Microhabitat: menciptakan rumah dari rokok dan wiski

Sutradara & penulis: Jeon Go Woon

Cast: Esom sebagai Mi So

Apa artinya rumah? Apa yang membuat seseorang nyaman dan utuh? Film ini menelusurinya dalam konteks kehidupan urban Korea Selatan dan sekelompok orang yang mengalami krisis sepertiga baya.

Secara luas, film ini menginvestigasi apa yang hilang ketika seseorang hidup sesuai pakem-pakem masyarakat. Secara spesifik, film ini menceritakan bagaimana seorang perempuan berusaha ‘menemukan’ dirinya di tengah tuntutan menjadi perempuan dewasa. Microhabitat membuat penonton bertanya, apa dewasa selalu berarti menciptakan sebuah rumah dan isi-isi di dalamnya secara harfiah?

Microhabitat mengikuti sepotong kehidupan perempuan bernama Mi So yang menolak kemapanan. Kesenangannya adalah rokok, wiski, dan pacar. Penghasilannya pas-pasan karena ia puas dengan bekerja sebagai pembersih rumah. Ketika pemerintah menaikkan harga rokok, Mi So malah merelakan rumah kontrakannya dan mulai mendatangi teman-teman band lama untuk numpang menginap dan makan malam. Penonton dibawa untuk mengikuti bagaimana Mi So menilai hidup dan kebahagiaan teman-temannya. Dari seorang perempuan karir yang harus menginfus diri di kantor untuk kerja lembur, lelaki anak mami yang terlalu nyaman di rumah orang tua, ibu rumah tangga kaya raya, perempuan rumah tangga dari keluarga pemilik restoran cina, dan lelaki melankolis yang dighosting istri, Mi So menemukan sahabat-sahabat lamanya sangat tidak bahagia, walaupun mereka memiliki rumah dan keluarga, sebuah definisi kedewasaan masyarakat kelas menengah yang jarang kita pertanyakan. Mereka menjalani hidup yang sangat kontras dibanding Mi So, perempuan sebatang kara yang menggeret koper oranye ke mana-mana. Saat ia merokok di tengah musim dingin Seoul dan minum wiski berusia 12 tahun, ia menemukan kenyamanannya. Rumah Mi So bukan sebuah kotak dengan pintu dan jendela, tetapi: rokok, wiski, dan pacar, tiga hal yang stabil dalam hidupnya. Aku tak punya rumah tapi aku punya hobiku, Mi So bilang.

sumber

Di sini Mi So adalah sosok yang melakukan perlawanan dengan membangun rumah versinya sendiri. Berkeluarga di dalam rumah yang yahud, seperti yang ia amati dari teman-temannya, berarti kehilangan kebebasan. Tapi film ini tidak lalu menjadikan keutuhan diri Mi So final. Ia harus mengartikan ulang makna rumah dan keutuhan dirinya, apalagi setelah harga wiski juga dinaikkan lalu pacarnya meninggalkan dia ke Arab Saudi. Sebagian pengeluaran Mi So selain untuk tiga hal favoritnya didedikasikan untuk beli jamu pencegah uban. Sementara teman-teman Mi So menjalani hidup dewasa, Mi So menolak tua. Namun ketika harga wiski ikut naik, Mi So merelakan tidak beli jamu anti uban lagi, ia menyerah untuk menjadi ‘tua’. Tapi bukan berarti perlawanannya berakhir. Ia tetap punya definisi dewasanya sendiri. Di akhir film tampak sosok perempuan berambut putih yang tetap menghisap rokok dan menyeruput wiski, sebelum pulang ke rumahnya: sebuah tend oranye di pinggir sungai Han.

Mungkin film ini diendorse oleh beberapa merk rokok dan wiski, tapi dengan jitu film ini mengkritisi sikap tipikal negara menyalahkan napza dan bagaimana premis “gaya hidup sehat” sebenarnya sangat politis dan bias kelas. Alasan harga alkohol dan rokok dinaikkan punya implikasi sangat berbeda dari yang dipropagandakan. Ini bukan tentang hidup lebih sehat atau upaya mengurangi tingkat kriminalitas akibat penyalahgunaan napza. Ini tentang pembentukan masyarakat budiman dan penegakan norma-norma femininitas ‘timur’ untuk menandingi arus globalisasi. Karena, banyak kalangan kelas menengah bawah tidak akan menghentikan konsumsi rokok dan alkoholnya. Microhabitat bahkan dengan jeli menggambarkan, kesenangan yang didapat dari merokok dan minum jadi sebuah cara membebaskan diri dari hidup yang mencekik. Buat apa tinggal di rumah berheater, punya bayi lucu, dan kerja di perusahaan prestigius, jika kita tidak merasa belong. Apa artinya upaya mengurangi penyalahgunaan napza dengan menaikkan harganya ketika di sudut lain kota seorang perempuan karir infus glukosa demi bisa kerja lebih panjang?

*feature image diambil dari sini

My Ahjussi: Kelindan Feminisme, Kapitalisme dan Kolektivisme dalam Perlawanan yang Sunyi

my ahjussi 2
Oleh Festi Noverini dan Ratri Ninditya

Orang sering heran mengapa kami nonton drama korea. Drama Korea kan seksis, kata mereka. Buat kami, drama korea bukan tidak mungkin mengandung pesan-pesan subversif, yang mempertanyakan konvensi gender dan kelas di masyarakat kontemporer Korea Selatan. Malah justru mereka bisa menyajikannya di tengah keterbatasan formula dan tuntutan untuk tetap komersil. Keberadaan drama-drama semacam ini juga sangat menarik karena merefleksikan potensi penonton untuk menerima pesan subversif tersebut.

My Ahjussi adalah salah satunya. Drama ini bicara feminisme dalam bahasa dan konteks budayanya sendiri tanpa perlu menjadi imitasi Hollywood. Drama ini mampu mengilustrasikan pertentangan gender dan kelas yang berkelindan dengan kolektivisme khas Korea dalam eksplorasi karakter yang berlapis-lapis dan cerita yang menggugah.

Marx pernah bilang kalau kapitalisme mengasingkan individu dari individu lainnya dan juga dari masyarakatnya, bahkan ujung-ujungnya, dari esensi manusia itu sendiri. Ini merupakan konsekuensi dari menjadi bagian mekanis dari sebuah kelas sosial.

Kapitalisme memang kejam, tapi yang membuat lebih merana adalah terperangkap kekejaman sistem kapitalisme dalam tatanan sosial yang konservatif dan kolektif. Sudahlah orang limbung kehilangan dirinya, di saat yang bersamaan mereka juga dipaksa tetap hadir dalam keguyuban. Korea (Selatan dan Utara), memiliki sebuah identitas kolektif yang disebut sebagai Uri (우리), yang secara harfiah berarti ‘Kita’ atau ‘Kami’. Makna Uri tentunya tidak sesederhana arti kata ‘Kita’ atau ‘Kami’ tadi. Dalam tatanan masyarakat yang hiperkolektif, ‘Saya’ hilang di dalam ‘Kita’. Identitas kolektif Uri kemudian berkelindan (intersects) dengan kelas dan maskulinitas dan menekan anggota-anggotanya untuk mematuhi kode-kode normatif yang telah disepakati untuk mencapai keteraturan dan keharmonisan masyarakat yang hakiki.

my ahjussi 5

Park Dong Hoon (Lee Sun Kyun)

Kelindan ini diilustrasikan dengan sangat realistis dalam karakter utama lelaki Park Dong Hoon (si om) yang diperankan oleh Lee Sun Kyun. Park Dong Hoon ada di pusat ini semua. Di sini kita juga melihat bahwa imbas dari patriarki tidak hanya pada perempuan, tapi juga laki-laki. Si om adalah seorang pekerja kantoran medioker kelas menengah. Hidupnya terlihat ideal: berpenghasilan tetap, beristri cantik dan bisa menyekolahkan anaknya di luar negeri. Di balik itu semua, ia terepresi dan hampa karena seumur hidup berusaha menjadi kelas menengah budiman penyokong hidup keluarga inti dan keluarga besarnya. Istrinya yang pengacara ingin ia berhenti kerja di kantor itu karena ia tidak kunjung naik jabatan. Beban maskulinitas untuk selalu stabil secara finansial membuat ia bertahan di pekerjaan itu daripada mempertaruhkan uang untuk menjadi wiraswasta dan gagal seperti kakaknya.

Di sini, Uri meleburkan konsep diri si Om sebagai individu. Mimpi dan kebahagiaannya adalah mimpi keluarga besar dan istrinya. Kesedihan dan kegusarannya tersembunyi dalam kehidupan kolektif ini. Di depan keluarga, ia hadir dengan senyum dan uang dan statusnya yang membanggakan sebagai pegawai kantoran. Cukup baik, walaupun tidak pernah benar-benar memuaskan (karena kapitalisme menuntutmu untuk terus dan terus memperbaiki diri, alias cari uang lebih banyak lagi). Jalinan Uri, kapitalisme, dan patriarki juga menghasilkan relasi sosial yang racun, sebuah lingkaran setan yang memerangkap individu, seringkali merusak kesehatan tubuh dan mental. Jam kerja yang panjang dan penghargaan yang tidak setimpal membuat orang Korea butuh “piknik”, yang diulas dalam artikel ini sebagai ‘play culture’. Si om memiliki dua saudara kandung laki-laki, Sang Hoon (Park Ho San) dan Gi Hoon (Song Sae Byeok). Mereka kumpul rutin untuk puk-puk bro berjamaah, mengasihani dan menjustifikasi maskulinitasnya masing-masing ditemani alkohol dan kesedihan yang ditekan dalam-dalam. Setelah ritual selesai, ketika sendirian di tempat tidur masing-masing, kegusaran mereka kembali hadir.

Lalu apa sih yang specifically feminis dari drama yang jika diterjemahkan berjudul “Om Aku” dan memasang dua tokoh utama (Lee Sun Kyun dan IU) yang rentang umurnya dua puluh tahunan? Kok kedengaran seperti romantisasi yang disturbing hubungan daddy-daddy dan sugar babynya?

 

Dalam konvensi drama Korea kebanyakan, gaze, atau pandangan, tertuju pada perempuan. Tubuh dan kelakuan perempuan seolah menjadi kiblat di mana nilai-nilai kebaikan berpijak. Saat perempuan tokoh utama kehilangan nilai-nilai kebaikan ini maka peran lelaki adalah untuk datang dan menyelamatkannya dari jurang nestapa. Biasanya butuh dua laki-laki untuk ‘meluruskan’ si perempuan, yang satu dapat ciuman tulus dan satu lagi gigit jari.

Namun, gaze dalam My Ahjussi selalu milik tokoh utama perempuan. Selama 24 jam setiap hari ia mengawasi gerak-gerik si Om melalui ponsel om yang dia sadap. Di sebuah kota dengan mata (secara kiasan dan harfiah) yang selalu mengawasi dan siap mengadili tubuh-tubuh warganya setiap saat, penggunaan elemen sadap yang justru dilakukan oleh tokoh perempuan adalah unsur yang sangat menarik dari serial ini. Alih-alih mengadili tingkah laku perempuan, serial ini menginterogasi cara pandang masyarakat urban Korea Selatan terhadap perempuan, terutama yang muda dan miskin, pengkotak-kotakan gender dan perannya di masyarakat, termasuk tuntutan-tuntutan untuk menjadi lelaki “tulen”. Yang juga menarik, gaze versi perempuan ini bentuknya bukan video/visual, melainkan suara, sebuah sindiran terhadap istilah “perempuan adalah pendengar yang baik.” Dengan alat sadapnya, perempuan tokoh utama, Lee Ji An, yang diperankan IU, adalah dalang cerita dan selalu berada beberapa langkah di depan orang lain. Ia punya kontrol penuh atas hidupnya dan bahkan sanggup mengendalikan hidup orang lain.

my ahjussi 6

Lee Ji An (IU)

Lee Ji An hadir sebagai sosok subversif antitesis Park Dong Hoon: miskin, nyablak, agresif, mengganggu keimanan si om. Ji An tidak merasa perlu ikut ‘hweshik’ alias makan-makan kantor demi menjalin keakraban dengan rekan kerja. Dia cuma melakukan pekerjaan kantor seperlunya, pulang ke rumah menemui neneknya yang sudah tidak bisa berjalan, lalu minum 3 sachet kopi instan. Selain karena gratis dan biar lekas kenyang,  kandungan gula tinggi dalam kopi instan jadi penawar hidupnya yang terlalu pahit dan melelahkan.

Karena kelas, usia dan gendernya, tak ada yang menyangka Ji An pandai dan cerdik, sebuah refleksi masyarakat yang selalu menganggap enteng perempuan muda apalagi jika ia berasal dari kelas pekerja. Ji An memanfaatkan citra tersebut untuk lebih leluasa memutarbalikkan situasi agar menguntungkan dirinya. Lewat earphone murahan, nafas Dong Hoon terdengar di telinga Ji An sepanjang hari, menyadarkannya bahwa pria paruh baya ini selalu kelelahan, secara harfiah dan kiasan, tidak berbeda dari dirinya. Kesamaan inilah yang membuat Ji An terobsesi pada Dong Hoon.

Humor pahitnya: Dong Hoon selalu berusaha untuk menyelamatkan Ji An, tapi malah Ji An yang berkali-kali menyelamatkannya. Dong Hoon adalah orang terakhir yang tahu mengenai hubungan istri dengan atasannya sendiri. Sembari Dong Hoon berusaha menjadi ksatria berkuda putih, Ji An membereskan semua orang yang berusaha menjebak Dong Hoon dan memastikan Dong Hoon naik pangkat. Atta gurl!

Lewat sempilan percakapan Ji An dan neneknya yang bisu, drama ini juga menyindir arogansi kelas dan positivity craze. Saat neneknya mengatakan Dong Hoon adalah orang baik, Ji An dengan tajam menjawab, “gampang jadi orang baik kalau punya uang.”

Nenek Ji An yang bisu seakan menjadi metafora tentang muted feelings, berbagai perasaan yang direpresi sehingga tak ada yang bisa mengerti. Sementara Ji An hadir sebagai si maha pendengar yang memahami segala (bahkan bahasa isyarat!).

Ji An juga selalu dikejar-kejar Lee Kwang Il (Jang Ki Young) yang bahkan sudah tidak sadar lagi apakah dia mem-bully Ji An sekedar untuk menagih hutang dan membalas dendam atau justru sedang cari perhatian dengan cara yang sangat misoginis karena dia sendiri juga sebenarnya sangat terasing.

Istri Dong Hoon, Kang Yoon Hee (Lee Ji Ah), tidak digambarkan sesederhana sebagai istri pengkhianat. Ia punya kesedihannya sendiri. Ia tidak tahan dengan nilai-nilai patriarkis yang dianut suami beserta keluarganya. Sebagai seorang pengacara mungkin penghasilannya lebih besar dari Dong Hoon. Tiap ia berkunjung ke rumah mertua, ia dihadapkan dengan mertua yang tidak pernah mempersilakan ia membantu di dapur. Sikap pasif agresif ini mungkin akibat dari rasa  malu karena justru Yoon Hee yang berpenghasilan paling tinggi melebihi anak-anak laki-lakinya. Ia benci dengan Dong Hoon yang selalu minta maaf, seolah-olah ia adalah istri tak tahu berterima kasih. Di sisi lain, ia ingin Dong Hoon keluar dari kantor keparatnya karena tak tahan melihat suaminya yang sudah habis gairah hidup.

Kecanggungan juga diperumit dengan rasa rendah diri ibu dan saudara-saudara Dong Hoon karena mereka berada di kelas sosial yang berbeda dari sang istri. Perbedaan kelas ini yang mungkin menimbulkan perbedaan nilai dalam memandang keluarga. Si istri kelas atas-berpendidikan menganggap keluarga inti adalah prioritas, sementara keluarga besar kelas menengah bawah merasa perlu terlibat dalam gono-gini semua anggota keluarga besarnya.

Yang juga menarik di drama ini, semua karakter perempuan berada di pihak yang lebih agresif (berlawanan dengan konvensi drama Korea yang seringkali memposisikan perempuan sebagai makhluk pasif). Di luar Ji An dan Yoon Hee, ada ibu dari tiga bersaudara Hoon, Byeon Yo Soon (Go Doo Shim), yang merupakan single parent. Sampai tua pun dia masih mengurusi anak-anaknya, terlebih ketika Sang Hoon dan Gi Hoon jadi pengangguran, padahal dia sendiri juga hidup pas-pasan. Jung Hee (Oh Na Ra) – si pemilik bar yang menyediakan kebahagiaan semu bagi para laki-laki paruh baya dengan pekerjaan yang jauh dari gambaran sukses – mengkonfrontasi mantan kekasihnya yang dulu tiba-tiba memutuskan jadi biksu. Istri Sang Hoon, Jo Ae Ryun (Jung Young Joo) menceraikan Sang Hoon. Lalu Choi Yoo Ra (Nara), yang tadinya benci setengah mati lalu berbalik mengejar Gi Hoon dengan alasan yang cukup konyol tapi jadi pukulan telak buat arogansi Gi Hoon, karena sekarang dia juga sama-sama jadi pecundang!

Kolektivisme memang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi dia memberikan beban normatif bagi anggota masyarakat, namun di sisi lain dia menjadi sumber kekuatan untuk melalui rintangan bersama, dan Korea Selatan sudah membuktikan ini berkali-kali, seperti saat perang Korea, serta mungkin yang paling fenomenal di masa kita, krisis keuangan Asia. Dalam My Ahjussi, kolektivisme ini ditunjukkan dalam proses pembentukan manusia. Saya pernah bilang kalau saya suka bagaimana drama Solomon’s Perjury menerjemahkan dengan baik pepatah “butuh orang sekampung untuk membesarkan seorang anak”. Kehangatan keluarga yang hilang dari kedua orang tuanya pelan-pelan digantikan oleh gerombolan om-om dan seorang tante yang mengantarkan Ji An pulang ke rumah dan “menitipkannya” pada tetangga, serta hadir dan mengurusi semua kepentingan pemakaman neneknya. Mungkin jika Kwang Il juga menerima sedikit saja kebaikan dari lingkungannya, dia tidak akan tumbuh jadi sesadis itu. Mungkin.

Dengan karakter perempuan yang subversif, serial ini dapat disebut sebagai counter genre daddy long legs yang memberikan penonton sebuah potongan kehidupan masyarakat kontemporer Korea Selatan tanpa melupakan segala kompleksitasnya.

Black Mirror: Bandersnatch, pilih sendiri reviewmu

black-mirror-bandersnatch-endings-explained

Desember adalah saatnya berbagi kado akhir tahun. Seperti tidak mau ketinggalan, Netflix juga memberikan kado buat pelanggannya dengan meluncurkan satu produk baru dari antologi sci-fi Black Mirror. Seperti halnya episode khusus “White Chrismas”, kali ini Black Mirror juga hadir dengan episode khusus yang bentuknya adalah satu film panjang. Bahkan bisa jadi panjaaaaaaang sekali. “Bandersnatch” demikian judul dari film Black Mirror rilis pada tanggal 28 Desember 2018, adalah satu kado akhir tahun dari Netflix yang istimewa. Karena film ini menawarkan pengalaman  menikmati tontonan yang berbeda. Berbeda karena dengan bantuan teknologi, kini kita bisa menikmati  tontonan dengan cara yang berbeda, yaitu tontonan dengan genre ‘pilih sendiri ceritamu’. Cara menikmati cerita dengan gaya pilih sendiri sebenarnya sudah dilakukan seperti pada buku “Choose Your Adventure”. Begitu juga menikmati semua hal yang ada sekarang ini. Dimana sekarang kita bisa lebih lentur memilih tontonan, musik, bahkan berita dengan layanan streaming di internet.

Nah sekarang, saatnya kamu yang memilih. Review siapa yang ingin kamu baca?

Ratri Ninditya

Edo Wallad

Representasi perempuan dan penyakit kejiwaan di Sharp Objects

Apakah kita perlu satu lagi cerita tentang perempuan-perempuan dengan penyakit kejiwaan? Tidak ada salahnya. Tapi jika cerita lagi-lagi berputar di ketidakstabilan mental perempuannya saja, tanpa lebih jauh menggali masyarakat rasis dan seksis yang jadi penyebab ke”tidaknormal”annya, apakah sebuah cerita bisa kehilangan potensinya untuk bisa kritis dan jatuh ke dalam penggambaran stereotipikal perempuan-gila-butuh-dicerahkan? Apakah penggambaran perempuan yang menjadi subjek dan objek kekerasan bisa dikategorikan feminis? Pertanyaan itu berputar di kepala saya setelah nonton serial televisi Sharp Objects yang diangkat dari novel berjudul sama karya Gillian Flynn.

Di satu sisi, serial ini berhasil membongkar romantisasi peran ibu dan hubungan ibu-anak. Dari luar, karakter Adora Preaker masuk ke dalam stereotipikal ibu-ibu kulit putih old money: rambut pirang lurus bergelombang, bersuara lembut, suka pakai hak tinggi saat masak di rumah. Ia penyayang anak dan suka merawat (bahkan terlalu suka, terutama saat anak-anaknya mengeluh sakit). Cerita perlahan menguliti karakter Adora yang suka mendikte kedua anaknya untuk tampil feminin, ia juga menjadi akar masalah Camille Preaker (diperankan oleh Amy Adams) menjadi seorang alkoholik yang suka menyakiti diri sendiri. Adora kerap kali menyalahkan Camille karena merusak keharmonisan Wind Gap, kota tempat keluarga Camille tinggal, karena ketidaksensitifannya menginterogasi keluarga korban pembunuhan atas nama pekerjaan. Amma Preaker, adik Camille dari perkawinan kedua ibunya, juga berkomentar bahwa Adora menganggap anaknya yang sudah mati adalah yang paling sempurna. Hubungan Adora dengan suami keduanya juga tidak seharmonis yang kelihatan. Mereka sering pisah ranjang. Adora bahkan terlihat lebih akrab dengan Pak Polisi yang sering bertamu sampai malam dibanding dengan suaminya. Sharp Objects berusaha menggambarkan bahwa seorang ibu bisa jadi gila demi memenuhi tuntutan masyarakat menjadi ibu sempurna.

Hubungan Adora dan Camille juga tidak harmonis seperti imajinasi masyarakat di iklan-iklan kecap manis. Sang ibu menganggap Camille selalu menyakiti dia dan tidak enggan untuk menyatakannya langsung di depan Camille. Camille mencoreng nama baik Adora karena tidak feminin. Waktu muda ia berambut pendek dan berkelakuan selayaknya remaja kebanyakan, tapi dicap ‘nakal’, dan ‘pecun’ oleh warga Wind Gap. Ibu adalah sumber rasa cinta sekaligus rasa sakit anak.

Karakter Camille seperti dimaksudkan untuk melawan stereotip karakter perempuan ‘baik-baik’. Ia tidur dengan lebih dari satu laki-laki. Ia alkoholik. Untuk umurnya, ia tidak menikah dan tidak punya anak. Ia hanya medioker saja di karirnya sebagai jurnalis. Buat saya, karakter seperti ini lebih empowering dan relatable daripada perempuan-perempuan neolib sukses yang jadi bos di kantor besar.

Karakter Amma memberontak terhadap femininitas perempuan dengan main sepatu roda, pesta, dan mengkonsumsi napza di belakang ibunya tapi dengan lihai menjadi mommy’s little girl di rumah. Pada akhirnya Amma bingung sendiri peran mana yang harus ia pilih. Kebingungan ini buat saya menarik dan sangat nyata. Kita selalu menjejakkan kaki di dua dunia sekaligus, di dalam dan di luar konsep perempuan ‘ideal’. Pembunuhan dua perempuan Wind Gap oleh Amma adalah gabungan konformitas dan perlawanan terhadap tuntutan menjadi perempuan: sebuah pemberontakan pamungkas terhadap ibunya (yang merepresentasi masyarakat itu sendiri), hukuman terhadap perempuan yang tidak ‘feminin’, sekaligus upaya untuk menjadikan perempuan itu ‘sempurna’.

Sayangnya, cerita ini berhenti pada masalah kejiwaan perempuan tanpa lebih jauh mempertanyakan struktur sosial yang membentuknya. Rasisme dan seksisme kota Wind Gap hanya ditampilkan sekilas, di sebuah episode di mana mereka merayakan hari jadi kota yang dibangun atas kekerasan seksual terhadap perempuan. Ketika penyakit kejiwaan Adora direveal di dua episode terakhir, penyakit ini seperti menjadi satu-satunya jawaban koheren atas semua masalah yang terjadi pada Camille dan misteri kematian adik Camille di masa lalu tanpa menilik lebih jauh pada kebusukan rasis dan seksis masyarakatnya. Penyakit kejiwaan Adora bahkan terkesan ada hanya karena ia perempuan. Pak Polisi yang jelas-jelas seksis dan lebih gila justru diberi kesempatan untuk menangkap Adora. Ada satu momen di mana Adora menyarankan Amma untuk mengubah storyline pentasnya. Pentas itu dilakukan rutin tiap tahun dengan cerita sejarah kota yang selalu sama, yang menurut Adora, seperti yang disampaikan Amma pada gurunya, ditulis oleh laki-laki. Namun, karena proposal ditolak akhirnya Adora membiarkan saja Amma tampil dalam narasi yang lama. Itu adalah satu-satunya adegan yang mengilustrasikan langsung bagaimana Adora mengalah pada seksisme yang kemungkinan berujung pada masalah kejiwaannya.

Kompleksitas masalah Camille si tokoh utama tiba-tiba hilang seiring terkuaknya penyakit kejiwaan sang ibu. Setelah ibu masuk penjara, Camille tidak terlihat minum alkohol dan hidup dalam konformitas keluarga bahagia bersama Amma. Di realita, tidak ada satu akar koheren dari sebuah penyakit kejiwaan ataupun adiksi dan tak akan semudah itu hilang dengan mengetahuinya.

Pada akhirnya, apa yang ingin Gillian Flynn sampaikan di cerita ini adalah bahwa perempuan bisa inherently evil, bisa jadi sama berbahayanya dengan laki-laki. Dalam struktur masyarakat yang kompleks, perempuan bisa jadi subjek, bukan hanya korban laki-laki. Tapi bahwa kejahatan ini adalah hasil dari struktur sosial yang merepresi perempuan secara sistemik hanya jadi pesan yang kebetulan tersisip saja. Saya sendiri tidak kebeli dengan premis inherently evil karena tidak ada yang inheren di dunia ini kecuali jika kita hidup sendirian di ruang hampa. Sharp Objects tidak masuk ke dalam jebakan narasi perempuan-gila-butuh-dicerahkan, tapi ia menyalahkan perempuan akan kegilaannya sendiri tanpa banyak menginterogasi kondisi rasis dan seksis yang membentuk kegilaan itu. Untuk cerita yang digadang-gadang bernafaskan feminis, Sharp Objects masih jauh dari revolusioner.