Orde baru dengan eufemismenya merasuk ke tulang sumsum bangsa Indonesia. Tidak luput lagu anak saat itu. Budaya bahasa eufemisme yang lebih suka mengatakan mengamankan daripada menghilangkan telah memberikan sudut pandang semu pada setiap hal. Begitu juga kebahagiaan. Yang akan dibahas di sini adalah sebuah lagu dari Yoan Tanamal yang berjudul ‘Aku Sedih’.
Semua orang juga tahu kalau Yoan adalah korban ekploitasi orang tua demi kapital. Uniknya lagi sang ayah berani blak-blakan mengungkapkan itu semua itu dengan mengabadikan kehidupan Yoan yang sunyi dalam sebuah lagu yang dia buat untuk Yoan ini.
Lagu ini jujur. Terlalu jujur untuk mengupas kesedihan Yoan di awal lagu ketika dia harus merenung sendiri karena ditinggal orang tua. Orang tua meninggalkan anak untuk bekerja adalah hal biasa. Bagian aku sedih duduk sendiri, papa pergi mama pergi ini bahkan sudah beberapa kali diadaptasi, seperti oleh Blake di Pesta Rap 2 dengan lagu ‘Bosan’. bosan di rumah lagi sendirian, papa sibuk mama arisan, ga ada lagi yang bisa jadi perhatian, semua jadi bikin gw blingsatan. Tidak ketinggalan saya sendiri ketika menulis lagu untuk The Safari -Disko di Rumah; Ayahku pergi ibuku pergi sendiri di rumah.
Balik lagi ke lagu ‘Aku Sedih’. Ketika masuk ke bagian bridge orang tua Yoan yang pulang sore hari, di sinilah sepertinya mulai ada ketidak-jujuran di lagu itu, saya rasa ini sudah jadi kebohongan publik. Kehidupan seorang seniman seperti orang tua Yoan yang berkecimpung di dunia hiburan pasti menyita waktu yang banyak. Minimal pulang malam setiap hari kalau tidak harus menginap menyelesaikan syuting atau rekaman.
Sore di lagu ini buat saya adalah pulang malam hari yang dihaluskan- seperti menghilangkan yang jadi mengamankan-, ketika anak yang sudah tertidur dalam dekapan si mbok merindukan belaian orang tuanya, lalu untuk kebahagiaan semu mereka membelikan mainan. Yang lebih menyakitkan adalah ketika Yoan harus bahagia menerima teman boneka – terima kasih, mama dan papa, kiniku punya, teman boneka, ini baris paling mengenaskan- , sampai akhirnya dia ketika dewasa akrab bermain dengan narkoba. Boneka dan narkoba sama-sama kebahagian palsu. Bedanya boneka adalah kepalsuan yang diamini, sedangkan narkoba sudah dihakimi sejak awal punya kodrat jahat.
Saya bukan mau menyalahkan orang tua –apalagi nyalahin narkoba hehehe…-, tapi saya lebih menggaris-bawahi kita yang permisif dan buta pada kebahagiaan semu yang diwakili oleh kata boneka dan mainan yang dipesan sang anak. Bayangkan itu hanya satu contoh di lirik lagu anak. Bagaimana dengan bahasa jurnalisme di era orde baru? Bagaimana tontonan di tv yang cuma satu TVRI?