Black Mirror: Bandersnatch, pilih sendiri reviewmu

black-mirror-bandersnatch-endings-explained

Desember adalah saatnya berbagi kado akhir tahun. Seperti tidak mau ketinggalan, Netflix juga memberikan kado buat pelanggannya dengan meluncurkan satu produk baru dari antologi sci-fi Black Mirror. Seperti halnya episode khusus “White Chrismas”, kali ini Black Mirror juga hadir dengan episode khusus yang bentuknya adalah satu film panjang. Bahkan bisa jadi panjaaaaaaang sekali. “Bandersnatch” demikian judul dari film Black Mirror rilis pada tanggal 28 Desember 2018, adalah satu kado akhir tahun dari Netflix yang istimewa. Karena film ini menawarkan pengalaman  menikmati tontonan yang berbeda. Berbeda karena dengan bantuan teknologi, kini kita bisa menikmati  tontonan dengan cara yang berbeda, yaitu tontonan dengan genre ‘pilih sendiri ceritamu’. Cara menikmati cerita dengan gaya pilih sendiri sebenarnya sudah dilakukan seperti pada buku “Choose Your Adventure”. Begitu juga menikmati semua hal yang ada sekarang ini. Dimana sekarang kita bisa lebih lentur memilih tontonan, musik, bahkan berita dengan layanan streaming di internet.

Nah sekarang, saatnya kamu yang memilih. Review siapa yang ingin kamu baca?

Ratri Ninditya

Edo Wallad

black mirror season 3: segitiga setan internet, korporasi, dan pemerintah

Black Mirror adalah ketakutan terhadap adiksi manusia akan teknologi yang tepat sasaran dan mungkin lebih non-fiksi dari yang kita duga. Charlie Brooker mengambil berbagai elemen penting-penting-nggak-penting dari perilaku kita di era digital, menariknya beberapa tahun ke depan, dan memperlihatkan semua elemen itu berlipat ganda dalam intensitas dan jumlah menjadi monster-monster apokaliptik, besar tapi tak terlihat, menghancurkan seluruh peradaban dengan sistematik, perlahan, dan pasti. Menonton musim ketiga serial ini seperti mendengar vonis seorang peramal kesurupan dalam mixtape, bertubi-tubi kemalangan yang sulit dipercaya, tapi pasti kejadian semua.

Terdiri dari 6 episode dengan mood dan treatment yang berbeda-beda, season ketiga Black Mirror membuatmu terombang-ambing dalam kegundahan satu dan kegelisahan lainnya.

Nosedive adalah andai-andai dalam rona pastel dengan musik ala-ala film Her, di mana rating jadi currency baru yang sedikit lebih penting dari uang, tapi tidak mutually exclusive. Supaya bisa beli rumah bahkan kondangan, rating harus bagus, supaya rating bagus, harus punya winning formula yang terdiri dari ramah-tamah, gaya hidup sehat-organik, dan sedikit ketulusan. (Cukup familiar yah melihat persona-persona instagram sekarang!) Bryce Dallas Howard main dengan pas sebagai anti heroine, wanna-be princess yang culun dan naif, semacam anak baru lulus sekolah unggulan yang tiba-tiba harus menghadapi dunia nyata pakai buku panduan yang berjudul “Martha Stewart Living”. Ketika teknologi canggih dikaitkan dengan praktik-praktik kapitalisme, manusia akan jadi semakin kaku dan konservatif karena dalam konteks kapitalisme, semua yang abstrak harus bisa diconvert jadi materi yang terhitung dan terukur.  Nilai moral pun menjadi nilai rating. Identitas seseorang jadi sebuah rapot budaya.  Sepertinya konversi abstrak ke materi ini jadi senjata Brooker untuk membuat aneka hipotesisnya tentang masa depan.

Playtest berhasil membuat saya ketawa gelisah, mirip seperti habis menonton The Lobster. Saya suka bagaimana episode ini menertawakan stereotipe bule-bule umur 20-an yang merasa harus keliling dunia untuk cari jati diri, tapi tetap tidak bisa lepas dari cengkraman mami. Pertemuan tokoh utama cowok dengan cewek London cakep ini jadi sebuah karikatur gaya hidup kawula muda priviledged dunia pertama. Ke bar, tidur bareng, lalu ngobrol sok-sok dalem. Premis episode ini (tentang main game gak bakal mati) jadi jebakan buat saya, walaupun untuk yang lain mungkin terlalu obvious, mungkin karena perubahan mendadak mood cerita jadi gothic thriller. Tapi buat saya, yang paling menarik adalah bagaimana premis “nggak akan mati” sebenarnya menjadi aspirasi ras kulit putih untuk “keliling dan melihat dunia”. Episode ini bukan tentang main game buat saya, ini lebih tentang bagaimana warga dunia pertama dengan segala privilese nya itu ingin merasa hidupnya lebih berarti dengan mengunjungi negara-negara dunia ketiga dan hidup ala-ala kita, tapi pada akhirnya akan balik ke “kampung” halamannya dengan segala kenyamanan mereka dan bersyukur dalam hati bahwa hidup mereka baik-baik saja. Dunia di luar adalah permainan buat mereka, di mana mereka bisa seenaknya masuk, menghadapi ketakutannya, lalu keluar lagi dengan utuh. Sayangnya, dalam cerita ini, tidak semudah itu bisa keluar.

Shut Up and Dance adalah mimpi buruk buat yang doyan streaming dan donlot-donlot, yang suka malas baca syarat dan ketentuan, yang ponselnya udah integrated sama g**gle. Kisah coming-of-age-teror ini dikabarkan pernah terjadi betulan, jadi kekuatannya bukan di cerita melainkan teror yang nyata. Melalui bocah yang keliatannya baru saja akil balig, episode ini mau bilang bahwa manusia sangat rapuh apalagi kalau urusannya dengan selangkangan dan teknologi.

San Junipero adalah episode favorit saya dalam antologi ini. Bercerita tentang sebuah masa di mana surga ada alternatifnya, yaitu “cloud” berwujud kota virtual bernama San Junipero, tempat yang tua bisa jadi muda lagi, disko semalam suntuk, keliling naik jeep dan menjelajahi tahun-tahun paling dikenang dalam hidupnya. LAFF anet penerjemahan surga di langit menjadi cloud komputer. Ketika hidup setelah mati adalah ketidakpastian, bukankah lebih baik kita hidup selamanya di surga made by human? Pernikahan dua nenek, pertemuan mereka di San Junipero abadi dan alunan “heaven is a place on earth” menghantui sampai episode terakhir seri ini. Warna-warni elektrik dalam realita virtual, dengan pantulan neon di genangan air dan kostum gonjreng dipadu dengan warna muted dari masa depan yang sepi dan seperti zombieland, menunjukkan bahwa mimpi selalu lebih indah dari kenyataan. Manis dan mengerikan sekaligus.

Episode kelima, Man Against Fire, sedikit lebih mudah ditebak karena twist yang berulang di beberapa cerita zombie. Di sini, Brooker mengeksplorasi bagaimana teknologi dimanfaatkan oleh pemerintah (kekuasaan) untuk mengubah kemanusiaan yang masih tersisa dari seorang prajurit jadi monster berdarah dingin.

Hated in the Nation menyadarkan saya bahwa tidak ada satu pun hal di dunia ini yang gratis. Isu kelestarian lingkungan memang selalu jadi sebuah isu yang “basah” karena rentan ditunggangi motif-motif lain. Menurut cerita ini, akan selalu ada udang di balik batu ketika penguasa rela menginvestasikan jumlah yang besar pada sebuah proyek swasta. Motif terselubung itu biasanya tidak jauh dari melanggar privasi orang, yaitu mengumpulkan database dan memata-matai. Dan ketika rencana itu berbalik jadi bencana, kita dipertontonkan betapa pemerintah impoten mengatasinya. Ada alasan kenapa internet berkembang seperti sekarang, dan itu sangat menakutkan untuk dibayangkan, karena sedikit kemungkinan ada seorang aktivis slash anarkis cyber yang akan beraksi untuk menegakkan keadilan, apalagi jika lawannya adalah cyber bullies yang seperti kumpulan lebah lapar.

Internet dan teknologi hanyalah sekedar harapan fana buat umat manusia. Tiap inovasi akan selalu dikooptasi pemerintah atau korporasi, dan dipakai  secara masif untuk membawa umat manusia ke arah yang jauh lebih buruk. Black Mirror adalah pesimisme generasi X yang masih sempat tumbuh besar dengan analog. Tapi seluruh titik tolak dari tiap cerita menunjukkan kejelian abang Brooker menangkap gejala penyakit kronis masyarakat (bergesernya kualitas jadi kuantitas, moral jadi material, ilusi akan kebebasan dan anonimitas) meninggalkan kita dengan pertanyaan, apa kita sebetulnya sudah sampai di titik kronis, ataukah ini hanya sebuah paranoia yang ngelantur? Apakah yang lagi kita tertawakan dengan gelisah ini fiksi, atau kenyataan?

 

*gambar diambil dari sini