininity which are promoted by analysing Wardah commercials. Secondly, I will analyse people’s comments on Wardah social media page in policing which looks and gestures of its celebrities in its ads are thought as appropriate or not. Thirdly, I will analyse two primary Wardah celebrity ambassadors as the embodiment of pious-femininity, the form of cultural capital, to investigate how their journey to piety has exchangeable value with their career.

Islam and neoliberalism

Islamic identity, in particular hijab, has different meanings in every cultural context (Abu Lughod, 2002; Arimbi, 2009; Mohanty, 2003). In Indonesia, wearing hijab was a struggle for women’s emancipation and anti-colonialism when the use was banned by the New Order era in the eighties (Arimbi, 2009, p. 37). However, after the authoritarian New Order period ended on 1998, Islamic identities took various form, from the political to the apolitical neoliberal Islam.

Islamic identities are more visible in Indonesia after 1998. The open market policy during the New Order allowed the upward mobility of the middle-class which Muslims are the 88.2 per cent of the population (Pew Research Centre, 2009, as cited in Rakhmani, 2016, p. 6). Rakhmani (2016) states that the growing Muslim middle-class connects Islamic values with consumption habits as a consequence of ‘neoliberal economic restructuring programs’, opening up Muslim markets by building a halal shopping experience. For a country with Muslim as a majority, the market potential for Islamic brands is enormous.

Wardah began to advertise in 2012 and utilises halal as a quality marker. The word halal means “permitted by the Islamic law” (Wilson, 2014, as cited in Ali, Ali, and Sherwani, 2017). However, halal is transcending as a global symbol synonymous with quality, safety, cleanliness, nutritious (Ali, Ali, and Sherwani, 2017; Anabi and Ibidapo-Obe, 2016). For skin care, halal is translated as alcohol-free, cruelty-free, and gentle on skin. Alcohol is an element that is not permissible in Islam. Animal slaughter is also heavily regulated in the halal industry, specifying the way of butchering the animal, cleaning it, and minimalise pain. Gentle is the more pragmatic takeout of being alcohol-free which Wardah always inserts in its ads along with its halal claim.

Wardah extends this modality by establishing a brand value related to Islamic norms and synthesises it to ‘modern’ femininity characterised by neoliberalism through the portrayal of women in its advertisements. The Islamic teaching emphasises a balance between the relationship to god and others. Human beings are khalifah, entrusted with the responsibility of looking after the Earth. It stresses the importance of almsgiving (Oxford Islamic Studies, 2018; Hassan, 2014). It also teaches to pursue knowledge beyond the Quran (ijtihad) and to fulfil the daily needs (ikhtiar).

The neoliberal aspect of femininity is characterised by active, entrepreneurial, self-optimising subjects (Elias, 2017). It carries what Gill (2007) defines as postfeminist sensibility. It emphasises individualism, empowerment, and femininity as a bodily property, self-discipline, and surveillance.

Commercial analysis: identifying the Islamic-neoliberal femininity

For the purpose of identifying the Islamic-neoliberal femininity in Wardah, I analyse three commercials: Ramadhan TVC (wardahbeauty, 2018, April 30), the day & night cream TVC (wardahbeauty, 2016, October 18), independence day TVC (wardahbeauty, 2017, August 22). I also look at fashion events Wardah posted on their YouTube account (wardahbeauty, 2017, October 18).

In all TVCs, the Islamic values appear in their use of hijab. In the independence day and Ramadhan TVC, Islamic values are shown in their care of the others (the children and the needy). The day & night cream TVC shows the woman passionately does her daily activities from day to night, which is inline with the ikhtiar. In the Ramadhan TVC, the VO says “smile wholeheartedly, from the heart, the smile that shows patient, forgiving, and the smile that brings happiness.” The whole message translates to the value of sincerity and specifically Ramadhan’s value of forgiveness. Furthermore, the Ramadhan TVC shows the women’s involvement with the mosque. The independence day TVC VO stresses the capability of women to inspire. It is in line with the wisdom of khalifah who looks after and take care of the earth, in this context, the nation.

Although the individualism was a bit downplayed with the philanthropist values, the neoliberal characteristics are nonetheless apparent. All TVCs show empowerment as an individual choice and femininity as bodily property. All individuals are shown as active with the capacity to provide to their own needs. In the day & night cream TVC, the woman chooses to have her ‘stable job’ as a boutique manager during the day and continue her ‘hobby’ as a graffiti artist during the night. She is seen as empowered to maintain both her job and her hobby. She is responsible for maintaining her beautiful face and smiling even though in reality having activity all day and night is surely exhausting. In the independence day TVC, the end VO says, “we believe everyone can give, respect, care, and give inspirations to the nation.” The idea of giving the responsibility of closing the structural inequality gap to the individuals indicates one of the postfeminist sensibilities. Moreover, all the women have relatively fair skin, are affluent middle-class, and able-bodied.

In their fashion event, Islamic values are shown through the modest clothing and the portrayals of local young women designers doing ikhtiar and ijtihad. The modernity is shown as glamour and prestige, promoting individual capacity to provide for her ambition through Wardah Fashion Award, a competition for emerging designers.

The Islamic values and neoliberal femininity are indeed not mutually exclusive but neatly combined through the portrayals of women and their activities all throughout the TVC. Wardah wraps all her campaign with its tagline, translates as “beauty from the heart”. It suggests that beauty is not only skin deep but also radiates from a person through her kind heart. The tagline encapsulates both Islamic values and the neoliberal femininity.

Through the combination of neoliberalism and modesty, a new kind of femininity emerges: the active & career-oriented women who are pious (doing ikhtiar, ijtihad, and care for others). For the purpose of this paper, I will use the term pious-femininity.

The synopticon-panopticon dyad

The pious-femininity Wardah is promoting creates a disciplinary power through the use of social media. As Foucault explains, power is exercised by taking hold of the body (Foucault, 1977). For Foucault, the body is docile, subject to be measured, evaluated, and judged. The women’s bodies portrayed through Wardah’s posts are evaluated and policed based on the values of femininity Wardah is promoting.

The disciplining goes both ways, from Wardah to the followers and vice versa. This power is recognised and consistently reinforced through a “synopticon” model (Skeggs, 2009). The “synopticon” was coined by Thomas Mathiesen (1997), drawing from Foucault’s idea of the panopticon. Mathiesen (1997) argues that the mass media disciplines the body by having a large number of audience evaluating the many people portrayed in the media. The synopticon and panopticon work together and “reciprocally feed on each other” (p. 231). Through Wardah’s Instagram account, the values of femininity are recognised by its followers, taken as the norms. The followers police and evaluate the women in Wardah ads based on those norms. The followers’ comments are acknowledged by Wardah, by taking care not to feature any women outside of those accepted norms.

There is only a particular way of wearing hijab and specific kind of face that is acceptable. On wearing hijab, the acceptable way is to have the neck covered completely (wardahbeauty, 2016, December 4):

ccokta: Yuna is pretty but her neck is uncovered, I suppose it is not allowed to wear hijab and leave the neck exposed @yunamusic

Wardah has never posted any hijab woman with the neck uncovered ever since.

Transparent fabric is also unacceptable (wardahbeauty, 2018, April 22):

_kindaaa: why people like to wear transparent hijab, is it just me who thinks it is strange [flatface emoticon]

premiermuguet: I think it’s not a hijab

Regarding the face, there are preferences on a more natural, fresh, and ‘youthful’ look (wardahbeauty, 2018, April 22; April 2):

hannagumelar: need more glow on Dewi’s face

rorohanaliesia: The makeup makes her look old, sorry [sad emoticon]

miyomijc: the make up is off. I do not know why (sorry) it looks old… especially on the eyes

However, a comment points out how Wardah only features fair-skinned models (wardahbeauty, 2017, December 15; wardahbeauty, 2018, May 20). The below comments show some agency capacity and the possibility of resistance against the conception that beauty has to be fair-skinned.

pinkwine99: I wish Wardah would feature models with darker skin tone. Just a request [love emoticon]

nataliamanurung95: I wish wardah would make more logical ads.. this is Indonesia.. the skin has darker tones from birth, there are lot of skin tones.. korean girls have fair skin from birth.. hahaha… she is pretty… but she’s the wrong model…

The followers praise the celebrity as beautiful and mention how hijab adds quality to that beauty (wardahbeauty, 2018, April 2):

bcrjunop: wearing hijab does not make her less pretty.. may allah give her guidance aamiin.

haniafifah21: praise allah raline you are so beautiful wearing hijab [multiple love and kiss emoticons]

Other comments express how beauty should not only be skin deep (wardahbeauty, 2018, May 20):

najwarsd: ayana [love emoticons] has a beautiful face and heart, if Allah wills it @xoloveayana

sloukhunu_: beauty is not only by the face but by the heart

From the comments, we see that the conception of beauty conflates with the Islamic values Wardah promotes. This constant synopticon-panopticon dyad reciprocally feeds each other, creating a very particular category of beauty where the woman’s body and self-performance are always the subject of scrutiny.

Pious-femininity as cultural capital

As the conception of beauty conflates with Islamic values, the celebrities do aesthetic labour as part of their journey to piety, which is both framed by Wardah and performed ‘voluntarily’ as part of their identity. As Elias (2017) argues, looking good also require the psychic life makeover to embrace confidence, happiness, and authenticity. The turn to Islam and piety feed to this psychic dimension of looking good. Thus, the performance of pious-femininity is itself a cultural capital that has an exchangeable value with their endorsement in Wardah. It also serves as a status marker of well-respected celebrities.

Wardah invested a lot in celebrity endorsement. Wardah organises Islamic-related events and sponsored Indonesian designers team for the New York Fashion Week where its ambassadors participate (wardahbeauty, 2017, June 19; wardahbeauty, 2015). Wardah made digital videos of mother’s day and celebrity birthdays (wardahbeauty, 2018, April 3). These evidences show how pivotal the celebrity endorsers are for Wardah and how Wardah is also important for the celebrity’s visibility in those prestigious events. Thus maintaining their image to be consistent to Wardah’s value is also crucial.

Celebrities have the power to influence the masses (Marshall, 2014). The social media and its promise of authenticity allow fans to engage directly and have a peek at the celebrity’s personal life. The personal and the public life of a celebrity are enmeshed together in the presence of the social media. The increasing importance of social media makes everyone, in particular, the celebrities, do aesthetic labour in performing their selves.

Driessens (2013) states that celebrity is a form of capital. Celebrity possesses social status that can be exchanged with many different capital (Gunter, 2014, as cited in Rübsamen, 2015, p. 131). Female celebrities, in particular, embody other forms of capital related to their gender. Drawing from Pierre Bourdieu’s cultural capital, Skeggs (1997) states that femininity is a form of cultural capital. She explains, “it is the discursive position available through gender relations that women are encouraged to inhabit and use. Its use will be informed by the network of social positions of class, gender, sexuality, region, age and race” (Skeggs, 1997, p. 9). Thus certain aspects of femininity are ascribed to a woman to signify modality such as respectable/not. Femininity for Skeggs (1997) is the process of gendering women to become specific kind of women. Becoming respectable proceeds through the experience of textually mediated femininity, in this case, the pious-femininity promoted by Wardah through the celebrity endorsement.

I compare the two primary hijab celebrities’ profiles in Wardah website and their social media: Inneke Koesherawati and Dewi Sandra. They embody pious-femininity which is consistently performed in their professional and ‘personal’ life.

Inneke and Dewi are framed by Wardah as “inspiring women” who embraced Islamic identity at the height of their career, and this was the very reason Wardah chose them as ambassadors. At the Wardah website, Inneke is described as a former model and movie star who did a subversive act, “in 2001, she made a bold move to wear hijab even though hijab was not common” (“Inneke Koesherawati”, n.d.). It is generally known by the public that Inneke used to be a sex icon during the nineties through the films she starred such as Naughty Desires and The Stained Bed (van Wichelen, 2009, p. 86). The decision to part with her past life is seen as a resistance to ‘Western’ way of life, which involves the expression of sexuality and eroticism (van Wichelen, 2009, p. 88). Dewi, on the other hand, had switched religion to Christian in her previous marriage and turned back to Islam (Nadhiroh, 2017). On Wardah website, she is a singer and actress “deciding to wear hijab and strengthen her spirituality in 2012” (“Dewi Sandra”, n.d.). Dewi is inspiring because she never stops producing works as she practices piety.

Wardah indicates how wearing veil is the start of their journey to piety and frames Inneke and Dewi as pious women who try to be closer to god every time through their daily ‘modern’ activities. Wardah aligns “inspirational” with hijab, piety, productivity and hard work, or ikhtiar. It indicates embracing Islam as ‘modern’, ‘empowering’, and even subversive.

In their personal Instagram page, the aesthetic labour that the Wardah celebrities do cannot be separated from their Islamic values as every post usually coupled with captions of prayers. Dewi (dewisandra, n.d.) and Inneke (inekekoes, n.d.) post portraits of themselves, family, and friends in various occasions, including Wardah events, their travels or pilgrimage (dewisandra, 2018, May 25), charity events. The captions of prayers vary from acknowledging the imperfect self and mortality (dewisandra, 2018, June 2) to reflections during the month of Ramadhan (inekekoes, 2018, May 13). The vulnerability of ‘imperfect’ self promises authenticity to their followers, with many regards them as wise but not self-righteous.

ichi_f.y2303: the caption warms my heart,, reminding without being self-righteous,, one of my favourite hijab celebrity #Like (dewisandra, 2018, June 2)

Furthermore, they show themselves as loving wives, mothers, and daughters by posting intimate pictures of their family members accompanied with captions of gratefulness and love.

Throughout their personal Instagram account, we see how they perform their femininity and Islamic values to mark their status as well-behaved women and well-respected celebrity, which are recognised by their fans who frequently comment their post as beautiful inside-out and inspiring.

stefytiffany: Praise Allah.. Dewi is so beautiful.. beautiful inside out. (dewisandra, 2018, May 25)

ayudia_ade: praise allah mommy @inekekoes please teach me how to have this inner beauty like you.. Very beautiful… (inekekoes, 2018, May 11)

The pious-feminine beauty becomes a cultural capital as they are embodied by the celebrities, recognised by the fans, and promoted by Wardah as an extension of their brand values. For the celebrities, it allows mobility towards more fame as their value as inspiring role models increase. The ‘modern’ hijab, along with the practices of piety, is a tool to mark their status as respectable within the industry.

Conclusion

This article has shown that the “mainstreaming” of Islam has made the conception of beauty conflates with some Islamic values. Wardah integrates these values as “beauty from the heart” and consistently promotes it in various ways, including celebrity endorsement. There are gestures of women empowerment with neoliberal characteristics. The women’s bodies are subject to discipline through the social media interactions based on the norms of pious-femininity, although some of the beauty norms are also questioned. This identity has become the cultural capital for the celebrities, performed for their personal goals of continued endorsement and a marker for respectability within the industry. It shows some agency capacity in utilising the hijab and piety to negotiate certain position within the society and indicates the complex meaning of wearing hijab and practising piety for women in Indonesia.

 

*this is originally an assignment paper

**for further details on references ask me

Tuesdays With Morrie Revisited: “A romantic traditionalist, a shallow self-absorbed baby boomer and life’s shittiest craps”

Processed with VSCO with e7 preset

Mitch Albom’s Tuesdays With Morrie

Well, not really. I’m being hyperbolic.

I wrote in my Instagram’s post that “revisiting a book is always a good idea to know how much you’ve changed… or not, and whether a book is a great work that transcends time and changes… or not.”

And “Tuesdays With Morrie” is not. So not.

So not great, not even good, that it made me wonder, why did I even cry my heart out years ago? Like getting some kind of enlightment or epiphany. Mine even has these colourful post-its of quoted lines that I thought were brilliant and hit all the right spots. Ugh.

Now that it’s almost twenty years later, I get another enlightenment… this book is a crap.

I re-read ‘Tuesdays’ because I was planning to watch “Sabtu Bersama Bapak”, which I thought was probably ‘heavily inspired’ by this book. Well, it’s a yes and no. ‘Tuesdays’ was published in 1997 and I consider it as part of the Inspirational Lit wave that hit the popular culture in the mid-90s along with “Chicken Soup For The Soul” series and “The Oprah Winfrey Show”. In fact, Oprah did later produce the TV film adaptation of ‘Tuesdays’, and Albom’s other book, “For One More Day” which was directed by the same director of another Albom’s book-turned-into-movie, “The Five People You Meet In Heaven”

Though it seems like ‘Tuesdays’ tried to disintegrate itself from the self-help genre, for me it failed to do so. It criticised the self-help books that flooded America’s book market by saying:

“Of course, there were a million self-help books on these subjects, and plenty of cable TV shows, and $90-per-hour consultation sessions. America had become a Persian bazaar of self-help.” (p.65)

I suspect Albom was talking about the ‘Chicken Soup’ series. Self-help, inspirational, motivational, whatever their jargon is, they all have the same effect on me. Left me feeling uninspired and demotivated.

I don’t know whether it was Albom’s conscious decision not to include other topics in this book that were probably mentioned by Morrie during their Tuesday sessions or it just happened to be that it was all there is to it about Morrie. If it’s the first, then I feel sorry for Morrie for being presented in such a way. If it’s the latter, then it’s really…

Morrie Schwartz was a professor in Sociology at Brandeis University, and Albom was one of his students. Studying Sociology apparently didn’t make either Morrie or Albom have a thorough and profound view of the world, at least not in this book. They just exchanged their white privilege’s ignorance covered in the so-called meaningful aphorisms.

The problems probably lie within Morrie and Albom’s backgrounds, and they seemed to heavily influence the way Morrie and Albom think. Of course it wouldn’t be fair to stereotype both Morrie and Albom, but they seem to be the almost perfect archetypes of their generations. Morrie was born in 1916, which made him part of the so-called G.I Generation or Greatest Generation. But let’s just call them the World War II Generation, the other less familiar term. Greatest sounds… well, too much. His father, Charlie Schwartz, was a Russian immigrant who left Russia to escape the Russian Army. Little Morrie lived in poverty. His father was constantly out of job, and because of the Depression, Morrie’s father found even less work in his fur business.

The experience of seeing people work in his father’s fur factory (his father was a labourer) made him make a vow that “he would never do any work that exploited someone else, and he would never allow himself to make money off the sweat of others” (p.78). This seems to be one of the World War II Generation’s values, “We before Me”. A value that in the years to come seemed to have no place in their über-capitalistic land of dreams.

The more I read about it (this generation division) the more I see ‘Tuesdays’, well Morrie’s aphorisms in this case, as a criticism towards the Boomers and their materialistic lifestyle and values. But unfortunately Morrie failed to see through these and recognising that the biggest contribution to their consumerism and hedonism are not only that they were being spoiled by their parents, but also thanks to their own economic and social systems, capitalism.

Though the 60s and 70s saw the rise of the counterculture of the 1960s, the civil rights movement, and the “second-wave” feminist cause (which later was also criticised for whitewashing), in which all the Boomers were the key players, but in the next coming years the Boomers evolved into a self-absorbed “Me Generation”. Everything is about “me, me, me”. Their ultimate goal is happiness. My happiness. Happiness, which was once just one of the emotions in the human emotion spectrum, has now become the holy and the only purpose of life. The purpose of life that, if you’re smart (and greedy) enough, can turn you into a multibillionaire by milking every drop of it.

Before going any further, perhaps this article by Simon Sinek in Salon can give a glimpse of World War II Generation and the Baby Boomer’s relationship:

“The Greatest Generation, raised during the Great Depression and wartime rationing, wanted to ensure that their children did not suffer or miss out on their youth as they did. This is good. This is what all parents want — for their children to avoid their hardships and prosper. And so that’s how the Boomers were raised — to believe that they shouldn’t have to go without. Which, as a philosophy, is perfectly fine and reasonable. But given the size of the generation and the abundance of resources that surrounded them, the philosophy got a little distorted. When you consider the rising wealth and affluence of their childhood, combined (for good reasons) with a cynicism toward government in the 1970s, followed by the boom years of the 1980s and 1990s, it’s easy to see how the Boomers earned their reputation as the Me Generation. Me before We.”

Now, Morrie criticised what this generation had become, which Albom represented being “.. so wrapped up with egotistical things, career, family, having enough money, meeting the mortgage, getting a new car, fixing the radiator when it breaks – we’re involved in trillions of little acts just to keep going…” (p. 64-65). Hence the “Love wins. Love always wins” (p. 40) type of aphorisms.

The problem is, it doesn’t.

If love always wins, we don’t have wars anymore. No discrimination, no violence, no blood, just none of those things. None. But it doesn’t.

Morrie probably wanted to relive the ‘We before Me’ values. A balance of hard work, a sense of being a part of a society and also love. The one thing that probably his generation was really deprived of, having lived in a constant struggle, but also the one thing that Boomers throw into the sea of divorces. So that’s what he emphasised most. Love.

Unfortunately, he passed on these ideas to the already self-absorbed and self-obsessed generation. As Brakow theorised, “One reason the Boomers were so spoiled, Brokaw theorizes, was their parents’ understandable desire to compensate for their own deprivation.” So they seemed to skip the ‘We’ part and went straight ahead to the ‘Love’ part. ‘Me + Love’ = self-love = positive psychology. A new breed of ignorance.

Now to my understanding, based on these backgrounds, Morrie was not likely to be an ignorant person. But somehow, he was too in a way. This ignorance came in the form of Morrie’s wise advice when asked by Albom “how can you be prepared to die?” His answer was,

“Do what the Buddhists do. Every day, have a little bird on your shoulder that asks, ‘Is today the day? Am I ready? Am I doing all I need to do? Am I being the person I want to be?” (p.81)

Huh? What the… ?!

The 90s (the period where the sessions took place) saw the booming of American Buddhism. Stephen Prothero, a professor of Religion, in his article “Buddhist Boomer” wrote,

American converts are taking a 2,500-year-old faith and making it over in their own image — self-absorbed.”

He then went on saying,

Boomer Buddhism, by contrast, is all too often shallow and small. It soothes rather than upsets, smoothing out the palpable friction between Buddhist practice and the banalities of contemporary American life, cajoling even the Dalai Lama to direct his great mind to small American preoccupations like “The Art of Happiness.”

This is actually ironic and pitiful since Morrie is a professor in sociology, the study of social behavior or society, including its origins, development, organisation, networks, and institutions. Yet he fell for this banality. So, I’m not sure whether this is Morrie’s or Albom’s conscious choice.

These picture-perfect ideals in delulu land also makes them lose the ability to see the bigger picture. Tom Brakow, who coined the term “Greatest Generation” recalled that at their time, “Whatever else was happening in our family or neighborhood, there was something greater connecting all of us, in large ways and small.”

I also need to remind myself that Morrie came from a generation that used to classify the African-Americans as second-class citizens. Brakow wrote “The majority of black Americans were still living in the states of the former Confederacy, and they remained second-class citizens, or worse, in practice and law. Negro men were drafted and placed in segregated military units even as America prepared to fight a fascist regime that had as a core belief the inherent superiority of the Aryan people.”

Again, I’m not sure whether this was purely Albom’s or partly Morrie’s, because one story in this book is racially biased and the choice of words feels like coming from white privilege’s arrogance.

“One time, a group of black students took over Ford Hall on the Brandeis campus, draping it in a banner that read MALCOLM X UNIVERSITY. For Hall had chemistry labs, and some administration officials worried that these radicals were making bombs in the basement. Morrie knew better. He saw right to the core of the problem, which was human being wanting to feel that they mattered.” (p.112)

If this book is out today in times of the #BlackLivesMatter movement, I’m almost sure that this would be criticised as racist. I suspect that that’s mostly Albom’s, since he also constantly talked about OJ Simpson’s case again in the background.

“I heard the door to Morrie’s study close. I stared at the TV set. Everyone in the world is watching this thing, I told myself. Then, from the other room, I heard the ruffling of Morrie’s being lifted from his chair and I smiled. As “the Trial of the Century” reached its dramatic conclusion, my old professor was sitting on the toilet.” (p. 158)

Mmm… no, we were not and no, it was not, you egocentric sheltered American Boomer. The world does not, nor will it ever be revolved just around your great nation!

Now, how did all of these very white American-centric problems, and very first world problems too, resonate with readers like me who came from the so-called third-world countries? I suspect that it has to do with the US cultural imperialism propaganda. It’s almost definite that when it comes to popular culture, people who live through the 80s and 90s in their adolescent years (the Gen X-ers), especially the urban middle-class kids and teenagers, can only remember mostly America’s popular culture products, and a little bit of British’s and Australia’s. Other than that, they are very minimal or almost non-existent.

The secret of the success of North American cultural penetration of the Third World is its capacity to fashion fantasies to escape from misery, that the very system of economic and military domination generates. The essential ingredients of the new cultural imperialism is the fusion of commercialism-sexuality-conservatism each presented as idealized expressions of private needs, of individual self-realization. To some Third World people immersed in everyday dead end jobs, struggles for everyday survival, in the midst of squalor and degradation, the fantasies of North American media, like the evangelist, portray “something better”, a hope in a future better life — or at least the vicarious pleasure of watching others enjoying it.”

So it’s no surprise if the propaganda seemed to find its effective weapon in Inspirational Lit, which wave reached its height between 1993-1998, because the genre promises a better and happier life. Your personal and individual better and happier life, because it aimed to ‘dismantle’ the sense of ‘We’-ness. The same value that was not only highly valued by the World War II Generation, but also the same core value of socialism, the economic and social systems that American capitalism has fought to dismiss for decades.

One of the great deceptions of our times is the notion of ‘internationalization’ of ideas, markets and movements. It has become fashionable to evoke terms like “globalization” or “internationalization” to justify attacks on any or all forms of solidarity, community, and/or social values. Under the guise of “internationalism”, Europe and the U.S. have become dominant exporters of cultural forms most conducive to depoliticizing and trivializing everyday existence. The images of individual mobility, the “self-make person”, the emphasis on “self-centered existence” (mass produced and distributed by the U.S. mass media industry) now have become major instruments in dominating the Third World.”

Not until the spectacular failure of capitalism, more Americans are embracing the idea of socialism.

It’s almost twenty years later. I have disassociated myself with the privileged middle-class.

Because I am not.

Nor I am white.

Nor I am part of the first-world.

Nor I have benefited from the system.

So this book has become meaningless for me. A waste of an ideally revolutionary youth.

*Original post was published here*

Cover Version, yes or no?

cover-version

Kalau saya nyetir didampingi istri saya sepanjang jalan yang ‘unpredictable’ dari gandul-gandul sampai Gedung Victoria Blok M kami ditemani oleh radio Delta yang dulu pernah jadi tempat saya kerja. Sepanjang jalan itu kami akan sing along pada lagu yang diputar. Bukannya kami berdua super perhatian sama musisi-musisi yang dapat heavy rotation di radio. Tapi justru karena mayoritas lagunya memang sudah tidak asing di kuping.

Oh iya, balik lagi ke Delta, sekarang radio ini bukan radio lagu oldies kok. Jadi kenapa yang diputar mereka masih akrab di telinga? Ternyata lagu-lagu yang heavy rotation di radio itu semua lagu pop lokal lama dengan suara dan musik yang baru.

Titi DJ bawain ‘Bila Kuingat’ dari Lingua, Andien bawai lagu ‘Rindu’ dari Warna, Mike Mohede nyanyi ‘Sahabat Jadi Cinta’ milik Zigas, Marcell bawain lagu ‘Mau dibawa Kemana’ dari Armada. Yes you right! Mau dibawa kemana musik pop jaman sekarang? Mayoritas lagu yang mengudara adalah lagu daur ulang alias cover version.

Racikan cover version dari dulu memang sering ada di satu album seorang atau kelompok musisi. Tapi itu sejatinya adalah sebuah trik untuk musisi baru biar cepat T.O.P. Nah kalau diva macam Titi DJ nyanyiin lagu Lingua, itu tentu saja masalahnya bukan trik supaya dia terkenal. Bukan juga trik untuk membuat Titi DJ bersahabat dengan telinga anak muda sekarang, bok… Lingua aja top di dekade 90-an. Terus kenapa?

Mungkin jawabannya ada di toko-toko kaset yang sekarang tutup. Karena pencipta lagu itu kan hidupnya dari hak cipta yang nempel di produk fisik. Kalau penjualan RBT, kaset, CD, atau yang lebih baheula PH sudah gak ada, apa yang mereka hasilkan?

Dunia digital memang menawarkan digital store, tapi tetap itu rentan dibajak. Sekali online pasti menjalar ke kuping-kuping commuters yang dengar musik dari HP. Sekarang ada lagi layanan musik langganan seperti Spotify, tapi kalau sharenya dikit mending si pencipta lagu bikin jingle iklan aja deh ketauan.

Musisi tetap hidup dari manggung di inbox, tapi pencipta lagu terpaksa kencangkan ikat pinggang. Sedih memang, tapi sebenarnya walau si pencipta lagu berhak untuk ngeluh karena share mereka ledes, kita bisa balikan lagi, apakabar si NN pencipta Kampuang Nan Jauah di Mato?

Teks: Edo Wallad

IKEA Craze & Inlanderisme*

Ikea Craze & Inlanderisme

 

Oleh popteori

 

Setelah membaca kritik penulis kami jadi tergelitik untuk bertanya, apa sih yang ada di kepala penulis ketika dia mengaitkan kebiasaan setelah makan atau buang sampah sembarangan dengan Revolusi Mental? Menurut dia Revolusi itu apa? Semacam mukjizat yang datang dari langit gitu ya?

Mungkin penulis perlu mengintip pendapat Wijaya Herlambang dalam koranopini.com. Mengutip jawaban wawancaranya, ”Pertama, istilah Revolusi Mental ala Jokowi tidak ada hubungannya dengan arti revolusi itu sendiri. Kenapa? Karena setiap revolusi adalah sebuah perubahan drastis dari satu sistem ke sistem lain. Artinya, revolusi selalu dan melulu berhubungan langsung dengan reformasi kondisi sosial dalam waktu yang singkat.”

Berangkat dari konsep bahwa revolusi adalah perubahan drastis dari satu sistem ke sistem lain, jika penulis punya landasan pemahaman ini, tentunya dia akan dengan lebih mudah memahami bahwa selama sistem-sistem yang berjalan di masyarakat masih sama dengan kondisi sebelum pencanangan misi ambisius Revolusi Mental, ya jangan ngarep mentalnya juga otomatis berubah, malih!

Dengan tulisannya yang holier-than-thou, penulis menggebu-gebu sekali mengajukan argumen-argumen menggelikannya.  Salah satunya misalnya penulis menyatakan bahwa IKEA mengusung “semangat global.” Bah, apa pula itu semangat global? Sepahaman kami, global memiliki makna berlaku umum (di seluruh dunia kalau mengacu pada konteks tulisan penulis). Apa yang penulis definisikan dalam “semangat global”-nya tentu tidak terjadi di seluruh dunia melainkan sebuah gambaran akan kebiasaan negara-negara yang umumnya tingkat pendapatan masyarakat tidak jauh berbeda antara satu jenis pekerjaan dengan pekerjaan jenis lainnya sehingga masyarakat dipaksa untuk “self-reliant” karena mereka tidak akan sanggup membayar untuk bantuan, misalnya bantuan rumah tangga. Sekali lagi, sistemnya yang memaksa mereka untuk “self-reliant”, bukan mentalnya yang memaksa.

Alih-alih terdengar global dan modern (apa pula maknanya sifat-sifat tersebut?) seperti keinginannya mengidentifikasikan diri dengan IKEA, si penulis malah terlihat super-Inlander!

Inlander atau Pribumi-Nusantara (“anak dari tanah/bumi Nusantara“) atau Pribumi-Indonesia adalah istilah yang mengacu pada kelompok penduduk di Indonesia yang berbagi warisan sosial budaya yang sama dan dianggap sebagai penduduk asli Indonesia.

Istilah “Pribumi” sendiri muncul di era kolonial Hindia Belanda setelah diterjemahkan dari Inlander (bahasa Belanda untuk “Pribumi”), istilah ini pertama kali dicetuskan dalam undang-undang kolonial Belanda tahun 1854 oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk menyamakan beragam kelompok penduduk asli di Nusantara kala itu, terutama untuk tujuan diskriminasi sosial. Selama masa kolonial, Belanda menanamkan sebuah rezim segregasi (pemisahan) rasial tiga tingkat; ras kelas pertama adalah “Europeanen” (“Eropa” kulit putih); ras kelas kedua adalah “Vreemde Oosterlingen” (“Timur Asing”) yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain; dan ras kelas ketiga adalah “Inlander“, yang kemudian diterjemahkan menjadi “Pribumi”. Sistem ini sangat mirip dengan sistem politik di Afrika Selatan di bawah apartheid, yang melarang lingkungan antar-ras (“wet van wijkenstelsel“) dan interaksi antar-ras yang dibatasi oleh hukum “passenstelsel“. Pada akhir abad ke-19 Pribumi-Nusantara seringkali disebut dengan istilah Indonesiërs (“Orang Indonesia”). [1]

Di masa kolonial, Inlander adalah ejekan orang Belanda buat penduduk asli di Indonesia. Secara etimologis, “Inlander” adalah kata Belanda untuk “Islanders” atau bahasa Indonesianya, “Pribumi”. Sekarang, ejekan “Inlander” ini sudah mengalami perluasan arti, bukan cuma digunakan untuk menjelek-jelekkan orang pribumi oleh overlord kolonialnya, tapi juga oleh sesama orang pribumi sendiri untuk mencela orang-orang katro yang mem-fetish-kan (memuja-muja tanpa alasan) segala macam hal yang berbau “Barat”.

Mungkin tulisan Eko Armunanto, Indonesia dalam Fenomena Jokowi-Ahok: Egaliter VS Inlander, dapat menjelaskan kepada si penulis sedikit banyak aspek poleksosbudhankam mentalitas Inlander-nya.

Mari kita baca lagi artikel di atas: judulnya saja sudah super-Inlander! “Mereknya Sih IKEA, Tapi Kelakuan Kita Masih Indonesia”—kenapa “Indonesia” diantitesiskan dengan “IKEA”, seakan-akan IKEA mewakili peradaban yang lebih maju dan Indonesia mewakili segerombolan monyet cari kutu di hutan rimba? Apa yang salah dengan “Indonesia”?

Penggunaan kata “tapi” dan “masih” dalam paragraf ini jelas menunjukkan si penulis merasa subyek pertama (IKEA) melambangkan sesuatu yang sifatnya lebih baik, lebih superior, sedangkan subyek kedua (Indonesia) adalah representasi dari sesuatu yang sifatnya lebih katro, lebih inferior.

Dengan kompleks inferioritasnya (inlanderismenya!), penulis membandingkan budaya IKEA yang (klaimya) serba teratur, mandiri dan disiplin dengan budaya orang Indonesia yang di tulisannya digambarkan jorok, seenak udelnya dan manja ala-ala pejabat dan putra keraton.

“Namun mungkin memang dasarnya kita bangsa Indonesia, terlalu sering dilayani oleh orang lain.” Sejak kapan kita, bangsa Indonesia (kalau mau menggunakan penyamarataan sifat yang dipakai penulis) terlalu sering dilayani oleh orang lain?

Kalau penulis melek sejarah, mungkin penulis bisa memahami bahwa “pelayanan” (dari yang dianggap subordinat kepada superiornya) adalah salah satu hasil dari praktek politik feodalisme dimana masyarakat dipecah-pecah menjadi kelas-kelas sosial yang kemudian melahirkan pembagian kerja dan derajat (buatan) berdasarkan kelas-kelas tersebut.

Apakah kemudian masyarakat yang dilanggengkan kelas-kelas sosialnya sampai sekarang ini semuanya “terlalu sering dilayani orang lain”? Bagaimana dengan mereka yang karena kelas sosialnya justru selalu menjadi subordinat dan melayani?

Katakanlah memang benar bangsa Indonesia jadi manja karena terlalu sering dilayani orang lain, bagaimana kalau kita bereskan saja mental cemen yang katanya suka keenakan dilayani orang lain ini? Dari hal sederhana aja, hapuskan jenis pekerjaan ART. Secara sistematis dan konstitusional. Toh ART sendiri juga merupakan suatu bentuk feodalisme kan? Kalau bisa, nah itu baru namanya revolusioner.

Di argumen ini, dengan stereotip dangkalnya, si penulis sudah gagal memahami kompleksitas masyarakat yang dia sendiri pun adalah bagian di dalamnya.

Penulis mungkin lupa bahwa kita hidup dalam sebuah ekosistem yang sangat tidak sehat dimana rakyat dikondisikan untuk “manja”. Negara tidak pernah hadir untuk rakyat. Jangankan bicara kenyamanan, kebutuhan dasar aja tidak dipenuhi karena dalam negara yang ultra-kapitalistik ini, pemenuhan kebutuhan dasar tanpa mencekik kantong rakyat gak bawa untung buat negara dan mengancam keberlangsungan hidup negara. Bagaimana kita merasa aman menyandarkan diri (senderan doang lho, belum sampai gantungan) pada negara saat negara tidak dapat menjalankan fungsi idealnya sebagai orang tua. Ingat gak dulu saat kita sekolah kita dicekoki dengan jampi-jampi untuk mencintai Ibu Pertiwi? Yah mungkin buat orang-orang macam si penulis ini gak penting untuk memahami makna dan konsekuensi dari istilah Ibu Pertiwi, yang penting “I’m Proud To Be Indonesian” aja, cyin!

Selain kelakuan pengunjung yang dianggap jorok dan seenak udelnya itu, juga banyak reaksi atas tulisan ini yang kemudian menunjuk pengunjung-pengunjung yang ogah antri. Apa bedanya dengan kondisi berkendara (dan urusan antri-antri lainnya) di Indonesia? Sama aja. Tentu saja kelakuan main serobot, main selak, gak mau tau peraturan dsb dsb selalu bikin panas. Tapi apakah yang memaki-maki juga mau melihat bahwa kondisi tersebut adalah gambaran gunung es carut marutnya negara ini?

Peraturan basa-basi, hukum dari yang karet sampai yang mandul, penegak hukum yang gak ada gunanya. Apakah keteraturan bisa terwujud hanya dari usaha sepihak tanpa memaksa pihak lain untuk turut berpartisipasi? Jalanan, terutama jalanan Jakarta, acakadut dan terasa seperti neraka juga tercipta terutama karena sumbangan polisi dan hukum lalu lintas yang gak pernah adil dan mencla-mencle. Kusut!

Melihat jalanan di kota-kota besar di Indonesia, atau minimal Jakarta deh, bak melihat kondisi kelas sosial di Indonesia. Kelas-kelas sosial di Indonesia merupakan produk dari ratusan tahun ketidakadilan. Mereka yang ada di atas rata-rata mendapatkan posisinya dengan berada dekat dengan kekuasaan. Oportunis lah. Bukan hal aneh bukan lihat pengendara kendaraan mahal, manusia-manusia bertas mahal bergadget terkini main serobot, main selak?

Mereka yang ada di kelas yang dianggap kelas bawah pun juga awur-awuran. Tentu bukan atas dasar alasan yang sama dengan si kaya. Ketika hidup dalam kesempitan, yang bisa dilakukan ya “survival of the fittest aja”. Udah begitu aja masih aja sering dianggap tidak bersyukur. Ck ck ck. Buruh masukin klausul meminta jatah susu merk tertentu dan biaya nonton bioskop per bulan banyak yang ngetawain. Bahkan ada yang komentar “beberapa orang emang ada yang gak tau bersyukur yah”. Karena (ternyata) kesenangan itu hanya boleh dimiliki oleh orang-orang yang punya uang. Karena mimpi akan hal-hal yang lebih baik hanya inspiratif selama tidak mengganggu kenyamanan batas kelas sosial. #bahagiaitukatanyasederhana.

Yang kejepit di tengah ya ada aja yang jadi kayak si penulis ini. Walaupun sama-sama keder tapi ya udah, belagak holier-than-thou aja.

Jadi kalau di kehidupan sehari-hari yang berlaku hukum rimba, bagaimana mungkin si penulis mengharapkan keajaiban hanya dalam hitungan selangkah kaki saja?

Begitu juga dengan IKEA. Bagaimana mau mengharapkan orang-orang tertib dan disiplin kalau stafnya sendiri pun masih blang bentong menjalankan kedisplinan tersebut. Kami mengalami juga diselak pengunjung lain di customer station. Tapi staf tidak menghiraukan hal tersebut sampai kami ajukan keberatan dan berkelit dengan alasa tidak melihat keberadaan kami. Bagi penulis yang pastinya sudah pernah mengunjungi IKEA tentu menyadari bahwa customer station di area gudang itu lowongnya kayak apaan tau. How can you miss a person standing in front of you?

 

wpid-imag2216.jpg

 

Demi terciptanya sebuah lingkungan yang super ideal teratur nyaman seperti sedang menikmati kemakmuran negeri-negeri Skandinavia sana, staf juga bertanggungjawab mengatur antrian. Staf juga bertanggungjawab menjawab pertanyaan pelanggan sesuai urutan kedatangan, bukan berdasarkan panjang pendeknya pertanyaan atau lama atau sepintas lalu pertanyaan itu diajukan. Tanggung jawab itu sifatnya 2 arah. Kalau staf alpa melakukan ini, apakah ini artinya manajemen juga ternyata alpa ? Well, in that case they are as uncivilised as the people they or the writer accused to be.

Penulis menganggap seakan-akan IKEA adalah sebuah realitas yang terpisah dari realitas lainnya di luar sana. Sebuah utopia di mana setiap manusia pribumi yang menginjakkan kakinya di sana diharapkan merevolusi mental primitif mereka dan meng-upgrade-nya dengan trolley kuning-biru, meteran kertas, dan sopan santun ala Skandinavia.

Sejujurnya kami pun lupa bahwa di utopia bernama IKEA ini kami diharapkan mengembalikan peralatan makan kotor di tempat yang telah disediakan, kebiasaan yang jauh lebih inggil daripada kebiasaan di luar sana. Ini kemudian kembali memunculkan pertanyaan, apakah si penulis dengan naif berpikir bahwa semua orang yang melangkahkan kaki ke dalam IKEA Indonesia pasti sudah pernah ke IKEA di luar Indonesia sebelumnya dan pasti paham dengan keberadaban IKEA? Bukankah ini berarti si penulis sama ignorant-nya, jika tidak lebih buruk, dari orang-orang yang dia kritik tersebut?

Betapa arogannya. IKEA bukan sebuah agen perubahan sosial budaya. It’s just another mega company trying to gain more profit in another country. Kalau si penulis menganggapnya sebagai another Thomas Stanford Raffles yang menyunggi white man’s burden untuk menularkan modernitas kepada kacung-kacung pribumi, maka justru ialah yang jelas perlu segera merevolusi mental inlandernya!

IKEA hadir di Indonesia? Santai aja. Sekali lagi, IKEA kan bukan sebuah agen perubahan sosial budaya.

Eh, ngomong-ngomong penulis sudah baca belum gimana cara IKEA ngadalin negara (dalam kasus ini Australia) supaya bisa meminimalisir pembayaran pajak? Katanya sih… ini merk global yang bersih dan beretika.

 

 

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Pribumi-Nusantara#cite_note-Pribumi-1

 

 

  *artikel ini adalah hasil bahasan bersama Edo Wallad, Festi Noverini, Gratiagusti Chananya Rompas, Mikael Johani dan Ratri Ninditya

Boneka Untuk Yoan – Kado Eufemisme Orde Baru

yoan

Orde baru dengan eufemismenya merasuk ke tulang sumsum bangsa Indonesia. Tidak luput lagu anak saat itu. Budaya bahasa eufemisme yang lebih suka mengatakan mengamankan daripada menghilangkan telah memberikan sudut pandang semu pada setiap hal. Begitu juga kebahagiaan. Yang akan dibahas di sini adalah sebuah lagu dari Yoan Tanamal yang berjudul ‘Aku Sedih’.

Semua orang juga tahu kalau Yoan adalah korban ekploitasi orang tua demi kapital. Uniknya lagi sang ayah berani blak-blakan mengungkapkan itu semua itu dengan mengabadikan kehidupan Yoan yang sunyi dalam sebuah lagu yang dia buat untuk Yoan ini.

Lagu ini jujur. Terlalu jujur untuk mengupas kesedihan Yoan di awal lagu ketika dia harus merenung sendiri karena ditinggal orang tua. Orang tua meninggalkan anak untuk bekerja adalah hal biasa. Bagian aku sedih duduk sendiri, papa pergi mama pergi ini bahkan sudah beberapa kali diadaptasi, seperti oleh Blake di Pesta Rap 2 dengan lagu ‘Bosan’.  bosan di rumah lagi sendirian, papa sibuk mama arisan, ga ada lagi yang bisa jadi perhatian, semua jadi bikin gw blingsatan. Tidak ketinggalan saya sendiri ketika menulis lagu untuk The Safari -Disko di Rumah; Ayahku pergi ibuku pergi sendiri di rumah.

Balik lagi ke lagu ‘Aku Sedih’. Ketika masuk ke bagian bridge orang tua Yoan yang pulang sore hari, di sinilah sepertinya mulai ada ketidak-jujuran di lagu itu, saya rasa ini sudah jadi kebohongan publik. Kehidupan seorang seniman seperti orang tua Yoan yang berkecimpung di dunia hiburan pasti menyita waktu yang banyak. Minimal pulang malam setiap hari kalau tidak harus menginap menyelesaikan syuting atau rekaman.

Sore di lagu ini buat saya adalah pulang malam hari yang dihaluskan- seperti menghilangkan yang jadi mengamankan-, ketika anak yang sudah tertidur dalam dekapan si mbok merindukan belaian orang tuanya, lalu untuk kebahagiaan semu mereka membelikan mainan. Yang lebih menyakitkan adalah ketika Yoan harus bahagia menerima teman boneka – terima kasih, mama dan papa, kiniku punya, teman boneka, ini baris paling mengenaskan- , sampai akhirnya dia ketika dewasa akrab bermain dengan narkoba.  Boneka dan narkoba sama-sama kebahagian palsu. Bedanya boneka adalah kepalsuan yang diamini, sedangkan narkoba sudah dihakimi sejak awal punya kodrat jahat.

Saya bukan mau menyalahkan orang tua –apalagi nyalahin narkoba hehehe…-, tapi saya lebih menggaris-bawahi kita yang permisif dan buta pada kebahagiaan semu yang diwakili oleh kata boneka dan mainan yang dipesan sang anak. Bayangkan itu hanya satu contoh di lirik lagu anak. Bagaimana dengan bahasa jurnalisme di era orde baru? Bagaimana tontonan di tv yang cuma satu TVRI?

 

ideologi yang bersembunyi di balik ironi (review jalanan)

jalanan

 

 

jalanan karya daniel ziv adalah produk khas generasi x yang menuntut segalanya harus ironis, termasuk cara menikmatinya. film ini menyajikan kolase kegetiran yang memaksa kita untuk tertawa miris tanpa merasa perlu menjelaskan kegetiran itu disebabkan oleh apa. film ini menggantungkan diri sekali kepada dramatic irony, bahwa ho tidak sadar keinginannya membangun keluarga sakinah mawaddah wassalam bertolak belakang dengan perilaku masteng seksisnya, bahwa titi tidak sadar impian modernitasnya untuk mendapatkan ijazah tidak akan membantu dia juga pada akhirnya jika ijazah itu datang dari sistem pendidikan indonesia yang tidak mengajarkan apa-apa selain mis-/disinformasi, bahwa boni tidak sadar penggusurannya dari arcadia (eh, hyatt) di bawah jembatan yang susah-susah dia bangun tidak akan berakhir di tempat yang lebih baik seperti janji-janji surganya kepada pacarnya–tapi penonton sadar tentang itu, dan diharapkan tertawa. miris. tapi tertawa. (dan memang banyak yang ketawa pas saya nonton di blok m square.)

 

tapi terus apa kerennya dramatic irony seperti ini? apa bedanya menertawakan, walaupun dengan miris, nasib ho, titi, dan boni, dengan menertawakan laporan pandangan mata pernikahan ruben onsu di bali yang dikasih soundtrack “what’s love got to do with it?”? buat film yang mempromosikan dirinya sendiri sebagai sebuah karya tentang–

Indonesia, musik jalanan, asmara, penjara, politik, seks, korupsi, hamparan sawah, globalisasi, dan patah hati!

–adakah hal yang lebih dalam daripada sinisme yang ditawarkannya tentang politik, korupsi, dan globalisasi (nggak usah ngomong tentang (((hamparan sawah))) dulu deh) yang telah menjerumuskan ketiga talking heads kita di atas ke dalam kemiskinan struktural?

 

dengan narasi yang tersengal-sengal seperti metro mini bobrok, dan camera work yang superklise (sob stories incoming… extreme close up!), jalanan hanya menawarkan argumen klise tentang a fucked-up third-world city: bahwa rakyat kecilnya yang oh-so-naive bakal selamanya digangbang oleh triumvirat korupsi, birokrasi, dan horang kayah. tidak ada analisa yang lebih dalam tentang itu–apakah ia sedang berkomentar tentang globalisasi saat menyajikan adegan ho menikah dengan mengenakan t-shirt “save darfur”? atau biar lucu aja? apa lucunya?

 

jalanan seperti tidak sadar dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan ketiga karakter ini: bahwa ketiga-tiganya berusaha membangun arcadia (hyatt dalam kasus boni) di tengah-tengah neraka jalanan urban megalopolutan jakarta. ini sebenarnya tema yang menarik buat film dokumenter yang punya ambisi ingin jadi lebih dari (quote dari press release-nya) “film dokumenter biasa (yang umumnya berat dan cenderung membosankan).” (sepertinya daniel ziv belum pernah nonton the act of killing, leviathan, up the yangtze, last train home, negeri di bawah kabut, spellbound, chronique d’un été, banyak deh!) namun tema itu tersingkirkan oleh ambisi ingin memancing cheap laughs dari para audiencenya (though at rp75,000 a pop at plaza senayan xxi, not so cheap!).

 

selain itu, ada satu hal yang sangat mengganggu saya tentang jalanan (dan bukan adegan faux-pastoral titi membentangkan tangan menghirup udara segar (((hamparan sawah))) di kampungnya–only #kelasmenengahngehek zakarta sok slumming it yang akan melakukan ini (or a documentary subject under instruction?)): bahwa di balik tirani ironinya, film ini dengan sangat hati-hati menyembunyikan ideologi yang, jika bukan fanatik pro-modernitas ala barat, maka paling tidak menghiraukan dengan paripurna aspek keposkolonialan hidup di indonesia saat ini.

 

dalam satu adegan, titi sedang belajar tentang sistem politik di kosan temannya. mereka mencoba menjawab soal-soal dangkal pilihan ganda tentang sistem politik apa yang berlaku di inggris dan china, kemudian mereka ngomong ngalor-ngidul tentang HAM, komunisme, dan kemakmuran. dari percakapan mereka, terlihat sekali pengaruh kuat mis-/disinformasi pendidikan orde baru terhadap kedua karakter ini. bahwa komunisme kejam karena tidak mempedulikan HAM, bahwa liberalisme identik dengan kebebasan, dan bahwa, menurut titi, ada sebuah arcadia di dunia barat sana di mana tidak ada dikotomi kaya-miskin (dramatic fade-out…).

 

pov kamera dalam adegan ini pun tiba-tiba bermetamorfosis menjadi fly-on-the-wall, padahal sepanjang film karakter-karakternya lebih sering sadar kamera (literally) dan seringkali memperlakukan kamera sebagai teman curhat. seakan-akan dalam adegan ini, yang sebenarnya berpotensi paling tidak mengorek sedikit luka warisan kolonialisme dan imperialisme barat di indonesia (betapa ironis jika kedua karakter ini menganggap liberalisme barat akan menyelamatkan hidup mereka, padahal kita sebagai penonton tahu justru kebajinganan (neo)liberalisme itulah sekarang yang sedang menghancurkannya–tapi film ini malah bertingkah seolah-olah tidak sadar (atau memang tidak sadar) dengan ironi yang satu ini), film ini justru cuci tangan dan pura-pura tidak tahu tentang konteks historis dan politis percakapan titi dan temannya.

 

film ini seperti ingin bilang bahwa ketiga karakter ini dibikin patah hati oleh jalan(an) kehidupan mereka. namun apa yang bikin mereka patah hati? sekedar korupsi dan politrik, atau roda sejarah yang hanya mengubah lagu kebangsaan dan tidak pernah mengubah nasib (dalam digresi narasi tentang sejarah hidup ayah titi), atau kapitalisme, atau imperialisme baru dunia barat (via korporasi multinasional), atau apa? nggak jelas. seakan-akan film ini menyerah berargumen dan cuma mengangkat bahu, “ya gitu deh, nasib wong cilik.”

 

seakan-akan. karena saya curiga jalanan mencoba menghindari untuk berbicara tentang kenyataan bahwa kemiskinan struktural ho, titi, dan boni adalah salah satu warisan kolonialisme dan imperialisme barat, salah satu ciri khas sebuah negara poskolonial. waktu boni mengecat arcadia bawah jembatan tosarinya dengan logo hotel hyatt, apakah film ini sedang menertawai ilusi boni, tertawa bersama boni yang sense of humournya oke punya cing, atau mereduksi sebuah simbol semakin mengguritanya kuasa kapital barat di indonesia (sampai kolong jembatan!) menjadi sekedar simbol kuasa brand dalam imajinasi wong cilik atau lebih buruk lagi, menjadi sekedar pemancing yet more cheap laughs dari audience yang dimabuk ironi? nggak jelas.

 

jalanan adalah film yang maunya main aman aja, nggak mau terlalu dalam ngomong tentang problem-problem riil di negara ini dan cukup hepi bersembunyi di balik ironi dan cheap laughs. mungkin maksud sebenarnya daniel ziv pengen bikin film dokumenter yang nggak “berat” dan “membosankan” adalah dia pengen bikin yang ringan dan eskapis. and i don’t mean that ironically.

 

*gambar dari sini

battlefield

oleh: ratri ninditya

 

we’re in a battlefield, my friends.

setiap hari kita bertempur. pertempuran itu dimulai dari pagi. sampai malam buat sebagian orang. sampai pagi buat sebagian lagi. karena ini perang, ada yang selamat karena memang jago/lihai/gesit, karena dia memang beruntung, atau karena dia banyak bersembunyi dan pintar pura-pura mati. sementara sepanjang perang yang berguguran gak terhitung betapa banyak. kisah-kisah kepahlawanan satu persatu prajurit tentu mengharukan, didengar sebagai pembelajaran untuk generasi depan, atau jadi legenda yang digadang-gadang untuk membesarkan sebuah bangsa.

tapi perang tidak punya pemenang.

sebagai prajurit yang berjuang mati-matian di dalamnya wajar untuk larut di dalam kisah berani mati dan gugur sebagai seorang pejuang sejati, atau selamat dan bertahan hidup sebagai veteran cinta tanah air. tapi kita lalu lupa apa tujuan perang, buat siapa, siapa yang diuntungkan dari perang. Ada potongan besar kapital untuk sebagian kecil orang dan kita prajurit-prajurit pemberani cukup senang dihibur dengan medali. itu namanya kekalahan buat kemanusiaan.

ok nin stop already with the metaphors.

dalam hidup yang serba kapitalistik, kita berebut jumlah kapital yang terbatas. makan dan punya rumah sudah cukup susah didapat, belum ditambah gengsi. harus punya kendaraan pribadi dan nongkrong di TWG plasa senayan. ada banyak banget beban yang ditanggung seseorang. beban ekonomi, beban sosial, beban kebanggaan orang tua, harus begini, harus begitu. kita memilih pekerjaan dengan banyak alasan. Karena tidak ada pilihan, karena passion, karena menantang, karena dekat dari rumah, karena tidak menantang, dan sebagainya. beberapa bisa meninggalkannya dengan mudah tapi banyak yang gak punya pilihan. bersyukur aja kalau jadi bagian yang bisa memilih. gak banyak yang kayak kita di dunia ini.

saya pernah lihat orang yang lembur gilak karena cinta sama kerjaannya, tapi banyak juga gue lihat orang yang lembur gilak karena takut dianggap gak ‘perform’, takut gak menuhin deadline sehingga dianggap gak ‘kompeten’ oleh atasan/account/klien. banyak yang merasa harus cinta sama pekerjaan supaya bisa bertahan. kita semua ingin dapat penghargaan seperti gaji lebih besar dan posisi lebih tinggi di masa depan nanti atas semua jerih payah yang kita lakukan. semua pushing our limitsini akan terasa wajar sampai lo benar-benar lewat.

semua yang terjadi di dunia ini tidak pernah karena kesalahan satu orang. kita hidup di dalam sebuah sistem yang senantiasa mempengaruhi berbagai keputusan dalam hidup. sistem ini mengakar dan diturunkan dari generasi ke generasi sehingga hidup di alam bawah sadar kita dan mempengaruhi juga segala tindakan yang kita lakukan tanpa sadar. dan sistem ini sudah karatan. busuk. rusak.

sudah saatnya kita berhenti larut dan melihat semua in a big picture. sudah saatnya kita lebih sadar dalam semua pilihan dan tindakan, why we do what we do, why we like (or not like) what we’ve chosen.

kalau ada yang bilang gue bisanya ngomong doang, paling tidak gue gak diam. kalau ada yang bilang jangan salahkan sistem, coba bayangin tinggal sendirian di tengah hutan. akankah lo membuat keputusan yang sama?

mita diran

*pertama dipublikasi di sini

**gambar diambil dari akun twitter mita diran di sini