oleh Wendy O’Shea-Meddour
diterjemahkan oleh Mikael Johani
PENGANTAR
Tulisan-tulisan V.S. Naipaul tentang dunia Islam mempunyai pengaruh kuat dalam kebudayaan barat arus utama. Sejak penerbitan buku-buku travelognya, “Among the Believers: An Islamic Journey” (1981) dan “Beyond Belief: Islamic Excursions Among the Converted Peoples” (1988) — kisah-kisah perjalanannya di Indonesia, Iran, Pakistan, dan Malaysia — Naipaul telah mengangkat dirinya sendiri menjadi salah satu otoritas “Islam yang sebenarnya”. Kritikus memuji kisah-kisah perjalanannya di dunia Islam ini karena memiliki “integritas moral”, “keberanian mengungkap kenyataan yang tersembunyi”, dan loyalitas terhadap “bukti-bukti otentik”. Pujian dari para kritikus bagi Among the Believers dan Beyond Belief membuat kedua buku tersebut sering dimasukkan dalam daftar buku yang menjanjikan “pengertian yang lebih mendalam mengenai Islam”. Pujian tersebut juga diikuti oleh pengakuan-pengakuan resmi: Naipaul menerima gelar ksatria Inggris di tahun 1990 untuk pengabdiannya pada sastra, dan pada tahun 2001 dia diganjar hadiah Nobel.
Tapi ada juga kritik pedas terhadap portofolio Naipaul yang mentereng: kritikus radikal di dunia barat menggambarkannya sebagai seseorang yang “tidak mampu menahan rasa jijik terhadap dunia Islam dan penduduknya”. Rumor tentang kebencian Naipaul akan Islam, seperti pernah disuarakan oleh Eqbal Ahmad, Amil Malak, Caryl Phillips, dan bahkan Salman Rushdie, membuat reputasinya yang begitu terhormat di dunia mainstream barat berubah jadi mengerikan. Dalam artikel ini, saya akan membuka bagaimana Islamofobia Naipaul selama ini telah salah kaprah diinterpretasikan sebagai “ilmu” lewat sebuah pembacaan revisionis akan Beyond Belief. Dengan mendalami tiga faktor sastrawi dalam “petualangan Islami” Naipaul akhir-akhir ini, yaitu konvensi sastra abad ke-19, genre gotik, dan neurosis, saya mengusulkan agar reputasinya sebagai otoritas dunia Muslim dipertimbangkan kembali.
KONVENSI SASTRA DAN SESAK NAPAS NAIPAUL
Walaupun kebanyakan kritikus sastra mengakui hubungan yang ambivalen antara travelog dan fiksi, genre yang pertama tetap lebih sering dianggap sebagai literatur non-fiksi. Label ini sebenarnya salah kaprah, karena mengaburkan fakta bahwa travelog adalah sebuah genre sastra tersendiri yang mempunyai banyak aturan naratif dan juga memakai perangkat fiksi. Travelog dan fiksi sering berjalin berkelindan. Tapi karena banyak kritikus yang memuji Naipaul karena “integritas moral”-nya dan “komitmennya pada kebenaran”, maka Beyond Belief hampir selalu dibaca sebagai teks yang informatif dan faktual. Kita selalu dijanjikan bahwa tulisan perjalanan Naipaul akan “mengizinkan” pembaca barat untuk “mengintip” kehidupan orang Islam.
Naipaul sendiri berusaha keras menggiring penggemarnya kepada pembacaan seperti ini. Dalam prolog Beyond Belief, sang narator menyakinkan kita bahwa “Ini adalah buku tentang manusia, bukan buku berisi opini saja”. Kita diberi garansi bahwa “kenyataan” akan diberikan kepada kita tanpa distorsi. Menyadari bahwa narator yang terlalu suka ikut campur akan menggembosi otoritas sebuah teks “non-fiksi”, Naipaul berjanji bahwa “si penulis tidak akan terlalu tampil, dan tidak akan terlalu banyak bertanya”; ia akan berdiri “di belakang, mengandalkan instingnya”. Naipaul meniru figur andalan penulis romantik Inggris abad ke-19, seorang seniman yang murni, penuh bakat alam, dan punya insting yang bisa diandalkan. Dengan cara inilah ia berusaha meyakinkan kita bahwa objektivitasnya dapat dipercaya.
Konvensi sastra abad ke-19 tidak hanya mempengaruhi karakterisasi narator dalam Beyond Belief. Pada periode Victorian ini, novel Inggris sebagai sebuah genre belum menemukan perangkat naratif yang mampu menciptakan ilusi bahwa pembaca mampu menyelami isi kepala karakter dalam sebuah cerita. Konvensi modernis seperti “stream of consciousness” belum ditemukan. Konsekuensinya, drama “internal” dipindahkan ke dalam reaksi fisik atau keadaan cuaca yang super sensitif. Sastra Inggris abad ke-19 penuh dengan karakter-karakter histeris bermuka merah, sesak nafas, gemetaran, dan gampang pingsan. Contohnya, dalam novel Wilkie Collins, “The Woman in White”, tokoh-tokoh utamanya sering sekali meneteskan “air mata cengeng”, mendapati bulu kuduk mereka berdiri, atau mengalami serangan kejiwaan. Semua keraguan dan kegalauan jiwa karakter-karakter ini dimainkan di permukaan. Hal yang mirip terjadi di novel-novel lain seperti “Jane Eyre” oleh Charlotte Brontë, di mana kita selalu tahu jika tokoh utamanya marah atau frustrasi, karena setiap kali krisis seperti ini terjadi, tiba-tiba akan muncul dekor berwarna merah dan atau hujan badai. “Narrative displacement” seperti ini adalah teknik yang sering dipakai Naipaul untuk mendeskripsikan perjumpaannya dengan orang-orang Islam di Beyond Belief.
Gejala yang dialami narator buku ini bukan tiba-tiba menggigil, pingsan, atau berkeringat dingin seperti tokoh utama novel zaman Victoria. Rasa cemas yang dirasakan Naipaul, dan dalam beberapa kasus, rasa jijiknya, ditunjukkan dengan cara yang spesifik: tiap kali ia menjumpai orang Islam yang taat, Naipaul langsung sesak napas. Ia juga akan merasakan kualitas udara di sekitarnya tiba-tiba memburuk.
Insiden yang pertama terjadi waktu Naipaul berkunjung ke kantor Imaduddin di Indonesia. Naipaul menyebut Imaduddin sebagai “lelaki yang aneh” karena ia “percaya sains” namun juga “Muslim yang taat”. “Kontradiksi” ini membuat Naipaul merasa kurang nyaman (walaupun Islam dan sains punya sejarah terpaut yang panjang, menurut Naipaul keduanya tidak akan pernah akur). Naipaul juga kecewa karena Imaduddin ternyata orang kaya, ia lebih nyaman dengan orang Islam yang sesuai bayangannya, taat dan miskin. Walaupun Imaduddin menjamu Naipaul dengan ramah, “keislamannya” menyebabkan reaksi fisik yang mengganggu di dalam diri tamunya. Naipaul masuk ke dalam kantor Imaduddin, dan menuruti prinsip realisme abad ke-19, mulai menyusun inventaris ruangan ini:
“Di sebelah laptop ada Quran lecek yang sering dibaca; di sisi yang lain ada setumpuk buku yang cetakannya jelek, kira-kira setinggi 30 sentimeter, berukuran hampir sama dan semuanya bersampul biru mencolok, diterbitkan di Mesir dan sepertinya berisi catatan kaki panjang tentang ayat-ayat Quran: makanan sehari-hari Imaduddin.”
Naipaul merasa aman selama Imaduddin berada di dalam ruangan tersebut. Namun waktu Imaduddin keluar untuk menunaikan sholat setelah mendengar adzan, meninggalkan Naipaul sendirian, kehadiran setumpuk “buku Islam” tadi (Naipaul tidak bisa bahasa Arab sehingga hanya menebak isi buku-buku tersebut) cukup untuk menyebabkan keluhan fisik yang serius dari Naipaul. Pembaca diberi tahu bahwa:
“… tanpa kehadiran Imaduddin […] perlengkapan-perlengkapan agamanya terasa opresif […]. Hanya orang seperti Imaduddin yang bisa membuat kehadiran buku-buku biru mencolok terbitan Mesir di atas meja kaca ini terasa ada artinya.”
Dalam suasana penuh kecemasan ini, Naipaul menyulap buku-buku bacaan Imaduddin menjadi “perlengkapan agama yang berbahaya” dan bisa jadi sakti. Buku-buku itu digambarkan sebagai “makanan sehari-hari” Imaduddin, santapannya untuk hidup. Sampulnya yang “biru mencolok” jadi sindiran bahwa buku-buku tersebut mungkin terbuat dari bahan-bahan berbahaya dan mudah meledak. Cetakannya yang jelek terasa hanya mengotori meja kaca dan laptop di dekatnya. Naipaul memilih tidak bertanya langsung kepada Imaduddin tentang isi buku-buku tersebut, karena dengan begitu ketegangan di dalam adegan ini bakal hilang.
Cukup baginya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa buku-buku tersebut (mungkin) berisi “catatan kaki panjang tentang Quran” dan bahwa hanya orang seperti Imaduddin yang “bisa memberi arti pada kehadiran mereka”. Berdiri terlalu dekat saja dengan buku-buku “Islam” ini menyebabkan atmosfer di ruangan menjadi “opresif”.
Insiden seperti ini banyak didapatkan dalam Beyond Belief, ini baru yang pertama. Naipaul mengalami reaksi yang lebih parah lagi waktu ia menjumpai Islam di Pakistan.
Perubahan tiba-tiba kualitas udara yang kedua kalinya dialami Naipaul waktu ia mengunjungi Mohammed Akram Ranjha di sebuah komunitas yang diurus, menurut Naipaul, oleh “organisasi fundamentalis paling tersohor: Jamaat-i-Islami”. Dijatuhi hukuman penjara karena menculik dan kemungkinan besar membantu membunuh istri adiknya (pilihan “narasumber” Muslim Naipaul sering tidak se-”representatif” yang ia klaim sendiri), Mohammed sempat menghuni satu sel bersama seorang “tahanan politik”. Di penjara inilah tujuan hidupnya berubah. Akhirnya, seorang pengacara yang menurut laporan Naipaul “gila agama” membantu Mohammed agar ia bisa kuliah hukum. Setelah menjadi pengacara, Mohammed aktif secara politik membela Jamaat-i-Islami.
Putra Mohammed yang bernama Saleem, seorang pegawai bea cukai berumur 34 tahun,, mengantarkan Naipaul naik mobil ke tempat komunitas tersebut di pinggir kota Lahore. Saat itulah Naipaul menyadari kesalahan besarnya yang pertama: ia menolak tawaran Saleem untuk “naik mobil ber-AC” karena dia takut “masuk angin”. Naipaul menyesali keputusannya karena makin dekat tujuan ia makin merasa “sesak napas”. Yang patut dicatat di sini, sesak napas Naipaul sekali lagi terjadi bersamaan dengan munculnya suara adzan (seperti Imaduddin, Saleem juga meninggalkan Naipaul menderita sendirian sementara ia pergi ke masjid). Begitu ia kembali, Saleem membawa Naipaul ke ruangan studi dan perpustakaannya. Di sini Naipaul menjumpai setumpuk lagi “buku-buku Islam”:
“Separuh dari dinding yang menghadap pintu dipenuhi kitab-kitab Islam dengan jilidan berhias […]. Aku tidak sanggup lagi menatap kitab-kitab tersebut. Napasku mulai sesak dalam ruangan tertutup ini. Udaranya pengap. Aku mulai jatuh sakit.”
Ruangan studi “ilmu Islam” ini digambarkan bagaikan kehabisan oksigen. Dituliskan bahwa ruangan ini “disegel rapat” (beberapa kalimat kemudian Naipaul menjelaskan bahwa jendelanya tertutup). Naipaul mencoba memperbaiki suasana ruangan dan menyuruh seseorang untuk membuka jendela dan memasang “pembersih udara”. Ia kemudian duduk di satu-satunya kursi yang ada di dalam ruangan itu, yang memang dibawakan khusus untuknya dan diletakkan di samping jendela yang sekarang terbuka. Keadaannya mulai membaik setelah ia bisa menghirup udara dari luar yang lebih bersih.
Tapi perasaan lega Naipaul tidak berlangsung lama. Setelah selamat dari suasana mencekam yang dihasilkan oleh suara adzan, masjid, buku-buku Islam, dan suasana Islami rumah tadi, sesak napas Naipaul kembali datang waktu Saleem dengan bangga memperkenalkan anaknya:
“Dia mau menghafalkan seluruh isi Quran di luar kepala,” kata Saleem.
“Seluruh isi Quran ini,” kata orang tuanya, menyambung omongan Saleem. Aku bertanya, “Perlu waktu berapa lama?”
“Lima sampai enam tahun,” kata Saleem.
Aku tidak tahan lagi. Napasku jadi makin sesak. Di lantai bawah, para pembantu, kurus, gelap, kumuh, duduk-duduk di balik karung-karung jerami. Di luar penuh asap kendaraan dan debu Jalan Multan. Sopir Saleem mengantarkanku balik ke hotel. Saleem tinggal di rumahnya.”
Reaksi Naipaul terhadap tradisi menghafal Al Quran sangat ekstrim sehingga ia harus kabur ke hotelnya di Lahore secepat mungkin. Kita tidak pernah diberitahu reaksi anak Saleem seperti apa.
Seperti bisa kita lihat di adegan-adegan ini, rasa takut Naipaul akan buku-buku Islam, masjid, dan bentuk-bentuk ibadah Islam lain direfleksikan dalam penggambaran lingkungan di sekitarnya dan keluhan-keluhan fisik yang ia derita. Dalam Beyond Belief, udara kotor adalah penanda Islam, dan serangan asma Naipaul adalah penanda emosi yang dia rasakan saat berjumpa dengan orang Islam. Dalam studinya tentang Naipaul, Fawzia Mustafa mengatakan bahwa pengarang ini menggunakan “keluhan fisik” sebagai “alat untuk mengetahui cara kerja, kelengkapan, atau kesehatan sosial tempat di mana ia berada.”
Ini benar, namun Fawzia lupa menyebutkan bahwa keluhan fisik Naipaul jadi makin parah tiap kali ia bertemu dengan “penganut Islam.” Berjumpa dengan orang Islam dari berbagai macam ras, tradisi, dan karakter ternyata menyebabkan reaksi fisik yang begitu parah dalam diri narator “berintegritas moral” ini. Kebenciannya pada Islam sangat intens sehingga ia harus kabur dari “wawancara”, melarikan diri dari udara yang “menekan”, menyalakan “pembersih udara”, dan buru-buru membuka jendela tiap kali ia menjumpai Muslim yang taat. Mungkin Naipaul memang orang yang ringkih, namun sesak napasnya tiap kali ia bertemu dengan orang Islam, dan bagaimana kadar keimanan Islam mampu mempengaruhi kualitas udara di Indonesia, Pakistan, Malaysia, dan Iran dalam buku-bukunya adalah pengaruh dari kesetiaannya terhadap teknik menulis fiksi era Victoria.
NOVEL GOTIK
Salah satu genre sastra abad ke-19 yang tekniknya Naipaul gunakan dalam travelog “Islami”-nya adalah gaya “realisme Gotik.” Kadang-kadang, kegemarannya memakai gaya ini menghasilkan tulisan yang kocak tanpa disengaja. Plot novel gotik di abad ke-19 biasanya berpusar pada karakter tokoh utama perempuan lemah lembut yang dipancing pergi ke rumah kuno seorang bangsawan yang sepertinya baik padahal sebenarnya bangsat. Naipaul mendaur ulang plot ini dengan dirinya sendiri sebagai tokoh utama. Hasilnya seperti berikut: Naipaul dengan penuh penasaran mengunjungi rumah Imaduddin supaya ia bisa tahu “lebih banyak tentang masa lalunya — tentang leluhurnya.” Namun Naipaul datang telat, sehingga ia terpaksa menunggu di sebuah ruangan kosong, kejadian yang membuatnya sangat kesal. Namun ia tidak lupa meneruskan fungsinya sebagai seorang “pengamat kenyataan” dengan mendeskripsikan seluruh isi ruangan tersebut:
“Tiang-tiang ruang tamu ini dihiasi dua-tiga ukiran bunga dan, yang agak mengejutkan, sebuah foto kapal layar. Di sana-sini terserak suvenir perjalanan ke luar negeri yang menunjukkan sisi lembut Imaduddin (atau mungkin istrinya), sisi yang tidak berhubungan dengan latihan mental — kalau benar rumah ini bukan rumah kontrakan sehingga cendera mata tersebut benar-benar saksi sejarah hidup mereka dan bukan memento dari seorang dermawan alim.”
Semakin panjang deskripsi ini maka gaya penulisannya juga menjadi makin gotik. Di permukaan, ruangan ini terasa familiar, bahkan membuat Naipaul merasa nyaman, namun mulai ada kecurigaan bahwa kesan ini palsu atau bahkan menjerumuskan. Dalam pikiran Naipaul, pendidikan Islam (“latihan mental”) bertentangan dengan hobi bepergian, sentimentalitas, atau kegemaran mengoleksi gambar-gambar kapal layar. Baginya, koleksi “barang-barang sentimental” ini menimbulkan kecurigaan; ia jadi ragu apakah rumah ini benar-benar rumah Imaduddin dan istrinya. Kesimpulannya, benda-benda yang membuat kesan nyaman tadi sengaja dipajang untuk mengelabuinya. Makin lama ia menunggu Imaduddin di ruangan tersebut, Naipaul jadi makin tegang dan akhirnya, panik:
“… berapa lama […] aku harus menunggu di sini seperti seorang maling, dan bagaimana caranya nanti aku bisa melarikan diri dari jebakan ini.”
Adegan ini cocok dimasukkan dalam novel Jane Austen, “Northanger Abbey”, atau novel “Drakula” Bram Stoker. Naipaul si narrator menggambarkan dirinya seperti tokoh utama novel gotik yang lemah, lugu, dan hidupnya terancam oleh tuan rumah yang ternyata setan. Menyadari jebakan narasinya sendiri, dan posisinya yang lemah dalam narasi tersebut, Naipaul berusaha untuk menyelamatkan otoritasnya sebagai narator dengan taktik khas: humor jorok. Begitu ia diberitahu bahwa Imaduddin belum juga datang karena sedang dipijat, Naipaul berargumen bahwa keperluan Imaduddin “ke belakang” inilah yang menyebabkannya harus menunggu begitu lama. Namun, biasanya Naipaul memanfaatkan konvensi genre gotik dengan jauh lebih manipulatif.
Naipaul memakai bahasa gotik untuk mendeskripsikan Islam dan orang Islam dalam Beyond Belief. Cara ini memiliki daya manipulatif yang mengerikan. Dalam bab tentang Indonesia, penyebaran Islam digambarkan bagai virus vampir yang ditularkan oleh Drakula:
“Islam sampai di sini tak lama sebelum kebudayaan Eropa, dan sebelum menjadi kekuatan besar seperti di tempat-tempat lain. [Islam] belum sempat merasuki jiwa penduduk di sini.”
Menurut Naipaul, Indonesia beruntung karena berhasil menghindar dari nasib malang tadi. Kita perlu mengamati deskripsinya tentang orang Islam (“jiwa-jiwa yang dirasuki”) berangkat sholat setelah mendengar suara adzan untuk mengetahui pentingnya peran genre sastra gotik dalam narasinya.
“… di kantor ini, sepertinya dari ruang berantakan berlapis karpet di ujung lorong, terdengar suara seperti gesekan yang kemudian menjelma jadi suara orang berdoa lamat-lamat. […] Suara ini makin lama makin keras. Tidak bisa dihindari lagi. Aku merasa Imaduddin ingin segera berada di luar sana bersama orang yang mengaji dan berdoa. Suara mereka sekarang memenuhi lorong […] Imaduddin tak bisa lagi menghindar.”
Adegan ini penuh dengan ketegangan ala cerita gotik: “suara seperti gesekan” dan “suara orang berdoa” yang makin lama makin keras digambarkan seperti kegiatan sebuah sekte yang menakutkan dan mungkin saja dilantunkan makhluk yang tidak sepenuhnya manusia, bukan sekelompok orang Islam yang sedang beribadah sholat. Sholat juga tidak diawali dengan doa-doa. Jika orang datang ke masjid agak awal, mungkin ia akan melakukan sholat sunat dua raka’at sebagai tanda hormat terhadap rumah ibadah. Namun sholat sunat ini dilakukan tanpa suara. Tidak akan melibatkan “suara seperti gesekan.” Di pandangan Naipaul, Imaduddin buru-buru berangkat sholat setelah mendengar adzan menunjukkan bahwa ia adalah zombie, makhluk tak berjiwa yang digoda oleh panggilan sholat tersebut, karena itulah Imaduddin “tak bisa menghindar.” (Perhatikan juga bahwa orang-orang non-Muslim dalam Beyond Belief sering dideskripsikan sebagai “orang yang punya pendapatnya sendiri.”)
Berkali-kali dalam buku ini, cara Naipaul memakai imaji-imaji gotik sebenarnya menunjukkan rasa takut dan syak wasangkanya sendiri daripada kenyataan. Terlihat jelas misalnya dalam deskripsi Naipaul tentang Saleem. Waktu Saleem mendengar suara adzan, ia digambarkan bereaksi bagai zombie dicucuk hidungnya.
Kita diberitahu bahwa “sekonyong-konyong” ia “melepas dasi dan membuang jaketnya di kursi mobil kemudian bergabung dengan jamaah yang sedang sholat.” Orang Islam sebagai jiwa-jiwa yang terperangkap oleh kekuatan gaib yang membuat otak mereka lemah adalah tema yang sering sekali muncul dalam cerita-cerita Naipaul. Menurutnya, “depresi budaya”-lah yang menyebabkan “ajaran agama dan pengetahuan tentang Islam” mampu menyebar luas. Ia berargumen bahwa belajar menghafal Qur’an, “tata cara wudhu”, dan “cara sholat yang benar” sama saja dengan “pengurungan, pemukulan, dan penyetruman otak” yang tentu saja menyakitkan. Menurut Naipaul, orang Islam adalah zombie yang otaknya telah dibius oleh kejamnya penderitaan.
Tema ini dielaborasi lagi waktu Naipaul bercerita tentang sekolah agama di Qom, Iran. Penerjemah Naipaul, Mehrdad, memberitahunya bahwa “sholat tahajud melibatkan membungkukkan badan berkali-kali dan menggerus dahi ke lantai.” Naipaul menggambarkan “orang-orang alim” yang memiliki “luka seperti luka bakar di dahi; ini karena mereka sujud terus sehingga bumi pun terbakar.” Imaji yang digambarkan sangat kuat: orang Islam menyambut suara adzan seperti zombie dengan luka bakar di dari mereka, mirip serombongan Anti-Kristus.
Perempuan yang dijumpai Naipaul di sekolah agama ini digambarkan dengan sama buruknya. Seperti budak, mereka “menggenggam cadar mereka erat-erat atau menggigitnya agar tidak lepas; mereka kelihatan seperti orang yang membungkam mulut mereka sendiri.” Naipaul tidak sadar bahwa dalam beberapa budaya, perempuan (terutama yang lebih tua) memang biasa menggigit ujung jilbab mereka agar tidak jatuh, dan malah menggunakannya sebagai “bukti” bahwa perempuan-perempuan “yang tidak sepenuhnya manusia” ini telah kehilangan jiwa mereka dan sekarang hidupnya begitu menderita. Gambaran mirip neraka ini mengingatkan akan Inferno Dante. Naipaul di sini menggunakan genre gotik untuk mendukung opininya bahwa politik Islam adalah “bentuk kontrol yang total” dan “merusak kehidupan manusia.”
Naipaul melupakan bahwa di tempat di mana ia menjumpai “kontrol total” yang mengerikan ini ia juga menjumpai banyak hal-hal yang tidak Islami seperti rumah pelacuran, sistem kasta, takhayul, orang yang malas puasa, perempuan berbusana minum, diktator militer, dan sebagainya. Amin Malak pernah menulis begini tentang travelog Naipaul:
“… dua dari empat negara yang ia kunjungi — Pakistan dan Indonesia — dikuasai oleh diktator militer, negara yang ketiga (Iran) sedang melalui sebuah revolusi, dan yang keempat (Malaysia) mengalami ketegangan rasial […]. Tidak mengherankan jika usahanya mencari institusi atau hukum Islam menemui jalan buntu. Susah membayangkan struktur sosial yang stabil berfungsi dengan baik dalam kondisi politik di keempat negara tersebut.”
Walaupun Naipaul juga menceritakan praktik-praktik non-Islami ini dengan detail, ia tetap mempertahankan klaimnya bahwa segala keburukan orang-orang yang ia jumpai disebabkan oleh Islam. Pesan tulisannya jelas: Muslim non-Arab patut dikasihani karena telah menjual jiwa mereka.
Bukan kebetulan jika Beyond Belief mirip dengan novel gotik. Genre ini didominasi oleh karakter-karakter berpribadi lemah yang menyerahkan jiwa mereka, sering secara tidak sadar, kepada kekuatan setan yang jauh lebih kuat, makhluk yang meminum darah mereka hingga kering. Menurut pandangan Naipaul, orang yang “tidak berdaya” melawan suara adzan dan perempuan-perempuan yang “menyumpal mulut sendiri” sebenarnya sama saja telah menandatangani kontrak penyerahan diri dan setuju begitu saja untuk menghapus “diri” mereka. Dalam sebuah acara pembacaan bukunya yang lain, “Half a Life”, di Queen Elizabeth Hall pada Oktober 2001, Naipaul mengatakan bahwa Islam menuntut “penghapusan diri” yang “lebih parah daripada penghapusan identitas yang dilakukan oleh penjajah kolonial […], jauh lebih parah.” Dalam Beyond Belief, ia menulis:
“… mualaf wajib menghapus masa lalu mereka; yang dituntut dari mereka adalah iman yang paling murni (apakah hal ini benar-benar ada?), ajaran Islam, penyerahan diri. Sebuah bentuk imperialisme yang begitu kejam.”
Naipaul berkali-kali mengatakan bahwa Islam menuntut penganutnya agar meleburkan individualitas mereka. Tentang Muslim di Pakistan, ia mengatakan bahwa “kaum fundamentalis mewajibkan Muslim menjadi transparan, murni, mangkuk kosong untuk diisi iman. Ini hal yang mustahil: manusia manapun tidak akan pernah bisa menjadi selongsong kosong seperti itu.” Namun, menurut ceritanya sendiri, ada banyak orang seperti itu. Mereka yang “kosong”, mereka yang menderita depresi budaya dan amnesia sejarah tentang diri mereka sendiri — orang-orang yang menurut Naipaul “paling berpeluang” dijadikan mualaf.
Menurut pandangannya, ada orang-orang atau budaya tertentu yang lebih bisa dipengaruhi oleh Islam daripada yang lain. Misalnya, ia menyebutkan bahwa orang Indonesia lebih mungkin menganut Islam karena “mereka tidak mengetahui diri sendiri.” Kevakuman identitas adalah kondisi optimal bagi penyebaran Islam menurut Naipaul. Seperti tokoh-tokoh perempuan yang gampang pingsan dan menyerahkan diri kepada vampir haus darah di novel-novel gotik, menurut Naipaul para Muslim non-Arab yang berjiwa lemah tanpa disadari juga telah menjadi zombie.
NAIPAUL DAN NEUROSIS
Fokus Naipaul pada keadaan mental orang Islam juga satu lagi persamaan antara Beyond Belief dan sastra abad ke-19. Walaupun tidak pernah membentuk genre tersendiri, gangguan mental adalah salah satu topik utama dalam karya fiksi abad ke-19, terutama di akhir periode tersebut. Tidak lagi mengunci kegilaan di loteng (seperti yang terjadi kepada Bertha Mason, “perempuan gila” di novel Jane Eyre), novel-novel fin-de-siècle [akhir abad ke-19] ini memindahkan kegilaan ke lantai bawah supaya lebih gampang dianalisa. Makin banyak tokoh utama yang digambarkan “tidak stabil secara mental.” Bahkan pemeran-pemeran pembantu yang dimunculkan untuk “menyembuhkan” mereka pun mulai menunjukkan tanda-tanda kegilaan. Misalnya, salah satu psikiater di novel Drakula digambarkan kecanduan obat, sementara satu lagi digambarkan sering terkena serangan histeria. Batas yang kabur antara kegilaan dan kewarasan juga bisa ditemukan dalam novel “The Heart of Darkness” Joseph Conrad dan “The Woman in White” Wilkie Collins.
Kebersediaan untuk memasukkan penyebab, gejala, dan ciri kegilaan yang berubah-ubah ke dalam karya sastra di akhir abad ke-19 muncul bersamaan dengan naiknya pamor psikiatri sebagai sebuah disiplin akademik. Pada periode inilah bahasa yang tadinya hanya digunakan oleh psikiater seperti Andrew Wynter (pengarang “The Borderlands of Insanity”, 1875), Henry Maudsley (“The Pathology of the Mind”, 1895), dan Sigmund Freud mulai diserap ke dalam bahasa sehari-hari. Karakter-karakter dalam novel, merefleksikan kecemasan masyarakat kontemporer di masa itu, jadi sering digambarkan sebagai orang gila atau penderita histeria, degenerasi, penyakit jiwa, dan kondisi-kondisi psikologis lain yang baru saja ditemukan (atau baru direvisi definisinya).
Dalam sastra fin-de-siècle, karakter dan narator lazim memakai diskursus psikiatri untuk “mendefinisikan” dan menjelaskan keadaan psikologis dari posisi otoritas. “Penilaian kejiwaan” dalam karya-karya tersebut tidak hanya dilakukan oleh tokoh-tokoh yang punya “kualifikasi” untuk memberikan pendapat profesional. Kegilaan menjadi bagian besar dari diskursus sehingga hampir semua tokoh, termasuk tokoh pasien, siap menjadi psikolog amatir. Misalnya, dalam novel Drakula, Dr. Seward mendiagnosa karakter bernama Renfield sebagai “penderita zoophagous” (dijelaskan dengan kegemarannya menyantap lalat). Namun, di antara episode memakan lalatnya, si “binatang piaraan gila” Renfield ini mengatakan:
“Karena aku sendiri pernah menjadi pasien rumah sakit jiwa, menurut pengamatanku kecenderungan sofistik pasien-pasien di situ lebih merupakan hasil salah nalar non causae dan ignoration elenchi.”
Dalam sastra akhir abad ke-19, pengarang gemar bereksperimen dengan diskursus tentang pikiran yang terkesan otoritatif sehingga baik narator maupun karakter sering mendefinisikan dan mengklasifikasi penyebaran pesat kegilaan dengan antusiasme bagai ilmuwan. Hal ini juga ditiru oleh Naipaul. Dalam perjalanannya di “dunia Muslim” ia sering menjumpai apa yang ia anggap sebagai “tingkah laku irasional” dan tidak sungkan-sungkan menawarkan diagnosanya sendiri tentang kondisi kejiwaan para “mualaf”. Tulisnya:
“Islam adalah agama asli Arab. Orang bukan Arab yang memeluk agama Islam semuanya adalah mualaf. Islam bukan cuma masalah kesadaran diri atau keimanan pribadi. Tuntutannya bagai tuntutan seorang penguasa. Pandangan si mualaf harus berubah. Tempat sucinya sekarang berada di jazirah Arab; bahasa sucinya sekarang adalah bahasa Arab. Sejarahnya pun berubah. Ia harus menanggalkan sejarahnya yang lama; ia menjadi, senang atau tidak, bagian dari cerita sejarah bangsa Arab. Si mualaf harus memalingkan muka dari segala yang pernah dimilikinya. Masyarakatnya menjadi kacau, hingga seribu tahun mungkin tidak akan pernah sembuh; ia harus memalingkan mukanya lagi berkali-kali. Mereka menciptakan fantasi tentang siapa dan apa mereka; Islam di negeri-negeri mualaf selalu mengandung elemen neurosis dan nihilisme. Negeri seperti ini gampang sekali disulut amarahnya.”
Neurosis, kecenderungan pada nihilisme, menipu diri sendiri, agresivitas laten, dan dunia fantasi adalah sifat-sifat para Muslim yang gampang tersulut amarahnya ini, menurut Naipaul. Tentang Pakistan ia menulis:
“Masyarakat lokal seperti tidak lagi berada di tanah air sendiri, atau hanya berada di sana sebagai penyambung lidah dakwah Islam. Hasilnya adalah kebobrokan sejarah. Ini hasil pandangan baru si mualaf, tidak bisa disangkal lagi. Sejarah menjelma jadi neurosis. Terlalu banyak yang dilupakan atau dibelokkan; terlalu banyak fantasi. Fantasi ini bukan hanya ditemukan dalam buku; ini fantasi yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.”
Islam divonis bersalah menyebabkan gangguan jiwa berskala nasional karena Islam adalah agama “Arab” yang tanah sucinya berada di jazirah Arab. Menurut argumen aneh ini, orang Arab tidak menderita neurosis yang sama karena mereka bukan “mualaf”. Naipaul lupa bahwa kebanyakan orang Arab masih politeis di masa Nabi Muhammad, sehingga waktu mulai memeluk Islam menjadi mualaf juga. Apakah Naipaul dengan sengaja melupakan fakta ini karena menurutnya “tanah suci” orang Arab adalah “tanah airnya sendiri”? Jika ini memang argumen Naipaul, maka seharusnya orang Kristen dan Yahudi di Eropa juga menderita “neurosis” yang sama karena “tanah suci” mereka pun berada di Timur Tengah. Namun jelas bahwa Naipaul menganggap orang Kristen dan Yahudi di barat jiwanya baik-baik saja, tidak pernah mengalami gangguan. Logika argumen Naipaul sungguh susah dimengerti. Eqbal Ahmed pernah menanyakan:
“Siapa di dunia ini yang bukan mualaf? Menurut definisi Naipaul, jika Muslim Iran adalah mualaf, maka orang Amerika adalah Kristen mualaf, orang Jepang Buddhis mualaf, dan orang Cina kebanyakan juga Buddhis mualaf. Semua orang adalah mualaf karena semua agama pada awalnya hanya punya segelintir pengikut. Kristen, Islam, Buddha, Yahudi, semua agama kenabian berkembang lewat orang berganti agama. Dengan begitu, seharusnya Naipaul tidak mengecualikan siapapun dari argumennya sendiri.”
Michael Gilsenan menolak klaim Naipaul bahwa Muslim non-Arab pasti menderita neurosis dengan menunjukkan bahwa argumen yang dipakai untuk membuktikan hal itu “dangkal” — percobaan Naipaul untuk mengidentifikasi dan menjelaskan apa yang ia sebut sebagai “energi keimanan yang irasional” tidak disokong oleh argumen yang kuat, dan perannya sebagai psikiater amatir dalam buku-bukunya tidak pernah semeyakinkan pendahulu-pendahulunya dalam dunia sastra.
KESIMPULAN
Dalam Beyond Belief, Naipaul merampok konvensi novel abad ke-19 untuk memamerkan imaji yang mengerikan akan dunia Islam. Setelah meyakinkan pembaca bahwa ia adalah narator yang patut dipercaya, ia melukis sebuah lanskap di mana masjid, suara adzan, kitab-kitab Islam, busana Muslim, dan rumah tangga Islami bergabung bersama-sama menciptakan atmosfer opresif yang membuatnya sesak nafas. Naipaul memanipulasi konvensi sastra abad ke-19 untuk menciptakan retorika yang dahsyat: narasi yang diharapkan membuat pembaca merasa tertekan di dalam lingkungan Islami yang kurang oksigen — yang hanya bisa diobati oleh aliran udara segar dari lingkungan non-Muslim. Manipulasi Naipaul tidak berhenti di situ. Ia juga memobilisasi genre gotik — genre sastra yang dirancang untuk menakut-nakuti pembaca, di mana vampir haus darah dan makhluk jahanam yang tak bisa mati merenggut jiwa korban mereka sekaligus mengancam kelangsungan peradaban, ilmu, modernitas, dan kewarasan. Dengan menganalisa penggambaran Naipaul akan rumah tangga Islam yang seram, artefak-artefak Islam yang mengerikan, dan orang-orang Islam yang beribadah seperti zombie, kita bisa melihat bagaimana ia memanipulasi genre gotik untuk menghasilkan karya propaganda yang dahsyat.
Narasi ala sastra abad ke-19 yang juga mendominasi Beyond Belief adalah narasi seputar kegilaan. Orang Islam berkali-kali digambarkan sebagai masyarakat penuh kekerasan, irasional, berjiwa kosong, bingung, mati rasa, dan penderita neurosis nan nihilistis. inilah yang dijadikan alasan para pembenci Islam seperti Naipaul setiap kali mereka memuji Beyond Belief sebagai “studi humanis tingkat tinggi” tentang “mualaf Islam masa kini”. Penghargaan bergengsi dan pujian kritikus sastra bagi Naipaul menunjukkan bahwa pandangannya yang Islamofobik telah mendunia, mengkonfirmasi kekhawatiran Edward Said bahwa “generalisasi keji terhadap Islam telah menjadi bentuk fitnah terakhir terhadap budaya asing yang masih diterima di dunia barat”.
Di zaman di mana Muslim dan non-Muslim perlu menemukan cara untuk saling mengerti dan menghormati, imaji melenceng tentang dunia Islam yang dihasilkan visi gotik Naipaul dalam Beyond Belief tidak bisa diterima sebagai narasi yang transparan apalagi layak akan “dunia Muslim”. Naipaul mengeksploitasi konvensi penulisan novel abad ke-19 sekedar untuk memperkuat pandangannya yang Islamofobik, layaknya seorang bigot. Posisi terhormat Naipaul dalam kebudayaan barat arus utama harus ditantang dan direvisi.