my stupid boss: kebegokan yang emang gitu ajah

unnamed

Film terbaru Upi yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis chaos@work adalah satu dari banyak film yang potensial menghibur tapi nggak jadi menghibur karena karakter yang nggak logis dan nggak jelas perkembangannya sepanjang cerita.

Reza Rahadian kali ini bermain sebagai bos perusahaan spareparts mobil tua (nampaknya, karena itu gak terlalu jelas). Bodinya gendut sumpelan dan kepala agak botak. Istrinya anak konglomerat yang hobi belanja furniture mewah 2x sebulan dan masak masakan rusia. Bossman ini pelit medit setengah mati sering gak bayar gaji anak buahnya, malas beli ac baru, dan nunggak bayar internet dan sewa tanah sampe disatronin mafia malaysia. Lalu ujug-ujug pak bos ini berubah jadi filantropis di akhir cerita gara-gara ketemu anak yatim piatu berkaki O yang membimbing temannya yang tuna netra kembali ke panti asuhan. Tapi, jangan sedih, dia tetep merki kalo sama perusahaan dan anak buahnya.

BCL jadi pemeran utama sekaligus narator cerita bernama Diana yang nggak betah jadi istri nganggur di negeri Jiran sementara suaminya susah diajak ngobrol karena manteng muluk depan laptop, semacam pekerja lepas yang nggak perlu ngantor. Jadilah Diana ikrip sama tetangga rumpi yang doyan banget ngejelekin orang. Tapi bukan itu juga yang mendasari dia cari kerja, karena dia tampak menikmati rumpian sama mereka. Sementara suaminya ngaku gak mau denger curhatan soal kerjaan, karena Bossman adalah sahabat lamanya waktu sekolah di amrik (kenapa harus amrik macam drama2 korea? apakah ini masih aspirasional?)

Karakter pendukung lain juga secara permukaan cukup menarik. Pekerja kantor, karyawan bengkel, semua punya keunikan, walaupun klise. Yang Melayu Islam sibuk zikir sambil baca buku fiqih wanita, yang Cina kompeten tapi underused jadi ngantuk terus, yang arab sibuk sisiran memikat Melayu Islam satunya yang tampak cukup beres kerja, tapi gak jelas juga kerjanya apa, lalu ada teknisi india dan bangladesh yang matter-of-factly banget.

“Dia emang gitu orangnya,” Alex Abbad yang makin cungkring bergigi coak berulang kali menjelaskan kenapa bos kantor baru istrinya (BCL) ini begitu nyebelin. Mungkin “emang gitu orangnya” inilah yang ada di kepala Upi saat membangun karakter-karakternya.

Ada banyak banget potensi konflik yang menarik di sini. Mungkin masculinity issue Reza Rahadian? Mungkin ketidakbahagiaan BCL sama perkawinannya karena sulit konek sama Alex Abbad yang pasif? Pelecehan seksual di kantor? Eksploitasi pekerja? Tapi sayangnya, semua dialognya gak menuju ke mana-mana. BCL cuma sibuk jadi tukang protes yang tiba-tiba bernafsu pengen balas dendam lempar bom sama bosnya, tapi begitu rencana dijalanin yang paling pol cuman gunting kabel speaker dan ngambek gak masuk kantor. Bahkan kompetensi kerja dia yang katanya hebat itu gak keliatan. Reza Rahadian hanya jadi seorang bos yang udah keras kepala bloon lagi. Tapi semua masalah yang dia timbulkan reda sendiri. Alex Abbad ya jadi penengah.

Bahkan ada satu adegan yang harusnya bisa jadi sebuah scene memorable yang penting dalam sejarah sinema Indonesia, simbol kemenangan kelas pekerja terhadap pemilik modalnya: saat semua karyawan dari semua ras nari rame-rame pake lagu Melayu. Sayangnya, menang atas apa nggak jelas (gara-gara nelpon bos tengah malem?). Jadilah adegan itu sekedar sempalan absurd yang menuhin checklist bahwa film ini harus memenuhi semua stereotipe kita sama Malaysia. Padahal, saya berharap Upi nggak sekedar menghasilkan film yang “emang gitu aja.”

Oleh: Ratri Ninditya

 

*gambar diambil dari sini