Silo x Silo x Sastra x Indo

Publik puisi di Indonesia tersegregasi di silo-silo yang berbeda. Ada pembaca yang senang dengan kalimat-kalimat menye-menye ala Rupi Kaur di akun Instagram NKCTHI dan menganggapnya puisi. PO 500 eksemplar sold out dalam 1 menit, 53 ribu eksemplar ludes dalam sebulan. Sebelum sempat cerita tentang hari ini udah dialihwahanakan jadi film, tayang di Netflix. Pembaca yang merasa lebih dalam padahal nggak, memilih membaca Aan Mansyur dan Adimas Immanuel, tanpa terlalu mempedulikan hutang-hutang mereka dalam soal gaya dan isi pada Sapardi, GM, Jokpin, tiga penyair ultrakanon dalam sejarah puisi Indonesia kontemporer. Walaupun monopoli mereka sebagai supplier kutipan-kutipan yang bikin “awww” buat kartu undangan kawinan mulai digembosi oleh… Aan dan Adimas! dan copycat-copycatnya (Fiersa Besari, Boy Candra anyone?). Mungkin salah satu jasa terbesar ketiga penyair kanon tadi adalah melahirkan generasi terkini penyair Indonesia—Angkatan Hallmark?

Seorang teman penyair yang menolak mengirim puisi-puisinya ke koran (lebih memilih mempublikasikannya di Facebook), Malkan Junaidi, beberapa waktu lalu mengeluh di sebuah webinar festival sastra tentang kekurangkreatifan penyair-penyair Indonesia. Tahun lalu saya diundang ke Jogja International Literary Festival, di situ saya berjumpa banyak penyair yang belum saya kenal. Banyak dari mereka yang membawa buku puisi mereka ke mana-mana, dan kebanyakan dicetak sendiri. Saya jadi malu karena nggak membawa satu eksemplar pun buku saya, jadi setiap kali diajak tukeran buku akhirnya mereka cuma menghibahkan buku mereka ke saya dan saya mengeloyor pergi cari soto gratisan. Kebanyakan penyair-penyair ini kenal satu sama lain, dan ternyata mereka aktif sekali di Facebook, baik di berbagai group puisi maupun saling berkomunikasi (termasuk saling mengomentari puisi masing-masing) dari akun-akun pribadi mereka. Tapi kok aku nggak kenal mereka ya? Padahal setiap hari aku juga nongkrongin Facebook menunggu postingan puisi Malkan atau komentar Saut tentang kebobrokan apa lagi yang terjadi dalam politrik sastra Indonesia. Silo-silo yang asing satu sama lain tadi. Becoz algoritme. Memang setelah aku baca-baca buku-buku puisi hibahan tadi dan menyaksikan penampilan-penampilan penyairnya di panggung festival, aku berpikir ya bisa dimengerti kalau Malkan frustrasi. Puisi-puisinya banyak yang terasa kuno baik dari segi gaya maupun isi. Puisi cinta dan puisi tentang tuhan dengan bahasa yang mendayu-dayu. Ready made buat dideklamasikan, ready made juga buat dilupakan.

Tapi masalahnya di siloku sendiri aku tidak merasakan kefrustrasian dalam kadar yang sama, atau paling tidak walaupun siloku dan silo Malkan bersinggungan, aku sering menjumpai penyair-penyair muda yang rajin mengulik gaya dan tema yang berbeda dari kecenderungan penyair-penyair mainstream, dan atau sebenarnya marginal dalam status (yang jelas ga ada yang kanonikal) tapi bergaya mainstream di atas tadi. Mungkin karena aku, seperti sering dituduhkan orang padaku selama ini, “privileged”—cekidot thread checking my own privilegesku di Twitter: besar di Australia dan sekolah sastra (Yunani Kuno) kemudian sejarah di sana sampai PhD walaupun drop out, sehingga aku terbiasa membaca puisi dalam bahasa Inggris selain bahasa Indonesia, sehingga bisa selalu mengupdate diriku sendiri dengan tren-tren terakhir dalam perpuisian (Barat) modern. Tapi itu teorinya, prakteknya aku malah sering terlalu malas baca jurnal-jurnal sastra/puisi seperti Cordite, Asymptote, apalagi Poetry Foundation (suka kuno juga, stuck in Modernism!), dan lebih sering nonton video random di YouTube (chiropractor! Most Emotional AGT auditions! Kuliah terbuka Hito Steyerl) atau film dan TV series di Netflix/HBO Go/Amazon Prime. Tapi ya, kadang aku masih suka ketemu juga penyair-penyair avant gardu ronda seperti Chris Mann (RIP), atau Jos Charles, atau Geraldine Kim, sehingga desire untuk menikmati kekreatifan berpuisi yang relate dengan kehidupan sehari-hariku sekarang—ini mungkin bagian dari kekreativitasan yang didambakan Malkan—masih bisa terpuaskan.

Selain itu, tiga tahun terakhir aku juga bikin Paviliun Puisi, spoken word night yang mulai dari satu-satunya acara jenis ini yang reguler di Jakarta, sekali setiap bulan tiap Sabtu terakhir, sebelum akhirnya menjadi acara spoken word yang terbesar di ibukota yang sekarang lagi sering diolok-olok sebagai Jawakarta oleh raja-raja kecil silo-silo sastra daerah ini. Lokasinya di Jawakarta Selatan lagi, wah, easy target banget buat dicela sebagai too privileged, too borju, too keminggris, too edgy, etc etc etc. Tapi mungkin ada alasannya juga kenapa begitu banyak orang datang ke Paviliun Puisi, padahal “hiburan” utamanya puisi (bukannya puisi garing ya?) di malam Minggu, tanggal muda lagi (in terms of gajian), wouldn’t they wanna be somewhere else yang lebih fun? Kecurigaanku, ini karena kami tidak menerapkan sensor apapun. Bebas sebebas-bebasnya. Mau baca puisi pakai bahasa apa aja—Bahasa Indonesia Yang Tidak Baik dan Tidak Benar, prokem Jakarta, Inggris, codeswitch, Rusia (pernah), Catalan (pernah), Prancis (sering), Pashto (pernah), bahasa daerah (sering)—dan bertema apa aja (protes tentang RUU ga jelas (kita pernah print seluruh KUHP dan membacanya semalaman, selain kita oret-oret jadi puisi blackout), curhat, mental health/illness, kehidupan sehari-hari anak ahensi, being a mum, the woman body, the queer body, queer life, third culturism (mostly me)), semuanya boleh, pokoknya bebas. It’s art, so there should be no censorship. Self-expression is kween. Atau seperti kami bilang di bio Insta: “Absolute freedom to spill your guts.” Paling kalau lo ngomong hal-hal yang gak diterima audience, lo bakal dicallout, dan lo selalu bisa memberikan pembelaan. Conflict should never be elevated into abuse. Dan sepertinya yang bikin nagih adalah ini: kebebasan menjadi diri sendiri.

Kebebasan ini menghasilkan banyak sekali puisi yang asyik-asyik, yang kebanyakan hanya eksis dalam bentuk performance pada saat itu juga, mungkin textnya sempat ditulis di Google Keep di hp, atau direkam dalam bentuk audio, atau video, yang hanya didistribusikan di antara teman, di silo-silo kecil yang tidak menuntut, seperti yang banyak dituntut di Twitter sekarang, visibility. Mungkin beberapa akan share puisi/rekaman audio/video mereka di Instagram. Di situlah mungkin, dan di platform-platform socmed lain yang aku udah terlalu boomer untuk tahu, silo-silo ini bersinggungan sekarang. Di siloku, yang sekarang aku saksikan, puisi Indonesia kontemporer yang kreativitasnya memuaskan—kalau kita terus mempertimbangkan unsur yang didambakan Malkan—atau relate dengan kehidupanku sehari-hari, sehingga menjadi cocok dengan apa yang kuanggap sebagai puisi (puisi adalah kenyataan? Dalam ekspresinya yang paling intens?), lebih banyak dipengaruhi oleh musik, dari hip-hop sampai Björk sampai Sia, spoken word, internet memes, Netflix series dari Black Mirror sampai Better Than Us (di HBO, salah satu penulis skenario Lovecraft Country ternyata seorang penyair dan suka masukin puisinya ke situ), Twitter rant, anime, Webtoon manga (cekidot Metaphorical Her), etc etc etc.

Masalahnya (atau bukan masalah), yang kreatif dan yang tidak kreatif, becoz algoritme, tidak saling bersinggungan dalam universe puisi Indonesia dan mungkin tidak akan pernah, apalagi saling mempengaruhi. Semua sibuk dan puas di dalam silonya sendiri-sendiri. Akibatnya, puisi yang dihasilkan di silo A bisa jadi tidak bisa dimengerti oleh penikmat puisi di silo B, mungkin setengah dimengerti di silo C, dan cuma jadi bahan hujatan di silo X. Puisi-puisi Saut Situmorang misalnya, mengherankan gak sih bahwa walaupun Bang Saut sangat dihormati oleh publik puisi Indonesia, disegani bahkan oleh musuh-musuhnya, sedikit sekali ada tulisan analitis tentang puisinya? Paling belum lama lalu ada tesis master Kahar Dwi Prihantono yang membahas tentang estetika postmodern puisi Bang Saut, dan saya juga sudah pernah menulis “ABC of Saut Situmorang” di popteori, yang berusaha menelusuri genealogi puisi-puisinya dalam tradisi Modernisme dan caranya write back against tradisi itu. Selain itu mungkin cuma ada review Otobiografi yang ditulis almarhum Asep Sambodja buat acara Meja Budaya Martin Aleida. Cuma tiga tulisan untuk penyair sebesar Saut? Bandingkan dengan entah berapa ratus tesis dan berapa puluh artikel (walau yang dalem nggak banyak juga) yang pernah ditulis tentang puisi-puisi Sapardi, GM, Jokpin!

Kok bisa? Silo-silo tadi. Silo, universe, dan ya, otobiografi kepuisian Saut tidak nyambung dengan silo publik puisi Indonesia. Mungkin pembaca-pembaca ini tetap bisa menikmati misalnya puisi “Love Song of Saut Speedy Gonzales” sebagai sebuah parodi puisi cinta, mungkin sebagian kecil juga sadar judulnya plesetan dari “The Love Song of J. Alfred Prufrock” T.S. Eliot, tapi berapa banyak yang tahu Speedy Gonzales di situ bukan cuma tokoh Looney Tunes, arriba arriba… andale, andale! (yippa, yippa… andre, andre!), tapi juga alusi ke puisi “Daffy Duck in Hollywood” John Ashbery? Berapa pembaca Saut yang kenal John Ashbery?

Sekarang kita lihat puisi, misalnya, “Saya Dan Dia” karya Ratri Ninditya (Ninin), apakah fans Aan Mansyur akrab dengan Oulipo? (Sebaliknya, pembaca Ninin mungkin banget akrab dengan kartu Hallmark, tapi apakah mereka necessarily bakal membandingkan puisi Aan dengan ucapan-ucapan template di kartu itu?) Kemudian buku puisi queer LGBTIQBMX Hendri Yulius Wijaya, apakah groupies Ahmad Yulden Erwin bisa langsung tahu genealogi buku Hendri ini? Apakah mereka akan kepikiran menelusuri cikal bakal puisi queer Indonenong sampai ke puisi-puisi curhat/lamentation di zine Lambda Indonesia dan GAYa Nusantara di tahun ’80-an?

Mungkin puisi Farhanah, “Istirahatlah Kakak-Kakak”, masih lebih accessible buat publik mainstream puisi Indonesia, bahkan fans Lala Bohang pun saya rasa bisa menebak judulnya adalah plesetan dari judul puisi “Istirahatlah Kata-Kata” penyair besar kita, Rest In Power, Wiji Thukul. Tapi, apakah semua pengagum Wiji Thukul akan serta merta terima judul ini diplesetkan dalam sebuah puisi yang mengkritik kebelaguan kakak-kakak aktiveiz “renaissance” (perhatikan sarkasme renaissance di sini! Lucu ya. Ke mana aja humor dalam puisi Indonesia pasca-Remy Sylado?) yang sok-sok mencerahkan “dedek-dedek yang butuh dicerahkan” (sarkasme ini lagi! Farhanah mungkin pengguna ironi terkuat dalam puisi Indonesia sejak Toeti Heraty?) padahal sebenernya sedang cari gebetan?

Sengotot-ngototnya seorang kritikus sastra mencoba mendefinisikan puisi Indonesia, ciri-ciri kontemporernya, genealoginya, ragam bentuknya, dia akan selalu ketinggalan dengan publik “umum” puisi itu sendiri, di silo mereka masing-masing, yang asik-asik bikin definisi dan dunia puisinya sendiri. Bukan cuma cukong seperti Denny JA yang bisa seenaknya klaim/pamer telah melahirkan genre “Puisi Esai”, bandingkan dengan Teater Utan Kayu yang dulu mengklaim Saman dilahirkan di luar sejarah, penyair minor seperti Soni Farid Maulana pun bisa dengan random mengutak-atik formula jumlah suku kata haiku kemudian mendeklarasikan sebuah genre baru, Sonian! Sonian ini bukannya dikritik rasionalisasinya, atau dipertanyakan manfaatnya apa buat kepuisian Indonesia, malah group Facebooknya sempat rame banget!

Intinya, jangan mudah percaya dengan orang yang mengklaim puisi Indonesia itu (harus) begini, (harus) begitu, biasanya dia hanya katak dalam silo yang tidak sadar definisinya hanya satu dari berbagai cara pembaca dan penyair memaknai kepuisian, dan bukannya mengembangkan puisi Indonesia, dia malah membikinnya jadi makin kuper.

apa yang berharga dari

menarik membandingkan interpretasi malkan junaidi tentang arti metaforik “istirahatlah” dalam puisi wiji vs. artinya setelah dijadikan judul film biopik itu.

dalam film itu, ada mixed messages soal “istirahatlah”, di satu sisi wiji digambarkan mengeluh soal nggak bisa tidur, di lain sisi dia digambarkan tidur melulu, bahkan waktu ketemu anaknya lagi (yang begitu dia rindukan menurut film ini dengan petunjuk2 audio klise seperti tangisan bayi dan kepedulian wiji pada bayi tetangga di pengasingan yang menangis tiap kali lampu mati (listrik gagal masuk desa?)) instead of main2 sama anaknya melampiaskan kekangenan dia juga malah tidur nyenyak (lagi).

memang puisi “istirahatlah kata-kata” dalam film itu termasuk yang dihidangkan (dalam voice over yang lumayan kena, pelonya gunawan maryanto keren) secara hampir penuh, kalau tidak salah sampai baris “kita bangkit nanti” kalau nggak sampai habis (lupa). jadi kalau mau generous, ada celah untuk menginterpretasi film ini sebagai waktu tidur, siesta, buat kata-kata, untuk bangkit nanti (di sequelnya, hanya ada satu kata: lawan!? 😛).

tapi kemudian kita harus mempertimbangkan dua hal lagi (paling tidak) menurut saya sebelum memutuskan kira2 sutradara ini pakek judul itu kenapa: film2 sutradaranya yang lain dan aspek2 lain dalam film yang ini selain pemanfaatan judul puisi tadi.

kalau kita lihat di film2nya yang lain dari vakansi yang janggal, lady caddy who never saw a hole in one, sampai kisah cinta yang asu, sutradaranya si cecep ini memang lihay memberi kesan seolah2 film2nya mengandung social commentary padahal konsentrasinya lebih ke kisah romancenya, yang seringnya juga difokuskan kepada ketegangan seksualitas yang direpresi (instead of perjuangan rakyat yang direpresi).

seperti saya tulis di review saya, this guy is like the gm of indon indie filmmaking. kemudian salah satu bagian lain dari film ini yang sangat merepresentasikan pov sutradaranya adalah keputusannya mengubah scene di puisi baju loak sobek pundaknya wiji jadi beberapa scene yang menampilkan rok mini merah menyala.

itu penting banget menurut saya.

seperti ditunjukkan mumu aloha di tulisan ini, salah satu senjata wiji dalam menulis puisi adalah kritik intertextualnya terhadap influencesnya yang terlalu borjuis seperti subagio dan rendra.

puisi2 wiji kalau pake bahasa afrizal di esai ini mengganti mata kedua dan ketiga penyair2 macam rendra dan subagio tentang kehidupan wong cilik dengan laporan pandangan mata pertama langsung dari dunia kemiskinannya.

dia saksi sejarah kehidupan rakyat miskin di indonesia. baju loak sobek pundaknya dalam puisi wiji adalah simbol yang sangat kuat buat penderitaan rakyat miskin yang diopresi orba waktu itu, dan lebih spesifik lagi, penderitaannya sebagai buron yang diburu penguasa karena berorganisasi.

“karena aku berorganisasi bojoku.”

(perhatikan baju itu sobek di pundaknya, tempat epaulet tanda pangkat dipasang di seragam tentara).

“baju” ini diganti menjadi rok mini merah, yang walaupun loakan juga, dengan drastis mengganti isi puisi wiji itu menjadi apa ya? hasrat bercinta yang istirahat selama pengasingan? “merah”-nya perjuangan wiji? darahnya yang tak lama setelah itu ditumpahkan kopassus?

sepertinya interpretasi pertama yang lebih mungkin, mempertimbangkan kecenderungan filmmakernya dalam film2 sebelumnya dan juga scene selanjutnya di mana si wiji meminta sipon memakai rok mini itu waktu mereka check in di hotel di solo pas dia akhirnya pulang.

(ingat juga di puisinya, wiji menunda kepulangan itu, “kalau aku pulang bojoku”.)

dalam dunia perwacanaan puisi ini, baju loak yang jadi simbol rindu wiji pada sipon (udah powerful) yang diiringi penjelasan kenapa rindu itu mungkin tak akan kesampaian (karena wiji adalah buronan penguasa, jadi makin powerful dan mengharukan), diganti dengan simbol lain yang klise (rok mini merah, kira2 simbol seksualitas nggak yaaa) dan menyempitkan puisi aslinya (kalau kita menganggap versi film ini sebagai “puisi” alternatif (more on that later).

penggantian simbol ini, dalam film yang katanya puitik, mementahkan kritik puisi2 wiji terhadap puisi2 salon pendahulunya seperti yang dijelaskan mumu tadi.

puisi wiji yang dengan jeli menyinyiri problem kelas menengah subagio (pantalon sobek etc) dengan menggelarkan problem real rakyat miskin (becak rusak, baju loak, etc) dibalikkan lagi menjadi puisi salon tentang seksualitas (bukan perjuangan berorganisasi!) yang terrepresi.

menimbang2 semua hal ini, sepertinya lebih banyak bukti tekstual dan kontekstual yang menganjurkan bahwa si sutradara film ini sebenarnya mungkin gak sedalam2 itu amat mempertimbangkan konsekuensi peminjaman judul istirahatlah kata-kata untuk judul filmnya.

mungkin kita malah perlu lebih banyak melihat pewacanaan arti film ini oleh pihak2 yang mendukungnya, yang sejauh ini selalu menekankan betapa berartinya kesunyian dalam pengasingan wiji, bahwa inilah penderitaan yang sebenarnya, bukan dimasukkan ke dalam tong hidup2 kemudian dilarung di kepulauan seribu!

untuk soal ini sepertinya masalahnya simpel aja, sutradaranya predictably masih terhegemoni oleh kanonisasi puisi indonesia oleh kaum manikebuis salaharahis, yang selalu mengagungkan kesunyian, kesepian, penantian blablabla di atas chaosnya perjuangan yang kayaknya gimana ya kayaknya kok norak bener kalau dijadiin subyek film art house! jadi con air nanti!

*foto dari antitankproject.wordpress.com