a good looking couple in victorian outfits brandishing swords in a battlefield that on close inspection is a field of zombies with bony hands sticking out of the earth

ZOMBIE-ZOMBIE MUSLIM NAIPAUL

oleh Wendy O’Shea-Meddour

diterjemahkan oleh Mikael Johani

PENGANTAR

Tulisan-tulisan V.S. Naipaul tentang dunia Islam mempunyai pengaruh kuat dalam kebudayaan barat arus utama. Sejak penerbitan buku-buku travelognya, “Among the Believers: An Islamic Journey” (1981) dan “Beyond Belief: Islamic Excursions Among the Converted Peoples” (1988) — kisah-kisah perjalanannya di Indonesia, Iran, Pakistan, dan Malaysia — Naipaul telah mengangkat dirinya sendiri menjadi salah satu otoritas “Islam yang sebenarnya”. Kritikus memuji kisah-kisah perjalanannya di dunia Islam ini karena memiliki “integritas moral”, “keberanian mengungkap kenyataan yang tersembunyi”, dan loyalitas terhadap “bukti-bukti otentik”. Pujian dari para kritikus bagi Among the Believers dan Beyond Belief membuat kedua buku tersebut sering dimasukkan dalam daftar buku yang menjanjikan “pengertian yang lebih mendalam mengenai Islam”. Pujian tersebut juga diikuti oleh pengakuan-pengakuan resmi: Naipaul menerima gelar ksatria Inggris di tahun 1990 untuk pengabdiannya pada sastra, dan pada tahun 2001 dia diganjar hadiah Nobel.

Tapi ada juga kritik pedas terhadap portofolio Naipaul yang mentereng: kritikus radikal di dunia barat menggambarkannya sebagai seseorang yang “tidak mampu menahan rasa jijik terhadap dunia Islam dan penduduknya”. Rumor tentang kebencian Naipaul akan Islam, seperti pernah disuarakan oleh Eqbal Ahmad, Amil Malak, Caryl Phillips, dan bahkan Salman Rushdie, membuat reputasinya yang begitu terhormat di dunia mainstream barat berubah jadi mengerikan. Dalam artikel ini, saya akan membuka bagaimana Islamofobia Naipaul selama ini telah salah kaprah diinterpretasikan sebagai “ilmu” lewat sebuah pembacaan revisionis akan Beyond Belief. Dengan mendalami tiga faktor sastrawi dalam “petualangan Islami” Naipaul akhir-akhir ini, yaitu konvensi sastra abad ke-19, genre gotik, dan neurosis, saya mengusulkan agar reputasinya sebagai otoritas dunia Muslim dipertimbangkan kembali. 

KONVENSI SASTRA DAN SESAK NAPAS NAIPAUL

Walaupun kebanyakan kritikus sastra mengakui hubungan yang ambivalen antara travelog dan fiksi, genre yang pertama tetap lebih sering dianggap sebagai literatur non-fiksi. Label ini sebenarnya salah kaprah, karena mengaburkan fakta bahwa travelog adalah sebuah genre sastra tersendiri yang mempunyai banyak aturan naratif dan juga memakai perangkat fiksi. Travelog dan fiksi sering berjalin berkelindan. Tapi karena banyak kritikus yang memuji Naipaul karena “integritas moral”-nya dan “komitmennya pada kebenaran”, maka Beyond Belief hampir selalu dibaca sebagai teks yang informatif dan faktual. Kita selalu dijanjikan bahwa tulisan perjalanan Naipaul akan “mengizinkan” pembaca barat untuk “mengintip” kehidupan orang Islam. 

Naipaul sendiri berusaha keras menggiring penggemarnya kepada pembacaan seperti ini. Dalam prolog Beyond Belief, sang narator menyakinkan kita bahwa “Ini adalah buku tentang manusia, bukan buku berisi opini saja”. Kita diberi garansi bahwa “kenyataan” akan diberikan kepada kita tanpa distorsi. Menyadari bahwa narator yang terlalu suka ikut campur akan menggembosi otoritas sebuah teks “non-fiksi”, Naipaul berjanji bahwa “si penulis tidak akan terlalu tampil, dan tidak akan terlalu banyak bertanya”; ia akan berdiri “di belakang, mengandalkan instingnya”. Naipaul meniru figur andalan penulis romantik Inggris abad ke-19, seorang seniman yang murni, penuh bakat alam, dan punya insting yang bisa diandalkan. Dengan cara inilah ia berusaha meyakinkan kita bahwa objektivitasnya dapat dipercaya. 

Konvensi sastra abad ke-19 tidak hanya mempengaruhi karakterisasi narator dalam Beyond Belief. Pada periode Victorian ini, novel Inggris sebagai sebuah genre belum menemukan perangkat naratif yang mampu menciptakan ilusi bahwa pembaca mampu menyelami isi kepala karakter dalam sebuah cerita. Konvensi modernis seperti “stream of consciousness” belum ditemukan. Konsekuensinya, drama “internal” dipindahkan ke dalam reaksi fisik atau keadaan cuaca yang super sensitif. Sastra Inggris abad ke-19 penuh dengan karakter-karakter histeris bermuka merah, sesak nafas, gemetaran, dan gampang pingsan. Contohnya, dalam novel Wilkie Collins, “The Woman in White”, tokoh-tokoh utamanya sering sekali meneteskan “air mata cengeng”, mendapati bulu kuduk mereka berdiri, atau mengalami serangan kejiwaan. Semua keraguan dan kegalauan jiwa karakter-karakter ini dimainkan di permukaan. Hal yang mirip terjadi di novel-novel lain seperti “Jane Eyre” oleh Charlotte Brontë, di mana kita selalu tahu jika tokoh utamanya marah atau frustrasi, karena setiap kali krisis seperti ini terjadi, tiba-tiba akan muncul dekor berwarna merah dan atau hujan badai. “Narrative displacement” seperti ini adalah teknik yang sering dipakai Naipaul untuk mendeskripsikan perjumpaannya dengan orang-orang Islam di Beyond Belief. 

Gejala yang dialami narator buku ini bukan tiba-tiba menggigil, pingsan, atau berkeringat dingin seperti tokoh utama novel zaman Victoria. Rasa cemas yang dirasakan Naipaul, dan dalam beberapa kasus, rasa jijiknya, ditunjukkan dengan cara yang spesifik: tiap kali ia menjumpai orang Islam yang taat, Naipaul langsung sesak napas. Ia juga akan merasakan kualitas udara di sekitarnya tiba-tiba memburuk. 

Insiden yang pertama terjadi waktu Naipaul berkunjung ke kantor Imaduddin di Indonesia. Naipaul menyebut Imaduddin sebagai “lelaki yang aneh” karena ia “percaya sains” namun juga “Muslim yang taat”. “Kontradiksi” ini membuat Naipaul merasa kurang nyaman (walaupun Islam dan sains punya sejarah terpaut yang panjang, menurut Naipaul keduanya tidak akan pernah akur). Naipaul juga kecewa karena Imaduddin ternyata orang kaya, ia lebih nyaman dengan orang Islam yang sesuai bayangannya, taat dan miskin. Walaupun Imaduddin menjamu Naipaul dengan ramah, “keislamannya” menyebabkan reaksi fisik yang mengganggu di dalam diri tamunya. Naipaul masuk ke dalam kantor Imaduddin, dan menuruti prinsip realisme abad ke-19, mulai menyusun inventaris ruangan ini:

“Di sebelah laptop ada Quran lecek yang sering dibaca; di sisi yang lain ada setumpuk buku yang cetakannya jelek, kira-kira setinggi 30 sentimeter, berukuran hampir sama dan semuanya bersampul biru mencolok, diterbitkan di Mesir dan sepertinya berisi catatan kaki panjang tentang ayat-ayat Quran: makanan sehari-hari Imaduddin.”

Naipaul merasa aman selama Imaduddin berada di dalam ruangan tersebut. Namun waktu Imaduddin keluar untuk menunaikan sholat setelah mendengar adzan, meninggalkan Naipaul sendirian, kehadiran setumpuk “buku Islam” tadi (Naipaul tidak bisa bahasa Arab sehingga hanya menebak isi buku-buku tersebut) cukup untuk menyebabkan keluhan fisik yang serius dari Naipaul. Pembaca diberi tahu bahwa:

“… tanpa kehadiran Imaduddin […] perlengkapan-perlengkapan agamanya terasa opresif […]. Hanya orang seperti Imaduddin yang bisa membuat kehadiran buku-buku biru mencolok terbitan Mesir di atas meja kaca ini terasa ada artinya.”

Dalam suasana penuh kecemasan ini, Naipaul menyulap buku-buku bacaan Imaduddin menjadi “perlengkapan agama yang berbahaya” dan bisa jadi sakti. Buku-buku itu digambarkan sebagai “makanan sehari-hari” Imaduddin, santapannya untuk hidup. Sampulnya yang “biru mencolok” jadi sindiran bahwa buku-buku tersebut mungkin terbuat dari bahan-bahan berbahaya dan mudah meledak. Cetakannya yang jelek terasa hanya mengotori meja kaca dan laptop di dekatnya. Naipaul memilih tidak bertanya langsung kepada Imaduddin tentang isi buku-buku tersebut, karena dengan begitu ketegangan di dalam adegan ini bakal hilang.

Cukup baginya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa buku-buku tersebut (mungkin) berisi “catatan kaki panjang tentang Quran” dan bahwa hanya orang seperti Imaduddin yang “bisa memberi arti pada kehadiran mereka”. Berdiri terlalu dekat saja dengan buku-buku “Islam” ini menyebabkan atmosfer di ruangan menjadi “opresif”. 

Insiden seperti ini banyak didapatkan dalam Beyond Belief, ini baru yang pertama. Naipaul mengalami reaksi yang lebih parah lagi waktu ia menjumpai Islam di Pakistan. 

Perubahan tiba-tiba kualitas udara yang kedua kalinya dialami Naipaul waktu ia mengunjungi Mohammed Akram Ranjha di sebuah komunitas yang diurus, menurut Naipaul, oleh “organisasi fundamentalis paling tersohor: Jamaat-i-Islami”. Dijatuhi hukuman penjara karena menculik dan kemungkinan besar membantu membunuh istri adiknya (pilihan “narasumber” Muslim Naipaul sering tidak se-”representatif” yang ia klaim sendiri), Mohammed sempat menghuni satu sel bersama seorang “tahanan politik”. Di penjara inilah tujuan hidupnya berubah. Akhirnya, seorang pengacara yang menurut laporan Naipaul “gila agama” membantu Mohammed agar ia bisa kuliah hukum. Setelah menjadi pengacara, Mohammed aktif secara politik membela Jamaat-i-Islami.

Putra Mohammed yang bernama Saleem, seorang pegawai bea cukai berumur 34 tahun,, mengantarkan Naipaul naik mobil ke tempat komunitas tersebut di pinggir kota Lahore. Saat itulah Naipaul menyadari kesalahan besarnya yang pertama: ia menolak tawaran Saleem untuk “naik mobil ber-AC” karena dia takut “masuk angin”. Naipaul menyesali keputusannya karena makin dekat tujuan ia makin merasa “sesak napas”. Yang patut dicatat di sini, sesak napas Naipaul sekali lagi terjadi bersamaan dengan munculnya suara adzan (seperti Imaduddin, Saleem juga meninggalkan Naipaul menderita sendirian sementara ia pergi ke masjid). Begitu ia kembali, Saleem membawa Naipaul ke ruangan studi dan perpustakaannya. Di sini Naipaul menjumpai setumpuk lagi “buku-buku Islam”:

“Separuh dari dinding yang menghadap pintu dipenuhi kitab-kitab Islam dengan jilidan berhias […]. Aku tidak sanggup lagi menatap kitab-kitab tersebut. Napasku mulai sesak dalam ruangan tertutup ini. Udaranya pengap. Aku mulai jatuh sakit.”

Ruangan studi “ilmu Islam” ini digambarkan bagaikan kehabisan oksigen. Dituliskan bahwa ruangan ini “disegel rapat” (beberapa kalimat kemudian Naipaul menjelaskan bahwa jendelanya tertutup). Naipaul mencoba memperbaiki suasana ruangan dan menyuruh seseorang untuk membuka jendela dan memasang “pembersih udara”. Ia kemudian duduk di satu-satunya kursi yang ada di dalam ruangan itu, yang memang dibawakan khusus untuknya dan diletakkan di samping jendela yang sekarang terbuka. Keadaannya mulai membaik setelah ia bisa menghirup udara dari luar yang lebih bersih. 

Tapi perasaan lega Naipaul tidak berlangsung lama. Setelah selamat dari suasana mencekam yang dihasilkan oleh suara adzan, masjid, buku-buku Islam, dan suasana Islami rumah tadi, sesak napas Naipaul kembali datang waktu Saleem dengan bangga memperkenalkan anaknya:

“Dia mau menghafalkan seluruh isi Quran di luar kepala,” kata Saleem.

“Seluruh isi Quran ini,” kata orang tuanya, menyambung omongan Saleem. Aku bertanya, “Perlu waktu berapa lama?”

“Lima sampai enam tahun,” kata Saleem. 

Aku tidak tahan lagi. Napasku jadi makin sesak. Di lantai bawah, para pembantu, kurus, gelap, kumuh, duduk-duduk di balik karung-karung jerami. Di luar penuh asap kendaraan dan debu Jalan Multan. Sopir Saleem mengantarkanku balik ke hotel. Saleem tinggal di rumahnya.”

Reaksi Naipaul terhadap tradisi menghafal Al Quran sangat ekstrim sehingga ia harus kabur ke hotelnya di Lahore secepat mungkin. Kita tidak pernah diberitahu reaksi anak Saleem seperti apa. 

Seperti bisa kita lihat di adegan-adegan ini, rasa takut Naipaul akan buku-buku Islam, masjid, dan bentuk-bentuk ibadah Islam lain direfleksikan dalam penggambaran lingkungan di sekitarnya dan keluhan-keluhan fisik yang ia derita. Dalam Beyond Belief, udara kotor adalah penanda Islam, dan serangan asma Naipaul adalah penanda emosi yang dia rasakan saat berjumpa dengan orang Islam. Dalam studinya tentang Naipaul, Fawzia Mustafa mengatakan bahwa pengarang ini menggunakan “keluhan fisik” sebagai “alat untuk mengetahui cara kerja, kelengkapan, atau kesehatan sosial tempat di mana ia berada.”

Ini benar, namun Fawzia lupa menyebutkan bahwa keluhan fisik Naipaul jadi makin parah tiap kali ia bertemu dengan “penganut Islam.” Berjumpa dengan orang Islam dari berbagai macam ras, tradisi, dan karakter ternyata menyebabkan reaksi fisik yang begitu parah dalam diri narator “berintegritas moral” ini. Kebenciannya pada Islam sangat intens sehingga ia harus kabur dari “wawancara”, melarikan diri dari udara yang “menekan”, menyalakan “pembersih udara”, dan buru-buru membuka jendela tiap kali ia menjumpai Muslim yang taat. Mungkin Naipaul memang orang yang ringkih, namun sesak napasnya tiap kali ia bertemu dengan orang Islam, dan bagaimana kadar keimanan Islam mampu mempengaruhi kualitas udara di Indonesia, Pakistan, Malaysia, dan Iran dalam buku-bukunya adalah pengaruh dari kesetiaannya terhadap teknik menulis fiksi era Victoria. 

NOVEL GOTIK

Salah satu genre sastra abad ke-19 yang tekniknya Naipaul gunakan dalam travelog “Islami”-nya adalah gaya “realisme Gotik.” Kadang-kadang, kegemarannya memakai gaya ini menghasilkan tulisan yang kocak tanpa disengaja. Plot novel gotik di abad ke-19 biasanya berpusar pada karakter tokoh utama perempuan lemah lembut yang dipancing pergi ke rumah kuno seorang bangsawan yang sepertinya baik padahal sebenarnya bangsat. Naipaul mendaur ulang plot ini dengan dirinya sendiri sebagai tokoh utama. Hasilnya seperti berikut: Naipaul dengan penuh penasaran mengunjungi rumah Imaduddin supaya ia bisa tahu “lebih banyak tentang masa lalunya — tentang leluhurnya.” Namun Naipaul datang telat, sehingga ia terpaksa menunggu di sebuah ruangan kosong, kejadian yang membuatnya sangat kesal. Namun ia tidak lupa meneruskan fungsinya sebagai seorang “pengamat kenyataan” dengan mendeskripsikan seluruh isi ruangan tersebut: 

“Tiang-tiang ruang tamu ini dihiasi dua-tiga ukiran bunga dan, yang agak mengejutkan, sebuah foto kapal layar. Di sana-sini terserak suvenir perjalanan ke luar negeri yang menunjukkan sisi lembut Imaduddin (atau mungkin istrinya), sisi yang tidak berhubungan dengan latihan mental — kalau benar rumah ini bukan rumah kontrakan sehingga cendera mata tersebut benar-benar saksi sejarah hidup mereka dan bukan memento dari seorang dermawan alim.” 

Semakin panjang deskripsi ini maka gaya penulisannya juga menjadi makin gotik. Di permukaan, ruangan ini terasa familiar, bahkan membuat Naipaul merasa nyaman, namun mulai ada kecurigaan bahwa kesan ini palsu atau bahkan menjerumuskan. Dalam pikiran Naipaul, pendidikan Islam (“latihan mental”) bertentangan dengan hobi bepergian, sentimentalitas, atau kegemaran mengoleksi gambar-gambar kapal layar. Baginya, koleksi “barang-barang sentimental” ini menimbulkan kecurigaan; ia jadi ragu apakah rumah ini benar-benar rumah Imaduddin dan istrinya. Kesimpulannya, benda-benda yang membuat kesan nyaman tadi sengaja dipajang untuk mengelabuinya. Makin lama ia menunggu Imaduddin di ruangan tersebut, Naipaul jadi makin tegang dan akhirnya, panik:

“… berapa lama […] aku harus menunggu di sini seperti seorang maling, dan bagaimana caranya nanti aku bisa melarikan diri dari jebakan ini.”

Adegan ini cocok dimasukkan dalam novel Jane Austen, “Northanger Abbey”, atau novel “Drakula” Bram Stoker. Naipaul si narrator menggambarkan dirinya seperti tokoh utama novel gotik yang lemah, lugu, dan hidupnya terancam oleh tuan rumah yang ternyata setan. Menyadari jebakan narasinya sendiri, dan posisinya yang lemah dalam narasi tersebut, Naipaul berusaha untuk menyelamatkan otoritasnya sebagai narator dengan taktik khas: humor jorok. Begitu ia diberitahu bahwa Imaduddin belum juga datang karena sedang dipijat, Naipaul berargumen bahwa keperluan Imaduddin “ke belakang” inilah yang menyebabkannya harus menunggu begitu lama. Namun, biasanya Naipaul memanfaatkan konvensi genre gotik dengan jauh lebih manipulatif.

Naipaul memakai bahasa gotik untuk mendeskripsikan Islam dan orang Islam dalam Beyond Belief. Cara ini memiliki daya manipulatif yang mengerikan. Dalam bab tentang Indonesia, penyebaran Islam digambarkan bagai virus vampir yang ditularkan oleh Drakula:

“Islam sampai di sini tak lama sebelum kebudayaan Eropa, dan sebelum menjadi kekuatan besar seperti di tempat-tempat lain. [Islam] belum sempat merasuki jiwa penduduk di sini.”

Menurut Naipaul, Indonesia beruntung karena berhasil menghindar dari nasib malang tadi. Kita perlu mengamati deskripsinya tentang orang Islam (“jiwa-jiwa yang dirasuki”) berangkat sholat setelah mendengar suara adzan untuk mengetahui pentingnya peran genre sastra gotik dalam narasinya. 

“… di kantor ini, sepertinya dari ruang berantakan berlapis karpet di ujung lorong, terdengar suara seperti gesekan yang kemudian menjelma jadi suara orang berdoa lamat-lamat. […] Suara ini makin lama makin keras. Tidak bisa dihindari lagi. Aku merasa Imaduddin ingin segera berada di luar sana bersama orang yang mengaji dan berdoa. Suara mereka sekarang memenuhi lorong […] Imaduddin tak bisa lagi menghindar.”

Adegan ini penuh dengan ketegangan ala cerita gotik: “suara seperti gesekan” dan “suara orang berdoa” yang makin lama makin keras digambarkan seperti kegiatan sebuah sekte yang menakutkan dan mungkin saja dilantunkan makhluk yang tidak sepenuhnya manusia, bukan sekelompok orang Islam yang sedang beribadah sholat. Sholat juga tidak diawali dengan doa-doa. Jika orang datang ke masjid agak awal, mungkin ia akan melakukan sholat sunat dua raka’at sebagai tanda hormat terhadap rumah ibadah. Namun sholat sunat ini dilakukan tanpa suara. Tidak akan melibatkan “suara seperti gesekan.” Di pandangan Naipaul, Imaduddin buru-buru berangkat sholat setelah mendengar adzan menunjukkan bahwa ia adalah zombie, makhluk tak berjiwa yang digoda oleh panggilan sholat tersebut, karena itulah Imaduddin “tak bisa menghindar.” (Perhatikan juga bahwa orang-orang non-Muslim dalam Beyond Belief sering dideskripsikan sebagai “orang yang punya pendapatnya sendiri.”)

Berkali-kali dalam buku ini, cara Naipaul memakai imaji-imaji gotik sebenarnya menunjukkan rasa takut dan syak wasangkanya sendiri daripada kenyataan. Terlihat jelas misalnya dalam deskripsi Naipaul tentang Saleem. Waktu Saleem mendengar suara adzan, ia digambarkan bereaksi bagai zombie dicucuk hidungnya. 

Kita diberitahu bahwa “sekonyong-konyong” ia “melepas dasi dan membuang jaketnya di kursi mobil kemudian bergabung dengan jamaah yang sedang sholat.” Orang Islam sebagai jiwa-jiwa yang terperangkap oleh kekuatan gaib yang membuat otak mereka lemah adalah tema yang sering sekali muncul dalam cerita-cerita Naipaul. Menurutnya, “depresi budaya”-lah yang menyebabkan “ajaran agama dan pengetahuan tentang Islam” mampu menyebar luas. Ia berargumen bahwa belajar menghafal Qur’an, “tata cara wudhu”, dan “cara sholat yang benar” sama saja dengan “pengurungan, pemukulan, dan penyetruman otak” yang tentu saja menyakitkan. Menurut Naipaul, orang Islam adalah zombie yang otaknya telah dibius oleh kejamnya penderitaan. 

Tema ini dielaborasi lagi waktu Naipaul bercerita tentang sekolah agama di Qom, Iran. Penerjemah Naipaul, Mehrdad, memberitahunya bahwa “sholat tahajud melibatkan membungkukkan badan berkali-kali dan menggerus dahi ke lantai.” Naipaul menggambarkan “orang-orang alim” yang memiliki “luka seperti luka bakar di dahi; ini karena mereka sujud terus sehingga bumi pun terbakar.” Imaji yang digambarkan sangat kuat: orang Islam menyambut suara adzan seperti zombie dengan luka bakar di dari mereka, mirip serombongan Anti-Kristus.

Perempuan yang dijumpai Naipaul di sekolah agama ini digambarkan dengan sama buruknya. Seperti budak, mereka “menggenggam cadar mereka erat-erat atau menggigitnya agar tidak lepas; mereka kelihatan seperti orang yang membungkam mulut mereka sendiri.” Naipaul tidak sadar bahwa dalam beberapa budaya, perempuan (terutama yang lebih tua) memang biasa menggigit ujung jilbab mereka agar tidak jatuh, dan malah menggunakannya sebagai “bukti” bahwa perempuan-perempuan “yang tidak sepenuhnya manusia” ini telah kehilangan jiwa mereka dan sekarang hidupnya begitu menderita. Gambaran mirip neraka ini mengingatkan akan Inferno Dante. Naipaul di sini menggunakan genre gotik untuk mendukung opininya bahwa politik Islam adalah “bentuk kontrol yang total” dan “merusak kehidupan manusia.”

Naipaul melupakan bahwa di tempat di mana ia menjumpai “kontrol total” yang mengerikan ini ia juga menjumpai banyak hal-hal yang tidak Islami seperti rumah pelacuran, sistem kasta, takhayul, orang yang malas puasa, perempuan berbusana minum, diktator militer, dan sebagainya. Amin Malak pernah menulis begini tentang travelog Naipaul:

“… dua dari empat negara yang ia kunjungi — Pakistan dan Indonesia — dikuasai oleh diktator militer, negara yang ketiga (Iran) sedang melalui sebuah revolusi, dan yang keempat (Malaysia) mengalami ketegangan rasial […]. Tidak mengherankan jika usahanya mencari institusi atau hukum Islam menemui jalan buntu. Susah membayangkan struktur sosial yang stabil berfungsi dengan baik dalam kondisi politik di keempat negara tersebut.” 

Walaupun Naipaul juga menceritakan praktik-praktik non-Islami ini dengan detail, ia tetap mempertahankan klaimnya bahwa segala keburukan orang-orang yang ia jumpai disebabkan oleh Islam. Pesan tulisannya jelas: Muslim non-Arab patut dikasihani karena telah menjual jiwa mereka.

Bukan kebetulan jika Beyond Belief mirip dengan novel gotik. Genre ini didominasi oleh karakter-karakter berpribadi lemah yang menyerahkan jiwa mereka, sering secara tidak sadar, kepada kekuatan setan yang jauh lebih kuat, makhluk yang meminum darah mereka hingga kering. Menurut pandangan Naipaul, orang yang “tidak berdaya” melawan suara adzan dan perempuan-perempuan yang “menyumpal mulut sendiri” sebenarnya sama saja telah menandatangani kontrak penyerahan diri dan setuju begitu saja untuk menghapus “diri” mereka. Dalam sebuah acara pembacaan bukunya yang lain, “Half a Life”, di Queen Elizabeth Hall pada Oktober 2001, Naipaul mengatakan bahwa Islam menuntut “penghapusan diri” yang “lebih parah daripada penghapusan identitas yang dilakukan oleh penjajah kolonial […], jauh lebih parah.” Dalam Beyond Belief, ia menulis:

“… mualaf wajib menghapus masa lalu mereka; yang dituntut dari mereka adalah iman yang paling murni (apakah hal ini benar-benar ada?), ajaran Islam, penyerahan diri. Sebuah bentuk imperialisme yang begitu kejam.”

Naipaul berkali-kali mengatakan bahwa Islam menuntut penganutnya agar meleburkan individualitas mereka. Tentang Muslim di Pakistan, ia mengatakan bahwa “kaum fundamentalis mewajibkan Muslim menjadi transparan, murni, mangkuk kosong untuk diisi iman. Ini hal yang mustahil: manusia manapun tidak akan pernah bisa menjadi selongsong kosong seperti itu.” Namun, menurut ceritanya sendiri, ada banyak orang seperti itu. Mereka yang “kosong”, mereka yang menderita depresi budaya dan amnesia sejarah tentang diri mereka sendiri — orang-orang yang menurut Naipaul “paling berpeluang” dijadikan mualaf.

Menurut pandangannya, ada orang-orang atau budaya tertentu yang lebih bisa dipengaruhi oleh Islam daripada yang lain. Misalnya, ia menyebutkan bahwa orang Indonesia lebih mungkin menganut Islam karena “mereka tidak mengetahui diri sendiri.” Kevakuman identitas adalah kondisi optimal bagi penyebaran Islam menurut Naipaul. Seperti tokoh-tokoh perempuan yang gampang pingsan dan menyerahkan diri kepada vampir haus darah di novel-novel gotik, menurut Naipaul para Muslim non-Arab yang berjiwa lemah tanpa disadari juga telah menjadi zombie.

NAIPAUL DAN NEUROSIS

Fokus Naipaul pada keadaan mental orang Islam juga satu lagi persamaan antara Beyond Belief dan sastra abad ke-19. Walaupun tidak pernah membentuk genre tersendiri, gangguan mental adalah salah satu topik utama dalam karya fiksi abad ke-19, terutama di akhir periode tersebut. Tidak lagi mengunci kegilaan di loteng (seperti yang terjadi kepada Bertha Mason, “perempuan gila” di novel Jane Eyre), novel-novel fin-de-siècle [akhir abad ke-19] ini memindahkan kegilaan ke lantai bawah supaya lebih gampang dianalisa. Makin banyak tokoh utama yang digambarkan “tidak stabil secara mental.” Bahkan pemeran-pemeran pembantu yang dimunculkan untuk “menyembuhkan” mereka pun mulai menunjukkan tanda-tanda kegilaan. Misalnya, salah satu psikiater di novel Drakula digambarkan kecanduan obat, sementara satu lagi digambarkan sering terkena serangan histeria. Batas yang kabur antara kegilaan dan kewarasan juga bisa ditemukan dalam novel “The Heart of Darkness” Joseph Conrad dan “The Woman in White” Wilkie Collins.

Kebersediaan untuk memasukkan penyebab, gejala, dan ciri kegilaan yang berubah-ubah ke dalam karya sastra di akhir abad ke-19 muncul bersamaan dengan naiknya pamor psikiatri sebagai sebuah disiplin akademik. Pada periode inilah bahasa yang tadinya hanya digunakan oleh psikiater seperti Andrew Wynter (pengarang “The Borderlands of Insanity”, 1875), Henry Maudsley (“The Pathology of the Mind”, 1895), dan Sigmund Freud mulai diserap ke dalam bahasa sehari-hari. Karakter-karakter dalam novel, merefleksikan kecemasan masyarakat kontemporer di masa itu, jadi sering digambarkan sebagai orang gila atau penderita histeria, degenerasi, penyakit jiwa, dan kondisi-kondisi psikologis lain yang baru saja ditemukan (atau baru direvisi definisinya). 

Dalam sastra fin-de-siècle, karakter dan narator lazim memakai diskursus psikiatri untuk “mendefinisikan” dan menjelaskan keadaan psikologis dari posisi otoritas. “Penilaian kejiwaan” dalam karya-karya tersebut tidak hanya dilakukan oleh tokoh-tokoh yang punya “kualifikasi” untuk memberikan pendapat profesional. Kegilaan menjadi bagian besar dari diskursus sehingga hampir semua tokoh, termasuk tokoh pasien, siap menjadi psikolog amatir. Misalnya, dalam novel Drakula, Dr. Seward mendiagnosa karakter bernama Renfield sebagai “penderita zoophagous” (dijelaskan dengan kegemarannya menyantap lalat). Namun, di antara episode memakan lalatnya, si “binatang piaraan gila” Renfield ini mengatakan:

“Karena aku sendiri pernah menjadi pasien rumah sakit jiwa, menurut pengamatanku kecenderungan sofistik pasien-pasien di situ lebih merupakan hasil salah nalar non causae dan ignoration elenchi.”

Dalam sastra akhir abad ke-19, pengarang gemar bereksperimen dengan diskursus tentang pikiran yang terkesan otoritatif sehingga baik narator maupun karakter sering mendefinisikan dan mengklasifikasi penyebaran pesat kegilaan dengan antusiasme bagai ilmuwan. Hal ini juga ditiru oleh Naipaul. Dalam perjalanannya di “dunia Muslim” ia sering menjumpai apa yang ia anggap sebagai “tingkah laku irasional” dan tidak sungkan-sungkan menawarkan diagnosanya sendiri tentang kondisi kejiwaan para “mualaf”. Tulisnya:  

“Islam adalah agama asli Arab. Orang bukan Arab yang memeluk agama Islam semuanya adalah mualaf. Islam bukan cuma masalah kesadaran diri atau keimanan pribadi. Tuntutannya bagai tuntutan seorang penguasa. Pandangan si mualaf harus berubah. Tempat sucinya sekarang berada di jazirah Arab; bahasa sucinya sekarang adalah bahasa Arab. Sejarahnya pun berubah. Ia harus menanggalkan sejarahnya yang lama; ia menjadi, senang atau tidak, bagian dari cerita sejarah bangsa Arab. Si mualaf harus memalingkan muka dari segala yang pernah dimilikinya. Masyarakatnya menjadi kacau, hingga seribu tahun mungkin tidak akan pernah sembuh; ia harus memalingkan mukanya lagi berkali-kali. Mereka menciptakan fantasi tentang siapa dan apa mereka; Islam di negeri-negeri mualaf selalu mengandung elemen neurosis dan nihilisme. Negeri seperti ini gampang sekali disulut amarahnya.”

Neurosis, kecenderungan pada nihilisme, menipu diri sendiri, agresivitas laten, dan dunia fantasi adalah sifat-sifat para Muslim yang gampang tersulut amarahnya ini, menurut Naipaul. Tentang Pakistan ia menulis:

“Masyarakat lokal seperti tidak lagi berada di tanah air sendiri, atau hanya berada di sana sebagai penyambung lidah dakwah Islam. Hasilnya adalah kebobrokan sejarah. Ini hasil pandangan baru si mualaf, tidak bisa disangkal lagi. Sejarah menjelma jadi neurosis. Terlalu banyak yang dilupakan atau dibelokkan; terlalu banyak fantasi. Fantasi ini bukan hanya ditemukan dalam buku; ini fantasi yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.”

Islam divonis bersalah menyebabkan gangguan jiwa berskala nasional karena Islam adalah agama “Arab” yang tanah sucinya berada di jazirah Arab. Menurut argumen aneh ini, orang Arab tidak menderita neurosis yang sama karena mereka bukan “mualaf”. Naipaul lupa bahwa kebanyakan orang Arab masih politeis di masa Nabi Muhammad, sehingga waktu mulai memeluk Islam menjadi mualaf juga. Apakah Naipaul dengan sengaja melupakan fakta ini karena menurutnya “tanah suci” orang Arab adalah “tanah airnya sendiri”? Jika ini memang argumen Naipaul, maka seharusnya orang Kristen dan Yahudi di Eropa juga menderita “neurosis” yang sama karena “tanah suci” mereka pun berada di Timur Tengah. Namun jelas bahwa Naipaul menganggap orang Kristen dan Yahudi di barat jiwanya baik-baik saja, tidak pernah mengalami gangguan. Logika argumen Naipaul sungguh susah dimengerti. Eqbal Ahmed pernah menanyakan:

“Siapa di dunia ini yang bukan mualaf? Menurut definisi Naipaul, jika Muslim Iran adalah mualaf, maka orang Amerika adalah Kristen mualaf, orang Jepang Buddhis mualaf, dan orang Cina kebanyakan juga Buddhis mualaf. Semua orang adalah mualaf karena semua agama pada awalnya hanya punya segelintir pengikut. Kristen, Islam, Buddha, Yahudi, semua agama kenabian berkembang lewat orang berganti agama. Dengan begitu, seharusnya Naipaul tidak mengecualikan siapapun dari argumennya sendiri.”

Michael Gilsenan menolak klaim Naipaul bahwa Muslim non-Arab pasti menderita neurosis dengan menunjukkan bahwa argumen yang dipakai untuk membuktikan hal itu “dangkal” — percobaan Naipaul untuk mengidentifikasi dan menjelaskan apa yang ia sebut sebagai “energi keimanan yang irasional” tidak disokong oleh argumen yang kuat, dan perannya sebagai psikiater amatir dalam buku-bukunya tidak pernah semeyakinkan pendahulu-pendahulunya dalam dunia sastra. 

KESIMPULAN

Dalam Beyond Belief, Naipaul merampok konvensi novel abad ke-19 untuk memamerkan imaji yang mengerikan akan dunia Islam. Setelah meyakinkan pembaca bahwa ia adalah narator yang patut dipercaya, ia melukis sebuah lanskap di mana masjid, suara adzan, kitab-kitab Islam, busana Muslim, dan rumah tangga Islami bergabung bersama-sama menciptakan atmosfer opresif yang membuatnya sesak nafas. Naipaul memanipulasi konvensi sastra abad ke-19 untuk menciptakan retorika yang dahsyat: narasi yang diharapkan membuat pembaca merasa tertekan di dalam lingkungan Islami yang kurang oksigen — yang hanya bisa diobati oleh aliran udara segar dari lingkungan non-Muslim. Manipulasi Naipaul tidak berhenti di situ. Ia juga memobilisasi genre gotik — genre sastra yang dirancang untuk menakut-nakuti pembaca, di mana vampir haus darah dan makhluk jahanam yang tak bisa mati merenggut jiwa korban mereka sekaligus mengancam kelangsungan peradaban, ilmu, modernitas, dan kewarasan. Dengan menganalisa penggambaran Naipaul akan rumah tangga Islam yang seram, artefak-artefak Islam yang mengerikan, dan orang-orang Islam yang beribadah seperti zombie, kita bisa melihat bagaimana ia memanipulasi genre gotik untuk menghasilkan karya propaganda yang dahsyat. 

Narasi ala sastra abad ke-19 yang juga mendominasi Beyond Belief adalah narasi seputar kegilaan. Orang Islam berkali-kali digambarkan sebagai masyarakat penuh kekerasan, irasional, berjiwa kosong, bingung, mati rasa, dan penderita neurosis nan nihilistis. inilah yang dijadikan alasan para pembenci Islam seperti Naipaul setiap kali mereka memuji Beyond Belief sebagai “studi humanis tingkat tinggi” tentang “mualaf Islam masa kini”. Penghargaan bergengsi dan pujian kritikus sastra bagi Naipaul menunjukkan bahwa pandangannya yang Islamofobik telah mendunia, mengkonfirmasi kekhawatiran Edward Said bahwa “generalisasi keji terhadap Islam telah menjadi bentuk fitnah terakhir terhadap budaya asing yang masih diterima di dunia barat”.

Di zaman di mana Muslim dan non-Muslim perlu menemukan cara untuk saling mengerti dan menghormati, imaji melenceng tentang dunia Islam yang dihasilkan visi gotik Naipaul dalam Beyond Belief tidak bisa diterima sebagai narasi yang transparan apalagi layak akan “dunia Muslim”. Naipaul mengeksploitasi konvensi penulisan novel abad ke-19 sekedar untuk memperkuat pandangannya yang Islamofobik, layaknya seorang bigot. Posisi terhormat Naipaul dalam kebudayaan barat arus utama harus ditantang dan direvisi. 

Silo x Silo x Sastra x Indo

Publik puisi di Indonesia tersegregasi di silo-silo yang berbeda. Ada pembaca yang senang dengan kalimat-kalimat menye-menye ala Rupi Kaur di akun Instagram NKCTHI dan menganggapnya puisi. PO 500 eksemplar sold out dalam 1 menit, 53 ribu eksemplar ludes dalam sebulan. Sebelum sempat cerita tentang hari ini udah dialihwahanakan jadi film, tayang di Netflix. Pembaca yang merasa lebih dalam padahal nggak, memilih membaca Aan Mansyur dan Adimas Immanuel, tanpa terlalu mempedulikan hutang-hutang mereka dalam soal gaya dan isi pada Sapardi, GM, Jokpin, tiga penyair ultrakanon dalam sejarah puisi Indonesia kontemporer. Walaupun monopoli mereka sebagai supplier kutipan-kutipan yang bikin “awww” buat kartu undangan kawinan mulai digembosi oleh… Aan dan Adimas! dan copycat-copycatnya (Fiersa Besari, Boy Candra anyone?). Mungkin salah satu jasa terbesar ketiga penyair kanon tadi adalah melahirkan generasi terkini penyair Indonesia—Angkatan Hallmark?

Seorang teman penyair yang menolak mengirim puisi-puisinya ke koran (lebih memilih mempublikasikannya di Facebook), Malkan Junaidi, beberapa waktu lalu mengeluh di sebuah webinar festival sastra tentang kekurangkreatifan penyair-penyair Indonesia. Tahun lalu saya diundang ke Jogja International Literary Festival, di situ saya berjumpa banyak penyair yang belum saya kenal. Banyak dari mereka yang membawa buku puisi mereka ke mana-mana, dan kebanyakan dicetak sendiri. Saya jadi malu karena nggak membawa satu eksemplar pun buku saya, jadi setiap kali diajak tukeran buku akhirnya mereka cuma menghibahkan buku mereka ke saya dan saya mengeloyor pergi cari soto gratisan. Kebanyakan penyair-penyair ini kenal satu sama lain, dan ternyata mereka aktif sekali di Facebook, baik di berbagai group puisi maupun saling berkomunikasi (termasuk saling mengomentari puisi masing-masing) dari akun-akun pribadi mereka. Tapi kok aku nggak kenal mereka ya? Padahal setiap hari aku juga nongkrongin Facebook menunggu postingan puisi Malkan atau komentar Saut tentang kebobrokan apa lagi yang terjadi dalam politrik sastra Indonesia. Silo-silo yang asing satu sama lain tadi. Becoz algoritme. Memang setelah aku baca-baca buku-buku puisi hibahan tadi dan menyaksikan penampilan-penampilan penyairnya di panggung festival, aku berpikir ya bisa dimengerti kalau Malkan frustrasi. Puisi-puisinya banyak yang terasa kuno baik dari segi gaya maupun isi. Puisi cinta dan puisi tentang tuhan dengan bahasa yang mendayu-dayu. Ready made buat dideklamasikan, ready made juga buat dilupakan.

Tapi masalahnya di siloku sendiri aku tidak merasakan kefrustrasian dalam kadar yang sama, atau paling tidak walaupun siloku dan silo Malkan bersinggungan, aku sering menjumpai penyair-penyair muda yang rajin mengulik gaya dan tema yang berbeda dari kecenderungan penyair-penyair mainstream, dan atau sebenarnya marginal dalam status (yang jelas ga ada yang kanonikal) tapi bergaya mainstream di atas tadi. Mungkin karena aku, seperti sering dituduhkan orang padaku selama ini, “privileged”—cekidot thread checking my own privilegesku di Twitter: besar di Australia dan sekolah sastra (Yunani Kuno) kemudian sejarah di sana sampai PhD walaupun drop out, sehingga aku terbiasa membaca puisi dalam bahasa Inggris selain bahasa Indonesia, sehingga bisa selalu mengupdate diriku sendiri dengan tren-tren terakhir dalam perpuisian (Barat) modern. Tapi itu teorinya, prakteknya aku malah sering terlalu malas baca jurnal-jurnal sastra/puisi seperti Cordite, Asymptote, apalagi Poetry Foundation (suka kuno juga, stuck in Modernism!), dan lebih sering nonton video random di YouTube (chiropractor! Most Emotional AGT auditions! Kuliah terbuka Hito Steyerl) atau film dan TV series di Netflix/HBO Go/Amazon Prime. Tapi ya, kadang aku masih suka ketemu juga penyair-penyair avant gardu ronda seperti Chris Mann (RIP), atau Jos Charles, atau Geraldine Kim, sehingga desire untuk menikmati kekreatifan berpuisi yang relate dengan kehidupan sehari-hariku sekarang—ini mungkin bagian dari kekreativitasan yang didambakan Malkan—masih bisa terpuaskan.

Selain itu, tiga tahun terakhir aku juga bikin Paviliun Puisi, spoken word night yang mulai dari satu-satunya acara jenis ini yang reguler di Jakarta, sekali setiap bulan tiap Sabtu terakhir, sebelum akhirnya menjadi acara spoken word yang terbesar di ibukota yang sekarang lagi sering diolok-olok sebagai Jawakarta oleh raja-raja kecil silo-silo sastra daerah ini. Lokasinya di Jawakarta Selatan lagi, wah, easy target banget buat dicela sebagai too privileged, too borju, too keminggris, too edgy, etc etc etc. Tapi mungkin ada alasannya juga kenapa begitu banyak orang datang ke Paviliun Puisi, padahal “hiburan” utamanya puisi (bukannya puisi garing ya?) di malam Minggu, tanggal muda lagi (in terms of gajian), wouldn’t they wanna be somewhere else yang lebih fun? Kecurigaanku, ini karena kami tidak menerapkan sensor apapun. Bebas sebebas-bebasnya. Mau baca puisi pakai bahasa apa aja—Bahasa Indonesia Yang Tidak Baik dan Tidak Benar, prokem Jakarta, Inggris, codeswitch, Rusia (pernah), Catalan (pernah), Prancis (sering), Pashto (pernah), bahasa daerah (sering)—dan bertema apa aja (protes tentang RUU ga jelas (kita pernah print seluruh KUHP dan membacanya semalaman, selain kita oret-oret jadi puisi blackout), curhat, mental health/illness, kehidupan sehari-hari anak ahensi, being a mum, the woman body, the queer body, queer life, third culturism (mostly me)), semuanya boleh, pokoknya bebas. It’s art, so there should be no censorship. Self-expression is kween. Atau seperti kami bilang di bio Insta: “Absolute freedom to spill your guts.” Paling kalau lo ngomong hal-hal yang gak diterima audience, lo bakal dicallout, dan lo selalu bisa memberikan pembelaan. Conflict should never be elevated into abuse. Dan sepertinya yang bikin nagih adalah ini: kebebasan menjadi diri sendiri.

Kebebasan ini menghasilkan banyak sekali puisi yang asyik-asyik, yang kebanyakan hanya eksis dalam bentuk performance pada saat itu juga, mungkin textnya sempat ditulis di Google Keep di hp, atau direkam dalam bentuk audio, atau video, yang hanya didistribusikan di antara teman, di silo-silo kecil yang tidak menuntut, seperti yang banyak dituntut di Twitter sekarang, visibility. Mungkin beberapa akan share puisi/rekaman audio/video mereka di Instagram. Di situlah mungkin, dan di platform-platform socmed lain yang aku udah terlalu boomer untuk tahu, silo-silo ini bersinggungan sekarang. Di siloku, yang sekarang aku saksikan, puisi Indonesia kontemporer yang kreativitasnya memuaskan—kalau kita terus mempertimbangkan unsur yang didambakan Malkan—atau relate dengan kehidupanku sehari-hari, sehingga menjadi cocok dengan apa yang kuanggap sebagai puisi (puisi adalah kenyataan? Dalam ekspresinya yang paling intens?), lebih banyak dipengaruhi oleh musik, dari hip-hop sampai Björk sampai Sia, spoken word, internet memes, Netflix series dari Black Mirror sampai Better Than Us (di HBO, salah satu penulis skenario Lovecraft Country ternyata seorang penyair dan suka masukin puisinya ke situ), Twitter rant, anime, Webtoon manga (cekidot Metaphorical Her), etc etc etc.

Masalahnya (atau bukan masalah), yang kreatif dan yang tidak kreatif, becoz algoritme, tidak saling bersinggungan dalam universe puisi Indonesia dan mungkin tidak akan pernah, apalagi saling mempengaruhi. Semua sibuk dan puas di dalam silonya sendiri-sendiri. Akibatnya, puisi yang dihasilkan di silo A bisa jadi tidak bisa dimengerti oleh penikmat puisi di silo B, mungkin setengah dimengerti di silo C, dan cuma jadi bahan hujatan di silo X. Puisi-puisi Saut Situmorang misalnya, mengherankan gak sih bahwa walaupun Bang Saut sangat dihormati oleh publik puisi Indonesia, disegani bahkan oleh musuh-musuhnya, sedikit sekali ada tulisan analitis tentang puisinya? Paling belum lama lalu ada tesis master Kahar Dwi Prihantono yang membahas tentang estetika postmodern puisi Bang Saut, dan saya juga sudah pernah menulis “ABC of Saut Situmorang” di popteori, yang berusaha menelusuri genealogi puisi-puisinya dalam tradisi Modernisme dan caranya write back against tradisi itu. Selain itu mungkin cuma ada review Otobiografi yang ditulis almarhum Asep Sambodja buat acara Meja Budaya Martin Aleida. Cuma tiga tulisan untuk penyair sebesar Saut? Bandingkan dengan entah berapa ratus tesis dan berapa puluh artikel (walau yang dalem nggak banyak juga) yang pernah ditulis tentang puisi-puisi Sapardi, GM, Jokpin!

Kok bisa? Silo-silo tadi. Silo, universe, dan ya, otobiografi kepuisian Saut tidak nyambung dengan silo publik puisi Indonesia. Mungkin pembaca-pembaca ini tetap bisa menikmati misalnya puisi “Love Song of Saut Speedy Gonzales” sebagai sebuah parodi puisi cinta, mungkin sebagian kecil juga sadar judulnya plesetan dari “The Love Song of J. Alfred Prufrock” T.S. Eliot, tapi berapa banyak yang tahu Speedy Gonzales di situ bukan cuma tokoh Looney Tunes, arriba arriba… andale, andale! (yippa, yippa… andre, andre!), tapi juga alusi ke puisi “Daffy Duck in Hollywood” John Ashbery? Berapa pembaca Saut yang kenal John Ashbery?

Sekarang kita lihat puisi, misalnya, “Saya Dan Dia” karya Ratri Ninditya (Ninin), apakah fans Aan Mansyur akrab dengan Oulipo? (Sebaliknya, pembaca Ninin mungkin banget akrab dengan kartu Hallmark, tapi apakah mereka necessarily bakal membandingkan puisi Aan dengan ucapan-ucapan template di kartu itu?) Kemudian buku puisi queer LGBTIQBMX Hendri Yulius Wijaya, apakah groupies Ahmad Yulden Erwin bisa langsung tahu genealogi buku Hendri ini? Apakah mereka akan kepikiran menelusuri cikal bakal puisi queer Indonenong sampai ke puisi-puisi curhat/lamentation di zine Lambda Indonesia dan GAYa Nusantara di tahun ’80-an?

Mungkin puisi Farhanah, “Istirahatlah Kakak-Kakak”, masih lebih accessible buat publik mainstream puisi Indonesia, bahkan fans Lala Bohang pun saya rasa bisa menebak judulnya adalah plesetan dari judul puisi “Istirahatlah Kata-Kata” penyair besar kita, Rest In Power, Wiji Thukul. Tapi, apakah semua pengagum Wiji Thukul akan serta merta terima judul ini diplesetkan dalam sebuah puisi yang mengkritik kebelaguan kakak-kakak aktiveiz “renaissance” (perhatikan sarkasme renaissance di sini! Lucu ya. Ke mana aja humor dalam puisi Indonesia pasca-Remy Sylado?) yang sok-sok mencerahkan “dedek-dedek yang butuh dicerahkan” (sarkasme ini lagi! Farhanah mungkin pengguna ironi terkuat dalam puisi Indonesia sejak Toeti Heraty?) padahal sebenernya sedang cari gebetan?

Sengotot-ngototnya seorang kritikus sastra mencoba mendefinisikan puisi Indonesia, ciri-ciri kontemporernya, genealoginya, ragam bentuknya, dia akan selalu ketinggalan dengan publik “umum” puisi itu sendiri, di silo mereka masing-masing, yang asik-asik bikin definisi dan dunia puisinya sendiri. Bukan cuma cukong seperti Denny JA yang bisa seenaknya klaim/pamer telah melahirkan genre “Puisi Esai”, bandingkan dengan Teater Utan Kayu yang dulu mengklaim Saman dilahirkan di luar sejarah, penyair minor seperti Soni Farid Maulana pun bisa dengan random mengutak-atik formula jumlah suku kata haiku kemudian mendeklarasikan sebuah genre baru, Sonian! Sonian ini bukannya dikritik rasionalisasinya, atau dipertanyakan manfaatnya apa buat kepuisian Indonesia, malah group Facebooknya sempat rame banget!

Intinya, jangan mudah percaya dengan orang yang mengklaim puisi Indonesia itu (harus) begini, (harus) begitu, biasanya dia hanya katak dalam silo yang tidak sadar definisinya hanya satu dari berbagai cara pembaca dan penyair memaknai kepuisian, dan bukannya mengembangkan puisi Indonesia, dia malah membikinnya jadi makin kuper.

foxy iris bold underline italic strikethrough justify

review of Mikael Johani’s new chapbook Catch Tiggers, Bette Midler by Jessica Ginting. download a copy for free here.

“so tell me, what are you?  

so am i robot, not a human, too?” 

  • [In Which No Pun]

There’s an urgent sense of unraveling in the poems within Mikael Johani’s Catch Tiggers, Bette Midler. Like forgetting what you’ve packed in your bag and watching the contents spill out as you’re walking down the street. These poems are part-continental mystery, part-introspective conversations (with who? you’ll find out, or perhaps not)  that carries the reader through cities, stories, conversations. 

There is no stable ground. There are revelations and non-revelations. In ‘In Which No Pun’, the speaker demands answers out of everything: gum trees, for answers on a missing acquaintance, shoes, for the perfect escape, levis, for answers on women, finally asking:

“so tell me, crisp, perfect biscotti why in the dawn  of someone’s life, dreams of faulchion and perfect  shields of gold, of ambrosia and foxy iris bold, still  

can’t convince me that life will be any thing but  just so 

so?”

The code-switching employed makes for a very avant-garde, almost maximalist experience of language in these poems. The fact that there are so many references one would be bound to miss—including myself—creates the feeling that you’re being thrust on a rollercoaster of sensory experiences all at once. But even for a collection so focused on precise imagery, the characters inside wave it off, acknowledging that things always one letter away from becoming something else:

“the last time mike d. saw rob g. was at an indian  restaurant called passage to india. it was missing  the ‘the’ or the ‘a’, he cannot quite remember.  words are just dead neons anyway, ha.”

  • [In Which The End]

Still on the subject of the scattered references; I think, similarly to the way language is employed, there’s an earnest message in there somewhere about the obfuscation of idealized capitalistic travel aesthetics, even through the romanticization of food via-cultural-historical-travel routes:

“rob g. explained everything to mike d. he knew so  much about the world, he looked into everything  lovingly. 

they ordered a thali, a dosa, and a dessert called  jamun, or gulab, or jamun gulab, whichever way  they called it the only thing they remember was  the sauce that the chef said came from a special  

breed of honey”

  • [In Which The End]

This could be me projecting, but growing up in Jakarta, it took me a long time to realize how strange our jumbled collage of cultural touchpoints can often be. Often using things or images as shorthand to bigger ideas or socioeconomic values (like, say, the origins of a specialist desert) without fully diving into what they mean, you start building an identity around various forms of shorthand. Eventually, the shorthand becomes the building blocks of a language of your own.

Against some of the more intimate poems, this obfuscation of imagery starts to make a little bit more sense, often as barriers between intimacy, “when I asked you to please, pay attention to my  whining / like wearing Swear London in a sea of Trippens” or even as moments most grounded in reality, “a stale baguette poking out of your Céline calfskin  make a dress out of your shower curtains  i can now see your pubic hair / my favourite red pubic hair / the colour of rotten tangerines” [In Which (Your) Cheatin’ Art]. 

The bare aesthetics and the references used hit differently here. They feel shallow, empty. Comitragic, even. I was impressed by the flexibility at which Mikael manages to manipulate and contort these layered and conflicting emotions in a burst of words:

“okay then, i should be off, searching for my  imaginary lighter in the coin slots of your car. there  was awkwardness, but we were chatting again on  the dyke a couple of weeks later. all’s well that  ends. swell.” 

  • [In Which Tee-vas]

The use of lenses in poetry is something that I like paying attention to, and I love the lens that Mikael has chosen to look through in Catch Tiggers, Bette Midler. It’s happy/sad. It’s colourful in the way washed out paint dropped on the streets are. You don’t quite know what happened back there, but you want to keep following the trail to see it through to the end. Again, the use of language is certainly the highlight in this collection. I think poetry is the most interesting when you can tell that the author has built a language of their own, and Mikael certainly has.

It’s the type of book that’s going to make me think twice the next time I look at something to try to play a game of identification with it. It makes me want to ask: who are you, why are you like this, do you have the answers to the most specific questions in my interior? (I will pass judgement, either way.)

Jessica Jemalem Ginting’s chapbook Voyages available from Bottlecap Press.

KETIDAKSETARAAN 4.0 ATAU KETIDAKSETARAAN AJA?*

Jangan pegang piringnya, mau gue insta duluuu! Ih di pojok situ lightingnya cakeeeep–fotoin gue di situ dong mak! Bebep gamer akuh di YouTube baru aplot video baru–naisuu! Stranger Things season 3 dah mau keluar di Netflix! Bikin potkes yok!

Kita bisa mendengar komentar-komentar demikian dalam percakapan keseharian kita. Mereka mengalir dari lidah kita dan meluncur dari mulut kita dengan sangat natural. Atau, sebaliknya, kita bisa jadi adalah salah satu dari orang-orang dari rentang usia tertentu yang masih mencoba mengikuti kosa kata masa kini—leksikon 4.0, yang, suka atau tidak, harus kita terima dan kuasai. 

Internet hanyalah sebuah aspek lain dari hidup kita, tentang bagaimana kita berkomunikasi, sebagai sebuah medium dan sekaligus sebagai sebuah sarana bagi kita untuk mengekspresikan diri sendiri. Jadi, jika kita prihatin bahwa internet “masih” sebuah lahan yang tidak setara di 2019 ini, kita harus mulai menyadari bahwa hal ini hanya merefleksikan segala hal yang terjadi dalam kehidupan “luar jaringan” (sebagai lawan dari istilah “dalam jaringan” alias daring) kita. 

Bagi saya, ketidaksetaraan adalah ketidaksetaraan titik. 

Di awal tahun 2000, saya menemukan sebuah komunitas puisi daring di Yahoo! Groups (sebuah sarana media sosial 2.0!). Saya terinspirasi untuk melakukannya karena saya sendiri merupakan salah seorang anggota dari sebuah perkumpulan puisi daring yang berbasis di AS bernama pathetic.org (ya, namanya memang disengaja). Setiap anggota mendapatkan situs-mini masing-masing untuk memajang karya-karya mereka dan setiap orang bebas untuk saling mengunjungi situs anggota lainnya. Yang terasa spesial adalah bahwa format itu memungkinkan setiap orang untuk menuliskan pendapat mereka tentang puisi-puisi yang mereka baca dengan cara-cara yang jujur, tanpa kepura-puraan, terperinci, dan juga menyenangkan, yang membuat saya merasa disambut baik dan memungkinkan saya bertumbuh sebagai seorang penulis. 

Suatu kali, saya menggunakan frase “seorang gadis hitam” di salah satu puisi karya saya. Maksud saya adalah untuk menggambarkan diri saya sendiri sebagai makhluk yang tercipta dari bayangan di tembok, tapi jelas saya gagal menghantarkan citra itu sehingga karya itu malah jadi terlihat rasis. Cukup banyak teman saya yang mengomentari puisi itu dan menunjukkan—beberapa di antara mereka dengan cara yang baik—bermasalahnya hal itu. Percakapan-percakapan tersebut mencerahkan saya. 

Saya ingin meniru dinamika-dinamika yang terbuka, saling mendukung, tapi juga otokritis di Komunitas BungaMatahari (BuMa). Saya bahagia karena kami cukup berhasil dalam mencapai hal itu secara alami. Kami telah mengalami bagaimana rasanya saling memberdayakan sebagai bagian dari sebuah komunitas para penulis—dari berbagai gaya—selain juga memiliki kebebasan untuk bereksperimen dan mengeksplorasi seni puisi sebagai  individu. 

Moto kami, semua bisa berpuisi, adalah kunci tentang bagaimana kami berkomunikasi dan menghadirkan diri kami sendiri dalam berbagai proyek berbeda yang kami kerjakan daring atau IRL. Kami membuka pintu kami untuk siapapun yang bercita-cita untuk mengejar karir penulisan, menulis untuk kesenangan mereka sendiri, atau bahkan menikmati tulisan dan hanya sesekali menulis di antara pekerjaan harian mereka yang membosankan. Sangat menarik untuk mempelajari bahwa para anggota BuMa adalah sebuah kumpulan yang sangat beragam: para pemilik warung internet, pegawai bank, seorang pramuniaga untuk perusahaan distributor udang, seorang staf perusahaan asuransi, selain juga para copywriter, para desainer grafis, dan para pekerja lain dari industri kreatif yang sudah bisa diduga. 

Saya ingat bahwa sejak tahun-tahun awal, kami memiliki keingintahuan alami untuk mengenal orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama dalam puisi dan sastra pada umumnya. Kami juga meluaskan jaringan kami, bergabung dengan berbagai milis sastra dan menghadiri ajang-ajang dan diskusi sastra. Kami bertemu dan berbincang dengan para penulis yang menarik, para aktivis sastra, dan para penggemar buku, yang termasuk Wien Muldian, Olin Monteiro, Richard Oh, Joko Pinurbo, Saut Situmorang, dan Katrin Bandel. Rumah Dunia (diorganisir oleh Gola Gong di Serang), dan para tokoh termasyhur seperti Teater Utan Kayu (TUK) Goenawan Mohamad/Salihara dan Yayasan Lontar milik John McGlynn. 

Setelah beberapa waktu, kami semakin akrab dengan pemetaan yang ada dan, tentunya, politik sastra negara kami. Salah satu yang paling memilukan adalah mengetahui bahwa di awal 90an, salah satu yang harus dilakukan oleh seorang penulis pemula yang ingin maju dalam karirnya atau menerima kesempatan pendanaan atau meraih visibilitas, adalah dengan berada dekat sekali dengan sebuah kelompok kecil tertentu, khususnya TUK dan jaringannya. 

Tentu saja ada kritikan dan protes yang dilontarkan pada perkumpulan kuat ini. Tapi, karena mereka juga secara praktis “mengkurasi” halaman-halaman sastra di koran-koran nasional terbesar (pada saat itu adalah saluran paling bergengsi bagi para penulis Indonesia), mereka lebih dari mampu untuk membatasi oposisi mereka di internet; sebuah alam dan medium yang mereka anggap sebagai “tong sampah”, lokus diskusi tidak penting, untuk menjaga otoritas mereka selain membungkam suara-suara pengkritik mereka—di mana pada saat yang sama duduk di kursi pengemudi untuk mengendalikan “selera” sastra bangsa, memutuskan sastra jenis apa yang bisa dianggap berharga akan pengakuan nasional dan/atau internasional. 

Para penjaga gerbang sastra ini memiliki kekuatan untuk “menghapus” para penulis yang mereka anggap tidak cocok ke dalam narasi politis dan imajinasi mereka tentang wujud sastra Indonesia yang seharusnya. Salah satu penjaga gerbang sastra ini adalah Goenawan Mohamad, seorang operator (sastra)-politik cerdik yang menjalankan TUK, kini Salihara. Internet adalah situs di mana kelompok oposisi atas Goenawan pertama berkembang. Dua dari para kritikus yang vokal akan kelompok TUK adalah penyair Saut Situmorang dan kritikus Katrin Bandel, yang pada suatu masa merupakan tokoh polisi baik-polisi jahat dalam sastra Indonesia. 

IRL, buku penting almarhum Wijaya Herlambang berjudul “Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film”—mengikuti jejak buku “Who Paid the Piper?: the CIA and the Cultural Cold War” karya Frances Stonor Saunders—menunjukkan bagaimana Goenawan bisa jadi telah menerima bantuan dari Kongres Kebebasan Budaya (Congress for Cultural Freedom/CCF), sebuah organisasi filantropis yang dibentuk oleh Central Intelligence Agency (CIA) pada 1950, dalam upaya-upayanya untuk menyetir arah sastra Indonesia setelah 1965, saat banyak penulis kiri Indonesia—termasuk Pramoedya Ananta Toer—dibui, diasingkan, atau dibunuh. 

Dalam sebuah artikel di IndoProgress, filsuf dan novelis Martin Suryajaya menggali arsip-arsip di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin dan menemukan berbagai korespondensi antara Goenawan dan Ivan Katz, perwakilan Program Asia. Martin menyebut Katz sebagai “manajer politis” Goenawan dan menunjukkan surat-surat di mana Katz menginstruksikan Goenawan untuk menulis pamflet-pamflet mengkritisi kegiatan-kegiatan kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Saya tidak menyalahkan para penulis yang telah memutuskan untuk bersekutu dengan TUK/Salihara karena saya menyadari bahwa akses pada sumber-sumber finansial, atau sumber daya apapun di Indonesia, dibatasi untuk sekumpulan kecil kalangan istimewa. Hal ini membuat saya frustrasi karena melihat orang-orang di kekuasaan ini mengeksploitasi kemiskinan banyak penulis Indonesia untuk menopang pandangan sempit mereka tentang bagaimana wujud sastra Indonesia seharusnya. 

Kini yang semakin membuat frustrasi adalah bahwa pemerintah akhirnya menyediakan pendanaan publik untuk program-program sastra, tapi akses ke pendanaan itu masih sedikit banyak dikendalikan oleh para penjaga gerbang ini. 

Dalam salah satu malam open mic BuMa (sebelum istilah open mic masuk dalam leksikon kita sehari-hari), kami terkejut mendapati sebuah artikel di Republika, salah satu koran terkemuka Indonesia, berjudul “Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah?” pada terbitan 29 April 2001. Artikel itu ditulis oleh Ahmadun Yosi Herfanda, editor koran itu, dan salah satu argumennya adalah bahwa puisi-puisi dari internet adalah puisi-puisi yang ditolak oleh koran-koran. 

Saya merasa terhina secara personal. Pemikiran muda saya berkata bahwa media internet dan cetak adalah tidak lebih dari sebuah medium. Karya-karya yang tampil di kedua media layak untuk dipuji atau dikritisi dengan adil. Tapi Ahmadun memilih untuk menjadi salah satu penjaga gerbang itu; yang menghentikan kemungkinan-kemungkinan para penulis mengeksplorasi internet sebagai sebuah panggung dan teknologi, sebagai sebuah medium untuk menciptakan tulisan-tulisan yang menguji batas-batas dari teknologi dan sastra itu sendiri.

Cara berpikir bahwa mereka memiliki hak untuk menaruh para penulis dalam kotak-kotak: sastra koran vs sastra maya, adalah manifestasi sesungguhnya dari ketidaksetaraan 2.0!

***

Sastra adalah salah satu dari banyak bentuk seni yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan cerita-cerita akan kesedihan kita, harapan, sukacita, dan penderitaan. Ada banyak cara bagi kita untuk menyampaikan cerita-cerita. Sastra seharusnya memungkinkan para penulis dan pembaca untuk melihat berbagai kemungkinan kehidupan sebagai seorang individu dan sebagai bagian dari sebuah keluarga atau komunitas, di kancah nasional dan global. Sastra seharusnya memberdayakan kita untuk mengenali penderitaan kita dan ketidaksetaraan yang berdasarkan keyakinan, norma-norma, kelas, ras, orientasi seksual, dsb. Sastra seharusnya memampukan kita untuk melihat dinding-dinding di antara kita yang telah diciptakan oleh ketidaksetaraan, dan memberikan kita kekuasaan untuk meruntuhkannya. 

Tapi jika sastra tidak membuat kita mampu untuk melakukan salah satu dari hal tersebut di atas, menurut saya, kita sebagai para penulis dan pembaca sama-sama bersalah melestarikan dinding-dinding tersebut.

Menulis, di antara berbagai hal lainnya, adalah sebuah tindakan mengakui/mendokumentasikan/merefleksikan/mempertanyakan kenyataan seseorang. Itulah mengapa sangat penting bagi para penulis untuk menggali lebih dalam ke diri mereka sendiri dan tempat atau situasi di mana mereka berada, sehingga mereka bisa mengerti diri sendiri dengan lebih baik dan memiliki kemampuan untuk menemukan suara mereka dan mengetahui cara menggunakan suara mereka. Saya percaya saat mereka mengenali dirinya sendiri, karya-karya mereka akan mewakili pandangan unik mereka tentang dunia. 

Seperti ukuran negara kita, kontur tanahnya, dan beragam etnis yang menyusun populasi kita, lanskap sastra Indonesia selalu luas, bervariasi, dan beragam. Untuk mencapai dan merawat kesetaraan, keberagaman, dan kebebasan berpendapat bagi seluruh penulis Indonesia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, tanpa mengesampingkan ras mereka, agama, kelas sosial, gaya dan bentuk penulisan, daerah asal, bahasa ibu, bahasa dan dialek, dan tentu saja, pandangan politik; kita perlu mengakui mereka seluruhnya sebagai bagian-bagian yang terlihat dari sejarah sastra bangsa kita. Hanya mempromosikan sekumpulan penulis di berbagai festival nasional dan internasional atau residensi, adalah tindakan penghapusan yang kejam. 

Representasi internasional akan sastra Indonesia telah didominasi oleh Yayasan Lontar milik John McGlynn. Menurut sebuah artikel berjudul “John McGlynn: The uphill climb for Indonesian literature” (Jakarta Post, 11 September 2017), yayasan tersebut “didirikan pada 1987 oleh McGlynn, yang awalnya datang ke Indonesia untuk mempelajari seni wayang pada 1977, selain mempelajari para penulis terkemuka Indonesia seperti Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Umar Kayam.”

Artikel tersebut menyebutkan bahwa “yayasan tersebut didirikan sebagai sebuah cara untuk menerjemahkan sastra Indonesia bagi pasar-pasar luar negeri” tapi “yayasan itu… kini menerapkan proses seleksi yang lebih ketat untuk memilih karya-karya sastra yang mereka terjemahkan.”

Seperti apa itu “seleksi lebih ketat”? Kriteria apa yang digunakan Lontar untuk menyeleksi karya-karya yang mereka pilih untuk diterjemahkan? Seperti apa proses kuratorialnya? Apakah seluruh proses tersebut pernah diumumkan pada publik?

McGlynn dan Goenawan keduanya tergabung dalam Komite Buku Nasional yang mengatur partisipasi Indonesia dalam festival-festival buku internasional seperti Frankfurt Book Fair dan London Book Fair; seberapa banyak hak yang mereka miliki dalam memutuskan penulis mana dan karya mana yang akan “dijual” di pameran-pameran? Apakah mereka memiliki kesetaraan dalam pikirannya saat membuat keputusan-keputusan ini?

Namun, hal yang menarik setelah eksistensinya selama 32 tahun, tidak satupun penulis yang telah diterjemahkan oleh Lontar berhasil meraih tawaran besar untuk menulis buku di luar negeri. Penulis Indonesia yang paling terkenal di panggung internasional saat ini, Eka Kurniawan, mendapat tawaran-tawaran awal untuk menerbitkan buku (lewat New Directions dan Verso) melalui upayanya sendiri yang persisten untuk menerjemahkan karyanya dan membawanya dalam forum-forum diskusi di luar negeri. 

Dengan mempertimbangkan rekam jejak ini, lalu mengapa McGlynn masih dipercaya untuk menjadi kepala kontingen Indonesia de facto di berbagai pameran buku internasional tersebut? Jika para penulis Indonesia masih kesulitan untuk menembus pasar internasional, apakah itu salah internet, atau salah dari para perantara sastra seperti McGlynn?

Semakin saya membaca artikel itu, semakin saya merasa tidak nyaman. McGlynn mengklain bahwa “banyak hal yang ditulis oleh orang Indonesia dalam bahasa Inggris cenderung terasa datar.” Sebenarnya, banyak penulis Indonesia yang telah menulis puisi-puisi yang luar biasa dan sukses dalam bahasa Inggris. Banyak orang Indonesia yang telah meraih gelar sarjana di negara-negara berbahasa Inggris, atau merupakan keturunan kedua orangtua penutur bahasa Inggris, dan telah terpapar pada buku-buku, lagu-lagu, berbagai film dan konten media sosial di internet (!) nyaris setiap hari dalam bahasa Inggris. 

Beberapa penulis, termasuk saya sendiri, membagikan pemikiran-pemikiran kami tentang pernyataan McGlynn dalam “Is Indonesian Literature Written in English Still Indonesian Literature?” (Jakarta Globe, 12 April 2018). Kami semua setuju bahwa, walaupun kami menulis dalam bahasa Inggris, karya-karya kami masih menjadi bagian dari sastra Indonesia. 

Dari sudut cara pandang pascakolonial, codeswitching atau alternasi bahasa bukanlah sebuah halangan, namun sebuah keistimewaan yang dapat digunakan untuk keuntungan kita: hal ini memberikan kita sebuah strategi lain untuk menulis perlawanan pada Empire. 

***

Bagi penulis seperti saya, anak-anak internet, sangatlah membingungkan jika sebuah mimbar bergengsi seperti Jakarta International Literary Festival, yang digagas oleh salah satu institusi seni paling prestisius di Indonesia, masih saja (di tahun 2019!) mengkritisi internet dengan berspekulasi bahwa “internet masih belum mampu menyamakan lapangan permainan dalam hal mendapatkan karya-karya para penulis dari negara-negara asing maupun berkembang untuk menembus pasar internasional.”

Saya masih bingung melihat bagaimana para elite kini menuntut agar internet, yang belum lama lalu mereka kecam sebagai sebuah tong sampah—saya tidak akan bosan mengingatkan mereka tentang fakta ini berulang kali—harus bertindak sebagai penyelamat mereka, sebagai satu-satunya panggung yang dapat meluncurkan karier internasional mereka! Saat hal ini belum juga terjadi, mereka menuduhkan kecurangan dan menyalahkan internet karena gagal memenuhi janji-janjinya (yang tidak pernah dijanjikan). 

Jadi apakah internet, wahai arus utama sastra Indonesia, tong sampah atau penyelamatmu? Pilih salah satu.

Namun, biarkan saya sampaikan, bahwa apapun yang terjadi bukanlah dan tidaklah akan pernah menjadi kesalahan internet. 

Negara-negara Selatan seperti Indonesia, dalam dunia neokolonialis yang kita hidupi sekarang, menghadapi ketidaksetaraan dalam berbagai bentuk, termasuk ketidaksetaraan dari pasar buku global. Tapi, alih-alih memanipulasi mereka untuk menjadi keuntungan kita—seperti yang telah dilakukan Hallyu—kadang kita hanya tersangkut pada debat tanpa akhir tentang siapa atau bagaimana kita ingin sastra kita direpresentasikan di panggung internasional. 

Percakapan-percakapan yang perlu tentang identitaas, ideologi, keterwakilan, pemosisian, dan kaitan-kaitan kuasa antara Barat dan Timur (dan Selatan) telah terjadi, tapi kita masih rentan tersandung ke dalam jebakan-jebakan untuk mengeksotiskan diri kita guna menarik sebuah pasar yang boleh dibilang masih dikendalikan oleh Barat.

Karena itu, adalah sangat mengkhawatirkan saat John McGlynn, dalam artikel Jakarta Post yang telah sebelumnya saya diskusikan, mengatakan: “Para penerbit tidak mencari Anda, mereka mencari Indonesia.” Apakah ia menyiratkan bahwa para penulis Indonesia harus mengabaikan ekspresi diri kami sendiri, tentang seni dan keterampilan menulis yang telah diasah bertahun-tahun oleh sebagian dari kita, tentang kisah-kisah dan kekhawatiran-kekhawatiran kita sendiri, dan sebaliknya mencukupkan diri kita sendiri dengan menjadi informan-informan setempat bagi pasar buku internasional? 

Kita perlu mengingatkan diri kita sendiri bahwa lapangan permainan sastra Indonesia belum pernah setara. Jika kita ingin melawan ketidaksetaraan, kita harus memulai di halaman belakang kita sendiri. Sebuah representasi adil dari sastra Indonesia tidak akan pernah hadir selama para elite yang mengklaim diri mereka sendiri sebagai para penjaga gerbang sastra negara ini terus mengkotak-kotakkan para penulis dan karya-karyanya menjadi yang sesuai dengan selera mereka—yang telah dengan strategis mereka propagandakan melalui media nasional dan internasional, berbagai festival dan penghargaan—dan yang tidak sesuai. 

Tepat sebelum London Book Fair 2019, di mana Indonesia menjadi market focus, sebuah percakapan di Twitter—dimulai oleh Tiffany Tsao, Norman Erikson Pasaribu, Madina Malahayati Chumaera, Theodora Sarah Abigail, Intan Paramaditha, dan Mikael Johani—tentang cara-cara problematik di mana sastra Indonesia digambarkan oleh para penjaga gerbang di atas menjadi agak viral. 

Tidak lama, Theodora menerbitkan sebuah esei tentang isu tersebut di Jakarta Globe. Eka juga menyampaikan pemikirannya tentang hal ini di laman Facebook miliknya. 

Kritik ini bukanlah hal baru. Banyak dari pada pendahulu dan rekan sezaman mereka telah meneriakkan kekhawatiran-kekhawatiran yang sama, tapi mereka tidak berhasil memenuhi KPI yang dibutuhkan untuk terus menggulirkan bola tentang topik ini. 

Saya juga berpendapat bahwa aksi-aksi mereka dan reaksi audiens mereka adalah bukti bahwa, dalam dunia di mana semakin banyak orang diberdayakan untuk melawan balik para penindas mereka, maka semakin banyak pula penulis Indonesia yang juga mengklaim (kembali) hak-hak mereka, menggunakan media sosial (internet) bukan hanya sebagai sebuah panggung untuk mempromosikan tulisan dan pengaruh mereka, tapi juga sebagai sebuah alat perlawanan. 

Walaupun saat ini riak (Twitter) yang mereka ciptakan telah surut, ini tidak berarti perlawanan telah berakhir. Saya telah melihat para penulis dan karya-karya kolektif dan kolaborasi di luar skena sastra arus utama untuk menciptakan ruang dan ide-ide mereka sendiri tentang bagaimana wujud sastra Indonesia seharusnya. 

Estetika BuMa, mengutip pengalaman saya sendiri, banyak dipengaruhi oleh skena indie tahun 90an dan budaya bawah tanah. Beberapa anggota awal kami mengidentifikasi diri mereka dengan gaya hidup dan semangat punk/DIY (Do It Yourself), baik dalam busana maupun cara berpikir. Setelah menolak tawaran Salihara untuk menggelar ajang open mic kami sendiri di tempat mereka, kami menyadari bahwa kami akan melakukan pekerjaan kami sendiri, dalam hal pendanaan dan visibilitas. Mengingat ini lagi, saya lega bahwa kami tetap setia pada ungkapan, “Jika kamu tidak bisa menemukan apa yang kamu sukai, lakukanlah sendiri.”

BuMa kemudian mengadakan banyak kolaborasi dengan kelompok-kelompok lain, LSM, UNICEF, dan pusat kebudayaan Prancis untuk membawa puisi ke publik yang lebih luas. Kami mengadakan ajang open mic di stasiun kereta Gambir, mengadakan flash mob di sebuah bioskop (termasuk menempelkan puisi-puisi di kubikel toilet tempat itu—secara literer sebagai tempat di mana orang membuang sampah mereka), sebuah kompetisi menulis puisi untuk anak-anak (para pemenang membawakan puisi-puisi mereka bersama seorang pantomim Prancis di Taman Menteng), sebuah workshop puisi bersama Jurnal Perempuan, dan sebuah pergerakan kecil untuk meninggalkan sebuah puisi yang tertulis di secarik kertas di transportasi publik dan tempat-tempat publik, sehingga penumpang taksi berikutnya atau orang yang duduk berikutnya di sebuah kafe setelah Anda akan membacanya. 

Saya terberkati karena dikelilingi oleh orang-orang yang percaya bahwa puisi adalah milik kita semua. Dua tahun lalu, kami menciptakan sebuah pentas baru untuk para penulis dari latar belakang berbeda dan dari berbagai tahapan karir untuk menampilkan karya-karya mereka, dan sejak itu saya merasakan kebahagiaan saat melihat berlimpahnya talenta-talenta muda setiap bulan di Paviliun Puisi, satu-satunya malam open mic bulanan di Jakarta. 

Para penulis urban muda ini—yang rutin mendatangi tempat kami dan menulis tentang kenyataan menyedihkan bekerja untuk perusahaan-perusahaan multinasional, yang mewajibkan mereka untuk tampil sempurna, namun masih hidup dengan gaji pas-pasan; perjuangan mereka untuk menyembunyikan dan memamerkan identitas seksual mereka; stigma seputar kesehatan dan kesakitan fisik dan mental mereka; perjuangan mereka melawan nilai-nilai patriarki dalam keluarga mereka, tempat kerja, lingkungan teman-teman; beban-beban untuk meraih sukses saat mereka tidak memiliki akses akan pendidikan yang layak; dan seterusnya. 

Mereka sangat cerdas menggunakan internet, sangat terpengaruh oleh apa yang mereka sukai atau tidak sukai di Instagram, Twitter, Netflix, Spotify, dan mampu untuk dengan cerdik mengikutsertakannya dalam karya-karya mereka. Banyak dari mereka yang juga menggunakan kosa kata sehari-hari, idiom-idiom populer, campuran bahasa Inggris dan Indonesia—suatu hal yang masih dianggap tidak puitis oleh para penghuni bangunan sastra Indonesia yang lebih konservatif. Mereka juga telah berkolaborasi dengan para musisi, para seniman visual, kelompok teater, penari, dan DJ. Setelah mengamati satu demi satu penampilan mereka, saya merasa justru para penguasa sastra itulah yang rugi tidak bisa menyaksikan dan mengapresiasi variasi-variasi dari gaya dan tema yang diciptakan para penulis muda ini. 

Para penulis yang saya sukai sekarang ini termasuk tapi tidak terbatas pada Ratri Ninditya, Kezia Alaia, Mikhael Ray, Syarafina Vidyadhana, Rara Rizal, Farhanah, Edo Wallad, Waraney Herald Rawung, Yoshi Fe, Catharina Dwiyandani, Kafiel Alawy, Puri Dewayani, Malkan Junaidi, Y. Thendra BP, dan Arie Saptaji. 

Beberapa di antara mereka telah mendapatkan tawaran penerbitan dari para penerbit besar, beberapa lainnya memutuskan bergabung dengan penerbit independen, sebagian lagi masih mengerjakan manuskrip-manuskrip mereka, dan saya bahkan menduga bahwa beberapa dari mereka tidak merasa penting untuk dipublikasikan. Tapi mereka memiliki karya penulisan penting yang tidak bisa dihiraukan oleh siapapun yang mau belajar lebih tentang puisi Indonesia.

Pertukaran-pertukaran puitis yang terjadi setiap bulan di Paviliun Puisi juga menunjukkan pada saya bahwa dialog antargenerasi, baik daring dan IRL, harus dirawat. Sebagai seseorang yang merasa telah berinvestasi dalam sastra Indonesia dan telah mencoba menggunakan keistimewaan yang telah saya raih untuk menyamakan lapangan permainan—tidak hanya membuatnya semakin mudah diakses untuk para pembaca buku domestik tapi juga, terutama, untuk mengamplifikasi suara-suara para penulis, baik yang berisik maupun yang lemah lembut—selama 19 tahun terakhir, saya telah mencoba untuk bicara pada, dan terlibat dengan, sebanyak mungkin orang dalam industri sastra dan buku. 

Saya menyadari bahwa kini ada beberapa generasi yang memenuhi lapangan: 60an hingga 70an, 80an hingga 90an, dan tahun 2000an hingga 2010an. Saya mengerti bahwa mereka semua pasti memiliki opini dan kekhawatiran berbeda.

Namun, dalam pengamatan saya, situasi saat ini masih memperkenankan budaya usang patronisasi untuk kembali unjuk muka. Adalah sebuah hal alami untuk belajar dari seseorang yang kita anggap lebih berpengalaman. Tapi hal ini terbukti sangat problematik karena skena yang ada telah semakin terfragmentasi dan, dengan demikian, berisiko untuk dikendalikan oleh kelompok penulis elitis, yang, sebaliknya, mempromosikan penyebaran kesempatan-kesempatan dan pendanaan yang tidak setara. 

Selama beberapa tahun terakhir, sejak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mulai menyediakan dana-dana hibah untuk menerjemahkan karya-karya Indonesia melalui sebuah program bernama LitRI yang dikelola oleh Komite Buku Nasional, yang para anggotanya termasuk Goenawan Mohamad dari Salihara, John McGlynn dari Lontar dan juga para perwakilan dari penerbit-penerbit besar Indonesia, jadi sangat jelas bahwa mereka telah mempromosikan para penulis yang itu-itu lagi di berbagai pasar buku internasional dan bahkan dengan bebas memberikan pendanaan pada proyek-proyek mereka sendiri. 

Menurut saya, “konflik kepentingan” adalah cara yang baik dan sederhana untuk menggambarkan situasi ini. 

Kolusi dan patronisasi seperti itu harus berakhir. Sebagaimana dikatakan Pramoedya Ananta Toer: “Seseorang yang berpendidikan akan adil dalam pemikirannya, apalagi dalam perbuatan-perbuatannya.” Semua penulis, selain juga seniman dari beragam disiplin, harus dipertimbangkan menurut kecakapan mereka dan bukan dari bagaimana terkait(atau tidak)nya mereka dengan kekuasaan. 

Saat ini, saya tidak bisa mengatakan bahwa saya optimistis. Namun begitu, pergerakan-pergerakan akar rumput dan arus samping terus berkembang. Banyak penulis muda Indonesia semakin sadar politik, pandai bicara, banyak akal, dan ingin tahu akan sejarah bangsa dan sastra mereka. Mereka yang memiliki kemewahan-kemewahan pendidikan, jaringan, pengikut di media sosial, dan/atau uang sehingga bisa meluangkan waktu untuk berpikir tentang seni dan pergerakan mereka kebanyakan mampu menggunakan kemewahan-kemewahan ini tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk teman-teman sebaya mereka yang tidak mendapatkan kemewahan-kemewahan tersebut. 

Karena hal ini, kadang-kadang di suatu malam saya berani bermimpi bahwa akan datang masanya di mana sastra Indonesia, baik itu dilahirkan di sebuah kota besar, desa terpencil, dalam buku harian seseorang, dalam sebuah aplikasi di ponsel cerdas, dan lalu diterbitkan atau didistribusikan melalui media sosial atau oleh sebuah penerbit besar maupun independen, akan merefleksikan kekayaan bangsa selain juga mencatat dan menebus dosa-dosa para penjaga gerbang sastranya. 

Dalam sebuah dunia yang ideal, saya ingin melihat sastra arus utama, para penerbit besar, dan himpunan-himpunan kebudayaan dapat hidup dengan berbagai kolektif indie, bawah tanah, dan arus samping untuk menciptakan, memenuhi, dan berkembang bersama di ekosistem sastra Indonesia. Bukan dengan mengkooptasi atau “menghadiahi” penulis dan/atau komunitas yang “lebih kecil”, atau dengan mengikutkan mereka dalam sebuah, misalnya, festival sastra yang “bergengsi” dan “mewah” (sayangnya, JILF adalah salah satu contohnya) sebagai penghibur-penghibur pinggiran, tapi dengan bekerja bersama mereka sebagai pembuat keputusan yang setara dan sebagai perwakilan dari masing-masing estetika dan ideologi mereka. 

Ketidaksetaraan di internet hanyalah ekses dari ketidaksetaraan di semua aspek kehidupan dalam sebuah masyarakat yang memang tidak adil. Masyarakat yang selalu tidak adil secara sistemik, baik kita hidup dalam era 2.0 atau 4.0. Mari kita tidak menutup-nutupi kenyataan dan mulai membuka mata kita akan ketidakadilan yang mencolok yang telah menodai bangsa kita selama berabad-abad. Selama skena sastra kita masih bergantung pada patronisasi dan kolusi, mari bersiap untuk fajar Ketidaksetaraan 5.0. 

*diterjemahkan dari versi asli berbahasa Inggris “Inequality 4.0 or Simply Inequality” oleh salah satu atau banyak dari Dean Benitez, Felicca Patricia Madiadipura, Isyana Artharini, Yoga Prasetyo Lordason, atau Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie untuk panel berjudul Inequality 4.0 di Jakarta International Literary Festival (JILF) 2019; ditambah dengan revisi minor yang berhubungan dengan tata bahasa, dan kesalahan tulis di teks sumber

RADEN MANDASIA: DONGENG CAMPURSARI RASA MAJAPAHIT

Pesan Pembuka:

Saya prihatin, sedih, dan tentunya terganggu mendengar kisruh paling mutakhir di antara penulis dan penyair Indonesia. Ketidaksetaraan gender dan seksisme adalah hal-hal yang masih saja menjadi masalah dalam struktur kesusastraan Indonesia. Saya berterima kasih kepada kawan-kawan yang sudah menyuarakan pendapat. Opini saya sendiri sudah terwakilkan oleh beberapa dari kalian.

Ini mengingatkan saya kalau saya berutang untuk membagikan unedited version dari review “Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi” karya Yusi Avianto Pareanom yang pernah terbit di Majalah Tempo Edisi 4 Juli 2016. Versi online-nya bisa diakses di sini.

Kebetulan saya memang sudah cukup lama mengenal Mas Yusi. Sejak awal 2000an, ketika saya masih aktif di Komunitas BungaMatahari (BuMa). Kalau tidak bertemu di acara-acara sastra, ya saat nongkrong di Coffeewar. Di acara yang lebih formal, ia mengundang saya jadi pembicara di sesi Inequality 4.0 JILF 2019. Oya, Mas Yusi juga ada di grup WhatsApp Residensi Penulis Indonesia (sebuah proyek bermasalah yang kapan-kapan akan saya bicarakan) Angkatan 2019 (((angkataaan))). Ya, karena ia termasuk sastrawan yang lolos seleksi. Intinya, sih, kami saling tahu posisi masing-masing di dunia persilatan sastra Indonesia. Dengan kata lain, bisa ngopi bareng tapi sering tidak sejalanterutama ketika Mas Yusi makin dekat dengan kekuasaan dan bahkan menjadi bagian dari kekuasaan tersebut. 

Jadi, ketika diminta membahas “Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi”, saya cukup kaget karena dari konten promosi dan kutipan-kutipan yang diangkat, dugaan saya adalah buku itu bukan secangkir teh yang cocok untuk saya (berusaha mengikuti gaya Mas Yusi mengadaptasi idiom luar negeri). Lalu, kok saya terima permintaan tersebut?

Kita semua tahu khalayak pembaca Mas Yusi sudah sangat luas, dan ia pun berpengaruh dalam mengorbitkan karir sejumlah penulis muda. Saya mengiyakan karena saya merasa perlu menawarkan pembacaan berbeda terhadap novel tersebut sekaligus mencoba menyampaikan langsung kepada penulisnya (saya kan bacanya setelah novelnya selesai ditulis, bukan sebelumnya) kalau karyanya sungguh bermasalah. Lucunya, setelah saya mengatakan kalau saya merasa tidak nyaman dengan isi novel Mas Yusi, Yandri sebagai moderator, malah bertanya, kurang lebih begini: “Tapi, Mbak Anya gak terganggu kan bacanya?” *facepalm*

Lalu, saya berpikir, masalah ini tidak cukup diperbincangkan dalam acara 1-2 jam atau ulasan yang terikat jumlah karakter. Apalagi tak lama kemudian novel ini memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa 2016, yang menunjukkan bagaimana para penentu selera di dalam kesusastraan Indonesia lebih banyak berpihak pada karya laki-laki yang seringkali melanggengkan nilai-nilai patriarkal dan heteronormatif. Soalnya, kalau menurut saya, seksisme sistemik dan manifestasi ketidakadilan lainnya tak hanya berlaku di dalam “daftar-daftar” dan “penghargaan-penghargaan” yang ada di skena sastra Indonesia, tetapi juga punya potensi merembes ke dalam karya-karya yang dihasilkan di dalamnya, bahkan karya-karya yang paling digadang-gadang sekalipun.

Makanya, saya ingin membayar utang tersebut sekarang. 

~~~

RADEN MANDASIA: DONGENG CAMPURSARI RASA MAJAPAHIT

Novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom, pemenang penghargaan Kusala Satra Khatulistiwa 2016 yang di sampul depannya berlabel “sebuah dongeng” ini, mencampur aduk beragam unsur kultur pop mulai dari tahun 1960an sampai sekarang. Cerita silat Kho Ping Hoo dan Jaka Sembung; karakter Tintin, Kapten Haddock, bahkan si anjing Snowy (Milo di terjemahan versi terkini); referensi dari Asterix dan Obelix; kisah Nabi Isa dan Nabi Yunus yang dicampursari/mash-up dengan Pinokio dan Moby Dick; film laga 300 dan masih banyak lagi. 

Dengan ketangkasan dan kecerdikan Yusi bersilat kata, pamer wawasan jadi bumbu cerita yang sedap. Tidak hanya dialog antar karakter yang terasa hidup, adegan demi adegan di dalam buku ini diceritakan dengan sangat lancar dan sinematik sehingga menimbulkan keasyikan membaca. Ini sudah terasa sejak halaman pertama ketika kita berkenalan dengan Raden Mandasia dan Sungu Lembu—nama yang terakhir tokoh utama sekaligus narator buku ini. 

Salah satu motif yang juga dipakai Yusi untuk menebar pesona kepada pembacanya adalah makanan. Berbagai jenis makanan dari berbagai penjuru dunia antah berantah yang diciptakannya mendapat porsi yang istimewa di buku ini. Tentang daging sapi buatan Raden Mandasia misalnya: “… daging-daging yang cukup dibakar dua sisi sebentar saja sampai setengah matang supaya keempukannya terjaga sehingga lumer saat digigit…” (hal. 20). Dan tentang masakan bibinya, Nyi Banyak: “… setiap harinya selalu enak, mulai sukun goreng, ketan serundeng, pecel kembang turi yang sambalnya pedas legit, sampai nasi kuning gurih dengan ayam bakar tulang lunak ditambah sambal goreng hati… (hal. 85). Semua ini membuat saya seperti menonton acara-acara kuliner Andrew Zimmern dan Anthony Bourdain yang berkeliling dunia sembari mencicipi makanan-makanan setempat yang unik sekaligus sedap. Semakin saya mengikuti sepak terjang Sungu Lembu dan Raden Mandasia, saya kadang merasa mereka seperti duo foodie snob dan travel junkie dari zaman Majapahit yang keluar dari saluran televisi gaya hidup. 

Gaya campursari itu diramu Yusi secara halus dan dengan teknik menulisnya yang hampir tanpa cela, saya tak heran banyak pembacanya yang mengklaim bisa melahap buku ini hanya dalam semalam atau dua. Pilihan Yusi menulis dengan gaya seperti itu juga membuat saya dengan girang menjuluki karya ini sebagai sebuah “babad milenial”. Yusi melakukan campursari antara tokoh-tokoh dari dongeng masa lalu dan dongeng masa kini dengan memukau. Bahkan Yusi mengadon pemikiran rasional dan takhayul di dalam maupun di antara karakter-karakternya, sebuah siasat yang sungguh canggih.

Tapi, ada yang mengusik saya, yaitu karakter Sungu Lembu (dan kebanyakan karakter laki-laki lainnya) yang terlampau macho dan seksis. Dalam sebuah diskusi di peluncuran buku ini—di mana saya jadi salah satu pembicaranya—Yusi mengatakan kalau Sungu Lembu memang sengaja ia bentuk menjadi karakter anak muda yang politically incorrect untuk menggulirkan cerita. Ini memang sepenuhnya hak Yusi sebagai penulis, tetapi sampai sekarang saya masih mempertanyakan sekaligus menyesali, mengapa Yusi mengambil keputusan itu—apalagi karena Yusi juga dikenal sebagai pengajar kelas penulisan kreatif yang sudah menelurkan sejumlah penulis muda. Sayang sekali kalau itulah warisan yang ingin ia turunkan kepada murid-murid dan pembaca-pembaca mudanya. 

Sudah banyak sastrawan dunia yang menulis ulang atau mencuri dongeng-dongeng yang sudah familiar di kalangan pembaca mereka untuk kemudian didaur ulang menjadi dongeng yang baru. Tetapi, mereka melakukannya dengan maksud yang jelas, misalnya untuk melawan nilai-nilai moral yang berlaku pada masa itu. Salah satu contoh yang lebih spesifik misalnya untuk melawan nilai-nilai patriarki yang menindas dan membatasi gerak-gerik perempuan, seperti yang dilakukan Angela Carter lewat kumpulan ceritanya yang berjudul The Bloody Chamber. Buku ini bahkan dianggap tidak hanya menulis ulang tetapi juga memanfaatkan motif-motif dongeng untuk lebih jauh mengeksplorasi bagaimana laki-laki dan, terutama, perempuan menemukan atau kehilangan diri mereka. 

Yang jelas, kalau dibandingkan dengan The Bloody Chamber, buku ini lebih mengeksplorasi kehidupan laki-laki yang heteronormatif, khususnya laki-laki ABG seksis seperti Sungu Lembu, karena ialah narator di cerita ini. Hasilnya, saya sebagai pembaca, suka atau tidak, harus melihat dunia di dalam buku ini lewat mata Sungu Lembu. Karakter-karakter perempuan di buku ini, mulai dari yang berperan kecil maupun besar, dilukiskan sebagai hidangan yang sama sensualnya seperti makanan-makanan yang disantap Sungu Lembu dan Raden Mandasia. Semua perempuan beragam rupa, bentuk, asal usul, profesi tak lain dan tak bukan berfungsi untuk melayani selera kedua lelaki tersebut. Atau sebaliknya, perempuan-perempuan itu begitu anggun dan suci sehingga memuaskan mata mereka dan/atau karakter laki-laki lainnya. Ya, tetap saja sebagai tontonan bahkan suguhan (seperti daging sapi!). 

Saya sangat berduka mengikuti perjalanan hidup perempuan-perempuan di dalam buku ini. Saya tidak bisa menghitung lagi berapa banyak perempuan yang berpengaruh di dalam kehidupan Sungu Lembu, tetapi kelihatannya hanya sedikit yang bertahan muncul cukup lama dan berumur panjang. Di dalam novel sepanjang 450 hal ini, perempuan-perempuan itu menghabiskan kebanyakan hidup mereka di dalam ruangan, mulai dari dapur, ruang tamu, rumah judi, dan tentu saja kamar tidur.  

Nyai Manggis adalah salah satu karakter perempuan ‘kuat’ di dalam kisah ini, tetapi kekuatannya tetap saja digambarkan bersumber dari kecantikan paras dan tubuhnya. Boleh saja memang memandang kedua hal tersebut sebagai kekuatan perempuan, tetapi apakah kekuatan perempuan hanya itu? 

Nyai Manggis mendapat banyak sekali perlindungan dari laki-laki. Ia bisa mencapai posisi yang disegani sebagai pemilik rumah dadu dan pejuang bawah tanah melawan kekuasaan rezim Watugunung—karena laki-laki. Hal ini diakui Nyai Manggis sendiri ketika ia menyadari ternyata ia mencintai Bandempo karena laki-laki itu ”menghormati dan memberinya kepercayaan” (hal. 154). Ini mungkin bisa dibaca sebagai kecerdikan dan kepanjangakalan Nyai Manggis dalam menggunakan privilesenya walaupun privilese itu datang dari laki-laki yang memiliki banyak privilese juga. Tetapi, ajalnya yang terlalu sederhana membuat saya meragukan pembacaan itu. Hanya karena sebuah teriakan gemulai, habislah peran Nyai Manggis yang menurut Yusi di dalam diskusi sukaria kami malam itu, “progresif”. Progresif? Kok, tiba-tiba saya ingin bernyanyi, “Waniii ta diii jajaaah pria sejak dulu…

Tokoh perempuan yang sebenarnya menjadi favorit saya adalah Parwati, salah satu tokoh dengan hidup terpendek di buku ini. Ia adalah seorang penari ronggeng yang tidak termakan bujuk rayu Sungu Lembu sehingga Sungu Lembu menjadi terobsesi dan mengikuti rombongan tari Parwati sampai satu setengah bulan. Mereka akhirnya bercinta, tetapi dengan cara yang tidak sesuai dengan bayangan Sungu Lembu. Begitu tidak sesuainya, Sungu Lembu malah “hanya bertahan sebentar” (hal. 116) serta merasa telah “dimanfaatkan” dan “kotor” (hal. 117). Tak lama kemudian Parwati sakit parah dan… ya benar, ia menemui ajalnya.

Setelah Parwati, Sungu Lembu mengalami lagi kejadian semacam ini. Kali ini di kamar Nyai Manggis yang ingin menghukumnya karena berani menyatakan cinta kepadanya. Nyai Manggis menutup mata dan mengikat Sungu Lembu di tempat tidurnya kemudian mengirimkan tiga perempuan penghibur untuk “menyerang”-nya (hal. 119-120). 

BDSM (Bondage, Discipline, Sadism and Masochism) adalah kegiatan seksual yang sangat berkaitan dengan permainan kuasa, orang-orang yang memutuskan untuk terlibat di dalamnya biasanya sudah mengikat kontrak dengan satu sama lain sebelum dengan sukarela menjalankan peran dominan atau submisif untuk pada akhirnya mencapai kenikmatan bersama. Tetapi, Sungu Lembu ternyata memaknai BDSM dengan terlalu sederhana. Walaupun di tengah-tengah permainan ia sempat teringat akan pengalamannya dengan Parwati dan juga “bertahan sangat sebentar” (hal. 120), setelah itu ia kembali lagi menjadi ABG bingung yang “tak akan pernah paham pemikiran perempuan” (hal. 120). 

Tentunya, saya tak ingin mendikte perasaan Sungu Lembu. Saya hanya menyayangkan bagaimana seks selalu digambarkan menyenangkan bagi banyak karakter laki-laki di buku ini, dalam bentuk maupun keadaan apapun kegiatan tersebut dipraktekkan. Seakan-akan seks hanya semacam hiburan gratis yang perlu dinikmati saja, bukan bentuk hubungan antarmanusia yang sangat mungkin dipakai sebagai alat kekerasan. Pada kenyataannya, perkosaan laki-laki, baik dilakukan oleh sesama laki-laki maupun perempuan, adalah hal yang sangat serius, sering terjadi, dan dapat mengakibatkan gangguan psikis yang sama beratnya dengan perkosaan yang korbannya perempuan. (Bagi yang tak percaya laki-laki bisa diperkosa, silahkan masukkan ‘male rape’ ke dalam mesin pencari Anda.)  

Saya sungguh menyayangkan bagaimana seks dalam dongeng ini—dan banyak hal lain—sebagai konsekuensi POV penggulir cerita Sungu Lembu yang politically incorrect dan naif itu, jadi sering digambarkan dengan simplistik, tidak mempertimbangkan dimensi lain yang lebih kompleks. Apa poin menggambarkan dunia dan peristiwa-peristiwa di dalamnya dengan simplistis di novel (se)besar ini? Apa tujuan segala kecanggihan akrobat teknik penulisan Yusi di dalam, sekali lagi, novel (se)besar ini? 

Padahal, menurut saya, jika ia ingin, Yusi mempunyai banyak kesempatan untuk mengembangkan karakter Sungu Lembu untuk menjadi lebih peka dalam melihat peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Contohnya, lewat hubungan Sungu Lembu dengan pamannya Banyak Wetan. Ia banyak membekali Sungu Lembu dengan peristiwa-peristiwa pemberontakan rakyat yang disebabkan oleh ketidakadilan yang terjadi karena perbedaan kelas. Banyak Wetan juga membekali Sungu Lembu dengan keahlian bela diri, meramu racun, dan buku-buku pengetahuan. Karena semua itu, Banyak Wetan adalah seseorang yang sangat dihormati dan disayangi Sungu Lembu.

Hm, apakah ini kuncinya?

Saya memang tidak bisa mengharapkan Yusi memanipulasi struktur dan motif babad-babad lain untuk mengomentari atau mengkritik kerakusan manusia beserta norma-norma sosial yang tidak ramah pada kaum tertentu. Sepertinya, saya perlu menerima saja kalau Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi adalah salah satu usahanya sebagai seorang “paman” untuk memamerkan jurus-jurus andalannya demi memukau penulis-penulis muda yang diasuhnya. 

Jadi, buat apa saya menulis ulasan ini, ya? Hahaha.

Ya, sudahlah, sudah kepalang tanggung. 

Buku ini diwacanakan sebagai dongeng yang tidak ingin menggurui atau memuat pesan moral apa pun. Sesungguhnya, saya kurang percaya wacana ini, sehingga saya akan tetap bertanya: Bukankah memilih untuk menulis tanpa pesan moral juga sebuah bentuk moralitas, bahkan posisi politis? Dan apakah proyek untuk mendongeng saja dan tidak melakukan kritik sosial ini jadinya malah melanggengkan nilai-nilai maskulin/heteronormatif/seksis yang sampai saat ini merupakan masalah besar di banyak bidang kehidupan manusia?

Saya setuju kalau di dunia yang sudah penuh masalah dan hidup sehari-hari begitu berat, terkadang kita perlu santai sedikit. Toh, sejak awal manusia memang selalu saling tipu, saling bunuh. Mungkin inilah pesan Yusi lewat dongengnya. Namun, menelan bulat-bulat pandangan semacam ini bisa juga membuat kita tersedak, apalagi jika kita letakkan buku ini dalam konteks sastra, politik sastra maupun politik negeri ini yang masih sarat dengan ketidakadilan. 

Sepertinya saya perlu minum segelas tuak atau setidaknya kahwa hangat bersama Sungu Lembu, yang kemungkinan besar malah akan saya keplak karena memelototi susu saya, sambil merenungkan jurus manakah yang lebih penting ketika seseorang menulis sebuah dongeng: teknik atau isi?

apa yang berharga dari

menarik membandingkan interpretasi malkan junaidi tentang arti metaforik “istirahatlah” dalam puisi wiji vs. artinya setelah dijadikan judul film biopik itu.

dalam film itu, ada mixed messages soal “istirahatlah”, di satu sisi wiji digambarkan mengeluh soal nggak bisa tidur, di lain sisi dia digambarkan tidur melulu, bahkan waktu ketemu anaknya lagi (yang begitu dia rindukan menurut film ini dengan petunjuk2 audio klise seperti tangisan bayi dan kepedulian wiji pada bayi tetangga di pengasingan yang menangis tiap kali lampu mati (listrik gagal masuk desa?)) instead of main2 sama anaknya melampiaskan kekangenan dia juga malah tidur nyenyak (lagi).

memang puisi “istirahatlah kata-kata” dalam film itu termasuk yang dihidangkan (dalam voice over yang lumayan kena, pelonya gunawan maryanto keren) secara hampir penuh, kalau tidak salah sampai baris “kita bangkit nanti” kalau nggak sampai habis (lupa). jadi kalau mau generous, ada celah untuk menginterpretasi film ini sebagai waktu tidur, siesta, buat kata-kata, untuk bangkit nanti (di sequelnya, hanya ada satu kata: lawan!? 😛).

tapi kemudian kita harus mempertimbangkan dua hal lagi (paling tidak) menurut saya sebelum memutuskan kira2 sutradara ini pakek judul itu kenapa: film2 sutradaranya yang lain dan aspek2 lain dalam film yang ini selain pemanfaatan judul puisi tadi.

kalau kita lihat di film2nya yang lain dari vakansi yang janggal, lady caddy who never saw a hole in one, sampai kisah cinta yang asu, sutradaranya si cecep ini memang lihay memberi kesan seolah2 film2nya mengandung social commentary padahal konsentrasinya lebih ke kisah romancenya, yang seringnya juga difokuskan kepada ketegangan seksualitas yang direpresi (instead of perjuangan rakyat yang direpresi).

seperti saya tulis di review saya, this guy is like the gm of indon indie filmmaking. kemudian salah satu bagian lain dari film ini yang sangat merepresentasikan pov sutradaranya adalah keputusannya mengubah scene di puisi baju loak sobek pundaknya wiji jadi beberapa scene yang menampilkan rok mini merah menyala.

itu penting banget menurut saya.

seperti ditunjukkan mumu aloha di tulisan ini, salah satu senjata wiji dalam menulis puisi adalah kritik intertextualnya terhadap influencesnya yang terlalu borjuis seperti subagio dan rendra.

puisi2 wiji kalau pake bahasa afrizal di esai ini mengganti mata kedua dan ketiga penyair2 macam rendra dan subagio tentang kehidupan wong cilik dengan laporan pandangan mata pertama langsung dari dunia kemiskinannya.

dia saksi sejarah kehidupan rakyat miskin di indonesia. baju loak sobek pundaknya dalam puisi wiji adalah simbol yang sangat kuat buat penderitaan rakyat miskin yang diopresi orba waktu itu, dan lebih spesifik lagi, penderitaannya sebagai buron yang diburu penguasa karena berorganisasi.

“karena aku berorganisasi bojoku.”

(perhatikan baju itu sobek di pundaknya, tempat epaulet tanda pangkat dipasang di seragam tentara).

“baju” ini diganti menjadi rok mini merah, yang walaupun loakan juga, dengan drastis mengganti isi puisi wiji itu menjadi apa ya? hasrat bercinta yang istirahat selama pengasingan? “merah”-nya perjuangan wiji? darahnya yang tak lama setelah itu ditumpahkan kopassus?

sepertinya interpretasi pertama yang lebih mungkin, mempertimbangkan kecenderungan filmmakernya dalam film2 sebelumnya dan juga scene selanjutnya di mana si wiji meminta sipon memakai rok mini itu waktu mereka check in di hotel di solo pas dia akhirnya pulang.

(ingat juga di puisinya, wiji menunda kepulangan itu, “kalau aku pulang bojoku”.)

dalam dunia perwacanaan puisi ini, baju loak yang jadi simbol rindu wiji pada sipon (udah powerful) yang diiringi penjelasan kenapa rindu itu mungkin tak akan kesampaian (karena wiji adalah buronan penguasa, jadi makin powerful dan mengharukan), diganti dengan simbol lain yang klise (rok mini merah, kira2 simbol seksualitas nggak yaaa) dan menyempitkan puisi aslinya (kalau kita menganggap versi film ini sebagai “puisi” alternatif (more on that later).

penggantian simbol ini, dalam film yang katanya puitik, mementahkan kritik puisi2 wiji terhadap puisi2 salon pendahulunya seperti yang dijelaskan mumu tadi.

puisi wiji yang dengan jeli menyinyiri problem kelas menengah subagio (pantalon sobek etc) dengan menggelarkan problem real rakyat miskin (becak rusak, baju loak, etc) dibalikkan lagi menjadi puisi salon tentang seksualitas (bukan perjuangan berorganisasi!) yang terrepresi.

menimbang2 semua hal ini, sepertinya lebih banyak bukti tekstual dan kontekstual yang menganjurkan bahwa si sutradara film ini sebenarnya mungkin gak sedalam2 itu amat mempertimbangkan konsekuensi peminjaman judul istirahatlah kata-kata untuk judul filmnya.

mungkin kita malah perlu lebih banyak melihat pewacanaan arti film ini oleh pihak2 yang mendukungnya, yang sejauh ini selalu menekankan betapa berartinya kesunyian dalam pengasingan wiji, bahwa inilah penderitaan yang sebenarnya, bukan dimasukkan ke dalam tong hidup2 kemudian dilarung di kepulauan seribu!

untuk soal ini sepertinya masalahnya simpel aja, sutradaranya predictably masih terhegemoni oleh kanonisasi puisi indonesia oleh kaum manikebuis salaharahis, yang selalu mengagungkan kesunyian, kesepian, penantian blablabla di atas chaosnya perjuangan yang kayaknya gimana ya kayaknya kok norak bener kalau dijadiin subyek film art house! jadi con air nanti!

*foto dari antitankproject.wordpress.com

Bagaimana cerita “KKN di Desa Penari” menggambarkan masyarakat kita

Oleh: Ratri Ninditya

Ketika cerita KKN di Desa Penari jadi viral di Twitter, pembahasan terpanas dari beberapa orang di sekitar saya adalah seputar ada atau tidaknya hantu. Di WhatsApp group RT saya, bahkan seorang dokter mengkaitkan firasat dan kemampuan melihat hantu dengan gejala psikosis.

Di tulisan ini, ada atau tidaknya hantu tidak terlalu penting, begitu juga akurat atau tidaknya cerita. Yang menarik buat saya adalah bagaimana cerita ini menggambarkan cara pandang kita terhadap hal tertentu, terutama menyangkut seksualitas, tubuh (terutama yang muda dan perempuan), dan agama. Bagi saya, cerita ini menunjukkan bahwa kita masih misoginis dan normatif. Cerita ini masih berfungsi sebagai sebuah pedoman moral, yang menciptakan batasan akan apa yang “diperbolehkan” dan “dilarang” dan apa konsekuensinya jika seseorang “menolak patuh”.

Dalam cerita, seluruh karakter protagonis perempuan digambarkan tidak berdaya dan butuh bantuan lelaki lebih tua untuk keluar dari kutukannya (Widya dan Nur). Sebaliknya, karakter perempuan yang bertindak mengikuti hasrat seksualnya (Ayu) digambarkan sebagai antagonis dan dihukum di dalam cerita. Hubungan seks di luar pernikahan dipandang sebagai sebuah kesalahan fatal, padahal hubungan tersebut sesuai persetujuan kedua belah pihak. Lebih jauh lagi, cerita ini menyebutkan bahwa Ayu membuat Bima mau tidur dengannya melalui guna-guna (selendang hijau yang dipinjamkan oleh Badarawuhi), bukan karena Bima sendiri yang bersedia. Bima “khilaf”, menurut penutur cerita.

Selain itu, aktivitas menari dikaitkan dengan ritual pengorbanan. Dalam tarian di cerita ini, tubuh perempuan diobjektivikasi, bukannya mendapat otoritas. Perempuan menari untuk menghibur warga lelembut (sebelum dikorbankan). Tubuh perempuan penari di cerita ini adalah milik warga lelembut, bergerak di luar keinginannya sendiri. Menari juga dijadikan sebuah hukuman akan ketidakpatuhan Ayu yaitu berhubungan seks di luar nikah. Badarawuhi, sebagai tokoh perempuan sakti, berbeda dari Nyi Roro Kidul atau tokoh lain yang sering Suzanna perankan. Karena di cerita ini, Badarawudi meminta tumbal berupa perempuan perawan muda, alih-alih lelaki hidung belang.

Dari plot tersebut, tampak juga bahwa cerita ini mengkultuskan keperawanan dan kemudaan perempuan. Kenapa tumbalnya harus seorang perempuan muda perawan? Apa yang istimewa dari kondisi tersebut?

Yang terakhir, mencoba mengelaborasi diskusi dengan seorang teman, hukuman menari terhadap Ayu uncannily mengingatkan kami dengan kasus-kasus persekusi warga terhadap pasangan yang berhubungan seks luar nikah. Buat kami, Ayu dan Bima adalah satu contoh dari korban persekusi lain di seluruh Indonesia yang trauma dengan tindakan warga lalu terkena gangguan mental.

KKN di Desa Penari, baik itu versi Widya atau Nur, adalah produk masyarakat patriarki dan misoginis yang masih sibuk dengan kepatutan sikap perempuan di ruang publik dan privat. Saya menunggu banget versi feminis cerita ini.

*cerita KKN di Desa Penari dapat dibaca di sini dan sini

**gambar diambil dari sini dan sini

Between Local and Global: Reading Indonesian Webtoon My Pre-Wedding

By: Shafira Bella

Indonesia has a long history of comic readership. For most 1990s born like me, comics, especially translated Japanese comics, were something that we grew up with. However, the younger generations nowadays are more likely to be familiar with a “new” form of digital comic, which is LINE Webtoon. Let me briefly talk about comic in Japan and South Korea. Along with the development of technology, the sales of digital comics in Japan inclined by 27.1 percent in 2017 and is estimated to outnumber the printed ones over the following years according to The Research Institute for Publications (Nagata, 2017). A similar issue also happens in Indonesia with the arrival of Webtoon in the comic market. Originated in South Korea due to the decline of manhwa (Korean comic), web cartoons were born in 2003 and began to be exported by Line, a Naver (online platform in South Korea) subsidiary, in 2014 by translating webtoons to English (Park, 2014). Throughout this essay, I refer to Webtoon with a capitalised ‘W’ refers to the platform, LINE Webtoon, while the lowercase ‘webtoon’ refers to the digital comic.

This essay seeks to answer the questions: How does Asian popular culture relate to processes of regional integration and/or globalisation? How is popular culture affected by, and how does it affect in turn, the transnational flows of people and products within and outside of Asia? In doing so, I utilise a case study of My Pre-Wedding (2015) by Annisa Nisfihani, the winner of LINE Webtoon Challenge in 2015 (LINE Webtoon, 2015). Other than its popularity, this webtoon is interesting because the creator adopts Japanese comic aesthetics despite her Indonesian background. I argue that My Pre-Wedding illustrates the glocalised inter-Asian transnational flows of popular culture through comics while promoting Indonesian values.

As this essay was submitted as one my final papers, my delivery could be “too” academic in many parts but please bear with me (and my academic-ish writing)!

Contextualising Indonesian Comic

Indonesian comic might be less heard globally; however, it has a long history which can be traced back to the era of Dutch occupation. In 1930, Kho Wang Gie was the first Indonesian comic artist whose comic Put On was published in a newspaper called Sin Po and was loved by many because of its funny characters (Indonesia Kreatif, 2015). However, that comic stopped being produced when Sin Po was prevented from publishing during the Japanese occupation in 1942. Several years later, comics resurfaced again. In the 1950s, Abdulsalam is mentioned to be the most prominent comic artists; however, American comics reached its peak in Indonesia in 1952 (Bonneff, 1998, pp. 21-22). In 1954, Indonesian comic artists such as R.A. Kosasih started to adopt American comic storyline and drawing style but was localised by featuring Indonesian heroes and heroines (Bonneff, 1998, p. 24). The most popular comics at that time were Sri Asih, Puteri Bintang (Star Princess) and Kapten Komet (Comet Captain). Bonneff (1998, p. 29) continues that wayang (leather puppet show) comic became popular until it declined in 1960. Wayang comics are often mentioned as the most ‘original’ Indonesian comic.

Moving forward to 1990s, Japanese comics entered the Indonesian market. Kuslum, as cited in Sihombing (2014), stated that only 1 local comic out of 25 Japanese comics was released monthly in 2007 by Elex Media Komputindo. The constant influence of foreign comics has a purchase on the contemporary Indonesian comics. Ahmad, Zpalanzani and Maulana (2006, p. 93) argue that many Indonesian readers are hesitant to read comics in other drawing styles, most readers only accept comics with Japanese comic aesthetics. As a result, many Indonesian comics adopt the Japanese comic drawing styles with large-eyes characters and often the artists use Japanese pennames, for example, Magic of Love (2008) by Anzu Hizawa. The rise of Indonesian comic is marked by the existence of Ngomik.com since 2010. Five years later, LINE Webtoon opened in Indonesia in April 2015 and quickly became the centre of coloured digital cartoon platform in the country. Indonesia is the biggest Webtoon readers with more than six million active readers as of 2016, which outnumbered the readers in other countries (Agnes, 2016). The webtoons published are both from Indonesian authors and foreign authors, especially from South Korea and Thailand.

Webtoon Glocalisation: My Pre-Wedding

As I mentioned earlier, My Pre-Wedding is written and drawn by Annisa Nisfihani with a total of 26 episodes. My Pre-Wedding (MPW) is read by more than two million readers and each chapter is liked by 99,999+ readers as of May 2019. MPW narrates the story of Adelia ‘Adek’ Putri and Adimas ‘Mas’ Purnama who are both Indonesian civil servants in a sub-district in Tenggarong, East Kalimantan. During office hours, Adelia, a civil servant working in the sub-district office, receives an unexpected marriage proposal from Adimas who works as a district secretary next to Adelia’s office. The sudden proposal happens in Adelia’s office administration room filled with her workmates. They face several obstacles before marriage such as Adelia misunderstands the date of Adimas’ official proposal and thought he cancels his proposal, her father rejects Adimas’ proposal, trust-issue and Adelia’s ex puppy love ‘boyfriend’. This webtoon ends with Adelia and Adimas’ marriage.

MPW is a webtoon that features both local and global qualities. MPW is set in everyday life of Indonesia, particularly in the island of Kalimantan. The story happens in daily places such as in an office, a minimarket, a pharmacy, rocky road in the countryside and the characters’ houses. As civil servants, Adelia and Adimas wear uniforms—khaki, white, batik (Indonesian traditional fabric) and green according to the day. Everyday life narrative in the webtoon is the main point that the readers can relate. Canário (2015, p. 91) argues that narrating the mundane life can ‘create a meaningful connection between text and reader by appealing to a familiar background’ with a touch of ‘complexity and contradiction’. The conflicts that I mentioned earlier are also the ones that might happen in real life. Local values and wisdom featured in the webtoon become one of the main selling points that brought MPW to be loved by many readers. The setting of MPW is in a sub-district in East Kalimantan which gives areas outside Java to be featured in popular culture. Therefore, MPW offers a wide scope of readers in Indonesia, including those who do not live in big cities are able to find this webtoon relatable.

The characters’ jobs as civil servant become the core of the most Indonesian background story. Civil servants are often related to middle class. Civil servants’ salary depends on the rank and position to determine the basic salary and structural allowances. Being a civil servant is seen desirable because of the ‘guaranteed’ salary, small opportunity of being fired and easy access to healthcare. Moreover, the base of the story is about marriage without dating, which is commonly practised by several Muslims in Indonesia and is known as taaruf. Nilan (2008, p. 79) argues that many Indonesian youngsters see ‘marriage as a financial haven through which validating consumption, personal security and individual social status legitimacy’ after they feel like they are stable enough to start a family. The status quo is reflected in MWP in which both main characters are financially stable; therefore, marriage is the next goal. In this sense, through MPW, webtoon becomes a form of popular culture which connects Indonesian readers with the local-infused storyline which is close to the readers. Several points that come up here are civil servants, the rise of middle class, the importance of financial stability, marriage and the relatable characters. The accessibility of Webtoon as a free platform makes people regardless of their class who have smartphones and internet connection can enjoy reading this form of digital comic.

While the local aspects of MWP revolve around the narratives of everyday Indonesia, the global in this webtoon shows the complete opposite. Although the author constructs her story and characters in an Indonesian setting, the drawing style is heavily influenced by Japanese girls’ comic. The example of the Japanese girls’ comic aesthetic can be seen on the figures below:

source

Figure 1. Adimas proposes Adelia (Prologue)

Figure 2. Adimas is scared of a cockroach but he tries to keep calm (Episode 2)

Those two figures illustrate the way Japanese girls’ comic aesthetics is adopted to an Indonesian webtoon. The most obvious drawing style is on the similarities in ‘the physical drawings of women in girls’ manga—the large eyes and pupils; long lashes; slim torso, limbs, and hips; and the petite noses, mouths, and breasts’ (Schwartz & Rubinstein-Ávila, 2006, p. 45). Adelia is depicted as a brown-haired female with large eyes, slender figure and is shorter than Adimas. Moreover, Nisfihani also incorporates the use of onomatopoeia, glittery background for romantic scenes, dark and dramatic backgrounds are used to depict conflicts and even the choice of font that is commonly used in Japanese translated comics. As seen in the two figures above, Nisfihani is heavily influenced by Japanese girls’ comic drawing style, except that her work here is coloured. Although Indonesian comics start to flourish all over again through Webtoon, the drawing style of this popular Indonesian webtoon is still limited to the adoption of Japanese aesthetics, but with several tweaks to meet the standard of webtoon panels. The main differences between webtoon and Japanese comics are the panel and the colouring. Webtoons usually consist of 10-30+ panels each episode, drawn on 800 x 1280 pixels canvas.

Other than the daily life storyline, the adoption of Japanese girls’ comic aesthetic plays an important role in informing which drawing style is preferred by Indonesian readers. As I flagged earlier that Ahmad, Zpalanzani and Maulana (2006, p. 93) claim most Indonesian readers find Indonesian comic with Japanese comic aesthetics more acceptable. Another scholar, Sari (2018), stated that comic enthusiasts in Indonesia prefer Japanese comic because the theme of the story is close to the readers’ daily life, not only action or colossal comic like many of Indonesian original comics. As I mentioned above, MPW narrates a story about two civil servants who are about to get married. MPW features two characteristics that are desired in Indonesia: the use of Japanese girls’ comics drawing style and the daily life storyline. The combination of those two aspects rocketed MPW to be the winner of the 2015 LINE Webtoon Challenge and constantly became the most read webtoon even after the competition ended. Through the combination of closeness and familiarity, MPW helps to connect diverse Indonesian readers through a globalised form of popular culture.

Furthermore, the female agency in MPW is worth noting because Adelia’s character shows the pseudo-agency she has. Figure 2 above is the background story of why Adimas is interested in Adelia—partly because of her bravery in smashing the cockroach. During the flashbacks to the characters’ high school days, Adelia is pictured to be a ‘tomboy’ whom Adimas at first thought she was a boy. On the surface, Adelia is an independent woman who is not afraid of anything; however, at the end of the day, she still needs to perform her femininity by tying the knot. Schwartz and Rubinstein-Ávila (2006, p. 45) argues that in Japanese girls’ comic, ‘the so-called strong and powerful young female protagonists are also the ones who compliantly fulfill their caretaker roles (as good daughters, granddaughters, or girlfriends)’ and are ‘submissive and sexually available companion’ for the male main characters. Adelia is portrayed as having a lesser agency towards the end of the webtoon. The similar gender representation of this Indonesian webtoon compared to the many Japanese girls’ comics shows the proximity between the two Asian countries.

Befu, as cited in Wong (2006, p. 30) claims that ‘”similarity of the cultural assumptions and background – undeniably makes it easier for some Asian countries to understand and emphasize with performances and characters.”’; therefore, Japanese comics are able to go global, especially to other Asian countries. In the context of MPW, cultural similarities are the vehicle for the author to capture the readers’ hearts by utilising familiarity. Familiarity does not only come in the form of drawing style and the use of local Indonesian setting, but also in the ‘socially acceptable’ gender-based agency of the characters.

MPW is not only a contemporary form of globalisation but is also the vivid example of the glocalisation of Japanese (girls’) comics. Other than the Japanese girls’ comic drawing style, MPW has a strong Indonesian element attached to the webtoon. However, instead of decreasing the local value of the webtoon, the Japanese-influenced visual boost its popularity and familiarity. Iwabuchi, as cited in Wong (2006, p. 35), argues that Japanese popular culture is ‘culturally odorless’ because of the necessity to suppress ‘Japanese cultural odor is imperative if they are to make inroads into international markets’. By looking at MPW, the adoption of Japanese girls’ comics drawing style is possible because of the flexibility that the ‘odorless’ Japanese popular culture has to offer. Such glocalised digital comic is also because of the constant exposure of Japanese comics. The author also uses English title although the whole webtoon is narrated in the Indonesian language. These aspects show that it is possible for a webtoon to be local yet global at the same time. Japanese (girls’) comics drop the barrier between comics in different regions in Asia and Southeast Asia, and it obscures any possible differences under one comic visual quality. Through webtoon, Indonesian comic industry flourishes once again and becomes the symbol of glocalisation of Asian popular culture.

Webtoon and Transnational Flow

Indonesian webtoon becomes a space of comic glocalisation because of its local storyline but with a touch of global visual. Suter (2013, p. 556) argues that the strategy in using Western settings cannot be reduced as ‘the result of an inferiority complex towards Europe nor just a form of reverse racism that objectifies the West,’ because it shows the complex process of creative ‘reification’ and ‘critical reflections on gender and cultural norms’. However, in the case of MPW, the use of foreign drawing style is not only a result of Japanese comic exposure, but it also becomes the vehicle for an Indonesian webtoon to be consumed transnationally.
Webtoon is mentioned to be the next popular culture that represents Korean Wave. Jang and Song (2017, p. 183) argue that K-pop and webtoons are similar because webtoons ‘are in accord with the concept of glocalization that empowers local communities to balance the hybridity of global factors and local characteristics’. The concept of empowering local webtoon authors to create comics on a foreign platform can be read as a strategy to conquer the market by presenting contents that the local readers will feel comfortable in consuming while benefitting local creators at the same time.

The huge interest of webtoons in Indonesia as the biggest LINE Webtoon users shows that such strategy works. Moreover, encouraging local creators ‘cultivating local societies to create new types of webtoons’ (Jang & Song, 2017, p. 182) gives the opportunity for transnational readers to be as creative as they want. Webtoon as a free digital comic service does not only give the opportunity for transnational readers with any background to enjoy the stories in the platform, but it also becomes an alternative to aspiring authors who do not have the space in the world of Indonesian comic making. For stable authors, Webtoon can be a stepping stone to publish their works to international audience.

Upon gaining domestic recognition, MPW is officially translated to Thai (Kusumanto, 2016)
and Japanese (Kusumanto, 2017) to be published on the respective countries’ Webtoon sites. MPW is also translated by fans to more than 20 languages on Webtoon Translate, an official fan-translation website provided by LINE Webtoon. Despite the strong local Indonesian characteristics (the names, jobs and settings), MPW is still palatable to international readers, especially within Asia. The export of MPW is in line with Wong’s argument that ‘manga has the characteristics “representing the juxtaposed sameness and difference”’ (2006, p. 29). Likewise, this webtoon presents similarities and differences that the Asian readers can negotiate while consuming exported (digital) comics. Webtoon and its transnational ‘nature’ allows any digital comics regardless of the style and storyline to be globally acceptable. Looking at the broad range of language on the fan translation website, MPW (and webtoons in general) is enjoyed within and outside of Asia. However, MPW is officially marketed within Asia only. The Asian-centric marketing strategy is due to the core of webtoons: familiarity. Not only Indonesian webtoons being translated to other languages in Asia, but also other webtoons from other countries are translated and published in Indonesia. Cultural exchange through (Asian) popular culture happens through webtoons. The familiar culture presented in webtoons has the agency to break cultural boundaries between (Asian) countries.

In the globalised comic industry, MPW shows that even when an Indonesian comic, or in this case it is a webtoon, reverts to locality, it is possible to reach both local and global audience despite its Indonesian ‘odour’. However, it is also possible because the familiar Japanese aesthetics exist in the webtoon. Although my scope is Indonesian webtoon and Japanese girls’ comic, the platform that publishes the chosen webtoon is originated from South Korea. Both Indonesia and South Korea were once colonised by Japan. Despite the similar history of being a Japanese colony, while South Korea’s official policy forbids the ‘production or distribution of Japanese’ popular culture products (Wong, 2006, p. 34), Indonesia does not take such stance. Indonesian popular culture enthusiasts still consume Japanese products including comics, animations, TV series and movies. Japanese aesthetics glorification exists in the Indonesian comic readers’ preference in reading comics which adopt Japanese drawing style. However, the existence of webtoons obscures the history of colonisation and further integrates the countries, although the relationships between the countries are limited to business only.

Exporting MPW to the transnational audience can become a medium to introduce everyday Indonesia. Especially when the webtoon is re-produced to another form of popular culture such as film or TV series. In Indonesia, Terlalu Tampan (‘Too Handsome’) is the only webtoon that is made into a movie. In South Korea, there are many popular webtoons being remade into TV dramas; for example, My ID is Gangnam Beauty and Cheese in the Trap. Although there is no plan for MPW (and/or its sequel) to be adapted to different media product, a local news portal ‘invites’ their readers to imagine possible actors and actresses to be casted in the TV series version of MPW (Brilio, 2016). This shows that webtoons are flexible and adaptable to various kinds of entertainment. Although transnational co-production beyond webtoon has not happened yet, but it is possible with the growing global interest of webtoons. Webtoon’s transnational publishing is only the beginning of any possibility that webtoons will bring. Transnational popular culture allows readers and authors from different regions to ‘interact’ by creating and consuming webtoons regardless of their origins.

Conclusion
In conclusion, MPW is the result of Japanese (girls’) comic exposure in Indonesia which intersects with the transnational opportunity offered by Webtoon. MPW is a webtoon that features both local and global qualities. MPW’s local aspects lie on the naming of the characters and the settings in everyday Indonesia. The global in MPW is because of its adoption of Japanese girls’ comic drawing style, the use of English title and the fact that it is translated and published in Japan and Thailand. The strong local values in many webtoons, including MPW, does not limit the popularity of the webtoons when they are published outside the countries of origins; instead, locality can be the main selling point. Similarly, MPW deploys familiarity to be both locally and transnationally acceptable by creating a story that the readers can relate to.

Familiarity goes beyond drawing style and the everyday settings, the webtoon features ‘socially acceptable’ gendered agency of the characters. That way, MPW is the representation of (digital) comic glocalisation. When webtoons are exported to other countries, cultural exchange through (Asian) popular culture happens. The ‘familiarity’ of webtoons across Asia has the power to obscure cultural boundaries between (Asian) countries. Webtoon as a form of transnational popular culture shows the flexibility to be converted into different types of entertainment media and also the high possibility to be consumed by readers from various class, gender and racial identities. This transnational form of (Asian) popular culture should be celebrated because it has its own agency to move across various boundaries including spatial, linguistics, economics and cultural barriers.

References

Agnes, T 2016, Pembaca LINE Webtoon Indonesia Terbesar di Dunia, viewed May 26, https://hot.detik.com/art/d-3274551/pembaca-line-webtoon-indonesia-terbesar-di-dunia

Ahmad, H, Zpalanzani, A & Maulana, B 2006, Martabak: Histeria! Komikita, Elex Media Komputindo, Jakarta.

Bonneff, M 1998, Komik Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia : Forum Jakarta-Paris, Jakarta.

Brilio 2016, Andai jadi sinetron, 10 seleb ini cocok main di Webtoon My Pre-Wedding, viewed May 27, https://www.brilio.net/gadget/andai-jadi-sinetron-10-seleb-ini-cocok-main-di-webtoon-my-pre-wedding-161118z.html

Canário, T 2015, ‘On Everyday Life: Frédéric Boilet and the Nouvelle Manga

Movement’, in Brienza, C (ed.), Global Manga : ‘Japanese’ Comics Without Japan?, Routledge, Burlington, VT.

Indonesia Kreatif 2015, Menelusuri Perkembangan Komik Indonesia Masa ke Masa, viewed May 26, http://indonesiakreatif.bekraf.go.id/iknews/menelusuri-perkembangan-komik-indonesia-masa-ke-masa/

Jang, W & Song, JE 2017, ‘Webtoon as a new Korean wave in the process of glocalization’, Kritika Kultura, vol. 2017, no. 29, pp. 168-187.

Kusumanto, D 2016, My Pre-Wedding Hadir dalam Bahasa Thai, viewed May 27, https://www.kaorinusantara.or.id/newsline/58530/my-pre-wedding-hadir-dalam-bahasa-thai

Kusumanto, D 2017, My Pre-Wedding Kini Hadir dalam Bahasa Jepang, viewed May 27, https://www.kaorinusantara.or.id/newsline/101297/my-pre-wedding-kini-hadir-dalam-bahasa-jepang

Line Webtoon 2015, Webtoon “My-Prewedding” karya pemenang pertama Webtoon Contest telah terbit!, viewed May 25, https://www.facebook.com/LINEWEBTOONID/photos/webtoon-my-prewedding-karya-pemenang-pertama-webtoon-contest-telah-terbit-httpli/1954859024738275/

Nagata, K 2017, As manga goes digital via smartphone apps, do paper comics still have a place?, viewed May 26, https://www.japantimes.co.jp/news/2017/08/02/business/manga-goes-digital-via-smartphone-apps-paper-comics-still-place/#.XO3Cy9MzaRs

Nilan, P 2008, ‘Youth transitions to urban, middle-class marriage in Indonesia: faith, family and finances’, Journal of Youth Studies, vol. 11, no. 1, pp. 65-82.

Nisfihani, A 2015, My Pre-Wedding, viewed May 20, https://www.webtoons.com/id/romance/my-pre-wedding/list?title_no=588&page=3

Park, J-W 2014, Korea’s webtoon market experiences exponential growth over past 10 years, viewed May 26, http://www.arirang.co.kr/news/News_View.asp?nseq=166701

Sari, DM 2018, Industri Komik Indonesia dan Sebuah Optimisme, viewed May 26, https://kumparan.com/dieny-maya-sari/industri-komik-indonesia-dan-sebuah-optimisme

Schwartz, A & Rubinstein-Ávila, E 2006, ‘Understanding the Manga Hype: Uncovering the Multimodality of Comic-Book Literacies’, Journal of Adolescent & Adult Literacy, vol. 50, no. 1, pp. 40-49.

Sihombing, F 2014, Blurring the Boundaries of Comics Classification in Indonesia through Wanara, https://kyotoreview.org/issue-16/blurring-the-boundaries-of-comics-classification-in-indonesia-through-wanara/

Suter, R 2013, ‘Gender Bending and Exoticism in Japanese Girls’ Comics’, Asian Studies Review, vol. 37, no. 4, pp. 546-558.Wong, WS 2006, ‘Globalizing Manga: From Japan to Hong Kong and Beyond’, Mechademia, vol. 1, pp. 23-45.

rok mini loak merah menyala sobek entah di mana

Foto dari brilio.net

foto dari brilio.net

 

#menolaklupa, tapi apa yang kamu ingat?

kenapa baju loak sobek pundaknya kamu ganti jadi rok mini merah menyala sobek entah di mana?

apa supaya kamu nanti bisa punya scene check-in di hotel jam-jaman di solo antara wiji dan sipon?

membiarkan kami membayangkan sipon menari-nari dengan rok mini merah menyala sobek entah di mana

kemudian mereka bercinta

bukan di tikar plastik tikar pandan tapi di atas ranjang yang kata jokpin rawan kekuasaan

di bawahnya rok mini merah menyala sobek entah di mana (surprise surprise) tergeletak berantakan seperti di scene-scene ewita film hollywood (aren’t you supposed to be art house?)

disaksikan dua botol coca-cola yang saling berdekatan manja (simbol kapitalisme, terima kasih, mr obvious)

dan dua bungkus kacang rebus yang mulai berembun (simbol kaum proletar, terima kasih, mr obvious)

wiji bilang coca-colanya jangan dibawa, kacangnya saja

kenapa, apa karena buruh tidak boleh punya kawasaki ninja?

tapi dia membiarkan sipon mengambil dua butir sabun (yang juga berdampingan mesranya di tatakan kopi)

apakah unilever lebih suci daripada coca-cola amatil?

atau itu sabun artisan yang disuling dari keringat pekerja?

ini biopic wiji thukul atau vakansi yang janggal dan penyakit limaenam films?

(aku ingat furnitur-furnitur yang makin lama makin mendekat di gula-gula usia)

atau kisah cinta yang asu?

kan yang asu rezim militer harto, bukan nasib malang manusia

wiji bukan manusia borjuis penakut macam aku, dia orang berani, yang begitu ditakuti orba sehingga dia diamankan untuk selama-lamanya, dan salah satu penyair terbaik yang pernah kita punyai

btw, kenapa orang malah sering bilang “wiji bukan penyair terhebat indonesia, tapi…”

why? kalau ngobrol soal wiji sebagai penyair semua orang langsung jadi harold bloom/nirwan dewanto

zonder bukti dan argumen seperti biasa

apa relevansinya dalam mengingat memorinya?

#menolaklupa wiji thukul bukan penyair terhebat indonesia? istirahatlah kanonisasi sastra. dong

bisa kamu sebutkan satu saja lagi nama penyair protes indonesia?

susah ya, soalnya mereka semua sudah ditendang keluar dari dunia puisi indonesia yang penuh episode sunyi dan membosankan

baca dong politik sastra saut situmorang atau kekerasan budaya pasca 1965 wijaya herlambang

sori ya, auteur, tapi “hanya satu kata: lawan!” bukan kata-kata yang tercipta sambil duduk-duduk di beranda di mana angin tak kedengaran lagi sambil seka-sekaan nama dan mencemaskan sepotong lumpur

hanya satu kata: lawan adalah kata-kata gelap yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan tak mati-mati

kamu pasti tahu, kan itu ada di booklet premiere filmmu

tapi kamu tahu juga gak, wiji pernah membaca 100 halaman collected works lenin setiap hari selama berbulan-bulan?

wiji orang yang selalu gelisah dengan apa yang terjadi di republik ini, yang selalu mengacungkan tangan di setiap diskusi ndhakik-ndhakik, yang tak tergetar oleh mulut-mulut orang pintar

kenapa kamu memilih menampilkan dia tidur terus di pengasingan?

nggak bisa baca, nggak bisa menulis puisi

apa tidak mungkin dia juga akan selalu gelisah ingin tahu situasi di jakarta di palur di sukoharjo selama dalam pengasingan di pontianak?

apa tidak mungkin dia juga akan diskusi serius tentang bagaimana bertahan di bawah tanah dan bukan cuma ketakutan, kebosanan, kemudian plesir naik boat di kapuas trus minum tuak di kedai mamak?

ini biopic wiji thukul atau vakansi yang janggal dari kisah cinta yang asu?

ya ya, tentu kamu punya poetic license untuk memodifikasi isi puisi-puisinya, malah ubah aja kisah hidupnya sekalian, gapapa kok, go nutz

tapi jangan khawatir, caramu memakai poetic licensemu juga akan menunjukkan ke(tidak)pedulianmu sebenarnya pada apa

aku pernah menanyakan kepadamu apakah sofa mewah yang digotong kemana-mana di vakansi sebenarnya adalah simbol invasi kapitalisme ke sendi-sendi masyarakat indonesia

tidak, katamu, sofa itu, seperti ranjang, adalah simbol ketegangan seksualitas

o, begitu doang ternyata, kamu ternyata lebih one dimensional daripada kukira

aku terlalu lebay dong menginterpretasi vakansi?

mungkin benar juga dong aku suka onani

kalau kamu terus begini, lama-lama kamu akan seperti goenawan mohamad yang maunya melihat kenyataan dari atas ranjang saja

atau sudah?

you want to turn it on its head by staying in bed

but you’re not john lennon

oya aku punya satu lagi judul alternatif buat filmmu:

misalkan kita di pontianak, di kota itu, katamu lho ya, kata-kata telah jadi padam

Save

Save

Save

di hadapan moma dan mmorpg: politik selera adimas immanuel

di hadapan instagram*

                          di hadapan instagram*

 

banyak goodreaders (juga orang-orang di luar goodreads) yang memuji buku puisi adimas immanuel “di hadapan rahasia” karena “diksi”-nya, tapi itu malaproprisme, maksud mereka sebenarnya bukan diksi tapi kosa kata. ada yang bilang kosa kata di buku ini sering mengirimnya ke kamus, dan itu benar, siapa yang tahu di luar kepala arti kata “sakal”? (pukulan, salah satu judul di buku puisi ini), tapi apakah kosa kata yang luas = diksi yang bagus? diksi adalah masalah menemukan kata yang paling tepat untuk mengekspresikan maksud atau apapun itu yang ingin dibawa oleh penulis dalam karyanya—pertanyaannya sekarang seberapa tepatkah kosa kata luas adimas di buku ini menyampaikan maksudnya (atau bukan-maksudnya if you will)? ataukah pengalaman membaca buku ini memang seperti (di)bingung(kan) di depan rahasia?

that’s if you really wanna close-read this thing.

but generally first. seperti pernah juga diungkapkan seorang reviewer goodreads, sebenarnya di hadapan rahasia adalah sebuah himpunan (!!!) puisi post-gm, sdd, nd par excellence. semua jurus-jurus ketiga penyair ini dipakainya dengan setia. tema cinta tak kesampaian, cek. metafora-metafora pengennya far-fetched tapi jatuhnya obvious, cek. pseudo-intertekstualitas dengan menyebutkan lukisan/music (john cage!)/game avant-garde sebagai inspirasi, cek. gak perlu belajar bourdieu untuk tahu bahwa deliberate atau tidak, terpengaruh secara tidak sadar atau membeo secara sadar, yang dilancarkan oleh di hadapan rahasia adalah sebuah politics of taste, usaha untuk mengintimidasi pembaca dengan selera si penulis sehingga pembaca tidak bisa tidak akan bilang: keren deh, kayaknya, gak tahu juga kenapa, but i don’t understand it so it’s gotta be cool.

6 dari 20 puisi yang katanya diinspirasi oleh lukisan di dalam di hadapan rahasia menyitir lukisan koleksi MoMA new york, satu lagi menyitir lukisan yang disimpan di MoMA SF. jadi kalau belum sempat nitip temen beliin totebag MoMA buat dibawa ke pasar santa, bisa tenteng aja buku ini ke giyanti terus difoto bareng secangkir strong flatwhite dan sepiring lamington jangan lupa diupload ke path!

semua lukisan yang dijadikan inspirasi dalam di hadapan rahasia adalah lukisan-lukisan abstrak ekspresionis (klee, klimt, pollock, dkk.). pilihan ini kayaknya keren deh aw, tapi sebenernya agak yaelah ke mana aja dan punya konsekuensi besar dalam politik sastra indonesia. seperti sudah ditunjukkan oleh wijaya herlambang (rip) dalam buku klasiknya kekerasan budaya pasca 1965 (yang mengikuti jejak ekspose francis stonor saunders dalam who paid the piper?: cia and the cultural cold war, pelukis abstrak seperti jackson pollock entah sadar atau tidak telah dimanfaatkan oleh amerika serikat lewat cia untuk meng-hype-kan l’art pour l’art dan mendiskreditkan seni termasuk puisi yang bermuatan kritik sosial seperti misalnya puisi-puisi wiji thukul untuk melanggengkan kuasa rezim-rezim boneka amerika serikat (termasuk orba) biar mereka gak terlalu banyak dikritik.

di indonesia, seperti diungkapkan wijaya herlambang dalam bukunya dan oleh martin suryajaya dalam beberapa surat kepada goenawan mohamadnya, ujung tombak propaganda l’art pour l’art adalah goenawan mohamad dan “kantong budaya” teater utan kayu dan saliharanya. sejak 1965 sebagai pemenang sengketa manikebu vs. lekra goenawanlah yang memotori kepopuleran puisi-puisi high-art sok esoterik yang sebenarnya ternyata puisi-puisi alay tentang cinta tak sampai. penerus goenawan adalah nirwan dewanto yang membumbui esoterisisme bakat alam pendahulunya dengan referensi-referensi sok akademis yang diklaimnya sebagai alusi dan intertekstualisme padahal dia nggak tahu cara pakainya itu (lose the endnotes nirwan, gak seru tauk permainan intertekstualisme dikasih kunci panduan (di salah satu puisinya habis menyitir wallace stevens langsung dia jelaskan—masih di dalam puisinya sendiri—siapa yang dia sitir dan kenapa dia sitir. yaelah coy takut amat gak dimengerti sama pembaca awammu yang kau hina-hina separuh buta itu! maumu apa sih, ditakuti dan dihormati atau dimengerti kemudian disayangi? make up your captive mind cuy)).

sadar atau tak sadar, di hadapan rahasia mempromosikan hal-hal yang sama: bahwa puisi yang bagus adalah puisi yang esoterik/abstrak/non-realis, bahwa puisi yang bagus ditulis oleh penyair yang sophisticated dengan selera yang tinggi (those MoMA totes!), bahwa puisi yang bagus mengerahkan tesaurus eko endarmoko (juga produk tuk) setiap baris supaya kosa katanya makin arkaik/susah dimengerti. kalau gak bisa dimengerti oleh pembaca awam pasti cuma bisa dimengerti oleh pembaca ahli yang berselera tinggi toh!

menarik juga bahwa setelah memuja-muji diksi, eh kosa kata buku ini, banyak juga reviewers goodreads yang menyebutkan puisi “sepeda tua” sebagai puisi favorit mereka, justru salah satu puisi (cinta) tersimpel dengan conceit paling sederhana dalam buku ini. fenomena apa ini? apakah tanda bahwa puisi yang paling “nyampe” dalam di hadapan rahasia ternyata adalah puisi yang paling gak banyak/ribet/ruwet rahasianya?

dan saat adimas dengan lihay mencoba mengimbangi pretensi highbrownya dengan sok slumming it lowbrow-lowbrowan dikit biar nggak terlalu ketahuan fetish high-artnya—mereferensi ragnarok instead of pollock dalam 9 puisi lain di buku ini, dang, dese keliru mengeja glast heim jadi ghast heim. shite, ketauan deh aw loyalitas ai di mana. atau, apakah ini tanda bahwa referensi lowbrow adimas juga sekedar pretensi saja? sekaligus tanda bahwa di hadapan rahasia adalah sebuah game politics of taste yang disengaja untuk menarik perhatian semua hipster budaya indonesia baik yang lowbrow maupun highbrow? a case of adimas hedging his literary bets? sitting on salihara’s fence?

 

*gambar diambil dari sini