xmen days of future past: mengenali ketakutan

oleh: Edo Wallad dan Ratri Ninditya

Ada banyak studio punya hak yang bikin film superhero Marvel, tapi paling punya banyak film ada Marvel Studio punya Disney sama 20th Century Fox Marvel. Kubu 20th Century Marvel punya hak untuk bilang orang yang punya kekuatan super atau superhuman ability itu sebagai mutan. Marvel Studio gak. Uniknya, Quicksilver yang tampil di X Men: Days of Future Past milik 20th Century Fox  dan akan tampil juga di Avengers: Age of Ultron, dengan pemeran yang berbeda. Satu fakta menarik lagi Quicksilver X Men diperankan oleh Evan Peters pemeran Todd di Kick Ass sedangkan versi Avengers nanti akan dimainkan oleh Aaron Taylor-Johnson, the Kick Ass himself. Oh ya ngomong-ngomong Aaron sebagai Quicksilver versi Avengers, dia akan beradu akting dengan Elizabeth Olsen sebagai Scarlett Witch saudara kembarnya, yang di film Godzilla mereka jadi suami istri.

Satu hal yang paling penting untuk menikmati film superhero adalah; jangan mempertanyakan plot untuk cerita superhero baik di komik atau film, karena akan banyak versi dan semesta dengan multiplot yang ruwet seperti benang kusut. Tapi meski begitu, dengan cara yang sederhana, X Men: Days of Future Past punya jawaban atas keruwetan ini karena semua kenyataan bisa diubah. Jadi reboot, reset, recast,  rewrite, dan segala re-re lainnya adalah halal. Oke cukuplah obrolan kru-nya, sekarang kita kupas yang menarik dari film itu.

Saya selalu suka film superhero apalagi yang punya karakter mutan, karena buat saya mutan itu adalah analogi kaum-kaum marjinal. Mereka bisa mewakilkan pekerja seks, pecandu narkoba, orang yang hidup dengan HIV, dan banyak lagi. Maka sama dengan ketika orang ‘biasa’ bertemu dengan kaum marjinal, di cerita X Men orang selalu paranoid bertemu dengan mutan, dan mengecap mereka dengan berbagai stigma.

Nah kalau di film ini masalah bisa diselesaikan dengan kembali ke masa lalu, dengan kata lain mereset sejarah, mungkin gak ya di kehidupan sebenarnya kita menilik masa lalu dan mencari penyebab kenapa yang marjinal itu dimarjinalkan?

Mutan merepresentasi sebuah ketakutan atas apa yang tidak kita ketahui. Kata “mutan” sendiri lebih banyak digunakan seperti menyebut monster: mengerikan, punya kekuatan besar, aneh, jelek, etc. Mutan adalah liyan dalam perspektif manusia ‘biasa’. Bagi kaumnya sendiri, mutan hanya sekedar pembeda. Dalam perspektif manusia biasa, mutan mengalami penurunan makna. Kita ini mutan = kita ini negro. Tapi kamu itu mutan = kamu itu negro, adalah tudingan yang punya kesan menghina, “Dasar mutan!” = “dasar negro!”

Di film ini, Wolverine kembali ke masa saat dunia belum mengenal mutan sebagai “dasar mutan!”. Mutan masih menyembunyikan identitasnya, hidup sendiri-sendiri atau dalam kelompok sangat kecil. Namun, begitu mutan ini muncul di publik dengan wujudnya yang biru bersisik (Mystique) di sebuah perjanjian perdamaian pasca perang Vietnam di Paris dan ditayangkan di televisi nasional, reaksi orang berubah drastis. Yang pertama muncul di pikiran mereka: takut.

Sisi buruk dari berita TV adalah penonton tidak akan bisa melihat sebuah peristiwa secara utuh. Yang disajikan hanyalah kepingan-kepingan yang paling fenomenal aja demi kebutuhan untuk mengejar rating. Siapa yang tidak ketakutan melihat makhluk biru bersisik lompat dari jendela dikejar oleh orang yang bisa terbang dan menggerakkan benda-benda plus hewan buas biru? Kalau mereka menonton seluruh kejadian harusnya tidak.

Kembali ke Wolverine. Perjanjian perdamaian ini adalah titik peristiwa yang harus diubah Wolverine saat kembali ke masa lalu. Karena di situlah Mystique tadinya ditangkap dan dijadikan sampel untuk mengembangkan Sentinnel yang akhirnya akan menghancurkan peradaban mutan dan manusia sekaligus. Tapi setelah Wolverine kembali ke masa lalu itu akibatnya malah makin parah. Proyek Sentinnel yang dikembangkan Trask diapprove oleh Nixon lebih cepat (presiden yang dalam sejarah AS parnoan berat). Jadilah Wolverine, Beast, dan Xavier labil (James McAvoy cocok banget jadi junkie) serta Magneto (Fassbender kayak om om di sini) susun rencana sendiri-sendiri untuk memperbaiki sejarah.

Di film ini kita melihat bagaimana ketakutan jadi kekuatan besar untuk menghancurkan, mengatasnamakan keselamatan manusia. Padahal sih di baliknya cuman kepentingan duit aja. Di beberapa adegan bendera AS berdampingan sama besar dengan logo Trask Industries, menandakan Amerika Serikat adalah industri itu sendiri. Trask digambarkan sebagai seseorang yang bertindak berdasarkan rasa ingin tahunya sebagai ilmuwan. “Kapan lagi kita punya alasan untuk menyatukan manusia sebagai species,” katanya. Well are these scenes familiar? Kekuatan hegemoni adalah saat film-film Amerika sudah menyajikan fakta yang sebenarnya memang terjadi dalam kehidupan sebenarnya, tapi dikemas sedemikian rupa sebagai fiksi sehingga penonton dalam level tertentu bisa relate, tapi gak bisa figure out the whole thing (atau ya udah peduli setan aja) bahwa banyak fakta penting dalam film itu bukan sekedar fiksi.

Kembali lagi ke Wolverine! Di luar aspek-aspek hegemoni, menarik untuk melihat karakter jadi makin kompleks semakin banyak serinya. Wolverine itu gak sekedar tempramental, tapi jadi banyak dimensinya. Jadi mutan yang bisa menyembuhkan diri secara fisik, ironisnya justru keunggulan fisiknya itu bikin dia mengalami banyak banget kejadian yang melukai aspek non fisik dari dirinya. Kekuatannya gak bisa menyembuhkan luka hati ditinggal mati Jean Grey, trauma disiksa waktu dimasukin adamantium, ribut sama abangnya, dll lah. Kami sempat mikir, kenapa Wolverine yang jadi karakter utama dalam keseluruhan seri X Men di film? Lalu kami jawab sendiri, soalnya dia sulit mati, jadi bisa hidup terus ngalamin berbagai versi reset remake re re lain dari marvel universe ini, dan memudahkan marketing, karena jadi punya satu tokoh yang terus ada ketika ada seri baru lagi, jadi tiap keluar yang baru penonton gak akan merasa terlalu asing. X Men ya Wolverine lah kurang lebihnya.

Lalu Xavier ternyata adalah orang yang harus merelakan kakinya dan menghentikan ketergantungannya sama obat untuk kakinya demi kekuatannya. Ia adalah ex junkie kita. With great power comes great responsibility level profesor gitu lah.

Sementara Mystique/Raven berjuang dalam 2 perang, perang terhadap mutan dan perang terhadap dirinya sebagai perempuan. Mystique adalah Raven adalah Jennifer Lawrence, tidak pernah punya kesempatan menjadi dirinya sendiri secara utuh. Erik bertanya, kamu ini Ravennya Charles atau Mystiquenya gue? Keperempuanannya menjadikan ia terobjektivikasi baik dalam lingkup personal maupun publik. Personal karena sepanjang hidupnya pikirannya dikendalikan oleh ubermindfucker Xavier dan kemudian jatuh dalam “lindungan” Magneto, pengendali logam, yang dalam film ini secara spesifik mengacu pada peluru dan senjata yang digunakan untuk menghancurkan, sebuah simbol yang sangat maskulin. Publik karena ia disalahkan sebagai pemicu perang dan disempurnakannya Sentinnel yang akan menghancurkan mutan dan manusia sekaligus. Padahal Raven tidak ingin perang. Raven melihat masalah terjadi dalam ruang personalnya, teman-temannya yang mati dibunuh oleh Trask. Solusinya adalah membunuh Trask, bukan membunuh semua manusia seperti apa yang Magneto inginkan. Raven selalu ingin jadi invisible (jadi Jennifer Lawrence sebelom terkenal kali ye) tapi ia malah terexpose di TV nasional. Seorang suster secara tak langsung bilang wujudnya adalah teror. Di akhir film, Raven “diselamatkan” oleh Xavier, sehingga ia tak jadi membunuh elite2 penting (yang semua lelaki) dalam sejarah amerika serikat, mencegah perang Sentinnel terjadi, dan menjebloskan Trask ke penjara.

Secara keseluruhan, film ini film yang masif, film yang menghibur dan gak perlu dianggap terlalu serius, tapi juga menghibur untuk ditanggapin serius. Kalo di jagad marvel manusia takut mutan, dan di dunia nyata manusia takut kaum marjinal, saya sih takut ngadepin kenyataan lagi abis nonton film ini.

Godzilla: Siapa Monsternya?

godzilla_ver4

oleh: Edo Wallad dan Ratri Ninditya

Saya selalu suka film kaiju. Mungkin ini karena represif memori saya pada film-film yang saya lahap kala saya kecil dulu. Di era video beta, almarhum ayah saya mengabulkan saya untuk menonton beberapa tontonan monster besar yang menyerang bumi dan akhirnya dilawan oleh tokoh pahlawan tokusatsu seperti Spectreman, Ultraman, atau Megaloman. Yang buat saya tertarik pada Godzilla adalah: saya selalu ragu, apakah kaiju satu ini jahat? Atau dia baik? Karena tidak ada tokoh pahlawan tokusatsu yang melawannya. Alih-alih malah dia menyerang kaiju-kaiju lainnya. Tapi saat itu saya terlalu kecil untuk punya kesadaran mempertanyakan hal tersebut.

Pertanyaan itu terus terpendam.

Ketika Godzilla diremake oleh Roland Emmerich di tahun 1998. Tidak ada yang berkesan buat saya kecuali lagu Jamiroquai. Dan saya benci dengan ide kepalanya yang lebih pipih serta rahang dan giginya yang seperti T-Rex.

Lalu datang Cloverfield yang membuat saya terkesan. Karena Hollywood berhasil menterjemahkan teror kaiju dari segala aspek. Mulai dari kamera trik handheld kamera, sampai bentuk monster yang tidak pernah utuh, sehingga menyisakan imajinasi terburuk kita akan kaiju yang menyobek patung liberty. Bahkan asal-usul kaiju di Cloverfield dibiarkan jadi misteri.

Lalu keluar film Pacific Rim yang mencoba untuk menguak asal-usul kaiju dari sisi mereka. Lengkap dengan robot Jaeger yang tabiatnya seperti jeger pasar melawan kaiju-kaiju jahat. Ide masuk ke dalam tubuh robot dan mengendalikannya, seperti kembali membuka kenangan saya yang terpendam akan mecha robot seperti Voltus 5 dan Godsigma.

Semua mimpi masa kecil saya, terjawab oleh Pacific Rim.

Nah kali ini Godzilla kembali diremake di era modern. Kala dia harus muncul sebagai jawaban yang tidak bisa dijawab oleh senjata manusia. Di saat ini juga ada internet yang bilang kalau Godzilla adalah sebuah metafora dari ketakutan manusia pada nuklir karena film pertama muncul sehabis bom Hiroshima dan Nagasaki serta kejadian kapal Lucky Dragon 5 yang terkena radiasi. Pertanyaan saya kembali muncul, apakah dia mahluk jahat? Atau dia baik? Atau dia adalah kekuatan alam untuk jadi penyeimbang? Yang jelas kini saya tahu, saya tidak perlu tahu jawabannya. Karena melihat Godzilla kembali ke laut lepas membunuh dua kaiju dengan  lenggang yang cantik. Saya sudah terpuaskan dan bisa melupakan pertanyaan saya.

Film tentang godzilla berantem dengan makhluk raksasa lain di tengah kota mungkin gak akan punya nilai jual untuk penonton bioskop sekarang. Penonton yang manusia harus bisa relate. Karena manusia itu kan egois. Apa-apa harus relate biar suka. Elemen inilah yang dimasukkan ke dalam film, dengan gaya yang kalo feeling saya sih, menertawai diri sendiri. Ada satu adegan saat Dr. Serizawa (Ken Watanabe) bilang ke pasukan militer jangan bunuh gojira, karena gojira pasti bisa bunuh dua MUTO dan mengembalikan keseimbangan alam. Dijawab oleh pemimpinnya, “lalu kita nonton aja? ya nggak bisa dong!” Lalu pergilah mereka repot-repot mengerahkan seluruh pasukan menggempur 3 kaiju plus bawa reaktor nuklir untuk diledakkan. Kalau manusianya cuman nonton, apakah ada yang penonton bioskop bisa tonton? Ternyata #adaaa.

Di Godzilla versi ini, kita tidak melihat manusia jadi pahlawan. Tapi kita ditunjukkan sebuah persamaan antara kaiju dan manusia: insting hewaninya untuk bertahan hidup. Ford ingin menyelamatkan keluarganya. Godzilla ingin menguasai sumber radiokaktifnya yang terbatas sendiri aja. Ford jatuh pingsan, Godzilla jatuh pingsan dan sebelumnya mereka tatap-tatapan. Di awal film, Ford kecil menggeret flagchain “happy birthday Daddy” yang tampak seperti punggung Godzilla.

Teknik kamera mengajak penonton masuk ke dalam teror film ini. Kaiju-kaiju sering ditampilkan di balik kacamata terbang Ford, dari belakang kemudi dengan wiper menyala, dan kaca-kaca gedung yang berderak saat mereka terbang.

Film ini mempertanyakan kembali, monster itu apa sih? Apakah sepasang MUTO yang kebelet kawin? Apakah Godzilla raksasa yang lagi ngurangin saingannya untuk bertahan hidup? Apakah korporasi, militer, dan negara yang gayanya sok melindungi tapi ujung-ujungnya cuma ngorbanin rakyat kecil?

 

Aside

hidup selebriti dan industrinya yang helter skelter

lilico dan adiknya yang belum operasi

lilico dan adiknya yang belum operasi

harus gak sih sebuah film yang diadaptasi dari komik jadi komikal juga? walaupun film-film ini dimainkan oleh manusia sepanjang film saya seperti baca manga karena gambaran karakternya berlebihan dan semuanya dibicarakan terlalu gamblang. on my freakin face.

 

seperti judulnya, helter skelter adalah perjalanan karir seorang selebriti yang seperti wahana helter skelter: melintir turun dari puncak popularitas ke jurang kenelangsaan. selebritinya bernama lilico (erika sawajiri) yang seluruh tubuhnya adalah hasil operasi plastik kecuali bola mata, kuku, dan mekinya. investigasi dilakukan karena banyak korban jiwa dari klinik tempat ia dioperasi. seorang detektif menyebalkan menarasikan cerita ini dengan komentar-komentar ala filsufnya yang lebih banyak ganggu daripada mencerahkan.

 

medan pertempuran lilico gak hanya saingan-saingan modelnya (kiko mizuhara salah satu contohnya), tapi juga adiksinya terhadap sebuah hal fana bernama cinta (asek). akhirnya cukup asik sih, dia menyerahkan diri untuk dilumat publik dengan menusuk matanya di sebuah konferensi pers. melayani publik dia, udah kayak pejabat negara. kalau saja aktingnya dibuat lebih subtle dan realistis pasti saya udah kasian sama dia. sayangnya dari awal dia seperti mak lampir sinting obsesif gak punya rasa terima kasih dan belas kasihan. take outnya juga jadi gak lucu-ngeri seperti sympathy for lady vengeance misalnya, di sini kita gak dibuat simpatik sama lady lilico. film ini berusaha terlalu keras untuk dianggap dalem dan serius.

 

memang sih ada hal-hal penting yang disampaikan di film ini, dari mikro sampai makro konfliknya konsisten dan relevan, semuanya tentang sesuatu yang cakep di luar tapi bobrok di dalem (operasi plastik –> industri hiburan jepang –> negara jepang itu sendiri). secara visual pun film dipoles seplastis mungkin untuk menceritakan sesuatu yang gelap. mungkin jepang emang kayak boneka matryoshka yang cacat kecuali lapisan terluarnya. tiap dibuka nambah cacatnya, ampe ketemu kecoak di bagian paling dalem.  saya harus baca komiknya dulu untuk tahu apakah itu andil penulis manganya (kyoko okazaki), atau penulis skenarionya (arisa kaneko). yang pasti sih saya gak satu selera sama sutradaranya (mika ninagawa).

 

harus gak sih kita baca komiknya?

 

*gambar diambil dari sini

Philomena mencari

Setelah Captain America dan Amazing Spiderman 2, rasanya menonton film drama sederhana jadi puas banget. Bukannya Spiderman jelek, tapi kita bakal bahas kerennya Spiderman di tulisan lain.

Philomena (Judi Dench) adalah nenek-nenek yang naif, yang terlalu banyak baca novel roman picisan dan Readers Digest, begitulah Martin Sixsmith (Steve Coogan) menganggapnya. Martin sendiri adalah mantan jurnalis politik yang beralih jadi penasehat politik lalu dipecat karena suatu hal. Dua orang dari dua generasi dan kelas sosial berbeda lalu dipertemukan untuk satu tujuan penting, menemukan anak Philomena yang tak ia temui selama 50 tahun.

Keduanya sama-sama mencari pengampunan. Martin setuju untuk menulis artikel “human interest” (eufemisme dari cerita tentang manusia-manusia yang menyedihkan dan putus asa, kira-kira begitu Martin bilang) karena dia merasa selama ini dia hanya melakukan pekerjaan sampah. Sementara Philomena dengan ide-ide Katolik Inggris era 40-an yang telah terinsepsi jauh ke dalam dirinya merasa kehamilannya di luar nikah merupakan dosa besar.

Di awal film kita diperlihatkan Martin yang kelas menengah atas ngehe yang “terdidik” analitik dan sarkastik dengan condescending menganggap kepercayaan Philomena terhadap agama itu hanya kepercayaan buta, yang kini membuatnya terpuruk. Martin benci gereja yang hipokrit. Ngapain Philomena sibuk cari gereja untuk mengaku dosa sementara gereja yang berdosa sama Philomena.

Tapi seiring dengan terbukanya kebusukan asrama/gereja tempat Philomena tinggal dan dipaksa bekerja sebagai balas budi karena gereja mengurus anaknya, makin terbuka lapisan lain dari Philomena. Ternyata ia sudah melompat jauh dari batasan-batasannya, dan ia mampu menerima konsekuensi terpahit dari pilihannya. Anaknya gay dan meninggal karena AIDS, ia hanya mengangguk tenang. Ia memproses semua temuan-temuannya sepanjang jalan satu per satu. Dan justru kesederhanaan berpikirnya membuat ia seperti tidak perlu menyusun kepingan-kepingan puzzle jadi satu gambar besar yang rapi. Pemaparan yang sangat dwoar dari film ini yang saya rasa merupakan poin Steve Coogan sewaktu mengadaptasi kisah nyata Martin menjadi naskah film. Mengkaitkan semua menjadi the big picture memang lebih sering bikin lo gila. Hasilnya, Philomena justru terlihat lebih waras di akhir cerita.

Akhirnya semuanya terungkap, bahwa pencariannya selama ini hanyalah sebuah lingkaran yang besar. Karena anaknya meminta ia dikubur di gereja tempat ia dibesarkan dulu, tempat pertama Martin dan Philomena mulai mencari. Dan gereja sok ramah itu yang sebenarnya selama ini menjauhkan mereka satu sama lain. Di satu adegan mereka bertemu suster tua yang tahu tentang semuanya. Dengan semangat jurnalisnya Martin memaksa suster itu menjelaskan mengapa ia memisahkan seorang anak dengan ibunya, dan melakukan perbudakan anak dengan alasan agama. Suster itu balik mengumpat, bahwa Philomena telah melakukan dosa yang gak akan bisa diampuni, makanya ia harus menjalani semua ini. Di tengah tensi tinggi ini, Philomena justru menghentikan pertengkaran mereka dan ia bilang pada suster tua itu, kalau ia memaafkannya. Marah-marah terus itu melelahkan, memaafkan orang itu sulit. Tapi Philomena memilih untuk menenangkan hatinya sendiri.

Ini adalah sebuah film tentang pencarian. Apa yang kita cari memang sebenarnya ada dekat sekali. Ia bisa ditemukan di sebuah taman belakang terbengkalai gereja, ia juga bisa ditemukan dalam sebuah pengampunan. Philomena mencari pengampunan dan yang ia temukan justru kemampuan untuk mengampuni.

Tidak ada efek khusus dalam film ini, tidak ada simbol-simbol anekdotal yang pretensius. Film ini jadi bukti bahwa jika cerita ditulis sangat jujur merefleksikan kenyataan (bukan karena kisah ini berdasarkan kisah nyata, tapi Coogan yang peka melihat dilematika hubungan antar kelas di masyarakat inggris), hasilnya bisa menggerakkan hati banget. Cucok ditonton di hari minggu sore habis hujan.

 

*gambar diambil dari sini

Boneka Untuk Yoan – Kado Eufemisme Orde Baru

yoan

Orde baru dengan eufemismenya merasuk ke tulang sumsum bangsa Indonesia. Tidak luput lagu anak saat itu. Budaya bahasa eufemisme yang lebih suka mengatakan mengamankan daripada menghilangkan telah memberikan sudut pandang semu pada setiap hal. Begitu juga kebahagiaan. Yang akan dibahas di sini adalah sebuah lagu dari Yoan Tanamal yang berjudul ‘Aku Sedih’.

Semua orang juga tahu kalau Yoan adalah korban ekploitasi orang tua demi kapital. Uniknya lagi sang ayah berani blak-blakan mengungkapkan itu semua itu dengan mengabadikan kehidupan Yoan yang sunyi dalam sebuah lagu yang dia buat untuk Yoan ini.

Lagu ini jujur. Terlalu jujur untuk mengupas kesedihan Yoan di awal lagu ketika dia harus merenung sendiri karena ditinggal orang tua. Orang tua meninggalkan anak untuk bekerja adalah hal biasa. Bagian aku sedih duduk sendiri, papa pergi mama pergi ini bahkan sudah beberapa kali diadaptasi, seperti oleh Blake di Pesta Rap 2 dengan lagu ‘Bosan’.  bosan di rumah lagi sendirian, papa sibuk mama arisan, ga ada lagi yang bisa jadi perhatian, semua jadi bikin gw blingsatan. Tidak ketinggalan saya sendiri ketika menulis lagu untuk The Safari -Disko di Rumah; Ayahku pergi ibuku pergi sendiri di rumah.

Balik lagi ke lagu ‘Aku Sedih’. Ketika masuk ke bagian bridge orang tua Yoan yang pulang sore hari, di sinilah sepertinya mulai ada ketidak-jujuran di lagu itu, saya rasa ini sudah jadi kebohongan publik. Kehidupan seorang seniman seperti orang tua Yoan yang berkecimpung di dunia hiburan pasti menyita waktu yang banyak. Minimal pulang malam setiap hari kalau tidak harus menginap menyelesaikan syuting atau rekaman.

Sore di lagu ini buat saya adalah pulang malam hari yang dihaluskan- seperti menghilangkan yang jadi mengamankan-, ketika anak yang sudah tertidur dalam dekapan si mbok merindukan belaian orang tuanya, lalu untuk kebahagiaan semu mereka membelikan mainan. Yang lebih menyakitkan adalah ketika Yoan harus bahagia menerima teman boneka – terima kasih, mama dan papa, kiniku punya, teman boneka, ini baris paling mengenaskan- , sampai akhirnya dia ketika dewasa akrab bermain dengan narkoba.  Boneka dan narkoba sama-sama kebahagian palsu. Bedanya boneka adalah kepalsuan yang diamini, sedangkan narkoba sudah dihakimi sejak awal punya kodrat jahat.

Saya bukan mau menyalahkan orang tua –apalagi nyalahin narkoba hehehe…-, tapi saya lebih menggaris-bawahi kita yang permisif dan buta pada kebahagiaan semu yang diwakili oleh kata boneka dan mainan yang dipesan sang anak. Bayangkan itu hanya satu contoh di lirik lagu anak. Bagaimana dengan bahasa jurnalisme di era orde baru? Bagaimana tontonan di tv yang cuma satu TVRI?