Mogul Mowgli: Gelisah Hibriditas Budaya

Menyaksikan Mogul Mowgli seakan diingatkan pada rasa sakit yang melumpuhkan, hence it feels viscerally painful and personal. For years, I have had and still have two of what are considered the most excruciating illnesses, acute pancreatitis (which led to gallbladder removal) and endometriosis + adenomyosis combo which forced me to be homebound, bedridden, and being dependent on pain killers to get by for months. Just a little background.

Tidak pernah menyaksikan Riz Ahmed sebelumnya kuanggap sebagai sebuah keuntungan karena aku menyaksikan Zed yang utuh, bukan Riz Ahmed sebagai Zed/Zaheer. Ahmed mengaburkan batas antara dirinya dan Zed, bahkan mungkin menguliti dirinya sendiri demi melebur ke dalam Zed. Mungkin juga Mogul Mowgli merupakan semi otobiografi Ahmed secara dia juga terjun langsung sebagai co-writer. Whatever that is, he is electrifying & breathtaking.

Karir Zed (Riz Ahmed), rapper Inggris berdarah Pakistan yang tinggal di New York, kelihatannya menuju lepas landas seiring dengan tawaran menjadi penampil pembuka tur Eropa artis lainnya. Sebelum tur dimulai, Zed menyempatkan diri pulang kampung ke London setelah disindir sehingga cekcok dengan pacarnya, Bina (Aiysha Hart). Di sinilah mimpi buruk Zed dimulai. Tiba-tiba Zed mendapati dirinya menderita kondisi autoimun yang menyerang otot, yang artinya pergerakan fisik Zed menjadi sangat terbatas. Ketakutan mimpinya pupus, ia menyetujui tawaran untuk mengikuti program pengobatan eksperimen dengan resiko kemandulan, sebuah keputusan yang ditentang ayah Zed karena menurutnya apalah arti manusia tanpa keturunan.

Ayah Zed, Bashir (played brilliantly by Alyy Khan), meninggalkan Pakistan dan pindah ke Inggris setelah Pemisahan India tahun 1947. Puluhan tahun berlalu dan Bashir masih menutup mulut setiap topik ini mengemuka. Guneeta Singh Bhalla, pendiri Arsip Partisi 1947 (sebuah organisasi non-profit di Berkeley, California) mengatakan, “Because their experiences weren’t given importance for so many decades, they just learned to feel that what they experienced wasn’t really worth talking about.”

Setiap kali Zed berada dalam kondisi tertekan, ia bermimpi (atau itu mungkin manifestasi kenangan buruk ayahnya) berada dalam gerbong kereta hantu (karena membawa mayat orang-orang yang dibantai saat berusaha melintasi perbatasan India dan negara baru Pakistan) dan menyaksikan kebrutalan pembantaian pengungsi yang terjadi selama migrasi massal tahun 1947 tersebut. Migrasi massal terbesar dalam sejarah manusia. Dalam mimpi dan halusinasinya, Zed juga selalu menjumpai laki-laki dengan muka tertutup rangkaian bunga (mala) menggumamkan nyanyian “Toba Tek Singh” (nama sebuah kota di Punjab yang juga dijadikan judul cerita pendek berlatar belakang pemisahan India oleh Saadat Hasan Manto), namun Zed tidak pernah memahami penuh arti kehadiran sosok tersebut. Mimpi dan halusinasi Zed bagaikan luka masa lalu Bashir yang diwariskan menjadi kegelisahan identitas Zed. Lahir dan besar di Inggris namun selalu dipertanyakan asal-usulnya. Semua diterjemahkan Ahmed dalam lirik “Where You From”. A brilliant and heartbreaking poem.

They ever ask you “Where you from?”
Like, “Where you really from?”
The question seems simple but the answer’s kinda long
I could tell ’em Wembley but I don’t think that’s what they want
But I don’t wanna tell ’em more ’cause anything I say is wrong

Britain’s where I’m born and I love a cup of tea and that
But tea ain’t from Britain, it’s from where my DNA is at
And where my genes are from
That’s where they make my jeans and that
Then send them over to NYC, that’s where they stack the P’s and that

Skinheads meant I never really liked the British flag
And I only got the shits when I went back to Pak
And my ancestors’ Indian but India was not for us
My people built the West, we even gave the skinheads swastikas

Now everybody everywhere want their country back
If you want me back to where I’m from then bruv I need a map
Or if everyone just gets their shit back then that’s bless for us
You only built a piece of this place bruv, the rest was us

Demi dapat kembali berdiri di atas kedua kakinya sendiri, Zed meruntuhkan idealismenya dan mencoba metode penyembuhan apapun yang ditawarkan; mulai dari metode medis (terapi eksperimen yang dapat berakibat kemandulan permanen) hingga tradisional (dari minum air yang didoakan, hingga menyerah untuk di-cupping secara diam-diam oleh keluarganya. Menurut mereka, “toh trennya sekarang semua atlit di-cupping dan semua orang beralih ke kunyit untuk pengobatan alamiah”. Insinuations for the white’s cultural appropriation of healthy and natural lifestyles craze). Menerima diobati secara tradisional seperti sebuah tamparan bagi ‘kemodernan’ Zed. Namun bagaimana mau mempertahankan prinsip dan memiliki otoritas penuh terhadap tubuh sendiri, ketika untuk bergerak pun masih membutuhkan bantuan orang lain? Tangisku meledak saat menyaksikan Zed bangun di rumah sakit dengan ayahnya membaca Al-Qur’an di samping tempat tidur. Juga di lain waktu saat ia bangun mendapati ibunya sedang mengelus kepalanya dan bapaknya sedang sholat di kursi. They are scenes that are too familiar with me. Sebagai anak yang sudah dewasa, sulit rasanya kembali bersandar (secara harfiah) pada orang tua yang notabene tidak lagi kuat.

Alyy Khan & Riz Ahmed

Bersandar pada orang tua juga ‘memaksa’ Zed kembali menghadapi pertentangan nilai dengan orang tua, terutama ayahnya. But at the end of the day, they are still family walaupun mereka acapkali bersitegang. Adalah Bashir yang menenangkan Zed yang frustasi, “Zaheer, sabaar. Insya Allah there’ll be more opportunities” (Lagi-lagi kubanjir air mata. Persis seperti mamakku kalau aku lagi frantic).

Façade Zed yang defensif, bahkan terkadang agresif, menjadi tameng atas kerapuhan Zaheed Anwar. Hibriditas budaya yang melahirkan konflik identitas berlapis Zed, walaupun di satu sisi menjadi inspirasi berkeseniannya, namun di sisi lain selalu membuatnya limbung dan gelisah. All of his insecurities and anxieties speak to me. Seperti misalnya, aku ingat ketegangan dan kegelisahanku di masa muda saat pertama kali menghadapi cupika cupiki, satu tradisi ‘anak gaul’ yang saat itu lumayan jauh dari nilai-nilai yang kupegang, coming from a rather conservative background aka si anak alim. Saat itu aku merasa seperti harus meminggirkan keislamanku demi dapat diterima lingkungan yang lebih ‘keren’? Mungkin sama seperti Zaheer yang memilih panggilan Zed. His cousin thinks he surrendered to the West, while he thinks he made a choice. Padahal sih inlander aja dia. So was I. Thanks to the wave of wokeness and intersectionality, we now realised that our insecurities and anxieties are valid. For a very long time, as people of colonised nations, we were made to believe that our cultural (and religious) values are backward or irrational than of the colonisers that a lot of times it makes us invalidated them.

This movie hits so close to home on so many aspects and dimensions; the cultural and value clashes, lost identity, illness and its effects, parents attending their adult-age child care, and taken away dream. I was so not prepared for the surge of emotions this movie brings. A wonderful feature debut by Bassam Tariq, who also co-wrote it with Riz Ahmed. Beberapa mungkin akan berpikir terlalu banyak yang ingin disampaikan film ini, tapi kalau kita pernah berada dalam persimpangan budaya seperti Zed, semuanya terasa sangat relevan.

Menjelang akhir, setelah gagal mengeluarkan sperma untuk dibekukan, Zed meludah ke dalam tabung, lalu memanggil suster sambil berkata “I’m finished”. Mungkin Zaheer yang lelah dengan semuanya menyerah memiliki keturunan, seperti tergambar dalam lirik rapnya,


“I tried to stand up for my blood but my blood won’t let me stand up
Let there me no more after me at least we’ll be at peace
If there is no seed after me Zaheer would be at peace”

Foto diambil dari https://www.mogulmowgli.co.uk/

Kim Ji Young, Born 1982: Perempuan Dalam Lingkaran Toksik Patriarki

Kim Ji Young Born 1982 Poster 1

 

“사부인 (sabuin atau ibu dari menantu laki-laki), aku juga ingin melihat anakku”. Lalu blaaar… berderai air mataku.

Terjemahan bahasa Indonesia dan Inggris memang kurang dapat menggambarkan kompleksitas istilah keluarga dan kekerabatan Korea. Kupikir merupakan keputusan yang tepat untukku menonton filmnya sebelum membaca bukunya. Ada nuansa yang mungkin tidak tersampaikan dalam bacaan versi terjemahannya (ya walaupun, aku juga gak bisa bahasa Korea sih), seperti dalam sebuah adegan yang membuatku tercekat ketika Ji Young menegur mertuanya dengan panggilan besan perempuan.

Novel “Kim Ji Young, Born 1982” pertama kali masuk dalam radarku saat mencari referensi untuk ulasan drama Because This Is My First Life (2017). Saat itu novel ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Tulisan ini merupakan salah satu sumber acuan berbahasa Inggris paling jelas yang saya temui saat itu. Drama Because This Is My First Life sendiri nampaknya dibuat sebagai jawaban atas segala permasalahan yang muncul di novel Kim Ji Young, Born 1982.

Jika Because This Is My First Life (atau drako-drako woke lainnya) menjadi perlawanan suara perempuan yang diopresi dalam masyarakat patriarkal, bahkan mungkin cita-cita utopis, Kim Ji Young, Born 1982 justru menghempaskan penonton kembali pada realita yang berkebalikan 180 derajat, apalagi novel ini memang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi Cho Nam Joo. Dibandingkan dengan perkembangan drama Korea yang beberapa tahun terakhir semakin tajam mengkritisi diskriminasi dalam masyarakat – termasuk isu-isu gender (terutama sejak pembunuhan di toilet umum Gangnam yang memantik gerakan #MeToo di Korea Selatan), serta memberi ruang bagi representasi kelompok minoritas yang dipinggirkan (seperti LGBTQ) – industri film mainstream Korea sepertinya malah ketinggalan dalam hal ini. Bisa jadi karena industrinya sendiri masih sangat didominasi laki-laki. Data yang dikeluarkan The Korean Film Commission pada tahun 2017 menunjukkan kurangnya representasi perempuan dalam dan di belakang layar film-film Korea, termasuk di antaranya sutradara, produser, penulis, dan videografer. Sedangkan kebalikannya, hampir 90% penulis drama Korea adalah perempuan, bahkan sebagian besar adalah ibu rumah tangga. Cho Nam Joo sendiri juga merupakan mantan penulis untuk program televisi. But I’ll save this discussion for another day.

 

Kim Ji Young Born 1982 7

 

Kim Ji Young (Jung Yu Mi), memulai hari dengan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Lalu sambil mengurus Ha Young, anak perempuan mereka, ia melanjutkan pekerjaan rumah tangga lainnya hingga malam menjelang. Sebelah tangannya dibebat untuk meredam sakit. Kalau suaminya bisa pulang lebih cepat, ia akan segera membantu memandikan anaknya. Di antara timbunan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, Ji Young sering termenung memandang matahari terbenam di teras apartemen mereka. Dia juga tidak mengerti mengapa belakangan memandang matahari terbenam membuatnya merasa gundah.

Setiap hari, rutinitas yang sama.

 

Kim Ji Young Born 1982 3

 

Ji Young remaja bermimpi menjadi penulis, walaupun akhirnya dia bekerja di bidang pemasaran. Ambisinya berkarir dikesampingkan setelah ia memiliki anak. Sebagai salah satu negara dengan tingkat pendidikan tertinggi di antara negara-negara OECD, perempuan Korea Selatan harus patah hati berkali-kali di setiap fase kehidupan. Mimpi mereka selalu dihancurkan oleh patriarki yang mendarah daging karena ujung-ujungnya ‘setinggi-tingginya menuntut ilmu, peran utama perempuan adalah sebagai istri seseorang, ibu seseorang, anak seseorang. Identitas mereka adalah sebagai pelengkap laki-laki’. Kesenjangan antargender ini ironisnya bahkan jauh di bawah Indonesia yang notabene tingkat ekonomi dan pendidikannya berada jauh di bawah Korea, dengan Indonesia berada di peringkat 84 dan Korea Selatan berada di peringkat 118 dari 144 negara berdasarkan The Global Gender Gap Report 2017.

 

Kim Ji Young Born 1982 4

Jung Yu Mi (Kim Ji Young) dan Gong Yoo (Jung Dae Hyun) dalam pertemuan layar ke-4 mereka

Sutradara Kim Do Young berhasil memadatkan segudang problematika yang umum dihadapi perempuan Korea Selatan (seumum pemberian nama Kim Ji Young pada bayi perempuan yang lahir tahun 1982 di Korea Selatan) dalam potongan-potongan kehidupan semua karakter perempuan dan mengemasnya dalam narasi yang sederhana dan sangat sehari-hari. Tidak ada makna berlapis dan simbol-simbol penanda yang membebaskan penonton bersemiotika. Bisa jadi karena alasan buruknya kesenjangan gender yang berbanding terbalik dengan kemajuan pendidikan dan ekonomi tadi sehingga ia memilih untuk menyampaikan pesan secara letterlijk. Beratnya kehidupan perempuan dalam masyarakat patriarkal dan konservatif dikontraskan dengan gambaran laki-laki yang bikin frustasi. Kalau pun mereka tidak misoginis, mereka clueless, seperti suami dan adik Ji Young. Jung Dae Hyun (Gong Yoo) digambarkan sebagai suami yang cukup suportif. Namun posisinya yang ‘membantu’ kerja domestik istri menyiratkan bahwa laki-laki se-‘progresif’ Dae Hyun pun tidak memahami konsep berbagi tanggung jawab domestik dan kesetaraan saking lamanya hidup dalam dunia yang diciptakan oleh, untuk dan berputar di sekitar laki-laki.

Nyaris tidak ada gejolak besar dan percakapan filosofis, tetapi sepanjang film penonton disuguhkan rangkaian kekerasan yang dinormalisasi di setiap tahap kehidupan perempuan dan semua terasa luar biasa sedih, karena sebagai perempuan yang hidup di negara patriarkal Indonesia, semuanya terasa begitu familiar. Dan menyakitkan.

Film ini merupakan kali ke-4 Jung Yu Mi dan Gong Yoo bekerjasama. Sebelumnya mereka bermain di film Silenced (2011) dan Train To Busan (2016), serta menjadi cameo di salah satu episode drama Dating Cyrano Agency (2013). Jika di kedua film sebelumnya, selalu Gong Yoo yang menjadi karakter utama, kali ini giliran Jung Yu Mi yang berperan sebagai tokoh sentral. Kemunculan Gong Yoo yang lebih terasa sebagai pemeran pembantu, apalagi film ini memang berfokus di perempuan, membuat saya berpikir apakah Gong Yoo dipasang untuk ‘bemperin’ film ini? Walaupun tetap saja tidak menghentikan kontroversi Kim Ji Young Born 1982 yang terus berlanjut dalam ‘ratings terror’.

Jung Yu Mi memang tidak dikenal untuk ekspresinya yang dramatis, namun di sini kedatarannya justru memberi nyawa pada karakter Ji Young yang saking lelahnya tidak lagi sanggup melawan dan menyerah pada tekanan sistemik. Kemarahannya yang ditekan bermanifestasi dalam bentuk gangguan kesehatan mentalnya. Di antara hubungan Ji Young dengan orang-orang di sekitarnya, yang paling menyentuh sekaligus menyakitkan adalah hubungan Ji Young dengan ibunya. Menyakitkan karena ibunya harus menyaksikan Ji Young terjebak dalam siklus lingkaran toksik patriarki seperti dirinya. Kim Mi Kyung yang berperan sebagai ibu Ji Young mengalirkan kehangatan dan kebijaksanaan yang khas ‘ibu Kim Mi Kyung’ (you’ll know what I mean if you watch her dramas). Klimaks film ini pun ada di tangannya saat ia mendapati Ji Young berbicara sebagai neneknya.

 

Kim Ji Young Born 1982 6

Kim Mi Kyung yang selalu menawan

 

Walaupun film ini menyesakkan dari awal hingga akhir, namun Kim Do Young memilih untuk menyisipkan sedikit harapan sebagai penutup. Mengutip ucapannya dalam konferensi pers, “The novel shows bitterness of the reality throughout, but when writing the screenplay for the movie, I wanted to send a hopeful message to all Kim Ji-youngs in 2019, that they are living in a better world than Ji-young’s mother, and their children will be as well.” Somehow I can understand this and appreciate the choice she made.

“Ji Young, lakukanlah apa yang membuatmu bahagia.”

 

Kim Ji Young Born 1982 9

 

Parasite: Nafas Drama Korea dalam Kompilasi Filmografi Bong Joon Ho

Parasite 1

Dulu saya pernah bertanya-tanya, mengapa saya bisa menonton Memories of Murder  berkali-kali, padahal film tersebut diangkat dari kisah nyata yang artinya tidak banyak ruang tersisa bagi sutradara untuk berimajinasi liar. Setelah menonton Parasite (2 kali!), sepertinya saya menemukan jawabannya.

Membaca filmografinya, Bong Joon Ho hampir selalu menawarkan premis sederhana yang disampaikan dengan narasi linear. Sinematografi dan musik yang dramatis tidak serta-merta menjadikan film-film Bong pretentious. Tapi saya curiga dua elemen tadi justru yang membuat banyak orang seringkali melihat film-film Bong Joon Ho sebagai karya yang avant garde dan gila, apalagi Bong juga suka dengan metafora-metafora kecil. Padahal buat saya kebalikannya. Bong juga suka menyelipkan bercandaan konyol segelap apapun filmnya. Tidak salah jika kemudian ada yang menyandingkan Parasite dengan film-film Warkop DKI yang juga kerap berisi satir sosial.

Menonton drama Korea mungkin bisa memberikan gambaran yang lebih jelas bagaimana kelas merupakan topik bahasan yang sangat lazim, nyaris selazim nasi dan kimchi bagi orang Korea, dalam tayangan yang distereotipkan sebagai tontonan kacangan atau alay. Dari drama harian atau akhir pekan (yang ceritanya kadang luar biasa tidak masuk akal), komedi romantis dengan fairy tale syndrome-nya, kriminal, sosial politik sampai horor; dari ribut-ribut ala orang kaya kompleks vs orang miskin kampung sebelah sampai kesenjangan struktural, kelas hadir baik sebagai subyek maupun latar belakang dalam drama Korea. Bisa jadi ini juga jadi salah satu alasan kenapa Bong bilang film ini mungkin terlalu Korea buat penonton internasional (terlebih bagi mereka yang tidak menonton drama Korea), di luar simbol-simbol lokal lain yang (tentunya sebagai bukan orang Korea) saya juga belum paham benar. Mungkin.

Parasite 3

Keluarga Kim bekerja serabutan sebagai pelipat box pizza di apartemen semi-basement (banjiha/반지하) mereka

Namun tidak seperti drama yang punya keleluasaan episode untuk bereksplorasi membangun narasi, film harus mampu memadatkan argumen-argumennya dalam waktu yang terbatas. Bong melakukan ini dengan menciptakan penanda yang dihadirkan berulang kali untuk membangun intensitas pemicu konflik. Jika dalam Mother penanda itu adalah ejekan Bodoh kepada Do Joon (Won Bin), dalam Parasite Bong menggunakan Bau dan Batas.

Mr Park (Lee Sun Kyun), seperti layaknya kelas menengah atas pretensius lainnya, (seakan-akan) memberikan kebebasan dan menghargai pekerja-pekerjanya, selama mereka tidak “melewati batas”. Dalam kata Batas terkandung makna kesetaraan yang munafik. “I’m all for (insert cause/term), as long as…”. Bayangan melintasnya para pekerja rumah tangga ke dalam eksklusivitas teritori sosial imajiner pasangan Park membuat fake woke people ini gerah, segerah kelas menengah Jakarta yang terganggu dengan gegar budaya masyarakat kelas bawah terbelakang yang tidak pernah mencicipi kedisiplinan bermasyarakat ala negara dunia pertama atau kejijikan kaum borjuis mencium toilet Plaza Indonesia yang hilang kewangiannya tergantikan bau busuk hajat rakyat jelata di gegap gempitanya uji coba MRT. Kemunafikan Mr. Park sedikit banyak mengingatkan saya pada Han Jung Yo, kepala keluarga keluarga Han dalam Heard It Through the Grapevine (still, one of Korean drama’s masterpieces to date), drama Korea yang juga menguliti dan mengolok-olok pretensi basi kaum borjuasi.

Parasite 2

Mr Park (Lee Sun Kyun) & Yeon Kyo (Cho Yeo Jeong)

Jika Batas adalah penanda bagi Mr Park, Bau adalah penanda bagi Kim Ki Taek (Song Kang Ho). Isyarat Bau yang didemonstrasikan berulang kali menggoyahkan kepercayaan diri Ki Taek karena bau mengafirmasikan posisi marjinalnya. A quite Orwellian of Bong. Maka kemudian ledakan kemarahan Ki Taek melihat Mr Park menutup hidung memang seperti bom waktu, seperti Hye Ja (Kim Hye Ja) dalam Mother yang mengamuk mendengar putra kesayangannya dipanggil Bodoh.

But there was another and more serious difficulty. Here you come to the real secret of class distinctions in the West–the real reason why a European of bourgeois upbringing, even when he calls himself a Communist, cannot without a hard effort think of a working man as his equal. It is summed up in four frightful words which people nowadays are chary of uttering, but which were bandied about quite freely in my childhood. The words were: The lower classes smell.

The Road to Wigan Pier, Chapter 8 – George Orwell

Parasite 7

Song Kang Ho sebagai Kim Ki Taek. Lewat Parasite dan The Host, akhirnya saya akhirnya paham kenapa Song Kang Ho jadi kesayangan banyak sutradara di Korea Selatan.

Tidak hanya menghadirkan konflik vertikal (yang dalam film-film Bong sering disimbolisasikan secara harfiah dengan ruang-ruang vertikal), tapi Parasite juga menunjukkan bahwa peperangan sesungguhnya justru terjadi di lapisan bawah. Apapun masalahnya, kaum elit (di seluruh dunia) selalu jadi yang lebih dahulu lolos dari jeratan masalah, sedangkan rakyat jelata tetap gontok-gontokan untuk bertahan hidup. Apalagi ketika sudah menyangkut urusan perut.

Parasite 4

Kakak beradik Kim Ki Jung (Park So Dam) & Kim Ki Joo (Choi Woo Shik)

Seperti dalam banyak drama Korea, Parasite juga menolak dikotomi perspektif hitam – putih, walaupun Bong tetap mengambil posisi dalam film ini. Tipu-tipu keluarga Kim ‘menginvasi’ ruang mewah keluarga Park berangkat dari kebutuhan mereka bertahan hidup. Untungnya si empunya rumah bukan ‘monster’. Dalam kepala Ki Taek, ini artinya “Mr Park adalah orang baik walaupun dia kaya”. Choong Sook (Jang Hye Jin), istri Ki Taek, kemudian mengoreksinya dengan “Mr Park bukan kaya tapi baik. Dia bisa baik karena kaya. Gue juga bisa baik kalau kaya”. Pahit memang melihat keluarga Kim harus menjustifikasi usahanya mencari pekerjaan (rendahan pula) karena merasa bersalah sudah menipu dan menjadi parasit di rumah keluarga Park. Entah Bong mengutip atau terinspirasi, yang jelas kalimat ini adalah kalimat paling menohok & mengesankan dalam drama My Ahjussi (yang juga dibintangi Lee Sun Kyun).

Parasite kemudian menjadi salah satu karya Bong yang paling saya nikmati justru bukan karena “kebesaran” idenya. Kebrutalan Parasite bisa jadi tidak “segila” film-film Park Chan Wook dan kesedihannya bisa jadi tidak seperih film-film Hirokazu Koreeda (walaupun di kali kedua saya menonton, saya mewek menyaksikan tatapan sedih Pak Ki Taek setiap tuan dan nyonyanya tutup hidung atau melihat kesigapan Kim Ki Woo (Choi Woo Shik) mengambil setiap kesempatan walaupun dia tidak akan pernah living his dreams), namun saya menyukai keluwesan (dan kemauan) Bong menjembatani ranah film komersil dan the so-called film seni, bahkan memasukkan rasa drama dalam kasus Parasite. Kalau diibaratkan makanan, Parasite terasa seperti masakan dengan berbagai macam bumbu yang menyatu halus dengan rasa yang tidak tajam sehingga membuat penyantapnya ingin mencicipi kembali untuk meraba rasa apa yang tercampur dalam makanan tersebut, if that makes any sense. Ini nampaknya jawaban pertanyaan saya di awal tadi.

Menggabungkan banyak elemen dari film-film terdahulunya, ditambah dengan kerapian semua aspek film, mulai dari cerita, alur, hingga akting para pemainnya, Parasite tak terelakkan terasa seperti kompilasi filmografi Bong Joon Ho. Ala-ala album Best Of lah kira-kiranya.

My Ahjussi: Kelindan Feminisme, Kapitalisme dan Kolektivisme dalam Perlawanan yang Sunyi

my ahjussi 2
Oleh Festi Noverini dan Ratri Ninditya

Orang sering heran mengapa kami nonton drama korea. Drama Korea kan seksis, kata mereka. Buat kami, drama korea bukan tidak mungkin mengandung pesan-pesan subversif, yang mempertanyakan konvensi gender dan kelas di masyarakat kontemporer Korea Selatan. Malah justru mereka bisa menyajikannya di tengah keterbatasan formula dan tuntutan untuk tetap komersil. Keberadaan drama-drama semacam ini juga sangat menarik karena merefleksikan potensi penonton untuk menerima pesan subversif tersebut.

My Ahjussi adalah salah satunya. Drama ini bicara feminisme dalam bahasa dan konteks budayanya sendiri tanpa perlu menjadi imitasi Hollywood. Drama ini mampu mengilustrasikan pertentangan gender dan kelas yang berkelindan dengan kolektivisme khas Korea dalam eksplorasi karakter yang berlapis-lapis dan cerita yang menggugah.

Marx pernah bilang kalau kapitalisme mengasingkan individu dari individu lainnya dan juga dari masyarakatnya, bahkan ujung-ujungnya, dari esensi manusia itu sendiri. Ini merupakan konsekuensi dari menjadi bagian mekanis dari sebuah kelas sosial.

Kapitalisme memang kejam, tapi yang membuat lebih merana adalah terperangkap kekejaman sistem kapitalisme dalam tatanan sosial yang konservatif dan kolektif. Sudahlah orang limbung kehilangan dirinya, di saat yang bersamaan mereka juga dipaksa tetap hadir dalam keguyuban. Korea (Selatan dan Utara), memiliki sebuah identitas kolektif yang disebut sebagai Uri (우리), yang secara harfiah berarti ‘Kita’ atau ‘Kami’. Makna Uri tentunya tidak sesederhana arti kata ‘Kita’ atau ‘Kami’ tadi. Dalam tatanan masyarakat yang hiperkolektif, ‘Saya’ hilang di dalam ‘Kita’. Identitas kolektif Uri kemudian berkelindan (intersects) dengan kelas dan maskulinitas dan menekan anggota-anggotanya untuk mematuhi kode-kode normatif yang telah disepakati untuk mencapai keteraturan dan keharmonisan masyarakat yang hakiki.

my ahjussi 5

Park Dong Hoon (Lee Sun Kyun)

Kelindan ini diilustrasikan dengan sangat realistis dalam karakter utama lelaki Park Dong Hoon (si om) yang diperankan oleh Lee Sun Kyun. Park Dong Hoon ada di pusat ini semua. Di sini kita juga melihat bahwa imbas dari patriarki tidak hanya pada perempuan, tapi juga laki-laki. Si om adalah seorang pekerja kantoran medioker kelas menengah. Hidupnya terlihat ideal: berpenghasilan tetap, beristri cantik dan bisa menyekolahkan anaknya di luar negeri. Di balik itu semua, ia terepresi dan hampa karena seumur hidup berusaha menjadi kelas menengah budiman penyokong hidup keluarga inti dan keluarga besarnya. Istrinya yang pengacara ingin ia berhenti kerja di kantor itu karena ia tidak kunjung naik jabatan. Beban maskulinitas untuk selalu stabil secara finansial membuat ia bertahan di pekerjaan itu daripada mempertaruhkan uang untuk menjadi wiraswasta dan gagal seperti kakaknya.

Di sini, Uri meleburkan konsep diri si Om sebagai individu. Mimpi dan kebahagiaannya adalah mimpi keluarga besar dan istrinya. Kesedihan dan kegusarannya tersembunyi dalam kehidupan kolektif ini. Di depan keluarga, ia hadir dengan senyum dan uang dan statusnya yang membanggakan sebagai pegawai kantoran. Cukup baik, walaupun tidak pernah benar-benar memuaskan (karena kapitalisme menuntutmu untuk terus dan terus memperbaiki diri, alias cari uang lebih banyak lagi). Jalinan Uri, kapitalisme, dan patriarki juga menghasilkan relasi sosial yang racun, sebuah lingkaran setan yang memerangkap individu, seringkali merusak kesehatan tubuh dan mental. Jam kerja yang panjang dan penghargaan yang tidak setimpal membuat orang Korea butuh “piknik”, yang diulas dalam artikel ini sebagai ‘play culture’. Si om memiliki dua saudara kandung laki-laki, Sang Hoon (Park Ho San) dan Gi Hoon (Song Sae Byeok). Mereka kumpul rutin untuk puk-puk bro berjamaah, mengasihani dan menjustifikasi maskulinitasnya masing-masing ditemani alkohol dan kesedihan yang ditekan dalam-dalam. Setelah ritual selesai, ketika sendirian di tempat tidur masing-masing, kegusaran mereka kembali hadir.

Lalu apa sih yang specifically feminis dari drama yang jika diterjemahkan berjudul “Om Aku” dan memasang dua tokoh utama (Lee Sun Kyun dan IU) yang rentang umurnya dua puluh tahunan? Kok kedengaran seperti romantisasi yang disturbing hubungan daddy-daddy dan sugar babynya?

 

Dalam konvensi drama Korea kebanyakan, gaze, atau pandangan, tertuju pada perempuan. Tubuh dan kelakuan perempuan seolah menjadi kiblat di mana nilai-nilai kebaikan berpijak. Saat perempuan tokoh utama kehilangan nilai-nilai kebaikan ini maka peran lelaki adalah untuk datang dan menyelamatkannya dari jurang nestapa. Biasanya butuh dua laki-laki untuk ‘meluruskan’ si perempuan, yang satu dapat ciuman tulus dan satu lagi gigit jari.

Namun, gaze dalam My Ahjussi selalu milik tokoh utama perempuan. Selama 24 jam setiap hari ia mengawasi gerak-gerik si Om melalui ponsel om yang dia sadap. Di sebuah kota dengan mata (secara kiasan dan harfiah) yang selalu mengawasi dan siap mengadili tubuh-tubuh warganya setiap saat, penggunaan elemen sadap yang justru dilakukan oleh tokoh perempuan adalah unsur yang sangat menarik dari serial ini. Alih-alih mengadili tingkah laku perempuan, serial ini menginterogasi cara pandang masyarakat urban Korea Selatan terhadap perempuan, terutama yang muda dan miskin, pengkotak-kotakan gender dan perannya di masyarakat, termasuk tuntutan-tuntutan untuk menjadi lelaki “tulen”. Yang juga menarik, gaze versi perempuan ini bentuknya bukan video/visual, melainkan suara, sebuah sindiran terhadap istilah “perempuan adalah pendengar yang baik.” Dengan alat sadapnya, perempuan tokoh utama, Lee Ji An, yang diperankan IU, adalah dalang cerita dan selalu berada beberapa langkah di depan orang lain. Ia punya kontrol penuh atas hidupnya dan bahkan sanggup mengendalikan hidup orang lain.

my ahjussi 6

Lee Ji An (IU)

Lee Ji An hadir sebagai sosok subversif antitesis Park Dong Hoon: miskin, nyablak, agresif, mengganggu keimanan si om. Ji An tidak merasa perlu ikut ‘hweshik’ alias makan-makan kantor demi menjalin keakraban dengan rekan kerja. Dia cuma melakukan pekerjaan kantor seperlunya, pulang ke rumah menemui neneknya yang sudah tidak bisa berjalan, lalu minum 3 sachet kopi instan. Selain karena gratis dan biar lekas kenyang,  kandungan gula tinggi dalam kopi instan jadi penawar hidupnya yang terlalu pahit dan melelahkan.

Karena kelas, usia dan gendernya, tak ada yang menyangka Ji An pandai dan cerdik, sebuah refleksi masyarakat yang selalu menganggap enteng perempuan muda apalagi jika ia berasal dari kelas pekerja. Ji An memanfaatkan citra tersebut untuk lebih leluasa memutarbalikkan situasi agar menguntungkan dirinya. Lewat earphone murahan, nafas Dong Hoon terdengar di telinga Ji An sepanjang hari, menyadarkannya bahwa pria paruh baya ini selalu kelelahan, secara harfiah dan kiasan, tidak berbeda dari dirinya. Kesamaan inilah yang membuat Ji An terobsesi pada Dong Hoon.

Humor pahitnya: Dong Hoon selalu berusaha untuk menyelamatkan Ji An, tapi malah Ji An yang berkali-kali menyelamatkannya. Dong Hoon adalah orang terakhir yang tahu mengenai hubungan istri dengan atasannya sendiri. Sembari Dong Hoon berusaha menjadi ksatria berkuda putih, Ji An membereskan semua orang yang berusaha menjebak Dong Hoon dan memastikan Dong Hoon naik pangkat. Atta gurl!

Lewat sempilan percakapan Ji An dan neneknya yang bisu, drama ini juga menyindir arogansi kelas dan positivity craze. Saat neneknya mengatakan Dong Hoon adalah orang baik, Ji An dengan tajam menjawab, “gampang jadi orang baik kalau punya uang.”

Nenek Ji An yang bisu seakan menjadi metafora tentang muted feelings, berbagai perasaan yang direpresi sehingga tak ada yang bisa mengerti. Sementara Ji An hadir sebagai si maha pendengar yang memahami segala (bahkan bahasa isyarat!).

Ji An juga selalu dikejar-kejar Lee Kwang Il (Jang Ki Young) yang bahkan sudah tidak sadar lagi apakah dia mem-bully Ji An sekedar untuk menagih hutang dan membalas dendam atau justru sedang cari perhatian dengan cara yang sangat misoginis karena dia sendiri juga sebenarnya sangat terasing.

Istri Dong Hoon, Kang Yoon Hee (Lee Ji Ah), tidak digambarkan sesederhana sebagai istri pengkhianat. Ia punya kesedihannya sendiri. Ia tidak tahan dengan nilai-nilai patriarkis yang dianut suami beserta keluarganya. Sebagai seorang pengacara mungkin penghasilannya lebih besar dari Dong Hoon. Tiap ia berkunjung ke rumah mertua, ia dihadapkan dengan mertua yang tidak pernah mempersilakan ia membantu di dapur. Sikap pasif agresif ini mungkin akibat dari rasa  malu karena justru Yoon Hee yang berpenghasilan paling tinggi melebihi anak-anak laki-lakinya. Ia benci dengan Dong Hoon yang selalu minta maaf, seolah-olah ia adalah istri tak tahu berterima kasih. Di sisi lain, ia ingin Dong Hoon keluar dari kantor keparatnya karena tak tahan melihat suaminya yang sudah habis gairah hidup.

Kecanggungan juga diperumit dengan rasa rendah diri ibu dan saudara-saudara Dong Hoon karena mereka berada di kelas sosial yang berbeda dari sang istri. Perbedaan kelas ini yang mungkin menimbulkan perbedaan nilai dalam memandang keluarga. Si istri kelas atas-berpendidikan menganggap keluarga inti adalah prioritas, sementara keluarga besar kelas menengah bawah merasa perlu terlibat dalam gono-gini semua anggota keluarga besarnya.

Yang juga menarik di drama ini, semua karakter perempuan berada di pihak yang lebih agresif (berlawanan dengan konvensi drama Korea yang seringkali memposisikan perempuan sebagai makhluk pasif). Di luar Ji An dan Yoon Hee, ada ibu dari tiga bersaudara Hoon, Byeon Yo Soon (Go Doo Shim), yang merupakan single parent. Sampai tua pun dia masih mengurusi anak-anaknya, terlebih ketika Sang Hoon dan Gi Hoon jadi pengangguran, padahal dia sendiri juga hidup pas-pasan. Jung Hee (Oh Na Ra) – si pemilik bar yang menyediakan kebahagiaan semu bagi para laki-laki paruh baya dengan pekerjaan yang jauh dari gambaran sukses – mengkonfrontasi mantan kekasihnya yang dulu tiba-tiba memutuskan jadi biksu. Istri Sang Hoon, Jo Ae Ryun (Jung Young Joo) menceraikan Sang Hoon. Lalu Choi Yoo Ra (Nara), yang tadinya benci setengah mati lalu berbalik mengejar Gi Hoon dengan alasan yang cukup konyol tapi jadi pukulan telak buat arogansi Gi Hoon, karena sekarang dia juga sama-sama jadi pecundang!

Kolektivisme memang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi dia memberikan beban normatif bagi anggota masyarakat, namun di sisi lain dia menjadi sumber kekuatan untuk melalui rintangan bersama, dan Korea Selatan sudah membuktikan ini berkali-kali, seperti saat perang Korea, serta mungkin yang paling fenomenal di masa kita, krisis keuangan Asia. Dalam My Ahjussi, kolektivisme ini ditunjukkan dalam proses pembentukan manusia. Saya pernah bilang kalau saya suka bagaimana drama Solomon’s Perjury menerjemahkan dengan baik pepatah “butuh orang sekampung untuk membesarkan seorang anak”. Kehangatan keluarga yang hilang dari kedua orang tuanya pelan-pelan digantikan oleh gerombolan om-om dan seorang tante yang mengantarkan Ji An pulang ke rumah dan “menitipkannya” pada tetangga, serta hadir dan mengurusi semua kepentingan pemakaman neneknya. Mungkin jika Kwang Il juga menerima sedikit saja kebaikan dari lingkungannya, dia tidak akan tumbuh jadi sesadis itu. Mungkin.

Dengan karakter perempuan yang subversif, serial ini dapat disebut sebagai counter genre daddy long legs yang memberikan penonton sebuah potongan kehidupan masyarakat kontemporer Korea Selatan tanpa melupakan segala kompleksitasnya.

Solomon’s Perjury – Coming of Age yang Kolektif

“It takes a village to raise a child”

Saking beratnya tugas ini, sampai-sampai (katanya) sebuah suku bangsa di benua Afrika sana merasa perlu orang sekampung untuk sama-sama memikul tanggung jawab menjaga proses pertumbuhan calon manusia dewasa. Bisa jadi Miyuko Miyabe juga terinspirasi pepatah ini, sampai kemudian melahirkan trilogi “Solomon no Gisho” yang terasa hampir seperti sebuah terjemahan harfiah pepatah tersebut. Setelah Solomon’s Perjury 1: Suspicion dan Solomon’s Perjury 2: Judgment, film 2 bagian produksi Jepang yang dirilis tahun 2015, di tahun 2016 Korea juga ikut mengadaptasi novel ini ke dalam drama seri televisi.

Cerita Solomon’s Perjury diawali dengan penemuan jasad Lee Seo Woo (Seo Young Joo) yang tertutup salju di halaman SMA Jeong Guk. Tanpa kehadiran petunjuk-petunjuk lain, pihak sekolah dan kepolisian memutuskan penyebab kematian Seo Woo adalah bunuh diri dengan melompat dari atap gedung sekolah. Namun, Go Seo Yeon (Kim Hyun Soo) menerima surat rahasia dari seseorang yang mengaku sebagai saksi pembunuhan Lee Seo Woo. Tidak puas dengan keputusan sepihak orang-orang dewasa yang dianggap menghiraukan kemungkinan lain yang mereka ajukan, atas inisiatif Go Seo Yeon, beberapa orang murid mengajukan usulan untuk melakukan investigasi dan mock trial mereka sendiri. Bukan untuk menghukum pelakunya kalau tertangkap, tetapi lebih untuk mengungkapkan penyebab sebenarnya di balik kematian Seo Woo.

Singkat dan efektif, Solomon’s Perjury hanya perlu 12 episode untuk mengupas tuntas semua aspek yang mungkin berkontribusi pada kematian Seo Woo, mulai dari sistem pendidikan yang korup (harfiah dan kiasan), school bullying (oleh siswa dan juga guru), hingga kesehatan mental. Miyuki Miyabe sepertinya selalu tertarik dengan hubungan antara perubahan kondisi sosioekonomi dan sosiopolitik masyarakat dan pengaruhnya terhadap pembentukan diri anggota-anggotanya. Misalnya, dalam novel “All She Was Worth” alias Kasha (火車) yang ditulisnya tahun 1992, Miyabe menggambarkan efek korosif konsumerisme di masyarakat Jepang.

Penulis naskah Kim Ho Soo cukup cermat menerjemahkan novel ini menjadi sebuah serial drama yang bersahaja tanpa intonasi bombastis dan narasi bertele-tele demi memenuhi detil triloginya maupun tuntutan rating. Dengan melakukan sedikit penyesuaian pada detil cerita, Solomon’s Perjury versi drama terasa lebih solid dan utuh, bahkan juga lebih tenang dan teratur dibandingkan versi filmnya yang frantic dan lompat-lompat. Salah satu contoh penyesuaiannya adalah jika dalam versi film Joto No. 3 merupakan sebuah SMP, di versi drama Jeong Guk adalah sebuah SMA. Dengan usia dan kematangan psikologis yang lebih dewasa, penggunaan medium mock trial pada versi drama terasa lebih masuk akal dibandingkan dengan versi filmnya.

Dalam budaya populer, bicara mengenai dunia remaja seringkali artinya bicara mengenai proses pencarian jati diri atau coming of age. Namun, coming of age versi Solomon’s Perjury jauh dari stereotip film-film dunia pertama yang seringkali bicara self melulu, seakan-akan self sungguh jumawa bisa berdiri lepas dari society. Ide proses menuju dewasa dalam Solomon’s Perjury tidak sesempit pencerahan pribadi, namun juga merupakan pencerahan kolektif yang dicapai melalui proses bersama semua anggota masyarakat. Di ujung proses ini, remaja sampai pada sebuah kesadaran bahwa mereka punya suara yang sama penting dan sama-sama merasakan kecemasan akan hal-hal yang terjadi di luar diri mereka seperti yang dialami orang-orang lebih tua dari mereka. Seperti kecemasan Seo Woo menyaksikan korosi moral yang terjadi di depan matanya. Sebuah proses menuju kedewasaan dimana para remaja ini melibatkan diri langsung dalam proses demokrasi atas dasar keadilan sosial.

Kritik Seo Woo yang terus menerus atas lingkungan sekolahnya yang carut marut tidak dimaknai sebagai negativitas (hadeuh cukup sudah positivity cult ini), namun sebagai kekecewaan dan kemarahan yang di dalamnya tetap tersimpan sedikit harapan akan dunia yang lebih baik. Paradoks sederhana yang nampaknya sulit dipahami oleh kaum kebelet bahagia yang kemudian dipuk-puk Hollywood.

vlcsnap-01417vlcsnap-01418vlcsnap-01419vlcsnap-01420vlcsnap-01421

Dalam konteks tatanan masyarakat yang hierarkis, Solomon’s Perjury adalah utopia, dimana anggota masyarakat yang lebih lemah didengarkan suaranya dan berdiri sejajar anggota yang lebih kuat. Lee Seo Woo mengguncang tatanan kaku ini dan kekuasaan tidak menyukainya. Dalam kesaksiannya, Han Kyung Mun (Jo Jae Hyun), Ketua Yayasan Jeong Guk Foundation mengatakan, “Sekolah juga merupakan masyarakat dan masyarakat hanya menyediakan tempat bagi mereka yang berusaha untuk berasimilasi. Namun masyarakat tidak memiliki tanggung jawab untuk merangkul mereka yang menyerah berusaha. Itulah Lee Seo Woo. Dia bahkan tidak berusaha untuk beradaptasi dengan masyarakat.”

Kekuasaan memang tidak mau Seo Woo beradaptasi, mereka hanya mau Seo Woo mematuhi. Sebuah potret buram kemapanan yang menua dan telah malas menerima perubahan, apalagi berjuang.

Solomon's Perjury 8

Lee Seo Woo (Seo Young Joo)

 

Solomon’s Perjury (솔로몬의 위증) tayang di JTBC (16 Desember 16, 2016 – 28 Januari, 2017). Ulasan aslinya ada di sini.

Tuesdays With Morrie Revisited: “A romantic traditionalist, a shallow self-absorbed baby boomer and life’s shittiest craps”

Processed with VSCO with e7 preset

Mitch Albom’s Tuesdays With Morrie

Well, not really. I’m being hyperbolic.

I wrote in my Instagram’s post that “revisiting a book is always a good idea to know how much you’ve changed… or not, and whether a book is a great work that transcends time and changes… or not.”

And “Tuesdays With Morrie” is not. So not.

So not great, not even good, that it made me wonder, why did I even cry my heart out years ago? Like getting some kind of enlightment or epiphany. Mine even has these colourful post-its of quoted lines that I thought were brilliant and hit all the right spots. Ugh.

Now that it’s almost twenty years later, I get another enlightenment… this book is a crap.

I re-read ‘Tuesdays’ because I was planning to watch “Sabtu Bersama Bapak”, which I thought was probably ‘heavily inspired’ by this book. Well, it’s a yes and no. ‘Tuesdays’ was published in 1997 and I consider it as part of the Inspirational Lit wave that hit the popular culture in the mid-90s along with “Chicken Soup For The Soul” series and “The Oprah Winfrey Show”. In fact, Oprah did later produce the TV film adaptation of ‘Tuesdays’, and Albom’s other book, “For One More Day” which was directed by the same director of another Albom’s book-turned-into-movie, “The Five People You Meet In Heaven”

Though it seems like ‘Tuesdays’ tried to disintegrate itself from the self-help genre, for me it failed to do so. It criticised the self-help books that flooded America’s book market by saying:

“Of course, there were a million self-help books on these subjects, and plenty of cable TV shows, and $90-per-hour consultation sessions. America had become a Persian bazaar of self-help.” (p.65)

I suspect Albom was talking about the ‘Chicken Soup’ series. Self-help, inspirational, motivational, whatever their jargon is, they all have the same effect on me. Left me feeling uninspired and demotivated.

I don’t know whether it was Albom’s conscious decision not to include other topics in this book that were probably mentioned by Morrie during their Tuesday sessions or it just happened to be that it was all there is to it about Morrie. If it’s the first, then I feel sorry for Morrie for being presented in such a way. If it’s the latter, then it’s really…

Morrie Schwartz was a professor in Sociology at Brandeis University, and Albom was one of his students. Studying Sociology apparently didn’t make either Morrie or Albom have a thorough and profound view of the world, at least not in this book. They just exchanged their white privilege’s ignorance covered in the so-called meaningful aphorisms.

The problems probably lie within Morrie and Albom’s backgrounds, and they seemed to heavily influence the way Morrie and Albom think. Of course it wouldn’t be fair to stereotype both Morrie and Albom, but they seem to be the almost perfect archetypes of their generations. Morrie was born in 1916, which made him part of the so-called G.I Generation or Greatest Generation. But let’s just call them the World War II Generation, the other less familiar term. Greatest sounds… well, too much. His father, Charlie Schwartz, was a Russian immigrant who left Russia to escape the Russian Army. Little Morrie lived in poverty. His father was constantly out of job, and because of the Depression, Morrie’s father found even less work in his fur business.

The experience of seeing people work in his father’s fur factory (his father was a labourer) made him make a vow that “he would never do any work that exploited someone else, and he would never allow himself to make money off the sweat of others” (p.78). This seems to be one of the World War II Generation’s values, “We before Me”. A value that in the years to come seemed to have no place in their über-capitalistic land of dreams.

The more I read about it (this generation division) the more I see ‘Tuesdays’, well Morrie’s aphorisms in this case, as a criticism towards the Boomers and their materialistic lifestyle and values. But unfortunately Morrie failed to see through these and recognising that the biggest contribution to their consumerism and hedonism are not only that they were being spoiled by their parents, but also thanks to their own economic and social systems, capitalism.

Though the 60s and 70s saw the rise of the counterculture of the 1960s, the civil rights movement, and the “second-wave” feminist cause (which later was also criticised for whitewashing), in which all the Boomers were the key players, but in the next coming years the Boomers evolved into a self-absorbed “Me Generation”. Everything is about “me, me, me”. Their ultimate goal is happiness. My happiness. Happiness, which was once just one of the emotions in the human emotion spectrum, has now become the holy and the only purpose of life. The purpose of life that, if you’re smart (and greedy) enough, can turn you into a multibillionaire by milking every drop of it.

Before going any further, perhaps this article by Simon Sinek in Salon can give a glimpse of World War II Generation and the Baby Boomer’s relationship:

“The Greatest Generation, raised during the Great Depression and wartime rationing, wanted to ensure that their children did not suffer or miss out on their youth as they did. This is good. This is what all parents want — for their children to avoid their hardships and prosper. And so that’s how the Boomers were raised — to believe that they shouldn’t have to go without. Which, as a philosophy, is perfectly fine and reasonable. But given the size of the generation and the abundance of resources that surrounded them, the philosophy got a little distorted. When you consider the rising wealth and affluence of their childhood, combined (for good reasons) with a cynicism toward government in the 1970s, followed by the boom years of the 1980s and 1990s, it’s easy to see how the Boomers earned their reputation as the Me Generation. Me before We.”

Now, Morrie criticised what this generation had become, which Albom represented being “.. so wrapped up with egotistical things, career, family, having enough money, meeting the mortgage, getting a new car, fixing the radiator when it breaks – we’re involved in trillions of little acts just to keep going…” (p. 64-65). Hence the “Love wins. Love always wins” (p. 40) type of aphorisms.

The problem is, it doesn’t.

If love always wins, we don’t have wars anymore. No discrimination, no violence, no blood, just none of those things. None. But it doesn’t.

Morrie probably wanted to relive the ‘We before Me’ values. A balance of hard work, a sense of being a part of a society and also love. The one thing that probably his generation was really deprived of, having lived in a constant struggle, but also the one thing that Boomers throw into the sea of divorces. So that’s what he emphasised most. Love.

Unfortunately, he passed on these ideas to the already self-absorbed and self-obsessed generation. As Brakow theorised, “One reason the Boomers were so spoiled, Brokaw theorizes, was their parents’ understandable desire to compensate for their own deprivation.” So they seemed to skip the ‘We’ part and went straight ahead to the ‘Love’ part. ‘Me + Love’ = self-love = positive psychology. A new breed of ignorance.

Now to my understanding, based on these backgrounds, Morrie was not likely to be an ignorant person. But somehow, he was too in a way. This ignorance came in the form of Morrie’s wise advice when asked by Albom “how can you be prepared to die?” His answer was,

“Do what the Buddhists do. Every day, have a little bird on your shoulder that asks, ‘Is today the day? Am I ready? Am I doing all I need to do? Am I being the person I want to be?” (p.81)

Huh? What the… ?!

The 90s (the period where the sessions took place) saw the booming of American Buddhism. Stephen Prothero, a professor of Religion, in his article “Buddhist Boomer” wrote,

American converts are taking a 2,500-year-old faith and making it over in their own image — self-absorbed.”

He then went on saying,

Boomer Buddhism, by contrast, is all too often shallow and small. It soothes rather than upsets, smoothing out the palpable friction between Buddhist practice and the banalities of contemporary American life, cajoling even the Dalai Lama to direct his great mind to small American preoccupations like “The Art of Happiness.”

This is actually ironic and pitiful since Morrie is a professor in sociology, the study of social behavior or society, including its origins, development, organisation, networks, and institutions. Yet he fell for this banality. So, I’m not sure whether this is Morrie’s or Albom’s conscious choice.

These picture-perfect ideals in delulu land also makes them lose the ability to see the bigger picture. Tom Brakow, who coined the term “Greatest Generation” recalled that at their time, “Whatever else was happening in our family or neighborhood, there was something greater connecting all of us, in large ways and small.”

I also need to remind myself that Morrie came from a generation that used to classify the African-Americans as second-class citizens. Brakow wrote “The majority of black Americans were still living in the states of the former Confederacy, and they remained second-class citizens, or worse, in practice and law. Negro men were drafted and placed in segregated military units even as America prepared to fight a fascist regime that had as a core belief the inherent superiority of the Aryan people.”

Again, I’m not sure whether this was purely Albom’s or partly Morrie’s, because one story in this book is racially biased and the choice of words feels like coming from white privilege’s arrogance.

“One time, a group of black students took over Ford Hall on the Brandeis campus, draping it in a banner that read MALCOLM X UNIVERSITY. For Hall had chemistry labs, and some administration officials worried that these radicals were making bombs in the basement. Morrie knew better. He saw right to the core of the problem, which was human being wanting to feel that they mattered.” (p.112)

If this book is out today in times of the #BlackLivesMatter movement, I’m almost sure that this would be criticised as racist. I suspect that that’s mostly Albom’s, since he also constantly talked about OJ Simpson’s case again in the background.

“I heard the door to Morrie’s study close. I stared at the TV set. Everyone in the world is watching this thing, I told myself. Then, from the other room, I heard the ruffling of Morrie’s being lifted from his chair and I smiled. As “the Trial of the Century” reached its dramatic conclusion, my old professor was sitting on the toilet.” (p. 158)

Mmm… no, we were not and no, it was not, you egocentric sheltered American Boomer. The world does not, nor will it ever be revolved just around your great nation!

Now, how did all of these very white American-centric problems, and very first world problems too, resonate with readers like me who came from the so-called third-world countries? I suspect that it has to do with the US cultural imperialism propaganda. It’s almost definite that when it comes to popular culture, people who live through the 80s and 90s in their adolescent years (the Gen X-ers), especially the urban middle-class kids and teenagers, can only remember mostly America’s popular culture products, and a little bit of British’s and Australia’s. Other than that, they are very minimal or almost non-existent.

The secret of the success of North American cultural penetration of the Third World is its capacity to fashion fantasies to escape from misery, that the very system of economic and military domination generates. The essential ingredients of the new cultural imperialism is the fusion of commercialism-sexuality-conservatism each presented as idealized expressions of private needs, of individual self-realization. To some Third World people immersed in everyday dead end jobs, struggles for everyday survival, in the midst of squalor and degradation, the fantasies of North American media, like the evangelist, portray “something better”, a hope in a future better life — or at least the vicarious pleasure of watching others enjoying it.”

So it’s no surprise if the propaganda seemed to find its effective weapon in Inspirational Lit, which wave reached its height between 1993-1998, because the genre promises a better and happier life. Your personal and individual better and happier life, because it aimed to ‘dismantle’ the sense of ‘We’-ness. The same value that was not only highly valued by the World War II Generation, but also the same core value of socialism, the economic and social systems that American capitalism has fought to dismiss for decades.

One of the great deceptions of our times is the notion of ‘internationalization’ of ideas, markets and movements. It has become fashionable to evoke terms like “globalization” or “internationalization” to justify attacks on any or all forms of solidarity, community, and/or social values. Under the guise of “internationalism”, Europe and the U.S. have become dominant exporters of cultural forms most conducive to depoliticizing and trivializing everyday existence. The images of individual mobility, the “self-make person”, the emphasis on “self-centered existence” (mass produced and distributed by the U.S. mass media industry) now have become major instruments in dominating the Third World.”

Not until the spectacular failure of capitalism, more Americans are embracing the idea of socialism.

It’s almost twenty years later. I have disassociated myself with the privileged middle-class.

Because I am not.

Nor I am white.

Nor I am part of the first-world.

Nor I have benefited from the system.

So this book has become meaningless for me. A waste of an ideally revolutionary youth.

*Original post was published here*

Mungkin Sebenarnya Hidup Itu Memang Tak Bermakna: Re-encounter / Hye Hwa, Dong ( 혜화,동) (2010)

fullsizephoto146186

Hye Hwa (Yoo Da In)

“It might be possible that the world itself is without meaning.”
(Mrs. Dalloway – Virginia Woolf)

Apa yang terjadi kalau ternyata kehidupan ini pada akhirnya yah begitu saja dan tak ada maknanya? Entahlah. Mungkin banyak orang langsung tenggelam dalam depresi berkepanjangan atau histeris meratapi hidup tanpa akhir yang dicita-citakan. “Re-encounter / Hye Hwa, Dong ( 혜화,동)”, entah mengapa, meninggalkan rasa “mungkin sebenarnya hidup itu memang tak bermakna” tersebut buat saya.

“Re-encounter” dibuka dengan adegan Hye Hwa (Yoo Da In) mengendarai motor untuk menjemput seekor anjing pendatang yang tidak diinginkan oleh pemilik rumah. Hye Hwa nampaknya memiliki obsesi untuk menyelamatkan anjing-anjing terlantar atau yang tak diinginkan. Sebagai mata pencaharian, ia memiliki salon anjing kecil yang bersebelahan dengan klinik hewan, atau mungkin juga bagian dari klinik tersebut. Anak si dokter hewan klinik sebelah dekat dengan Hye Hwa, bahkan terkadang memanggilnya dengan “ibu”. Kedekatan Hye Hwa dengan sang anak dan aksi-aksi penyelamatannya terlihat seperti manifestasi penebusan entah rasa bersalah atau kehilangan atau bahkan keduanya karena di masa lalu Hye Hwa tidak dapat “menyelamatkan” bayinya sendiri yang meninggal tak lama setelah dilahirkan.

Paling tidak itulah yang tertanam di ingatannya selama 5 tahun. Sampai kemudian mantan kekasih dan ayah dari anaknya, Han Soo (Yeo Yeon Sook), yang menghilang sebelum kelahiran bayi mereka, mendadak muncul di hadapannya dan mengatakan bahwa anak mereka ternyata masih hidup.

“What if?”

The deadly question. Bagaimana jika ternyata Han Soo benar? Bagaimana jika ternyata anak mereka masih hidup dan tidak meninggal seperti yang selama ini tertanam di ingatan Hye Hwa? “Bagaimana jika” begitu menghantui Hye Hwa dan Han Soo hingga menjebak keduanya dalam delusi yang diciptakan Han Soo.

“Re-encounter” sebenarnya berpotensi untuk jadi melodrama super melankolis, tapi sutradara Min Young Keun nampaknya lebih tertarik untuk menghadirkan rasa sepi ketimbang bermain dengan air mata. Hye Hwa dewasa kini tinggal sendiri ditemani anjing-anjingnya. Ia masih memelihara kegemaran mengumpulkan potongan kukunya dalam sebuah tabung film kamera bekas, seperti ingin menyimpan bagian dirinya yang dibuang. Ibunya yang menua kini harus berpegangan pada bentangan tali rafia jika ingin ke kamar mandi. Han Soo yang kembali ke rumahnya kini berjalan setengah tertatih, mungkin akibat bekas luka tembakan atau cedera saat latihan saat dia di militer.

Semua disampaikan Min Young Keun dengan tenang, nyaris tanpa emosi eksterior. Suppressed emotions. Masuk akal mengingat kondisi kehidupan keluarga Hye Hwa. Untuk sebagian orang, mereka tidak mampu untuk jadi melankolis. Ada hidup yang harus dijalani, ada perut yang harus diisi. Mungkin bagi sebagian orang lainnya, apalagi mereka yang kehidupannya berada di tengah ke atas “Piramida Maslow”, hidup (idealnya) berisi mimpi-mimpi yang patut diperjuangkan untuk diwujudkan. Hye Hwa tidak berada di sini. Kesehariannya hanya diisi berkutat pada anjing, sama seperti banyak orang yang kesehariannya berisi rutinitas-rutinitas penyambung hidup. Kadang terlalu lelah bahkan untuk merasakan perasaannya sendiri, apalagi mencari makna.

fullsizephoto146176

Han Soo (Yoo Yeon Seok)

Perasaan-perasaan Hye Hwa dewasa yang ditekan hadir dengan subtil di tangan Yoo Da In (yang baru saya kenal melalui film ini), bertolak belakang dengan Hye Hwa remaja yang berani dan cuek. Yoo Yeon Seok, dalam peran terbaiknya (buat saya), mewujudkan Han Soo ke dalam sosok anak mama yang tak mampu menghalau patah hati sehingga menciptakan delusi untuk menyembuhkan luka, bukan hanya dirinya namun juga luka Hye Hwa.

Ketenangan, kesepian, kedataran, keheningan atau apalah perasaan yang nyaris tanpa gejolak ini entah kenapa begitu menghisap saya. Beberapa kali menyaksikan “Re-encounter”, saya tetap tidak mampu meraba dengan tepat perasaan film ini. Mungkin inilah yang membuat saya merasa mungkin pada akhirnya hidup yah begitu saja. Sekedar waktu yang berlalu, sampai nanti saatnya mati. Bahkan saat menulis ini pun rasanya begitu samar. Sama seperti tatapan Hye Hwa saat memundurkan mobilnya ke arah Han Soo. Samar.

Kenangan Berbalut Kehangatan di Ssangmundong: Reply 1988 (응답하라 1988) (2015)

reply family

Warga Ssangmundong

Hangat. Teramat sangat hangat.

Bagaikan menyaksikan kembali “A.C.I” dicampur “Rumah Masa Depan” dicampur “Jendela Rumah Kita”. Menikmati kenangan yang dibalut kehangatan, kira-kira begitu rasanya.

The Reply series have been around for almost 4 years now. Dan selama itu itu pula, walaupun sampai jatuh cinta sama duo dodol Yoo Yeon Seok-Son Ho Joon (pemain “Reply 1994”) di variety Friends/Youth Over Flowers, keberadaannya gak bikin saya menyegerakan menonton seri ini. Sampai beberapa waktu lalu mendadak iseng. Ho oh, hanya karena iseng dan mulai kekurangan asupan drako seiring dengan nyaris berakhirnya “Bubblegum”.

Namun ternyata oh ternyata, tak disangka tak dinyana saya dibuat begitu jatuh cinta dengan seri ini.

Kenangan mungkin merupakan kunci formula seri Reply. Kalau ditanya ke saya, kenangan yang mana? Kan saya bukan orang Korea. Iya betul banget. Tapi melihat ke belakang, era itu (ini khusus bicara “Reply 1988” ya (selanjutnya ditulis R88), karena saya belum nonton 2 seri pendahulunya) nyaris dikuasai oleh hanya satu gelombang budaya populer, yaitu budaya populer Amerika. Ini gak terlepas dari agenda imperialisme Amerika yang mungkin dengan bodohnya gak kita sadari waktu itu (lha iyak, wong saya masih piyik). “Catatan Si Boy” adalah salah satu produk film masa itu yang habis-habisan menghadirkan referensi budaya populer dan gaya hidup keamerika-amerikaan. Di salah satu serinya, CSB bahkan sampai mengambil setting di LA, sarang anak-anak tajir pejabat Orba masa itu. Korea Selatan, seperti halnya Indonesia, masa itu juga dilanda demam budaya populer Amerika. Political fact, Korea Selatan merupakan salah satu pendukung terbesar Amerika Serikat sampai saat ini.

Okay, I think that’s enough. Nanti malah kepanjangan ngelantur jadi telaah sejarah deh.

Kembali ke Reply, seperti 2 seri pendahulunya, R88 juga menceritakan kisah kasih sekumpulan anak muda yang pada tahun 1988 itu tinggal bertetangga di Ssangmundong, sebuah area di pinggiran Seoul. Akamsi lah judulnya. Seri Reply (katanya) selalu punya benang merah menebak siapa calon suami si tokoh utama perempuannya. Tapi untungnya ini tidak lantas membuat R88 berkutat ngurek-ngurek si Deok Seon (yang diperankan dengan sangat unyu bin gengges oleh Hyeri, yang lebih dulu dikenal sebagai personil Girl’s Day) bakal kawin sama siapa doang. Bahkan porsi tebak-tebak buah manggis calon suami dan drama dunia pergebetan Deok Seon mungkin gak sampai 40% dari keseluruhan cerita R88.

reply1988 - 2

Akamsi Ssangmundong

Seperti halnya “Rumah Masa Depan”, dan tentunya drama yang jadi inspirasinya “Three Families Under One Roof” (“Hanjiboong Segajok”) (maaf, buat yang ini saya gak punya pengetahuan apapun kecuali referensi dari forum Soompi http://forums.soompi.com/en/topic/346174-drama-2015-answer-me-1988-%EC%9D%91%EB%8B%B5%ED%95%98%EB%9D%BC-1988/?page=2), R88 komplit menghadirkan hubungan di antara mak-bapak-anak, kakak-adik, tetangga, teman, de el el de el el. Hubungan manusia sehari-hari, pre-gadget era. Masa ketika dimana saat kita mau main, tinggal keluar rumah, berdiri di depan pagar tetangga, terus teriak-teriak panggil namanya tanpa perlu janjian playdate. Atau di kalau di kasusnya akamsi Ssangmundong ini, main gerebek kamarnya Taek (si super manis Park Bo Gum). Kakak adik gantian nongkrongin telfon rumah dengan saling ancam, “Jangan lama-lama lu, gua lagi nungguin telfon!” Tetangga dari saling kirim makanan, pinjam bahan masakan, sampai pinjam uang buat tambal sulam kondisi finansial yang kembang kempis. Manis, tapi gak kemanisan. Menyentuh, tapi gak cengeng. Pas. Seperti menikmati pisang goreng dan teh manis hangat di teras rumah sore hari.

R88 juga sepertinya tidak merasa perlu untuk menghadirkan ide-ide besar, justru kekuatannya terletak pada kesederhanaan. Anak bete karena ortu (seperti) pilih kasih, abege curi-curi nonton bokep, pensiun dini, sampai menopause segala dibahas di R88. Penggarapan detail semua aspek yang nyaris tanpa cela menempatkan R88, bersama dengan Heard It Through The Grapevine, sebagai salah satu drama Korea terbaik di daftar drako kesukaan saya.

Oke lanjut. Bicara tentang “membangkitkan kenangan” tentu gak aci (cuma anak lama yang ngerti istilah ini) kalau kita gak membicarakan tentang budaya populer yang tadi sempat disinggung secuil sebelumnya. Jika film “Architecture 101” menghidupkan kembali tren 90an di kebudayaan populer Korea Selatan, R88 sepertinya justru terinspirasi atau mungkin memanfaatkan gelombang tren 80an yang tahun lalu melanda dunia K-Pop (check out SHINee’s “Married To The Music”, my personal favourite album of 2015 and Wonder Girls’ “I Feel You”, which MV looks like today’s copy of Robert Palmer’s “Addicted To Love”). Soundtrack R88 bahkan merajai tangga-tangga lagu Korea Selatan selama beberapa minggu

SHINee – Married To The Music

Wonder Girls – I Feel You

Generasi X dan secuil generasi Y mungkin masih inget celana baggy, kemeja gombrong, nintendo, keriting papan, poni trap (poni traaaaap!!!), LA Gear & Nike Air Jordan? Semua hadir di R88. Salah satu episodenya bahkan memperlihatkan bagaimana Deok Seon membentuk poni trap-nya. That one really hits home, LOL. Gimana Deok Seon ngakalin celananya yang lurus jadi baggy juga manis sekali. Karena keluarganya bukan keluarga berada dan selalu kekurangan secara finansial, Deok Seon (kayaknya) gak punya banyak baju, sepatu pun harus nunggu giliran ada uang untuk diganti. Untuk mengakali supaya tetap trendy (bahaha, aku gak percaya pake kata ini lagi), Deok Seon melipat sisi luar celana jeansnya lalu melipat bagian bawah ke atas.Voilà! Jadi deh celana baggy. Sangat inspirasional!

Mirip-mirip malam keluarga kita dulu menonton “Gita Remaja” atau “Berpacu Dalam Melodi”, setiap tahun semua keluarga di Ssangmundong ini gak absen nongkrongin kompetisi MBC College Musicians Festival, yang tahun 1988 itu dimenangkan oleh Infinite Track (무한궤도) dari Seoul National, Yonsei dan Sogang University

Infinite Track (무한궤도) – To You (그대에게)

Infinite Track waktu itu sepertinya membawa angin segar ke dunia musik Korea Selatan dengan aliran rock proggresive-nya, sedikit berbeda dari tren umum yang masih didominasi pop melankolis. Cukup menarik membaca bahwa ini pun dipengaruhi faktor politik masa itu. Rasa synth kuat dalam musik Infinite Track (yang merupakan cikal bakal N.E.X.T) ini juga kita temukan di band-band jazz fusion Indonesia circa 80an, seperti EmeraldKarimata dan Krakatau (mohon dikoreksi kalau salah, maklum ingatan semi-berkarat).

Emerald Band – Ronggeng

Referensi barat di film ini mungkin lebih akrab buat penonton Indonesia, seperti grup NKOTB, film “Dirty Dancing”, lagu tema “MacGyver” dan “Knight Rider” serta tidak ketinggalan lagu “Nothing’s Gonna Change My Love For You”-nya George Benson/Glenn Medeiros.

        “Nothing’s Gonna Change My Love For You”. Lagu wajib darmawisata

R88 juga tidak melewatkan peristiwa-peristiwa penting bersejarah dalam kehidupan sosial ekonomi politik Korea Selatan pada masa itu, seperti Olimpiade Seoul dan restrukturisasi Bank Hanil, walaupun beberapa detail sepertinya rada keteteran. Misalnya pada kasus Bo Ra (Ryu Hye Young), kakak Deok Seon yang adalah aktivis mahasiswa. Dari blog Following Kpop;

“But the show creators turned her into an important activist who goes out of her way to participate in the occupation of the Minjeong Party headquarters in Episode 5. According to an Ize article, this event was expected to be violent and the participants went in knowing that they would all be arrested. It would have been very unlikely for a female college sophomore to have gone in and come out in one piece. In addition, the event was organized by a group to which Bo-ra’s school Seoul National University did not belong at the time due to an ideological rift. She must have felt very strongly about the event to have joined it on her own and wouldn’t have come back home to hide under a blanket.”

Dengan topik yang beragam dan materi yang kuat, R88 tidak takut akan durasi tiap episodenya yang tergolong panjang. Jika hampir semua drama Korea berdurasi kurang lebih 1 jam per episode, R88 berdurasi rata-rata 1,5 jam per episodenya, bahkan hampir mencapai 2 jam di episode-episode terakhir. Durasi yang panjang ternyata toh tetap membuat penonton manteng di depan TV. Ini dibuktikan dengan pencapaian rating yang memecahkan rekor rating tertinggi sepanjang masa untuk TV kabel, yaitu 18,8% untuk episode finalnya. Rating rata-rata TV kabel biasanya tidak mencapai 2 digit, tidak seperti TV umum. 

Walaupun R88 ini kocaknya ampun-ampunan, rasanya belum pernah selama ngikutin drama Korea di tiap episode pasti saya punya sesi mewek.  Seduapuluh-puluhnya!

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di sini.

Menguliti Pretensi Basi Kaum Borjuasi: Heard It Through The Grapevine (풍문으로 들었소) (2015)

Sebenarnya Go Ah Sung adalah alasan utama saya mengikuti Heard It Through The Grapevine (HITTG) alias Poongmooneuro Deoreotso. Hanya karena saya begitu terkesan dengan filmnya sebelum drama ini, Elegant Lies (Wooahan Geojitmal). Namun ternyata kemudian semua elemen HITTG mengajak saya menikmati roller-coaster emosi sepanjang 30 episode.

“Semakin urban/modern/borjuis (saya lupa pastinya apa) suatu kaum, justru semakin puritan mereka.” Saya lupa pernah dengar pendapat ini di mana, mungkin dari Dave Lumenta saat peluncuran perdana Jurnal Selatan. Mungkin juga gak tepat seperti itu, tapi kira-kiranya begitulah.

HITTG menunjukkan kepuritanan kaum borjuis dengan cara yang paling mereka sukai, elegan. Sepanjang 30 episode, penulis Jung Sung Joo dan sutradara Ahn Pan Seok pol-polan muntah kritik dan orgasme pemikiran mengolok-olok kaum borjuis dan #negaragagal Korea Selatan.

vlcsnap-00070

Sesuai dengan judulnya, HITTG yang juga dikenal dengan judul “I Heard It As A Rumour” dengan cerdas mengadaptasi hobi “bisik-bisik tetangga” ini sebagai benang merah bercerita untuk mengupas #bebanborjuasi si kelas 1% masyarakat. Di Indonesia sendiri beberapa tahun lalu sempet heboh di media sosial tentang mailing list yang berisi gosip-gosip sosialita Jakarta.

HITTG menghadirkan drama komedi gelap dan satir yang menguliti pretensi-pretensi basi borjuasi dan perjuangan kelas yang tak pernah henti. Kisah percintaan abege Han In Sang (Lee Joon) dan Seo Bom (Go Ah Sung) yang tadinya saya pikir akan menjadi fokus HITTG sekaligus memainkan peranan drama romantis tradisional di drama ini, ternyata “hanya” digunakan sebagai epilog dari pertunjukan sesungguhnya, yaitu pertarungan pemikiran dan kegelisahan manusia-manusia dalam sebaran tatanan kelas sosial masyarakat yang berjenjang. Mungkin ini juga sebabnya HITTG nyaris diberi judul War Of Brilliant Minds”.

vlcsnap-00018

Manusia-manusia dalam kepala Jung Sung Joo sepertinya adalah manusia-manusia yang selalu berpikir dan dalam kegelisahannya mempertanyakan ketidakadilan yang dihasilkan oleh tatanan masyarakat yang kacau balau dan negara yang gagal hadir bagi warganya serta menolak pasif dengan menerima kondisi sosial sebagai sesuatu yang sudah sebagaimana mestinya.

Dengan kalimat-kalimat sederhana, Jung Sung Joo menembakkan berbagai kritik tajam yang seringkali disempilkan sekilas lalu dalam sebuah percakapan, padahal sentilan-sentilan seiprit tersebut mewakili kekhawatiran yang jauh lebih besar. Jung Sung Joo menghadirkan berbagai problematika sosial politik akibat dari ketidaksetaraaan masyarakat Korea Selatan dengan kecermatan detil yang, well as much as I hate to use this term, tapi, luar biasa.

Isu kesetaraan gender dimunculkan bukan melalui retorika, jargon dan gugatan, namun digambarkan dengan suatu kondisi yang memang sudah seharusnya seperti itu. Sebuah kondisi yang (sepertinya) sangat jauh dari kenyataan. Korea Selatan, seperti juga halnya dengan Jepang, memiliki budaya patriarki yang begitu kuat, bahkan cenderung misoginis. Kesetaraan gender sepertinya masih merupakan mimpi yang belum akan terwujud dalam jangka waktu dekat.

Dua drama Jung Sung Joo yang pernah saya tonton, HITTG dan “Secret Love Affair” nyaris tidak pernah, atau bahkan tidak sama sekali, menghadirkan dialog dan situasi yang seksis, yang kalaupun ada lebih pada menampilkan kenyataan daripada melestarikan diskriminasi itu sendiri.

HITTG juga menyindir ketakutan masyarakat Korea Selatan, terutama kaum borjuisnya yang dalam drama ini diwakili oleh sosok Han Jeong Ho, akan ide-ide sosialisme seperti yang dicetuskan Seo Bom melalui kritiknya terhadap ide dasar ekonomi pasar dan kapitalisme. Korea Selatan, seperti halnya Indonesia, merupakan negara boneka Amerika Serikat untuk mencapai ambisinya menjadi imperialis baru. Segala hal yang “berbau” kesetaraan dan “kiri” sukses dipropangandakan Amerika Serikat sebagai komunisme, yang artinya adalah kejahatan yang harus diperangi. Selama puluhan tahun, rakyat Indonesia juga ditanamkan propaganda ini oleh monster bernama Soeharto dan Orde Baru. Jika banyak negara boneka mulai menyadari keganasan Amerika Serikat, Korea Selatan sepertinya masih merupakan salah satu pendukung terbesarnya secara politik, ekonomi, bahkan budaya populer.

Carut marutnya sistem pendidikan pun tak lepas dari sorotan HITTG. Merupakan pengetahuan umum kalau dunia pendidikan Korea Selatan terobsesi dengan segala yang berbau “ter”. Tingkat dan peringkat pendidikan merupakan tiket untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi dan kesuksesan material. Seo Bom memiliki mimpi akan datang suatu masa dimana semua orang bisa mendapatkan pendidikan yang setara dan setinggi mereka mau tanpa harus menjadi anak cucu chaebol (konglomerat) yang bisa membayar biaya pendidikan privat maupun swasta serta menggaji tinggi guru-guru pribadi.

Di mata kaum borjuasi yang keribetan dengan pretensi-pretensi basinya, kita juga tidak perlu mengagung-agungkan pendidikan luar negeri. Kalau pun sekolah di luar negeri, kita ambil yang baik-baiknya saja dan tetap memegang nilai-nilai luhur warisan bangsa. Berbanggalah dengan apa yang kita miliki. Preeet! Terdengar akrab sekali gak sih di kuping? Kaum borjuasi Indonesia juga nampaknya keribetan dengan dilema dualisme inlanderisme dan chauvinisme kepriyayian mereka ini, hahak! (Saya lupa ini ada di episode berapa. I’ll be back with the screenshot when I find it)

Alih-alih menampilkan keluarga chaebol, Jung Sung Soo menampilkan keluarga kaya pemilik firma hukum yang memegang teguh “Bibit, Bebet, Bobot”. Dengan strategi ini, HITTG sekaligus menyasar hukum yang mandul dan keadilan yang sayangnya berpihak pada uang dan koneksi. Di permukaan semuanya terlihat manis, adil dan menjunjung tinggi HAM, padahal di dalamnya disesaki praktek licin, kotor dan menjijikkan.

Komedi gelap sepertinya merupakan pendekatan paling pas untuk menyampaikan materi dan naskah Jung Sung Joo yang sarat kritik. Dengan banyaknya pesan yang ingin disampaikan, Ahn Pan Seok ketat menjaga alur dan emosi sehingga nyaris tidak ada adegan yang sia-sia. Ditambah dengan editing yang jeli, 30 episode HITTG terasa bagaikan menonton “Homeland” versi drama. Tegang bok!

Tegang, menggelikan dan menyentuh. HITTG juga menghadirkan kehangatan hubungan antar manusia yang tulus dan seringkali terdapat dalam hal-hal kecil yang sederhana atau bahkan dalam keputusasaan. Walaupun seringkali didera kebimbangan, manusia-manusia di dalam HITTG mungkin merupakan simbolisme harapan akan manusia dengan hati nurani yang sehat. Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya bersih dan melepaskan diri dari lingkaran setan sistem yang busuk, tapi penting untuk selalu menyadari apa yang salah dari masyarakat dan sistem tersebut.

vlcsnap-00071 vlcsnap-00073

Secara sinematografis, HITTG lebih banyak menggunakan gambar dengan variasi teknik medium shots, dibandingkan dengan kebanyakan drama Korea yang gemar menggunakan close up shots. Mungkin, ini hanya sekedar analisa dangkal sih, HITTG ingin mengajak penontonnya untuk melihat gambaran dunia yang lebih luas, dimana keberadaan kita selalu terkait dengan sistem yang lebih besar. Kebalikan dari umumnya penggunaan close up shots di dalam dunia drama yang jika sekarang disandingkan dengan HITTG terasa lebih “egois” atau self-centered. Mungkin lho…

Seimbang dengan naskah; set, kostum bahkan musik pun dihadirkan dengan kecermatan detil yang nyaris sempurna. HITTG menghindari menggunakan lagu pop (OST adalah bagian penting dari drama Korea) sebagai latar belakang adegan, tapi menggunakan musik yang memang digubah khusus untuk drama ini. Mungkin ini trademark-nya Ahn Pan Seok ya, di “Secret Love Affair” dia juga tidak menggunakan lagu-lagu populer, tapi mungkin juga karena “Secret Love Affair” berlatar belakang dunia musik klasik.

Dan yang paling utama tentunya kecermatan detil ini sangat terlihat dalam penulisan karakter-karakternya. Dengan Han Jeong Ho (bapak Han In Sang) di satu kutub dan Kim Jin Ae (ibu Seo Bom) di kutub lainnya, Jung Sung Joo menampilkan karakter-karakter utuh lainnya dalam spektrum tersebut. Han Jeong Ho (yang diperankan super ciamik oleh Yu Jun Sang) adalah perwujudan “Monster Menyedihkan” (pendapat Seo Bom tentang ayah mertuanya) sedangkan Kim Jin Ae (Yoon Bok In) adalah perwujudan harapan akan manusia ideal yang “baik dan sehat”. Sedangkan semua karakter lainnya terombang-ambing di dalam spektrum kebimbangan tersebut.

vlcsnap-00065 vlcsnap-00049

Menggunakan istilah yang sangat borjuis, HITTG terasa seperti sebuah Mahakarya. Mungkin juga merupakan salah satu pencapaian terbaik sinema Korea Selatan, melampaui batasan formatnya. Bagi saya, tidak lagi menjadi penting apakah karya ini dihadirkan melalui layar kaca atau layar lebar.

Di luar Han Jeong Ho dan kaum borjuis lainnya, semua manusia ini berjuang untuk menemukan diri mereka kembali. Han In Sang (Lee Joon, noona padamu!) bagaikan mimpi revolusi munculnya pemberontak dari dalam lingkaran kaum borjuis itu sendiri yang menusuk tepat di jantungnya.

HITTG mungkin tidak akan sekonyong-konyong menimbulkan kesadaran kolektif akan rusaknya sistem sosial masyarakat, namun mengutip ucapan Yoon Je Hoon (Kim Kwon), “Aku cuma berharap dapat membuat lubang kecil.”

Yang lemah mungkin akan menyerah karena lelah dan kekuasaan bisa saja selamanya bercokol di atas. Namun HITTG sepertinya ingin memberikan harapan akan semangat perjuangan yang tak pernah henti, sekecil apapun itu.

vlcsnap-00074vlcsnap-00075

 

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di sini.

Eskapisme Ke Realitas : Emergency Couple

EC 1

 

Perpisahan, kadang meninggalkan urusan-urusan dan perasaan-perasaan yang tak selesai. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun lamanya. Unfinished business inilah yang dieksplorasi sutradara Kim Cheol-Kyu dalam drama seri komedi romantis Emergency Couple (EC).

Oh Chang-Min (Choi Jin-Hyuk) dan Oh Jin-Hee (Song Ji-Hyo), bercerai 6 tahun lalu dalam keadaan gontok-gontokan, tiba-tiba bertemu kembali saat menjadi mahasiswa kedokteran magang di bagian gawat darurat. What are the odds of that happening? Ya nggak odd-odd amat, secara setengah dari kata-kata yang membentuk istilah komedi romantis adalah komedi. Tapi ini tidak lantas menjebak EC dalam ketidaknyataan maupun absurditas demi mengejar efek romantis bombastis semata.

 

EC 2

Oh Chang-Min & Oh Jin-Hee melintasi kerumunan orang di Myeongdong saat kawin lari.

 

Awal mengikuti EC saya hanya ingin menikmati drama seri komedi romantis yang menyenangkan dimana saya bisa lari dari kemuakan hidup di Jakarta. Memang tidak salah bagian menyenangkannya, tapi setelah beberapa episode saya tenggelam dalam rangkaian cerita sebuah hiburan sederhana yang memberikan lebih dari sekedar kesenangan yang juga sederhana (di luar kenyataan bahwa OCD membuat saya mengulang-ngulang seri ini sampai lebih dari 7 kali kurang dalam sebulan).

Romantic Comedy (romcom), sepertinya lebih umum dikenal sebagai genre yang ringan, gak perlu logis-logis amat yang penting menghibur, manis dan jleb di dada. Tapi untuk EC, rasanya saya akan membuat pengecualian. Ketika saya pikir saya sedang kabur dari dunia nyata menuju dunia fantasi, saya justru masuk ke dalam dunia paralel yang rasanya sangat sehari-hari.

Entah apakah ini pengamatan yang rasis atau hanya sekedar kebetulan kedekatan budaya (as if such thing does exist) saya juga tidak tahu. Walaupun Chang-Min dan Jin-Hee sudah “tua” tapi tidak berarti mereka otomatis jadi orang dewasa dimana semua keputusan hidup dapat dibuat sendiri tanpa campur tangan atau pengaruh orang tua. Di mata orang tua ya mereka tetap anak-anak yang harus nurut apa kata orang tua. Familiar ya kedengarannya?

Makin familiar lagi rasanya karena banyak karakternya dalam tindakan sehari-hari digambarkan sering lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang walaupun tidak selalu nyaman bagi mereka tapi dilakukan untuk “kebaikan” bersama. Kebahagian juga tidak melulu bersifat individual tapi jika memungkinkan bersifat komunal. Ini juga sepertinya alasan kenapa Hallyu lebih banyak diterima di negara-negara non-Barat. Bahkan salah satu buku menyatakan bahwa “Drama televisi Korea memperkuat nilai-nilai tradisional Konfusianisme yang dipandang orang Iran sejalan dengan budaya Islam, menyiratkan kedekatan budaya turut berperan dalam gelombang Korea di negara-negara Islam”. Walaupun gak semulia ataupun seaagamis itu, rasanya saya (atau mungkin kita) juga pernah, kalau tidak sering, membuat keputusan seperti ini dalam kehidupan sehari-hari.

“Ya udah, gue sebenernya gak suka nih, tapi gue kerjain juga. Bukan karena gue family oriented banget atau percaya nilai-nilai kalian juga, tapi ya gimana?” Atau “Ya udah lah, selama kalian bahagia liat apa yang kalian mau liat aja.” Kira-kira gitu deh gambarannya. Jauh rasanya dari nilai-nilai kekeluargaan ala Hollywood atau dunia media sosial modern yang penuh dengan puja puji bombastis penuh cinta berbunga-bunga padahal ketemu mak bapak atau saudara kandungnya belum tentu juga setahun sekali. Kehadiran dan perbuatan nampaknya dihargai lebih dalam EC dibandingkan kalimat manis penuh janji.

Menarik juga buat saya melihat konflik nilai yang dihadirkan oleh EC. Mungkinkah ini juga gambaran dari dilema nilai yang sedang dialami masyarakatnya? Misalnya, di satu adegan mereka menampilkan pasangan suami-istri magang yang bersitegang karena si istri mencurigai dirinya hamil dan merasa dia harusnya tidak perlu menunda mimpinya karena dia pihak perempuan, sedang di adegan lainnya diperlihatkan Chang-Min dan Jin-Hee memberikan nasihat kepada Oh Jin-Ae, adik Jin-Hee, dan pasangannya tentang bagaimana menghadapi pasangan masing-masing untuk mencapai hubungan atau rumah tangga yang langgeng dan harmonis berdasarkan nilai-nilai yang sangat gender-stereotyped.

Namun di banyak kesempatan si penulisnya terlihat berusaha sekali meninggalkan stereotip-stereotip tersebut, in a very natural way possible I feel, sehingga membuat dialog-dialognya tidak terasa seperti seperti ceramah tapi memang keluar dari pikiran-pikiran manusia yang sedang dilema. Saya rasanya kepingin meluk Choi Yun-Jung deh, si penulisnya, untuk menuliskan dialog-dialog yang makjleb, yang tidak bombastis dan berbunga-bunga, tapi rasanya sangat mungkin terucap dalam kehidupan nyata.

Misalnya nih ya, pada saat Jin-Hee madesu sambil digendong Chang-Min, dia curhat, “Tapi…aku tidak bisa melakukan apapun selain menantimu. Aku tidak juga mendapatkan pekerjaan… sehingga semangatku untuk bekerja pun padam. Aku merasa terus menyusut dan keberadaanku di dunia ini terasa sia-sia.” Jleb.

Atau pada saat ayah Chang-Min sedang kritis pasca operasi dan menanyakan kabar hubungan Chang-Min dengan Jin-Hee. Dia bilang, “…Tetap saja, aku tidak percaya hal-hal seperti itu. Melepaskan seseorang ketika kita mencintainya. Hal-hal seperti itu lah. Cintailah seseorang sebesar apa yang kita rasakan.” Eh terus dia “disikat” Chang-Min, “Terus kenapa Bapak hidup seperti itu?” Jengjengjet.

Adegan ini, pada khususnya, seperti menyarikan pernyataan Ninin bahwa mereka (orang-orang Korea yang digambarkan dalam K-Dramas) sepertinya mampu merangkul nilai-nilai tradisional mereka dan nilai-nilai yang datangnya dari luar, terutama barat, terutama lagi Amerika, dan menerapkannya dengan mulus serta pertanyaan saya apakah justru mereka malah mengalami ketegangan nilai akibat perbedaan tersebut.

Kerelaan Chang-Min untuk melepaskan Jin-Hee dan ketidaksetujuan ayah Chang-Min pada keyakinan anaknya tepat mengkonfrontasikan perbedaan tersebut di dalam satu dialog, mirip seperti analisa Bae Keun-Min mengenai film Siworae dan The Lake House dalam makalahnya Lost in cinematic translation?: The Lake House, Siworae and the Hollywoodization of Korean culture”.

“What Sung-hyun does in these scenes reflects his embedded Confucian values, namely salshinseongin. Salshinseongin is a Korean pronunciation of Chinese characters 殺身成仁, a Confucian virtue in which individuals are strongly recommended to sacrifice oneself (literally meaning killing oneself) to achieve ultimate humanity and justice. However, this Confucian virtue was removed for the Hollywood version as Alex dies in a car accident on his way to meet with her as part of his effort to build more of a relationship with her, which reflects and constructs individualism and self-interested motivations.”

Pernyataan Ninin dan pertanyaan saya tadi pun juga ditanyakan oleh Bae Keun-Min dalam makalah yang sama.

“This, then, raises a series of questions: How is Western (American) culture portrayed in Korean media? Have the connotations of these portrayals changed over time? Are Western values portrayed as something internalized or something imported or cool? Is there a possible relationship between the media portrayals and the acceptance of the foreign culture?”

 

Yang juga membuat EC terasa lengkap buat saya adalah hampir semua karakter utama dan pendamping tergarap dengan baik. Semua punya alasan, semua punya masa lalu dan latar belakang. Bukan hanya perasaan dan pikiran Chang-Min dan Jin-Hee yang digali, tapi juga orang-orang yang berhubungan dan ada di dekat mereka. Mereka ada bukan sebagai tempelan atau obyek penderita tapi benar-benar sebagai karakter-karakter utuh yang membuat lingkaran jadi penuh. Does that make any sense?

Seperti ibu Chang-Min yang digambarkan mengidap “fairy tale syndrome” dan “princess syndrome”. Males belajar (satu-satunya dari keluarga yang semuanya menjadi dokter), sewaktu muda sibuk bersolek untuk mencari suami (sesuatu yang akhirnya jadi bahan celaan kakak adiknya sepanjang masa nampaknya), berpikir dia telah mendedikasikan seluruh kehidupannya untuk suami dan anaknya sehingga gamang ketika mendapati bahwa manusia lain, seberapapun dekat hidupnya dengan kita, juga punya kehidupan masing-masing. Bahwa anaknya adalah bukan hidupnya. Trés Gibranesque.

Lalu ada Chief Gook yang patah hati dengan perpisahan orang tuanya sehingga “mendisiplinkan” hidup dan hatinya sebagai antisipasi agar dia tidak mengulangi siklus yang sama dan tidak melakukan hal yang tidak dia sukai (dalam hal ini bercerai dan meninggalkan anak) pada orang lain (dalam hal ini anak). Prinsipnya ini sempat mendapat “celaan” dari Prof. Shim, mantan pacar yang setia menanti tanpa memaksa, bagaimana mungkin orang sebertanggungjawab Chief Gook akan mampu mengabaikan anaknya? Touché! Chief Gook pun digambarkan terjebak dalam berbagai unfinished businesses.

Dengan format K-Drama yang hanya terdiri dari beberapa episode (rata-rata 16 sampai 20 episode), si sutradara dan penulis cerita pas mengeksplorasi pasang surut kisah cinta Chang-Min dan Jin-Hee, tidak kekurangan tidak berlebihan. Tidak ada “restrain and release” alias tarik ulur yang gak karu-karuan panjangnya. Tidak ada plin-plan kurang penting karena kehadiran orang ke-3, ke-4, ke-5 dan seterusnya. Jika akhir perjalanan mereka dibuat seperti itu (berusaha supaya gak spoiler), akhir tersebut merupakan hasil dari sebuah proses yang wajar melalui penyadaran-penyadaran kecil di sepanjang jalan dan bukan karena “glorious wake up calls and all the grand love gestures”. Ada refleksi dan instropeksi dari cinta yang belum selesai, bukan sekedar CLBK dan romantisme masa lalu.

Eksplorasi ini pas disampaikan melalui chemistry yang juga pas di antara pemain-pemainnya, terutama Choi Jin-Hyuk, Song Ji-Hyo, Lee Pil-Mo dan Choi Yeo-Jin. Di luar akting, cerita serta chemistry, formula standar saya buat romcom tentu karakter utamanya mukanya matching! Kalo gak matching gak enak buat ditonton :p Entah chemistry bikin muka jadi matching atau kebalikannya, tau deh. Nah ini dia aspek gak logis dari formula romcom sukses preferensi saya.

Saya juga suka dengan pengembangan karakter dan ceritanya. Mereka gak terjebak di situ-situ aja. Seiring berkembangnya cerita, karakter mereka pun berkembang jadi lebih multi-dimensional dan emosi yang keluar jadi lebih campur aduk. Episode-episode awal yang tadinya lebih didominasi aspek komedi berkembang ke arah drama yang tidak didramatisir. Ditambah dialog-dialog sederhana tapi sering makjleb rasanya, lupa sudah kekagetan awal saat melihat ragam kadar ketidakaslian muka hampir semua pemainnya terhapus pesona kewajaran akting mereka. Apalagi yang jadi emaknya Chang-Min (Park Jun-Keum) dan Prof. Shim Ji-Hye (Choi Yeo-Jin).

Sedikit keluar jalur, saya sangat terkesan dengan adegan awal dan akhir dimana Jin-Hee berhenti berlari dan terdiam sejenak merenungi hidupnya dalam gerak pelan keriuhan ruang gawat darurat. Rasanya seperti sebuah kehidupan yang mencapai full circle.

Kebetulan gara-gara EC saya juga mendadak demam Hallyu kembali (gelombang ke-dua artinya buat saya). Jadilah terserap maraton beberapa drama Korea lainnya dan menyaksikan akting beberapa dari pemain EC. Choi Jin-Hyuk di The Heirs & I Need Romance, Choi Yeo-Jin di I Need Romance, Park Jun-Keum di The Heirs dan Jeon Soo-Jin di The Heirs. Akting mereka semua (kecuali Jeon Soo-Jin, pemeran Oh Jin-Ae, adik Oh Jin-Hee, di EC) tidak ada yang sekuat dan sewajar saat mereka berakting di EC. Dari segi cerita pun serial-serial ini tidak ada yang selengkap dan sekuat EC. The Heirs, K-Drama terheboh sepanjang 2013, cuma terjebak dalam cerita gaya-gayaan dan keren-kerenan, juvenile, seksis, feodal dan patriarkis serta dangkal. Menang star-studded line ups kayaknya. I Need Romance juga cuma centil-centilan sok emansipasi perempuan cemen ala Sex And The City.

Lucunya di periode yang bersamaan, stasiun TV lain (di Korea Selatan) menayangkan serial Cunning Single Lady, yang punya premis, plot, bahkan adegan-adegan yang sangat mirip dengan EC. Bedanya eksekusinya bubar jalan. Agak aneh juga rasanya bahwa dari beberapa serial yang saya sebutkan tadi, justru EC yang punya rating rata-rata paling rendah. Dianggap kurang “heboh” kali ya.

Dari beberapa K-Dramas yang saya sebutkan tadi, rasanya ada yang agak aneh karena semua sepertinya menunjukkan “kekaguman” mereka pada Amerika. Entah kenapa mereka sering sekali merujuk ke Amerika sebagai simbol kesuksesan. Inlander banget. Mungkin gejala ini menarik untuk dibahas di kesempatan yang berbeda karena rasanya omongan saya sudah kepanjangan kali ini.

 

 Oh Chang-Min memohon cinta Oh Jin-Hee kembali

PS: Emergency Couple saat ini masih tayang di M Channel (TV Kabel) setiap Senin dan Selasa pukul 21.00 WIB dan jam-jam ulangan lainnya. Atau kalau repot, di lapak-lapak DVD bajakan langganan sudah tersedia lengkap kok. Lebih OK lagi kalo sedot dari Torrents karena subtitles-nya lebih dapat diandalkan.

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di sini.