MENULIS PUISI KOMPAS ITU GAMPANG

“Abadi, Air, Aku, Angin, Apel, Asing, Awan, Bahagia, Balam, Basah, Bayangan, Beranda, Binal, Buah, Buku, Bulan, Bunga, Burung, Cahaya, Cakrawala, Cermin, Ceruk, Cinta, Cium, Cumbu, Daging, Datang, Daun, Dekap, Dermaga, Desir, Diri, Doa, Duka, Duri, Embun, Engkau, Gaharu, Gelap, Gugur, Harap, Hasrat, Hati, Hening, Hidup, Hijau, Hilang, Hujan, Iblis, Ilalang, Ingat, Jalan, Jarak, Jari, Jelma, Kabut, Kasih, Kasim, Kata, Kembali, Ketam, Kisah, Kuda, Lagu, Lamun, Langit, Lapar, Laut, Lekang, Lelaki, Limau, Luka, Makna, Mantra, Mata, Mati, Matahari, Mendung, Merah, Mimpi, Murung, Neraka, Ombak, Pagi, Pantai, Pasir, Peluk, Perahu, Perempuan, Pergi, Petik, Pilih, Pohon, Puan, Puisi, Pulang, Pulau, Rahasia, Ranjang, Rapuh, Resah, Rinai, Rindu, Rintih, Ringkih, Rintik, Risau, Rona, Sederhana, Sedih, Sembah, Sembunyi, Semesta, Sendiri, Senja, Senyum, Setia, Siapa, Sunyi, Surga, Teduh, Temu, Tenggelam, Tenun, Terang, Tidur, Tuan, Tuhan, Tulus, Tunas, Ujung, Ular, Waktu, Warna, Waru, Zaman”

pakailah daftar kata-kata klise, sok puitis, chairilanwaris dan nirwandewantois di atas, yang lazim digunakan penyair-penyair yang karyanya sering kamu jumpai di kompas minggu. nggak perlu obrak-abrik tesaurus eko endarmoko untuk cari sinonim, resah/risau/ringkih nanti kamu. tinggal tambahi kata ganti orang pertama kedua atau ketiga, verbs, adverbs, adjectives, dll, sesuka kamu (asal jangan lupa pakai “menjelma” tanpa “jadi”!) kemudian susun dalam stanza-stanza yang dinomori pakai angka romawi biar progresip kayak album yes. jangan lupa pastikan puisimu adalah sebuah metafora close-fetched yang dipanjang-panjangkan tentang cinta atau persetubuhan (kalau misalnya mau lebih ladem sedikit, jadikanlah semua ini metafora untuk puisi itu sendiri juga). contoh-contohnya seperti ini:

KETAM SETIA

I

Semesta yang sederhana

tertidur dalam waktu

di dalam ceruk ceruk cintamu

Aku ingin memetikmu, puan

seperti puisi yang ringkih

menjelma perahu yang setia pada bayangan

II

Bukan untukku laut yang binal

Iblis yang menenun terang dalam gelap

Mantra yang penuh warna warna baru

Teduh murungmu

Hening dekapmu

Merekalah kisah yang selalu membuatku kembali ke lagu itu

III

Neraka pagi ini seperti ombak yang kehilangan desir dan dukanya

IV

Doa apel kepada burung

adalah cumbu daging terhadap limau,

kesedihan yang bersembunyi di balik rahasia kata

Mungkinkah yang tak-lagi-asing kau lupakan,

seperti sebuah beranda

yang menolak senja?

V

Suatu saat, rona akan kembali ke ujung jarimu

Ular akan kembali bersama cahaya

Dan jarak akan terasa begitu rapuh

Tunas akan melunasi kabut

Ranjang akan kehilangan rinainya

dan makna puisi tak akan lagi ampuh

Untitled II

I

engkau abadi dalam desir basah
teduh mengikis sukma
risau yang kelam
rindu ringkih mengais sepi

II

perkasa gaharu tak lekang ombak
ombak binal bersyair iblis

III

aku ingin memetik tunasmu
yang tidak sederhana
biarkan menyelam dalam kelebat
merekah antara senja-senja permai

ayo ayo! make your own puisi kompas! yang paling keren dapat peluk gaharu!

*foto dari fariidaiida,blogspot.com

Binhad Nurrohmat Has Got No Balls, Or Brain!

Binhad Nurrohmat Has Got No Balls, Or Brain!*

 

Saya geli sekaligus ngeri membaca Binhad Nurrohmat dalam “Menganiaya Puisi …” (Kompas, 21 Mei 2006) begitu marah pada “kritik gadungan” yang “menyatakan kesimpulan tanpa data yang komprehensif, tanpa fakta yang tepat, dan tanpa analisa maupun pembuktian yang meyakinkan,” (ini di alinea 2) tapi sampai alinea 6 waktu dia mengulangi lagi pidatonya, “Mari menilai dan mohon jangan menduga belaka secara subyektif, tanpa data yang komprehensif, tanpa fakta yang tepat, dan tanpa analisa serta pembuktian yang meyakinkan,” dia sendiri pun belum juga menunjukkan sedikit pun “data yang komprehensif”, maupun “fakta yang tepat”, apalagi “analisa serta pembuktian yang meyakinkan” tadi. Dan sampai tulisan ini berakhir 3 alinea kemudian semua hal yang dikoarkan Binhad harus muncul dari mulut seorang kritik itu tetap saja tidak muncul dari mulutnya sendiri.

Salah satu “kritik gadungan” ini adalah F Rahardi yang menurut Binhad “menuduh puisi penyair generasi terkini kalah oleh puisi penyair generasi terdahulu, puisi penyair Jakarta tertinggal jauh dari puisi penyair Bali dan Lampung, dan puisi penyair generasi terkini kalah mutu dengan cerpen dan novel terkini.”

Menurut saya kesimpulan Binhad tentang tuduhan F Rahardi itu agak melenceng. Tuduhan F Rahardi pada puisi generasi terkini sebenarnya jauh lebih kejam. Dalam tulisannya (“Umbu dan Puisi Indonesia Modern”, Kompas, 14 Mei—seminggu sebelum balasan Binhad) F Rahardi menyatakan, “… dalam sepuluh tahun terakhir … tidak ada puisi bagus.”

Sesungguhnya kalau Binhad ingin membuktikan bahwa tuduhan ini salah, gampang. Tunjukkan saja sebuah contoh “puisi bagus” dari sepuluh tahun terakhir ini! Satu puisi pun akan sekaligus menjadi “data yang komprehensif, fakta yang tepat, dan analisa serta pembuktian yang meyakinkan” yang didamba-dambakan Binhad dari tadi.

Tapi pembuktian yang diberikan Binhad justru argumen-argumen ad hominem yang sekedar menempelkan stiker-stiker mengerikan pada jidat komentator-komentator puisi Indonesia: “nostalgis”, “provinsialistik”, “suka mencomot kesimpulan dari gerundelan pribadi”, “dangkal”, “antik”, “omong besar”, “melantur”, “ajaib”, “berbunga-bunga”, dan masih banyak lagi.

Sekalinya Binhad mengalihkan perhatian dari mencerca kritik gadungan dan mencoba memberi pembelaan untuk yang dikritik dia hanya menyatakan, “Hampir sepanjang dua dasawarsa ini, hampir semua koran edisi Minggu di negeri ini dan juga situs-situs puisi di internet menampilkan puisi-puisi para penyair generasi terkini yang jumlahnya tak tertandingi sepanjang sejarah puisi Indonesia modern.” Jumlahnya! Begitu cepat Binhad lupa bahwa yang dikeluhkan F Rahardi, dan yang membuat Binhad sendiri begitu murka, adalah bahwa “tidak ada puisi bagus”. Bukan bahwa tidak ada puisi.

Memang kemudian Binhad meneruskan bahwa mungkin masalahnya “puisi-puisi yang jumlahnya tak tertandingi sepanjang sejarah puisi Indonesia modern” tadi (“data”-mu “yang komprehensif” untuk ini mana, Binhad?) “belum semuanya dijamah, diendus, dan dirogoh secara representatif dan saksama oleh kritikus manapun”. Tapi bukannya ini satu lagi kesempatan, pas sekali, untuk menunjukkan satu, satu saja ayo, “puisi bagus” tadi? Kalau tidak ada yang mau merogoh, ya rogoh saja sendiri!

Tapi tidak, Binhad sampai akhir tulisannya hanya memaparkan bagaimana kehidupan para penyair generasi terkini begitu berbeda dari penyair generasi sebelumnya (eg. “bisa ‘berguru’ melalui internet”, tidak perlu “ngutil buku semacam Chairil Anwar”). Yang gampang ditebak mengarah ke permohonan klise supaya “kritik-kritik gadungan” tadi jangan menilai puisi-puisi penyair generasi terkini dengan nilai-nilai yang mereka pakai untuk menilai penyair-penyair generasi sebelumnya.

Tetap saja, menyatakan bahwa “zaman sudah berubah dan bergerak cepat” tidak sama dengan membuktikan bahwa zaman itu sudah menghasilkan puisi bagus. Binhad tetap tidak bisa melihat bahwa yang perlu dia lakukan hanyalah memberi satu contoh saja sebuah “puisi bagus”; itu cukup untuk mematahkan tuduhan F Rahardi.

Kenapa, misalnya, Binhad tidak menyebutkan saja sajaknya “Columbus” yang dimuat di halaman Sajak Sajak Kompas Minggu 30 April 2006, dan menantang F Rahardi untuk membuktikan bahwa puisi itu bukan “puisi bagus”? Atau membandingkannya sendiri dengan, misalnya, sajak F Rahardi “Burung Madu” yang dimuat di halaman yang sama seminggu kemudian? Menurut saya beberapa larik dalam “Columbus”, eg. “Tak ada rindu di punggungmu yang kekar”, “dan api tualang membakar alamat rumah”, atau “mata jangkar capek merobek punggung udara”, cukup memenuhi syarat-syarat “kepenyairan tulen” yang dituntut Binhad sendiri, yang “intim dengan suka-duka, manis-getir, serta bobrok-mulianya kenyataan zamannya luar dalam.” Apa Binhad kurang percaya diri?

Tulisan Binhad ini, selain tidak bisa membuktikan salahnya tuduhan F Rahardi bahwa “sepuluh tahun terakhir ini tidak ada puisi bagus”, justru secara tidak sadar membuktikan tuduhan (antara lain) Katrin Bandel dalam eseinya “Sastra Koran di Indonesia” bahwa “[i]nformasi yang jelas, apalagi argumentasi yang masuk akal, sangat jarang terdapat dalam esei-esei [koran] itu. Entah karena memang tak ada penulis yang mampu atau karena ‘memukul’ dan menjelekkan lawan dan memuji-muji kawan dianggap sudah cukup.” (Sastra, Perempuan, Seks, Jalasutra, 2006, hlm. 49.) Dalam kasus tulisan Binhad ini, saya rasa Katrin bisa menghapus “Entah” dan mengganti “atau” dengan “dan”.

Sayang, Binhad. Karena kalau anda berhenti “memukul dan menjelekkan” sebentar saja, mungkin anda akan punya waktu untuk menemukan ini:

Re: Kota [2]

ada kota penuh kaki
muda, mulus, dan liar

inilah kaki dari senja emas

(Edo Wallad, Antologi Bunga Matahari, Avatar Press, 2005, hlm. 146.)

Sentimentil mungkin. Tapi bagus. Dan ditulis sepuluh tahun terakhir ini (6 Januari 2003 menurut keterangan bukunya). Habis perkara.

 

Mikael Johani sekarang tidak lagi harus menghabiskan waktunya pura-pura bekerja sebagai penyunting di Jurnal Perempuan.

*pertama kali diterbitkan di sini