INDONESIA MENGKRITIK SENYAP*

the-look-of-silence

senyap adalah film yang ramai metafora: adi sang optometris sebagai tiresias the seer yang membuka mata free man-free man yang dikelabui propaganda orba selama ini, adi sang yogi tercerahkan yang piawai headstand (bandingkan dengan free man-free man berkupluk dan bertasbih yang buta sejarah), papa adi yang buta ngesot sia-sia mencari sajadah dan akhirnya teriak-teriak ketakutan digebuk wong karena merasa dirinya tersesat ke dalam “kelambu” (kelambu sejarah? :p) orang lain.

 

metafora-metafora yang dikerahkan bersama alur cerita dan editing melodramatis ala sinetron serta door-stop interview eksploitatif ala syurnalisme tabloid untuk menunjukkan bahwa kita, bangsa indonnesia, adalah bangsa yang buta sejarah dan harus dibuka paksa matanya.

 

meneruskan argumen jagal, senyap juga mereduksi tragedi kemanusiaan dan politik 65 jadi sekedar tragedi antar manusia baik dan manusia jahat saja. apa perlunya ngomong tentang konteks perang dingin, dekolonisasi, anti-nonblokisasi, jika lebih seru bercerita tentang kombo kekejaman dan ketololon monster-monster dunia ketiga yang dijamin mengundang tawa sekaligus air mata (dan semoga nominasi oscar)?

 

senyap tidak beranjak jauh dari dikotomi caliban-caliban subhuman (herman koto dan groupie-groupie anwar congo yang lain) vs caliban setelah direedukasi pengalaman membuat “film” arsan & aminah (anwar congo sendiri) dalam jagal. walaupun adi sang optometris keliling dan tokoh utama senyap kali ini adalah keluarga korban dan bukan tukang jagal seperti anwar congo, dalam semesta kedua film ini mereka berdua memainkan peran yang sama: budak dan talking head prospero cinéma vérité yang menyandang white man’s burden untuk mencerahkan seluruh rakyat indonesia tentang apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1965–si masbro joshua oppenheimer sendiri.

 

prospero punya set-up/con ala cinéma vérité yang menarik dan efektif dalam jagal (mengundang anwar congo untuk membuat film “arsan & aminah” yang kemudian difilmkan dalam “jagal” karya joshua oppenheimer)–sebuah psychoanalytic con yang berhasil membuka isi kepala anwar congo dan membuat kita hampir mengerti pergulatan id, ego, dan superego di balik topi koboinya. dalam senyap, tidak ada con canggih seperti ini. yang kita dapat hanya door-stop interview ala michael moore yang menghasilkan lebih banyak momen krik krik daripada kesenyapan yang penuh arti.

 

coba pikir, mungkinkah free man-free man yang matanya tertutup selama berpuluh tahun oleh propaganda orba tiba-tiba mengaku salah hanya karena sekali diinterogasi oleh seorang keluarga korbannya? seperti pungguk merindukan deus ex machina…

 

jadi bisa dimengerti jika ada yang pernah bilang jagal lebih mirip mockumentary daripada documentary.

 

beberapa scene dalam senyap jadi sangat problematis buat sebuah film dokumenter. scene truk-truk tua melaju dalam gelap di awal film yang diulang di beberapa momen lagi itu misalnya. apakah ada fungsi lain scene ini selain menyetir imajinasi penonton untuk membayangkan kira-kira bagaimana abang adi dulu di-“amankan” pakai truk dalam gelap untuk dibantai? tapi kan katanya senyap bukan sebuah fictionalized biopic? masak ada scene reka-ulang TKP ala buser?

 

kemudian jukstaposisi antara adi si optometris suka yoga dengan free man-free man berkupluk dan bertasbih suka do’a tadi (beberapa dari mereka ditunjukkan ingin menghindar dari interogasi adi dengan alasan sudah waktunya sholat). apakah modernitas selalu berbanding terbalik dengan nilai-nilai agama? apakah islam selalu identik dengan keprimitifan, sementara yoga dan optometri dengan aufklärung? apakah ada islamofobia terselubung dalam senyap?

 

kemudian lagi scene bapak adi ngesot tersesat mencari sajadah di tempat jemuran tadi. apakah ini metafora bahwa jawaban untuk persoalan pelik macam tragedi 1965 di indonesia tidak akan pernah bisa dicari dalam ibadah, dalam agama, tapi hanya tersedia dalam orakel-orakel modern macam film documenter karya joshua oppenheimer? islamofobia lagikah ini? atau blind faith kepada modernitas yang always already sekuler?

 

tanpa memberikan konteks sejarah dan politik yang kuat, maupun menjelaskan betapa totalnya propaganda orde baru mencuci otak orang indonesia, potret “indonesia” dalam senyap terlihat begitu simplistis, bagaikan heart of darkness yang hanya dihuni dua macam makhluk yang selalu berperang: monyet-monyet sadistis, beasts from the east seperti inong (salah satu penjagal yang, surprise surprise, ditunjukkan punya monyet peliharaan) dan/atau malaikat-malaikat tercerahkan yang selamanya hidup dalam ketakutan macam adi.

 

senyap seperti menafikan kemungkinan bahwa kedua kubu bisa juga dilihat sebagai pelanduk yang kehilangan free will mereka di tengah-tengah keriaan gajah-gajah imperialis kapitalis neolib berbagi-bagi kue dekolonisasi setelah perang dunia 2!

 

nanti tanggal 10 desember waktu “indonesia menonton senyap”, jangan terkejut jika bakal banyak cermin dibelah, karena penonton kecewa kok the look of silence ternyata begitu black and white!

 

*artikel ini adalah hasil bahasan bersama Mikael Johani, Anya Rompas, Edo Wallad, Ratri Ninditya, Festi Noverini, dan Doni Agustan.

Jalanan: Bukan (Resensi) Film

aldiron

oleh Mumu Aloha*

Sebelum nonton ‘Jalanan’, sebuah film dokumenter karya Daniel Ziv yang sedang menjadi perbincangan hangat kelas menengah terdigital Jakarta di Blok M Square, Minggu (13/4/2014) saya melewati 7-Eleven Melawai. Seperti biasanya, selain bapak-bapak ambon yang duduk-duduk layaknya orangtua linglung sedang menikmati masa pensiun, selalu ada balita dan ibunya yang tidur di emperan salah satu sisi. Kalau kau duduk di dalam, dan sedikit melongok ke luar kaca, ke bawah, maka tampaknya ibu dan balinya itu. Mereka kotor, penyakitan dan tidur begitu saja, seolah di kamarnya sendiri, kalau memang mereka punya rumah atau kontrakan.
Lewatlah di situ jam berapapun, dan pemandangannya selalu sama. Kadang-kadang jumlah ibu-ibu dan balitanya itu begitu banyak, cukup untuk membayangkan sebuah acara arisan. Kalau tidak sedang tidur, mereka biasanya makan mie dalam wadah plastik, seperti sedang piknik.
Setelah melewati itu, kau akan melihat deretan toko emas. Di depannya selalu ada: perempuan yang duduk mengemis dengan bayi berkepala besar, yang selalu tidur, seperti setengah mati atau setengah hidup. Seingat saya, sudah 10 tahun lebih saya melewati jalan itu, dan bayi itu tak pernah tumbuh jadi dewasa, hanya kepalanya yang terus membesar. Dan, bayangkan, waktu 10 tahun tak mengubah apa-apa, selain 7-Eleven yang dulunya tidak ada. Hanya itu. Di samping perempuan itu, ada dua-tiga pria yang jualan kacang dan buah-buah dalam plastik-plastik mungil, digantung di tiang kayu kecil sehingga bisa ditenteng ke mana-mana. Ada juga bapak-bapak penjual lemang dalam nampan platik kecil yang dijajakan di atas pot besar pohon palem hiasan pinggir jalan depan Blok M Square. Kalau kamu taksir nilai “dagangan” mereka itu, masing-masing tak akan lebih dari satu kali kau duduk-duduk ngopi di Starbucks Pasaraya yang tak jauh dari situ. Bahkan, kalau semua dagangan mereka kamu gabung, total nilainya tak akan menguras dompetmu saat itu.
Saking seringnya lewat situ, dan dalam waktu yang terhitung bertahun-tahun, kadang saya merasa menjadi bagian dari kehidupan kecil di tempat itu. Barangkali mereka juga mengenali wajah saya sebagai salah satu warga Jakarta yang kerap berseliweran di daerah itu. Jam berapapun saya lewat, pria-pria itu pasti berjongkok di situ, ngobrol, bercanda, sambil menunggu pembeli.
Pada sisi yang lain dari area yang sama, kau tahu, ada terminal. Sesekali rasakanlah suasana kehidupan malam di situ. Atau, mau dengar saja cerita saya? Suatu kali, saya makan nasi gule di situ. Saya memang cukup sering makan di situ. Bakwan malang, nasi goreng, sate padang, yang berbaur dengan asap metromini yang ngetem. Pedagang kakilima di situ tak bisa ditertibkan. Petugas akhirnya membuat aturan, mereka hanya boleh berjualan di malam hari. Sudah mirip pasarlah itu salah satu sisi di bagian depan Terminal Blom M itu. Kalau duniamu hanya sebatas garis terluar lobi mall, tempat kamu biasa ngantri taksi Blue Birds berjam-jam, barangkali sulit membayangkan kehidupan macam apa yang bisa dan mungkin terjadi di panggung semacam terminal bus dalam kota dalam propinsi seperti itu.
Panggung itu seolah jauh, tak terjangkau, atau bahkan mungkin tak terlihat, kecuali sesekali saja dari balik kaca Avanza-mu, kalau kebetulan kamu pas mengangkat kepala dari layar iPhone.
Jadi ceritanya, saya makan nasi gule, dan tiba-tiba seorang perempuan, dengan daster buluk dan menebar bau duduk di samping saya. Seusai makan, ia berbisik pada saya dengan nada yang malu-malu, intinya minta saya menambahi uangnya untuk membayar nasi gule itu. Dengan gagah dan jumawa saya langsung bilang, tenang bu nanti saya bayarin saja sekalian. Lalu ia mengajak ngobrol setelah mengucapkan terima kasih. Ia tinggal di sekitar Blok M Mall (terletak di area bawah tanah terminal). Saya tak begitu menangkap maksudnya, tapi kemudian dia menjelaskan bahwa ia tinggal di sebuah sudut di areal parkir basement. Kerjaan sehari-harinya memulung. Cerita persis asal-usulnya saya lupa, yang jelas sudah pasti klise. Ia merantau dari Surabaya karena suatu sebab. Anak lelakinya kadang menengoknya, dan ia menemuinya di sekitaran Blok M situ juga.
Kenapa tidak pulang saja ke kampung? Setiap bertemu dengan perempuan-perempuan seperti itu, baik di terminal maupun di dalam metromini, pertanyaan seperti itu selalu dijawab sama; jawaban yang tak jelas, tak konkret, yang intinya hanya ingin menghindari pertanyaan itu. Sebab, bagi mereka, hidup itu ya yang terjadi dan dihadapi saat ini. Keinginan, rencana dan pilihan itu tidak ada.
Pertemuan dengan orang-orang seperti itu biasanya lalu membuat dada saya jadi terasa bolong, hampa. Saya selalu teringat kembali dengan kejadian saat saya makan di kakilima di trotoar antara Kampus Atmajaya dan Plaza Semanggi. Ketika saya sedang makan, seorang ibu-ibu berlogat luar Jawa datang dan berkata pada tukang sate padang: Bang, boleh beli ketupatnya saja, uang saya tidak cukup. Kalimat ibu itu seperti gema yang terus berdengung di telinga saya, dan membuat saya ingin menangis.
Saya lalu memperhatikannya; pakaiannya bagus, bersih, pantas. Sama sekali bukan gelandangan. Tapi, apa bedanya? Setiap ingat itu lagi, saya selalu menyesal kenapa waktu itu tak membayarinya. Waktu itu saya masih baru di Jakarta dan masih percaya oleh mitos yang mengatakan bahwa Jakarta ini kota yang sangat kejam sehingga jangan sekali-kali berinteraksi dengan orang yang tak kamu kenal.
Semua orang Jakarta, saya rasa, hidup dalam mitos itu selama bertahun-tahun, sehingga mereka memilih untuk membuat dinding yang membentengi dirinya. Dinding itu bernama ketidakpedulian.
Belakangan saya belajar banyak hal tentang Jakarta. Saya telah mengalami, atau setidaknya melihat, hampir semua modus kejahatan yang bisa terjadi di jalanan. Bukannya tidak takut, tapi saya telah memilih: mengakrabi jalanan sebagai bagian dari denyut kehidupan untuk menciptakan sebuah kota dengan interaksi sosial yang manusiawi.
*pertama kali diterbitkan di sini