ideologi yang bersembunyi di balik ironi (review jalanan)

jalanan

 

 

jalanan karya daniel ziv adalah produk khas generasi x yang menuntut segalanya harus ironis, termasuk cara menikmatinya. film ini menyajikan kolase kegetiran yang memaksa kita untuk tertawa miris tanpa merasa perlu menjelaskan kegetiran itu disebabkan oleh apa. film ini menggantungkan diri sekali kepada dramatic irony, bahwa ho tidak sadar keinginannya membangun keluarga sakinah mawaddah wassalam bertolak belakang dengan perilaku masteng seksisnya, bahwa titi tidak sadar impian modernitasnya untuk mendapatkan ijazah tidak akan membantu dia juga pada akhirnya jika ijazah itu datang dari sistem pendidikan indonesia yang tidak mengajarkan apa-apa selain mis-/disinformasi, bahwa boni tidak sadar penggusurannya dari arcadia (eh, hyatt) di bawah jembatan yang susah-susah dia bangun tidak akan berakhir di tempat yang lebih baik seperti janji-janji surganya kepada pacarnya–tapi penonton sadar tentang itu, dan diharapkan tertawa. miris. tapi tertawa. (dan memang banyak yang ketawa pas saya nonton di blok m square.)

 

tapi terus apa kerennya dramatic irony seperti ini? apa bedanya menertawakan, walaupun dengan miris, nasib ho, titi, dan boni, dengan menertawakan laporan pandangan mata pernikahan ruben onsu di bali yang dikasih soundtrack “what’s love got to do with it?”? buat film yang mempromosikan dirinya sendiri sebagai sebuah karya tentang–

Indonesia, musik jalanan, asmara, penjara, politik, seks, korupsi, hamparan sawah, globalisasi, dan patah hati!

–adakah hal yang lebih dalam daripada sinisme yang ditawarkannya tentang politik, korupsi, dan globalisasi (nggak usah ngomong tentang (((hamparan sawah))) dulu deh) yang telah menjerumuskan ketiga talking heads kita di atas ke dalam kemiskinan struktural?

 

dengan narasi yang tersengal-sengal seperti metro mini bobrok, dan camera work yang superklise (sob stories incoming… extreme close up!), jalanan hanya menawarkan argumen klise tentang a fucked-up third-world city: bahwa rakyat kecilnya yang oh-so-naive bakal selamanya digangbang oleh triumvirat korupsi, birokrasi, dan horang kayah. tidak ada analisa yang lebih dalam tentang itu–apakah ia sedang berkomentar tentang globalisasi saat menyajikan adegan ho menikah dengan mengenakan t-shirt “save darfur”? atau biar lucu aja? apa lucunya?

 

jalanan seperti tidak sadar dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan ketiga karakter ini: bahwa ketiga-tiganya berusaha membangun arcadia (hyatt dalam kasus boni) di tengah-tengah neraka jalanan urban megalopolutan jakarta. ini sebenarnya tema yang menarik buat film dokumenter yang punya ambisi ingin jadi lebih dari (quote dari press release-nya) “film dokumenter biasa (yang umumnya berat dan cenderung membosankan).” (sepertinya daniel ziv belum pernah nonton the act of killing, leviathan, up the yangtze, last train home, negeri di bawah kabut, spellbound, chronique d’un été, banyak deh!) namun tema itu tersingkirkan oleh ambisi ingin memancing cheap laughs dari para audiencenya (though at rp75,000 a pop at plaza senayan xxi, not so cheap!).

 

selain itu, ada satu hal yang sangat mengganggu saya tentang jalanan (dan bukan adegan faux-pastoral titi membentangkan tangan menghirup udara segar (((hamparan sawah))) di kampungnya–only #kelasmenengahngehek zakarta sok slumming it yang akan melakukan ini (or a documentary subject under instruction?)): bahwa di balik tirani ironinya, film ini dengan sangat hati-hati menyembunyikan ideologi yang, jika bukan fanatik pro-modernitas ala barat, maka paling tidak menghiraukan dengan paripurna aspek keposkolonialan hidup di indonesia saat ini.

 

dalam satu adegan, titi sedang belajar tentang sistem politik di kosan temannya. mereka mencoba menjawab soal-soal dangkal pilihan ganda tentang sistem politik apa yang berlaku di inggris dan china, kemudian mereka ngomong ngalor-ngidul tentang HAM, komunisme, dan kemakmuran. dari percakapan mereka, terlihat sekali pengaruh kuat mis-/disinformasi pendidikan orde baru terhadap kedua karakter ini. bahwa komunisme kejam karena tidak mempedulikan HAM, bahwa liberalisme identik dengan kebebasan, dan bahwa, menurut titi, ada sebuah arcadia di dunia barat sana di mana tidak ada dikotomi kaya-miskin (dramatic fade-out…).

 

pov kamera dalam adegan ini pun tiba-tiba bermetamorfosis menjadi fly-on-the-wall, padahal sepanjang film karakter-karakternya lebih sering sadar kamera (literally) dan seringkali memperlakukan kamera sebagai teman curhat. seakan-akan dalam adegan ini, yang sebenarnya berpotensi paling tidak mengorek sedikit luka warisan kolonialisme dan imperialisme barat di indonesia (betapa ironis jika kedua karakter ini menganggap liberalisme barat akan menyelamatkan hidup mereka, padahal kita sebagai penonton tahu justru kebajinganan (neo)liberalisme itulah sekarang yang sedang menghancurkannya–tapi film ini malah bertingkah seolah-olah tidak sadar (atau memang tidak sadar) dengan ironi yang satu ini), film ini justru cuci tangan dan pura-pura tidak tahu tentang konteks historis dan politis percakapan titi dan temannya.

 

film ini seperti ingin bilang bahwa ketiga karakter ini dibikin patah hati oleh jalan(an) kehidupan mereka. namun apa yang bikin mereka patah hati? sekedar korupsi dan politrik, atau roda sejarah yang hanya mengubah lagu kebangsaan dan tidak pernah mengubah nasib (dalam digresi narasi tentang sejarah hidup ayah titi), atau kapitalisme, atau imperialisme baru dunia barat (via korporasi multinasional), atau apa? nggak jelas. seakan-akan film ini menyerah berargumen dan cuma mengangkat bahu, “ya gitu deh, nasib wong cilik.”

 

seakan-akan. karena saya curiga jalanan mencoba menghindari untuk berbicara tentang kenyataan bahwa kemiskinan struktural ho, titi, dan boni adalah salah satu warisan kolonialisme dan imperialisme barat, salah satu ciri khas sebuah negara poskolonial. waktu boni mengecat arcadia bawah jembatan tosarinya dengan logo hotel hyatt, apakah film ini sedang menertawai ilusi boni, tertawa bersama boni yang sense of humournya oke punya cing, atau mereduksi sebuah simbol semakin mengguritanya kuasa kapital barat di indonesia (sampai kolong jembatan!) menjadi sekedar simbol kuasa brand dalam imajinasi wong cilik atau lebih buruk lagi, menjadi sekedar pemancing yet more cheap laughs dari audience yang dimabuk ironi? nggak jelas.

 

jalanan adalah film yang maunya main aman aja, nggak mau terlalu dalam ngomong tentang problem-problem riil di negara ini dan cukup hepi bersembunyi di balik ironi dan cheap laughs. mungkin maksud sebenarnya daniel ziv pengen bikin film dokumenter yang nggak “berat” dan “membosankan” adalah dia pengen bikin yang ringan dan eskapis. and i don’t mean that ironically.

 

*gambar dari sini

Jalanan: Bukan (Resensi) Film

aldiron

oleh Mumu Aloha*

Sebelum nonton ‘Jalanan’, sebuah film dokumenter karya Daniel Ziv yang sedang menjadi perbincangan hangat kelas menengah terdigital Jakarta di Blok M Square, Minggu (13/4/2014) saya melewati 7-Eleven Melawai. Seperti biasanya, selain bapak-bapak ambon yang duduk-duduk layaknya orangtua linglung sedang menikmati masa pensiun, selalu ada balita dan ibunya yang tidur di emperan salah satu sisi. Kalau kau duduk di dalam, dan sedikit melongok ke luar kaca, ke bawah, maka tampaknya ibu dan balinya itu. Mereka kotor, penyakitan dan tidur begitu saja, seolah di kamarnya sendiri, kalau memang mereka punya rumah atau kontrakan.
Lewatlah di situ jam berapapun, dan pemandangannya selalu sama. Kadang-kadang jumlah ibu-ibu dan balitanya itu begitu banyak, cukup untuk membayangkan sebuah acara arisan. Kalau tidak sedang tidur, mereka biasanya makan mie dalam wadah plastik, seperti sedang piknik.
Setelah melewati itu, kau akan melihat deretan toko emas. Di depannya selalu ada: perempuan yang duduk mengemis dengan bayi berkepala besar, yang selalu tidur, seperti setengah mati atau setengah hidup. Seingat saya, sudah 10 tahun lebih saya melewati jalan itu, dan bayi itu tak pernah tumbuh jadi dewasa, hanya kepalanya yang terus membesar. Dan, bayangkan, waktu 10 tahun tak mengubah apa-apa, selain 7-Eleven yang dulunya tidak ada. Hanya itu. Di samping perempuan itu, ada dua-tiga pria yang jualan kacang dan buah-buah dalam plastik-plastik mungil, digantung di tiang kayu kecil sehingga bisa ditenteng ke mana-mana. Ada juga bapak-bapak penjual lemang dalam nampan platik kecil yang dijajakan di atas pot besar pohon palem hiasan pinggir jalan depan Blok M Square. Kalau kamu taksir nilai “dagangan” mereka itu, masing-masing tak akan lebih dari satu kali kau duduk-duduk ngopi di Starbucks Pasaraya yang tak jauh dari situ. Bahkan, kalau semua dagangan mereka kamu gabung, total nilainya tak akan menguras dompetmu saat itu.
Saking seringnya lewat situ, dan dalam waktu yang terhitung bertahun-tahun, kadang saya merasa menjadi bagian dari kehidupan kecil di tempat itu. Barangkali mereka juga mengenali wajah saya sebagai salah satu warga Jakarta yang kerap berseliweran di daerah itu. Jam berapapun saya lewat, pria-pria itu pasti berjongkok di situ, ngobrol, bercanda, sambil menunggu pembeli.
Pada sisi yang lain dari area yang sama, kau tahu, ada terminal. Sesekali rasakanlah suasana kehidupan malam di situ. Atau, mau dengar saja cerita saya? Suatu kali, saya makan nasi gule di situ. Saya memang cukup sering makan di situ. Bakwan malang, nasi goreng, sate padang, yang berbaur dengan asap metromini yang ngetem. Pedagang kakilima di situ tak bisa ditertibkan. Petugas akhirnya membuat aturan, mereka hanya boleh berjualan di malam hari. Sudah mirip pasarlah itu salah satu sisi di bagian depan Terminal Blom M itu. Kalau duniamu hanya sebatas garis terluar lobi mall, tempat kamu biasa ngantri taksi Blue Birds berjam-jam, barangkali sulit membayangkan kehidupan macam apa yang bisa dan mungkin terjadi di panggung semacam terminal bus dalam kota dalam propinsi seperti itu.
Panggung itu seolah jauh, tak terjangkau, atau bahkan mungkin tak terlihat, kecuali sesekali saja dari balik kaca Avanza-mu, kalau kebetulan kamu pas mengangkat kepala dari layar iPhone.
Jadi ceritanya, saya makan nasi gule, dan tiba-tiba seorang perempuan, dengan daster buluk dan menebar bau duduk di samping saya. Seusai makan, ia berbisik pada saya dengan nada yang malu-malu, intinya minta saya menambahi uangnya untuk membayar nasi gule itu. Dengan gagah dan jumawa saya langsung bilang, tenang bu nanti saya bayarin saja sekalian. Lalu ia mengajak ngobrol setelah mengucapkan terima kasih. Ia tinggal di sekitar Blok M Mall (terletak di area bawah tanah terminal). Saya tak begitu menangkap maksudnya, tapi kemudian dia menjelaskan bahwa ia tinggal di sebuah sudut di areal parkir basement. Kerjaan sehari-harinya memulung. Cerita persis asal-usulnya saya lupa, yang jelas sudah pasti klise. Ia merantau dari Surabaya karena suatu sebab. Anak lelakinya kadang menengoknya, dan ia menemuinya di sekitaran Blok M situ juga.
Kenapa tidak pulang saja ke kampung? Setiap bertemu dengan perempuan-perempuan seperti itu, baik di terminal maupun di dalam metromini, pertanyaan seperti itu selalu dijawab sama; jawaban yang tak jelas, tak konkret, yang intinya hanya ingin menghindari pertanyaan itu. Sebab, bagi mereka, hidup itu ya yang terjadi dan dihadapi saat ini. Keinginan, rencana dan pilihan itu tidak ada.
Pertemuan dengan orang-orang seperti itu biasanya lalu membuat dada saya jadi terasa bolong, hampa. Saya selalu teringat kembali dengan kejadian saat saya makan di kakilima di trotoar antara Kampus Atmajaya dan Plaza Semanggi. Ketika saya sedang makan, seorang ibu-ibu berlogat luar Jawa datang dan berkata pada tukang sate padang: Bang, boleh beli ketupatnya saja, uang saya tidak cukup. Kalimat ibu itu seperti gema yang terus berdengung di telinga saya, dan membuat saya ingin menangis.
Saya lalu memperhatikannya; pakaiannya bagus, bersih, pantas. Sama sekali bukan gelandangan. Tapi, apa bedanya? Setiap ingat itu lagi, saya selalu menyesal kenapa waktu itu tak membayarinya. Waktu itu saya masih baru di Jakarta dan masih percaya oleh mitos yang mengatakan bahwa Jakarta ini kota yang sangat kejam sehingga jangan sekali-kali berinteraksi dengan orang yang tak kamu kenal.
Semua orang Jakarta, saya rasa, hidup dalam mitos itu selama bertahun-tahun, sehingga mereka memilih untuk membuat dinding yang membentengi dirinya. Dinding itu bernama ketidakpedulian.
Belakangan saya belajar banyak hal tentang Jakarta. Saya telah mengalami, atau setidaknya melihat, hampir semua modus kejahatan yang bisa terjadi di jalanan. Bukannya tidak takut, tapi saya telah memilih: mengakrabi jalanan sebagai bagian dari denyut kehidupan untuk menciptakan sebuah kota dengan interaksi sosial yang manusiawi.
*pertama kali diterbitkan di sini