kerja dengan laki-laki

oleh: ratri ninditya

di kantor, tim saya didominasi oleh laki-laki. ini bukan laki-laki yang senang bersolek, tapi yang sepenuhnya mengembrace maskulinitasnya. laki yang main call of duty di waktu istirahat dan ambil cuti buat naik gunung atau touring motor. laki yang bersiul lirih kalau perempuan lewat. laki-laki yang masih bergidik kalau dekat laki-laki homoseksual. di beberapa aspek mereka bisa masuk kategori laki neandhertal. walaupun tidak semua. dan tidak selalu.

saya tidak pernah terpikir bahwa hal ini akan jadi masalah, sampai suatu hari saya sadar bahwa saya sudah mulai mengubah cara bicara saya supaya mirip mereka. saya juga sadar kalau mereka suka bercanda kalau saya itu laki-laki, bukan perempuan. lalu saya sedih. haruskah saya jadi lelaki supaya bisa jadi bagian dari tim laki-laki? lalu tentunya karena saya doyan mengomentari isu-isu yang sedang terjadi (atau film, musik, apa pun lah), mereka menjuluki saya “si tukang kritik”, “si tukang komen”, “si yang tak pernah puas”.

belakangan lagi saya sadar mereka sering mentertawai saya nggak hanya di depan, tapi di belakang saya, dan kadang memancing reaksi tertentu dari saya yang mereka tertawakan bersama kemudian. gila deh. dan yang lebih sedih hal macam gini pasti sering banget terjadi sama banyak orang dan dianggap wajar.

ternyata di tahun 2014 yang gegap gempita teknologi ini di dalam dunia kerja yang didominasi lelaki seorang perempuan diharapkan berpikir dan bertindak persis seperti mereka, konform aja lah jangan macem-macem kalau tidak mau diolok-olok. agak dandan dikit dan obrolin topik “cewek” aja dengan cewek lainnya. diam saja dan jadi pasif selamanya.

selamat hari kartini!

*gambar diambil dari sini

battlefield

oleh: ratri ninditya

 

we’re in a battlefield, my friends.

setiap hari kita bertempur. pertempuran itu dimulai dari pagi. sampai malam buat sebagian orang. sampai pagi buat sebagian lagi. karena ini perang, ada yang selamat karena memang jago/lihai/gesit, karena dia memang beruntung, atau karena dia banyak bersembunyi dan pintar pura-pura mati. sementara sepanjang perang yang berguguran gak terhitung betapa banyak. kisah-kisah kepahlawanan satu persatu prajurit tentu mengharukan, didengar sebagai pembelajaran untuk generasi depan, atau jadi legenda yang digadang-gadang untuk membesarkan sebuah bangsa.

tapi perang tidak punya pemenang.

sebagai prajurit yang berjuang mati-matian di dalamnya wajar untuk larut di dalam kisah berani mati dan gugur sebagai seorang pejuang sejati, atau selamat dan bertahan hidup sebagai veteran cinta tanah air. tapi kita lalu lupa apa tujuan perang, buat siapa, siapa yang diuntungkan dari perang. Ada potongan besar kapital untuk sebagian kecil orang dan kita prajurit-prajurit pemberani cukup senang dihibur dengan medali. itu namanya kekalahan buat kemanusiaan.

ok nin stop already with the metaphors.

dalam hidup yang serba kapitalistik, kita berebut jumlah kapital yang terbatas. makan dan punya rumah sudah cukup susah didapat, belum ditambah gengsi. harus punya kendaraan pribadi dan nongkrong di TWG plasa senayan. ada banyak banget beban yang ditanggung seseorang. beban ekonomi, beban sosial, beban kebanggaan orang tua, harus begini, harus begitu. kita memilih pekerjaan dengan banyak alasan. Karena tidak ada pilihan, karena passion, karena menantang, karena dekat dari rumah, karena tidak menantang, dan sebagainya. beberapa bisa meninggalkannya dengan mudah tapi banyak yang gak punya pilihan. bersyukur aja kalau jadi bagian yang bisa memilih. gak banyak yang kayak kita di dunia ini.

saya pernah lihat orang yang lembur gilak karena cinta sama kerjaannya, tapi banyak juga gue lihat orang yang lembur gilak karena takut dianggap gak ‘perform’, takut gak menuhin deadline sehingga dianggap gak ‘kompeten’ oleh atasan/account/klien. banyak yang merasa harus cinta sama pekerjaan supaya bisa bertahan. kita semua ingin dapat penghargaan seperti gaji lebih besar dan posisi lebih tinggi di masa depan nanti atas semua jerih payah yang kita lakukan. semua pushing our limitsini akan terasa wajar sampai lo benar-benar lewat.

semua yang terjadi di dunia ini tidak pernah karena kesalahan satu orang. kita hidup di dalam sebuah sistem yang senantiasa mempengaruhi berbagai keputusan dalam hidup. sistem ini mengakar dan diturunkan dari generasi ke generasi sehingga hidup di alam bawah sadar kita dan mempengaruhi juga segala tindakan yang kita lakukan tanpa sadar. dan sistem ini sudah karatan. busuk. rusak.

sudah saatnya kita berhenti larut dan melihat semua in a big picture. sudah saatnya kita lebih sadar dalam semua pilihan dan tindakan, why we do what we do, why we like (or not like) what we’ve chosen.

kalau ada yang bilang gue bisanya ngomong doang, paling tidak gue gak diam. kalau ada yang bilang jangan salahkan sistem, coba bayangin tinggal sendirian di tengah hutan. akankah lo membuat keputusan yang sama?

mita diran

*pertama dipublikasi di sini

**gambar diambil dari akun twitter mita diran di sini