Self Discovering Dory

japan-dory-social-570x297

Tiga belas tahun setelah Finding Nemo dan puluhan sindiran Ellen Degeneres terhadap sekuel yang nggak pernah ada, akhirnya Finding Dory dirilis juga. Di film ini, seperti judulnya, giliran Dory si ikan pelupa yang dicari. Tapi ini bukan tentang Marlin dan Nemo gantian mencari Dory yang hilang, melainkan Dory yang mencari dirinya sendiri dan dalam prosesnya selalu kehilangan dirinya, lagi dan lagi.

Adegan-adegan Finding Dory nggak terlalu banyak terjadi di laut, yang artinya, dia tidak se-eye candy film pendahulunya, terutama buat yang suka Finding Nemo karena suka sama laut, kayak gue.

Kalau ini bukan Disney, pasti semuanya akan lebih greng. Sayangnya, film ini masih masuk dalam zona aman ala Disney: tema tentang keluarga ideal, trauma free, nothing too extreme. sedih banget nggak, lucu banget nggak. Ada sedikit keimutan, walaupun bukan imut-melodramatis-sedetik-cute-detik-berikutnya-nangis. Penggambaran selama cerita nggak cukup untuk bikin bener-bener simpati. Gimana rasanya di tengah lautan lepas sendirian tanpa inget apa-apa dan punya siapa-siapa? Gimana rasanya punya masalah yang nggak ada obatnya? Saya berharap rasa Dory ini seperti rasa Up, pedih samar-samar yang bertahan sampai akhir cerita, walau semua tujuan akhirnya dicapai. Tapi saya nggak dapat itu.

Tapi kekuatan film ini justru ada di ketidakgrandeannya. Ellen Degeneres berhasil ngombinasiin nonchallant sama gak pedenya Dory. Dia talent VO idaman gue kayaknya. Karakter-karakter lain juga cukup charming dengan motif-motif yang sederhana, misalnya orang tua Dory yang bertahun-tahun tinggal di tepi laut yang keruh isinya cuma rumput laut demi nunggu anaknya, atau seekor gurita yang antisosial karena things would get ugly if he felt threatened, ia benci mekanisme bertahan dirinya sendiri (familiar yah?). Ada humor-humor yang nggak berusaha terlalu keras, kayak Destiny yang separuh buta (takdir itu buta?) dan fakta-fakta ilmiah yang diterjemahin dengan seru, kayak ecolocation ala sensor hantu dan California current yang kayak jalan tol (dari Nemo pertama udah ada si). Gimana lagu What a Wonderful Life ditempatkan seger banget, juga pilihan Unforgettable buat nutup film. Cuman saya ngelewatin post credit scene, emang apa sih scene-nya?

Dory rupanya punya atribut kelas menengah ngehek, gabungan positif thinking Mario Teguh dan sedikit superstitious sama pertanda. Mungkin ini yang bikin kurang simpati. Mungkin ini salah Disney.

 

Oleh: Ratri Ninditya

*gambar diambil dari sini

di hadapan moma dan mmorpg: politik selera adimas immanuel

di hadapan instagram*

                          di hadapan instagram*

 

banyak goodreaders (juga orang-orang di luar goodreads) yang memuji buku puisi adimas immanuel “di hadapan rahasia” karena “diksi”-nya, tapi itu malaproprisme, maksud mereka sebenarnya bukan diksi tapi kosa kata. ada yang bilang kosa kata di buku ini sering mengirimnya ke kamus, dan itu benar, siapa yang tahu di luar kepala arti kata “sakal”? (pukulan, salah satu judul di buku puisi ini), tapi apakah kosa kata yang luas = diksi yang bagus? diksi adalah masalah menemukan kata yang paling tepat untuk mengekspresikan maksud atau apapun itu yang ingin dibawa oleh penulis dalam karyanya—pertanyaannya sekarang seberapa tepatkah kosa kata luas adimas di buku ini menyampaikan maksudnya (atau bukan-maksudnya if you will)? ataukah pengalaman membaca buku ini memang seperti (di)bingung(kan) di depan rahasia?

that’s if you really wanna close-read this thing.

but generally first. seperti pernah juga diungkapkan seorang reviewer goodreads, sebenarnya di hadapan rahasia adalah sebuah himpunan (!!!) puisi post-gm, sdd, nd par excellence. semua jurus-jurus ketiga penyair ini dipakainya dengan setia. tema cinta tak kesampaian, cek. metafora-metafora pengennya far-fetched tapi jatuhnya obvious, cek. pseudo-intertekstualitas dengan menyebutkan lukisan/music (john cage!)/game avant-garde sebagai inspirasi, cek. gak perlu belajar bourdieu untuk tahu bahwa deliberate atau tidak, terpengaruh secara tidak sadar atau membeo secara sadar, yang dilancarkan oleh di hadapan rahasia adalah sebuah politics of taste, usaha untuk mengintimidasi pembaca dengan selera si penulis sehingga pembaca tidak bisa tidak akan bilang: keren deh, kayaknya, gak tahu juga kenapa, but i don’t understand it so it’s gotta be cool.

6 dari 20 puisi yang katanya diinspirasi oleh lukisan di dalam di hadapan rahasia menyitir lukisan koleksi MoMA new york, satu lagi menyitir lukisan yang disimpan di MoMA SF. jadi kalau belum sempat nitip temen beliin totebag MoMA buat dibawa ke pasar santa, bisa tenteng aja buku ini ke giyanti terus difoto bareng secangkir strong flatwhite dan sepiring lamington jangan lupa diupload ke path!

semua lukisan yang dijadikan inspirasi dalam di hadapan rahasia adalah lukisan-lukisan abstrak ekspresionis (klee, klimt, pollock, dkk.). pilihan ini kayaknya keren deh aw, tapi sebenernya agak yaelah ke mana aja dan punya konsekuensi besar dalam politik sastra indonesia. seperti sudah ditunjukkan oleh wijaya herlambang (rip) dalam buku klasiknya kekerasan budaya pasca 1965 (yang mengikuti jejak ekspose francis stonor saunders dalam who paid the piper?: cia and the cultural cold war, pelukis abstrak seperti jackson pollock entah sadar atau tidak telah dimanfaatkan oleh amerika serikat lewat cia untuk meng-hype-kan l’art pour l’art dan mendiskreditkan seni termasuk puisi yang bermuatan kritik sosial seperti misalnya puisi-puisi wiji thukul untuk melanggengkan kuasa rezim-rezim boneka amerika serikat (termasuk orba) biar mereka gak terlalu banyak dikritik.

di indonesia, seperti diungkapkan wijaya herlambang dalam bukunya dan oleh martin suryajaya dalam beberapa surat kepada goenawan mohamadnya, ujung tombak propaganda l’art pour l’art adalah goenawan mohamad dan “kantong budaya” teater utan kayu dan saliharanya. sejak 1965 sebagai pemenang sengketa manikebu vs. lekra goenawanlah yang memotori kepopuleran puisi-puisi high-art sok esoterik yang sebenarnya ternyata puisi-puisi alay tentang cinta tak sampai. penerus goenawan adalah nirwan dewanto yang membumbui esoterisisme bakat alam pendahulunya dengan referensi-referensi sok akademis yang diklaimnya sebagai alusi dan intertekstualisme padahal dia nggak tahu cara pakainya itu (lose the endnotes nirwan, gak seru tauk permainan intertekstualisme dikasih kunci panduan (di salah satu puisinya habis menyitir wallace stevens langsung dia jelaskan—masih di dalam puisinya sendiri—siapa yang dia sitir dan kenapa dia sitir. yaelah coy takut amat gak dimengerti sama pembaca awammu yang kau hina-hina separuh buta itu! maumu apa sih, ditakuti dan dihormati atau dimengerti kemudian disayangi? make up your captive mind cuy)).

sadar atau tak sadar, di hadapan rahasia mempromosikan hal-hal yang sama: bahwa puisi yang bagus adalah puisi yang esoterik/abstrak/non-realis, bahwa puisi yang bagus ditulis oleh penyair yang sophisticated dengan selera yang tinggi (those MoMA totes!), bahwa puisi yang bagus mengerahkan tesaurus eko endarmoko (juga produk tuk) setiap baris supaya kosa katanya makin arkaik/susah dimengerti. kalau gak bisa dimengerti oleh pembaca awam pasti cuma bisa dimengerti oleh pembaca ahli yang berselera tinggi toh!

menarik juga bahwa setelah memuja-muji diksi, eh kosa kata buku ini, banyak juga reviewers goodreads yang menyebutkan puisi “sepeda tua” sebagai puisi favorit mereka, justru salah satu puisi (cinta) tersimpel dengan conceit paling sederhana dalam buku ini. fenomena apa ini? apakah tanda bahwa puisi yang paling “nyampe” dalam di hadapan rahasia ternyata adalah puisi yang paling gak banyak/ribet/ruwet rahasianya?

dan saat adimas dengan lihay mencoba mengimbangi pretensi highbrownya dengan sok slumming it lowbrow-lowbrowan dikit biar nggak terlalu ketahuan fetish high-artnya—mereferensi ragnarok instead of pollock dalam 9 puisi lain di buku ini, dang, dese keliru mengeja glast heim jadi ghast heim. shite, ketauan deh aw loyalitas ai di mana. atau, apakah ini tanda bahwa referensi lowbrow adimas juga sekedar pretensi saja? sekaligus tanda bahwa di hadapan rahasia adalah sebuah game politics of taste yang disengaja untuk menarik perhatian semua hipster budaya indonesia baik yang lowbrow maupun highbrow? a case of adimas hedging his literary bets? sitting on salihara’s fence?

 

*gambar diambil dari sini

Cover Version, yes or no?

cover-version

Kalau saya nyetir didampingi istri saya sepanjang jalan yang ‘unpredictable’ dari gandul-gandul sampai Gedung Victoria Blok M kami ditemani oleh radio Delta yang dulu pernah jadi tempat saya kerja. Sepanjang jalan itu kami akan sing along pada lagu yang diputar. Bukannya kami berdua super perhatian sama musisi-musisi yang dapat heavy rotation di radio. Tapi justru karena mayoritas lagunya memang sudah tidak asing di kuping.

Oh iya, balik lagi ke Delta, sekarang radio ini bukan radio lagu oldies kok. Jadi kenapa yang diputar mereka masih akrab di telinga? Ternyata lagu-lagu yang heavy rotation di radio itu semua lagu pop lokal lama dengan suara dan musik yang baru.

Titi DJ bawain ‘Bila Kuingat’ dari Lingua, Andien bawai lagu ‘Rindu’ dari Warna, Mike Mohede nyanyi ‘Sahabat Jadi Cinta’ milik Zigas, Marcell bawain lagu ‘Mau dibawa Kemana’ dari Armada. Yes you right! Mau dibawa kemana musik pop jaman sekarang? Mayoritas lagu yang mengudara adalah lagu daur ulang alias cover version.

Racikan cover version dari dulu memang sering ada di satu album seorang atau kelompok musisi. Tapi itu sejatinya adalah sebuah trik untuk musisi baru biar cepat T.O.P. Nah kalau diva macam Titi DJ nyanyiin lagu Lingua, itu tentu saja masalahnya bukan trik supaya dia terkenal. Bukan juga trik untuk membuat Titi DJ bersahabat dengan telinga anak muda sekarang, bok… Lingua aja top di dekade 90-an. Terus kenapa?

Mungkin jawabannya ada di toko-toko kaset yang sekarang tutup. Karena pencipta lagu itu kan hidupnya dari hak cipta yang nempel di produk fisik. Kalau penjualan RBT, kaset, CD, atau yang lebih baheula PH sudah gak ada, apa yang mereka hasilkan?

Dunia digital memang menawarkan digital store, tapi tetap itu rentan dibajak. Sekali online pasti menjalar ke kuping-kuping commuters yang dengar musik dari HP. Sekarang ada lagi layanan musik langganan seperti Spotify, tapi kalau sharenya dikit mending si pencipta lagu bikin jingle iklan aja deh ketauan.

Musisi tetap hidup dari manggung di inbox, tapi pencipta lagu terpaksa kencangkan ikat pinggang. Sedih memang, tapi sebenarnya walau si pencipta lagu berhak untuk ngeluh karena share mereka ledes, kita bisa balikan lagi, apakabar si NN pencipta Kampuang Nan Jauah di Mato?

Teks: Edo Wallad

war of heroes

x-men-apocalypse-trailer-egypt

film superhero bikin kita makin impoten. dunia ini semrawut penuh teror dan dalam keputusasaannya membutuhkan figur penyelamat sehingga kita berbondong-bondong ke bioskop menyaksikan sebuah dunia paralel yang sama hancurnya diselamatkan aneka ria pahlawan super selama dua setengah jam. pahlawan supernya makin lama makin banyak, makin seksi, makin keker, musuh makin kuat tak terkalahkan (bahkan kalo bisa temen sendiri), ego makin gede, dialog-dialog makin preachy, teatrikal, nggak manusiawi, dan alur cerita, yah, pas-pasin aja yang penting sound dan special effects spektakuler 9 speker depan-belakang-samping-atas-bawah.

saya nggak menyalahkan napsu bawah sadar kita untuk saling membunuh dan menghancurkan yang harus segera dilampiaskan dengan menonton film exxxsyen supaya kita tetap jadi orang yang normal di tengah masyarakat. saya juga nggak menyalahkan studio komik/film raksasa yang kejar setoran memastikan sekuel hari ini lebih laku dari yang tahun lalu dan yang tahun depan lebih heits dari yang hari ini. saya cuman.. capek aja cyin.

sepertinya film kayak gini makin bikin kita kebas. mata kita terlalu dimanja sama visual jadi nggak menyisakan ruang di otak untuk berimajinasi, atau minimal, berpikir. mau secanggih apa efeknya, akan selalu ada yang lebih canggih taun depan. background music kini udah jadi foreground music. bentar lagi kita udah lupa kalo film itu isinya bukan gambar sama suara doang tapi cerita juga.

dari 3 film superhero borongan terakhir (batman vs. superman, captain america civil war, dan x-men apocalypse), cuma ada satu hal yang menarik, yakni di film x-men apocalypse, saat Mystique bantah Xavier di mansionnya itu. Xavier bilang dengan bangga dan naifnya, bahwa mutan bisa hidup damai aman tentram bahkan tidak menutup kemungkinan di masa depan bisa berdampingan dengan manusia. Mystique mentahin dengan bilang (kira-kira), plis deh Xavier, kalo di belahan dunia lain, mutan masih jadi budak tanpa punya mansion untuk berlindung, boro-boro rumah. Di situ, Xavier jadi embodiment warga kulit putih priviledged mayoritas negara dunia pertama yang penuh dengan ilusi grandeurnya untuk mengubah dunia, tapi nggak pernah tau situasi sebetulnya di dunia nyata, karena nganggep di mana aja itu sama kayak yang dia tinggalin. Aneh, sebetulnya, mengingat Xavier ini serba tau seluk beluk terdalam palung hati semua manusia di muka bumi. Ternyata priviledge bisa membutakan orang semelek dia. Dan adegan ini yang bikin Xavier jadi yang paling manusiawi di antara semua superheroes/mutan itu.

di tengah semua keriwehan ini, saya cuman bisa ngarep film-film superhero berikutnya bisa lebih deadpool.

 

*gambar diambil dari sini

my stupid boss: kebegokan yang emang gitu ajah

unnamed

Film terbaru Upi yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis chaos@work adalah satu dari banyak film yang potensial menghibur tapi nggak jadi menghibur karena karakter yang nggak logis dan nggak jelas perkembangannya sepanjang cerita.

Reza Rahadian kali ini bermain sebagai bos perusahaan spareparts mobil tua (nampaknya, karena itu gak terlalu jelas). Bodinya gendut sumpelan dan kepala agak botak. Istrinya anak konglomerat yang hobi belanja furniture mewah 2x sebulan dan masak masakan rusia. Bossman ini pelit medit setengah mati sering gak bayar gaji anak buahnya, malas beli ac baru, dan nunggak bayar internet dan sewa tanah sampe disatronin mafia malaysia. Lalu ujug-ujug pak bos ini berubah jadi filantropis di akhir cerita gara-gara ketemu anak yatim piatu berkaki O yang membimbing temannya yang tuna netra kembali ke panti asuhan. Tapi, jangan sedih, dia tetep merki kalo sama perusahaan dan anak buahnya.

BCL jadi pemeran utama sekaligus narator cerita bernama Diana yang nggak betah jadi istri nganggur di negeri Jiran sementara suaminya susah diajak ngobrol karena manteng muluk depan laptop, semacam pekerja lepas yang nggak perlu ngantor. Jadilah Diana ikrip sama tetangga rumpi yang doyan banget ngejelekin orang. Tapi bukan itu juga yang mendasari dia cari kerja, karena dia tampak menikmati rumpian sama mereka. Sementara suaminya ngaku gak mau denger curhatan soal kerjaan, karena Bossman adalah sahabat lamanya waktu sekolah di amrik (kenapa harus amrik macam drama2 korea? apakah ini masih aspirasional?)

Karakter pendukung lain juga secara permukaan cukup menarik. Pekerja kantor, karyawan bengkel, semua punya keunikan, walaupun klise. Yang Melayu Islam sibuk zikir sambil baca buku fiqih wanita, yang Cina kompeten tapi underused jadi ngantuk terus, yang arab sibuk sisiran memikat Melayu Islam satunya yang tampak cukup beres kerja, tapi gak jelas juga kerjanya apa, lalu ada teknisi india dan bangladesh yang matter-of-factly banget.

“Dia emang gitu orangnya,” Alex Abbad yang makin cungkring bergigi coak berulang kali menjelaskan kenapa bos kantor baru istrinya (BCL) ini begitu nyebelin. Mungkin “emang gitu orangnya” inilah yang ada di kepala Upi saat membangun karakter-karakternya.

Ada banyak banget potensi konflik yang menarik di sini. Mungkin masculinity issue Reza Rahadian? Mungkin ketidakbahagiaan BCL sama perkawinannya karena sulit konek sama Alex Abbad yang pasif? Pelecehan seksual di kantor? Eksploitasi pekerja? Tapi sayangnya, semua dialognya gak menuju ke mana-mana. BCL cuma sibuk jadi tukang protes yang tiba-tiba bernafsu pengen balas dendam lempar bom sama bosnya, tapi begitu rencana dijalanin yang paling pol cuman gunting kabel speaker dan ngambek gak masuk kantor. Bahkan kompetensi kerja dia yang katanya hebat itu gak keliatan. Reza Rahadian hanya jadi seorang bos yang udah keras kepala bloon lagi. Tapi semua masalah yang dia timbulkan reda sendiri. Alex Abbad ya jadi penengah.

Bahkan ada satu adegan yang harusnya bisa jadi sebuah scene memorable yang penting dalam sejarah sinema Indonesia, simbol kemenangan kelas pekerja terhadap pemilik modalnya: saat semua karyawan dari semua ras nari rame-rame pake lagu Melayu. Sayangnya, menang atas apa nggak jelas (gara-gara nelpon bos tengah malem?). Jadilah adegan itu sekedar sempalan absurd yang menuhin checklist bahwa film ini harus memenuhi semua stereotipe kita sama Malaysia. Padahal, saya berharap Upi nggak sekedar menghasilkan film yang “emang gitu aja.”

Oleh: Ratri Ninditya

 

*gambar diambil dari sini