KETIDAKSETARAAN 4.0 ATAU KETIDAKSETARAAN AJA?*

Jangan pegang piringnya, mau gue insta duluuu! Ih di pojok situ lightingnya cakeeeep–fotoin gue di situ dong mak! Bebep gamer akuh di YouTube baru aplot video baru–naisuu! Stranger Things season 3 dah mau keluar di Netflix! Bikin potkes yok!

Kita bisa mendengar komentar-komentar demikian dalam percakapan keseharian kita. Mereka mengalir dari lidah kita dan meluncur dari mulut kita dengan sangat natural. Atau, sebaliknya, kita bisa jadi adalah salah satu dari orang-orang dari rentang usia tertentu yang masih mencoba mengikuti kosa kata masa kini—leksikon 4.0, yang, suka atau tidak, harus kita terima dan kuasai. 

Internet hanyalah sebuah aspek lain dari hidup kita, tentang bagaimana kita berkomunikasi, sebagai sebuah medium dan sekaligus sebagai sebuah sarana bagi kita untuk mengekspresikan diri sendiri. Jadi, jika kita prihatin bahwa internet “masih” sebuah lahan yang tidak setara di 2019 ini, kita harus mulai menyadari bahwa hal ini hanya merefleksikan segala hal yang terjadi dalam kehidupan “luar jaringan” (sebagai lawan dari istilah “dalam jaringan” alias daring) kita. 

Bagi saya, ketidaksetaraan adalah ketidaksetaraan titik. 

Di awal tahun 2000, saya menemukan sebuah komunitas puisi daring di Yahoo! Groups (sebuah sarana media sosial 2.0!). Saya terinspirasi untuk melakukannya karena saya sendiri merupakan salah seorang anggota dari sebuah perkumpulan puisi daring yang berbasis di AS bernama pathetic.org (ya, namanya memang disengaja). Setiap anggota mendapatkan situs-mini masing-masing untuk memajang karya-karya mereka dan setiap orang bebas untuk saling mengunjungi situs anggota lainnya. Yang terasa spesial adalah bahwa format itu memungkinkan setiap orang untuk menuliskan pendapat mereka tentang puisi-puisi yang mereka baca dengan cara-cara yang jujur, tanpa kepura-puraan, terperinci, dan juga menyenangkan, yang membuat saya merasa disambut baik dan memungkinkan saya bertumbuh sebagai seorang penulis. 

Suatu kali, saya menggunakan frase “seorang gadis hitam” di salah satu puisi karya saya. Maksud saya adalah untuk menggambarkan diri saya sendiri sebagai makhluk yang tercipta dari bayangan di tembok, tapi jelas saya gagal menghantarkan citra itu sehingga karya itu malah jadi terlihat rasis. Cukup banyak teman saya yang mengomentari puisi itu dan menunjukkan—beberapa di antara mereka dengan cara yang baik—bermasalahnya hal itu. Percakapan-percakapan tersebut mencerahkan saya. 

Saya ingin meniru dinamika-dinamika yang terbuka, saling mendukung, tapi juga otokritis di Komunitas BungaMatahari (BuMa). Saya bahagia karena kami cukup berhasil dalam mencapai hal itu secara alami. Kami telah mengalami bagaimana rasanya saling memberdayakan sebagai bagian dari sebuah komunitas para penulis—dari berbagai gaya—selain juga memiliki kebebasan untuk bereksperimen dan mengeksplorasi seni puisi sebagai  individu. 

Moto kami, semua bisa berpuisi, adalah kunci tentang bagaimana kami berkomunikasi dan menghadirkan diri kami sendiri dalam berbagai proyek berbeda yang kami kerjakan daring atau IRL. Kami membuka pintu kami untuk siapapun yang bercita-cita untuk mengejar karir penulisan, menulis untuk kesenangan mereka sendiri, atau bahkan menikmati tulisan dan hanya sesekali menulis di antara pekerjaan harian mereka yang membosankan. Sangat menarik untuk mempelajari bahwa para anggota BuMa adalah sebuah kumpulan yang sangat beragam: para pemilik warung internet, pegawai bank, seorang pramuniaga untuk perusahaan distributor udang, seorang staf perusahaan asuransi, selain juga para copywriter, para desainer grafis, dan para pekerja lain dari industri kreatif yang sudah bisa diduga. 

Saya ingat bahwa sejak tahun-tahun awal, kami memiliki keingintahuan alami untuk mengenal orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama dalam puisi dan sastra pada umumnya. Kami juga meluaskan jaringan kami, bergabung dengan berbagai milis sastra dan menghadiri ajang-ajang dan diskusi sastra. Kami bertemu dan berbincang dengan para penulis yang menarik, para aktivis sastra, dan para penggemar buku, yang termasuk Wien Muldian, Olin Monteiro, Richard Oh, Joko Pinurbo, Saut Situmorang, dan Katrin Bandel. Rumah Dunia (diorganisir oleh Gola Gong di Serang), dan para tokoh termasyhur seperti Teater Utan Kayu (TUK) Goenawan Mohamad/Salihara dan Yayasan Lontar milik John McGlynn. 

Setelah beberapa waktu, kami semakin akrab dengan pemetaan yang ada dan, tentunya, politik sastra negara kami. Salah satu yang paling memilukan adalah mengetahui bahwa di awal 90an, salah satu yang harus dilakukan oleh seorang penulis pemula yang ingin maju dalam karirnya atau menerima kesempatan pendanaan atau meraih visibilitas, adalah dengan berada dekat sekali dengan sebuah kelompok kecil tertentu, khususnya TUK dan jaringannya. 

Tentu saja ada kritikan dan protes yang dilontarkan pada perkumpulan kuat ini. Tapi, karena mereka juga secara praktis “mengkurasi” halaman-halaman sastra di koran-koran nasional terbesar (pada saat itu adalah saluran paling bergengsi bagi para penulis Indonesia), mereka lebih dari mampu untuk membatasi oposisi mereka di internet; sebuah alam dan medium yang mereka anggap sebagai “tong sampah”, lokus diskusi tidak penting, untuk menjaga otoritas mereka selain membungkam suara-suara pengkritik mereka—di mana pada saat yang sama duduk di kursi pengemudi untuk mengendalikan “selera” sastra bangsa, memutuskan sastra jenis apa yang bisa dianggap berharga akan pengakuan nasional dan/atau internasional. 

Para penjaga gerbang sastra ini memiliki kekuatan untuk “menghapus” para penulis yang mereka anggap tidak cocok ke dalam narasi politis dan imajinasi mereka tentang wujud sastra Indonesia yang seharusnya. Salah satu penjaga gerbang sastra ini adalah Goenawan Mohamad, seorang operator (sastra)-politik cerdik yang menjalankan TUK, kini Salihara. Internet adalah situs di mana kelompok oposisi atas Goenawan pertama berkembang. Dua dari para kritikus yang vokal akan kelompok TUK adalah penyair Saut Situmorang dan kritikus Katrin Bandel, yang pada suatu masa merupakan tokoh polisi baik-polisi jahat dalam sastra Indonesia. 

IRL, buku penting almarhum Wijaya Herlambang berjudul “Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film”—mengikuti jejak buku “Who Paid the Piper?: the CIA and the Cultural Cold War” karya Frances Stonor Saunders—menunjukkan bagaimana Goenawan bisa jadi telah menerima bantuan dari Kongres Kebebasan Budaya (Congress for Cultural Freedom/CCF), sebuah organisasi filantropis yang dibentuk oleh Central Intelligence Agency (CIA) pada 1950, dalam upaya-upayanya untuk menyetir arah sastra Indonesia setelah 1965, saat banyak penulis kiri Indonesia—termasuk Pramoedya Ananta Toer—dibui, diasingkan, atau dibunuh. 

Dalam sebuah artikel di IndoProgress, filsuf dan novelis Martin Suryajaya menggali arsip-arsip di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin dan menemukan berbagai korespondensi antara Goenawan dan Ivan Katz, perwakilan Program Asia. Martin menyebut Katz sebagai “manajer politis” Goenawan dan menunjukkan surat-surat di mana Katz menginstruksikan Goenawan untuk menulis pamflet-pamflet mengkritisi kegiatan-kegiatan kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Saya tidak menyalahkan para penulis yang telah memutuskan untuk bersekutu dengan TUK/Salihara karena saya menyadari bahwa akses pada sumber-sumber finansial, atau sumber daya apapun di Indonesia, dibatasi untuk sekumpulan kecil kalangan istimewa. Hal ini membuat saya frustrasi karena melihat orang-orang di kekuasaan ini mengeksploitasi kemiskinan banyak penulis Indonesia untuk menopang pandangan sempit mereka tentang bagaimana wujud sastra Indonesia seharusnya. 

Kini yang semakin membuat frustrasi adalah bahwa pemerintah akhirnya menyediakan pendanaan publik untuk program-program sastra, tapi akses ke pendanaan itu masih sedikit banyak dikendalikan oleh para penjaga gerbang ini. 

Dalam salah satu malam open mic BuMa (sebelum istilah open mic masuk dalam leksikon kita sehari-hari), kami terkejut mendapati sebuah artikel di Republika, salah satu koran terkemuka Indonesia, berjudul “Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah?” pada terbitan 29 April 2001. Artikel itu ditulis oleh Ahmadun Yosi Herfanda, editor koran itu, dan salah satu argumennya adalah bahwa puisi-puisi dari internet adalah puisi-puisi yang ditolak oleh koran-koran. 

Saya merasa terhina secara personal. Pemikiran muda saya berkata bahwa media internet dan cetak adalah tidak lebih dari sebuah medium. Karya-karya yang tampil di kedua media layak untuk dipuji atau dikritisi dengan adil. Tapi Ahmadun memilih untuk menjadi salah satu penjaga gerbang itu; yang menghentikan kemungkinan-kemungkinan para penulis mengeksplorasi internet sebagai sebuah panggung dan teknologi, sebagai sebuah medium untuk menciptakan tulisan-tulisan yang menguji batas-batas dari teknologi dan sastra itu sendiri.

Cara berpikir bahwa mereka memiliki hak untuk menaruh para penulis dalam kotak-kotak: sastra koran vs sastra maya, adalah manifestasi sesungguhnya dari ketidaksetaraan 2.0!

***

Sastra adalah salah satu dari banyak bentuk seni yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan cerita-cerita akan kesedihan kita, harapan, sukacita, dan penderitaan. Ada banyak cara bagi kita untuk menyampaikan cerita-cerita. Sastra seharusnya memungkinkan para penulis dan pembaca untuk melihat berbagai kemungkinan kehidupan sebagai seorang individu dan sebagai bagian dari sebuah keluarga atau komunitas, di kancah nasional dan global. Sastra seharusnya memberdayakan kita untuk mengenali penderitaan kita dan ketidaksetaraan yang berdasarkan keyakinan, norma-norma, kelas, ras, orientasi seksual, dsb. Sastra seharusnya memampukan kita untuk melihat dinding-dinding di antara kita yang telah diciptakan oleh ketidaksetaraan, dan memberikan kita kekuasaan untuk meruntuhkannya. 

Tapi jika sastra tidak membuat kita mampu untuk melakukan salah satu dari hal tersebut di atas, menurut saya, kita sebagai para penulis dan pembaca sama-sama bersalah melestarikan dinding-dinding tersebut.

Menulis, di antara berbagai hal lainnya, adalah sebuah tindakan mengakui/mendokumentasikan/merefleksikan/mempertanyakan kenyataan seseorang. Itulah mengapa sangat penting bagi para penulis untuk menggali lebih dalam ke diri mereka sendiri dan tempat atau situasi di mana mereka berada, sehingga mereka bisa mengerti diri sendiri dengan lebih baik dan memiliki kemampuan untuk menemukan suara mereka dan mengetahui cara menggunakan suara mereka. Saya percaya saat mereka mengenali dirinya sendiri, karya-karya mereka akan mewakili pandangan unik mereka tentang dunia. 

Seperti ukuran negara kita, kontur tanahnya, dan beragam etnis yang menyusun populasi kita, lanskap sastra Indonesia selalu luas, bervariasi, dan beragam. Untuk mencapai dan merawat kesetaraan, keberagaman, dan kebebasan berpendapat bagi seluruh penulis Indonesia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, tanpa mengesampingkan ras mereka, agama, kelas sosial, gaya dan bentuk penulisan, daerah asal, bahasa ibu, bahasa dan dialek, dan tentu saja, pandangan politik; kita perlu mengakui mereka seluruhnya sebagai bagian-bagian yang terlihat dari sejarah sastra bangsa kita. Hanya mempromosikan sekumpulan penulis di berbagai festival nasional dan internasional atau residensi, adalah tindakan penghapusan yang kejam. 

Representasi internasional akan sastra Indonesia telah didominasi oleh Yayasan Lontar milik John McGlynn. Menurut sebuah artikel berjudul “John McGlynn: The uphill climb for Indonesian literature” (Jakarta Post, 11 September 2017), yayasan tersebut “didirikan pada 1987 oleh McGlynn, yang awalnya datang ke Indonesia untuk mempelajari seni wayang pada 1977, selain mempelajari para penulis terkemuka Indonesia seperti Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Umar Kayam.”

Artikel tersebut menyebutkan bahwa “yayasan tersebut didirikan sebagai sebuah cara untuk menerjemahkan sastra Indonesia bagi pasar-pasar luar negeri” tapi “yayasan itu… kini menerapkan proses seleksi yang lebih ketat untuk memilih karya-karya sastra yang mereka terjemahkan.”

Seperti apa itu “seleksi lebih ketat”? Kriteria apa yang digunakan Lontar untuk menyeleksi karya-karya yang mereka pilih untuk diterjemahkan? Seperti apa proses kuratorialnya? Apakah seluruh proses tersebut pernah diumumkan pada publik?

McGlynn dan Goenawan keduanya tergabung dalam Komite Buku Nasional yang mengatur partisipasi Indonesia dalam festival-festival buku internasional seperti Frankfurt Book Fair dan London Book Fair; seberapa banyak hak yang mereka miliki dalam memutuskan penulis mana dan karya mana yang akan “dijual” di pameran-pameran? Apakah mereka memiliki kesetaraan dalam pikirannya saat membuat keputusan-keputusan ini?

Namun, hal yang menarik setelah eksistensinya selama 32 tahun, tidak satupun penulis yang telah diterjemahkan oleh Lontar berhasil meraih tawaran besar untuk menulis buku di luar negeri. Penulis Indonesia yang paling terkenal di panggung internasional saat ini, Eka Kurniawan, mendapat tawaran-tawaran awal untuk menerbitkan buku (lewat New Directions dan Verso) melalui upayanya sendiri yang persisten untuk menerjemahkan karyanya dan membawanya dalam forum-forum diskusi di luar negeri. 

Dengan mempertimbangkan rekam jejak ini, lalu mengapa McGlynn masih dipercaya untuk menjadi kepala kontingen Indonesia de facto di berbagai pameran buku internasional tersebut? Jika para penulis Indonesia masih kesulitan untuk menembus pasar internasional, apakah itu salah internet, atau salah dari para perantara sastra seperti McGlynn?

Semakin saya membaca artikel itu, semakin saya merasa tidak nyaman. McGlynn mengklain bahwa “banyak hal yang ditulis oleh orang Indonesia dalam bahasa Inggris cenderung terasa datar.” Sebenarnya, banyak penulis Indonesia yang telah menulis puisi-puisi yang luar biasa dan sukses dalam bahasa Inggris. Banyak orang Indonesia yang telah meraih gelar sarjana di negara-negara berbahasa Inggris, atau merupakan keturunan kedua orangtua penutur bahasa Inggris, dan telah terpapar pada buku-buku, lagu-lagu, berbagai film dan konten media sosial di internet (!) nyaris setiap hari dalam bahasa Inggris. 

Beberapa penulis, termasuk saya sendiri, membagikan pemikiran-pemikiran kami tentang pernyataan McGlynn dalam “Is Indonesian Literature Written in English Still Indonesian Literature?” (Jakarta Globe, 12 April 2018). Kami semua setuju bahwa, walaupun kami menulis dalam bahasa Inggris, karya-karya kami masih menjadi bagian dari sastra Indonesia. 

Dari sudut cara pandang pascakolonial, codeswitching atau alternasi bahasa bukanlah sebuah halangan, namun sebuah keistimewaan yang dapat digunakan untuk keuntungan kita: hal ini memberikan kita sebuah strategi lain untuk menulis perlawanan pada Empire. 

***

Bagi penulis seperti saya, anak-anak internet, sangatlah membingungkan jika sebuah mimbar bergengsi seperti Jakarta International Literary Festival, yang digagas oleh salah satu institusi seni paling prestisius di Indonesia, masih saja (di tahun 2019!) mengkritisi internet dengan berspekulasi bahwa “internet masih belum mampu menyamakan lapangan permainan dalam hal mendapatkan karya-karya para penulis dari negara-negara asing maupun berkembang untuk menembus pasar internasional.”

Saya masih bingung melihat bagaimana para elite kini menuntut agar internet, yang belum lama lalu mereka kecam sebagai sebuah tong sampah—saya tidak akan bosan mengingatkan mereka tentang fakta ini berulang kali—harus bertindak sebagai penyelamat mereka, sebagai satu-satunya panggung yang dapat meluncurkan karier internasional mereka! Saat hal ini belum juga terjadi, mereka menuduhkan kecurangan dan menyalahkan internet karena gagal memenuhi janji-janjinya (yang tidak pernah dijanjikan). 

Jadi apakah internet, wahai arus utama sastra Indonesia, tong sampah atau penyelamatmu? Pilih salah satu.

Namun, biarkan saya sampaikan, bahwa apapun yang terjadi bukanlah dan tidaklah akan pernah menjadi kesalahan internet. 

Negara-negara Selatan seperti Indonesia, dalam dunia neokolonialis yang kita hidupi sekarang, menghadapi ketidaksetaraan dalam berbagai bentuk, termasuk ketidaksetaraan dari pasar buku global. Tapi, alih-alih memanipulasi mereka untuk menjadi keuntungan kita—seperti yang telah dilakukan Hallyu—kadang kita hanya tersangkut pada debat tanpa akhir tentang siapa atau bagaimana kita ingin sastra kita direpresentasikan di panggung internasional. 

Percakapan-percakapan yang perlu tentang identitaas, ideologi, keterwakilan, pemosisian, dan kaitan-kaitan kuasa antara Barat dan Timur (dan Selatan) telah terjadi, tapi kita masih rentan tersandung ke dalam jebakan-jebakan untuk mengeksotiskan diri kita guna menarik sebuah pasar yang boleh dibilang masih dikendalikan oleh Barat.

Karena itu, adalah sangat mengkhawatirkan saat John McGlynn, dalam artikel Jakarta Post yang telah sebelumnya saya diskusikan, mengatakan: “Para penerbit tidak mencari Anda, mereka mencari Indonesia.” Apakah ia menyiratkan bahwa para penulis Indonesia harus mengabaikan ekspresi diri kami sendiri, tentang seni dan keterampilan menulis yang telah diasah bertahun-tahun oleh sebagian dari kita, tentang kisah-kisah dan kekhawatiran-kekhawatiran kita sendiri, dan sebaliknya mencukupkan diri kita sendiri dengan menjadi informan-informan setempat bagi pasar buku internasional? 

Kita perlu mengingatkan diri kita sendiri bahwa lapangan permainan sastra Indonesia belum pernah setara. Jika kita ingin melawan ketidaksetaraan, kita harus memulai di halaman belakang kita sendiri. Sebuah representasi adil dari sastra Indonesia tidak akan pernah hadir selama para elite yang mengklaim diri mereka sendiri sebagai para penjaga gerbang sastra negara ini terus mengkotak-kotakkan para penulis dan karya-karyanya menjadi yang sesuai dengan selera mereka—yang telah dengan strategis mereka propagandakan melalui media nasional dan internasional, berbagai festival dan penghargaan—dan yang tidak sesuai. 

Tepat sebelum London Book Fair 2019, di mana Indonesia menjadi market focus, sebuah percakapan di Twitter—dimulai oleh Tiffany Tsao, Norman Erikson Pasaribu, Madina Malahayati Chumaera, Theodora Sarah Abigail, Intan Paramaditha, dan Mikael Johani—tentang cara-cara problematik di mana sastra Indonesia digambarkan oleh para penjaga gerbang di atas menjadi agak viral. 

Tidak lama, Theodora menerbitkan sebuah esei tentang isu tersebut di Jakarta Globe. Eka juga menyampaikan pemikirannya tentang hal ini di laman Facebook miliknya. 

Kritik ini bukanlah hal baru. Banyak dari pada pendahulu dan rekan sezaman mereka telah meneriakkan kekhawatiran-kekhawatiran yang sama, tapi mereka tidak berhasil memenuhi KPI yang dibutuhkan untuk terus menggulirkan bola tentang topik ini. 

Saya juga berpendapat bahwa aksi-aksi mereka dan reaksi audiens mereka adalah bukti bahwa, dalam dunia di mana semakin banyak orang diberdayakan untuk melawan balik para penindas mereka, maka semakin banyak pula penulis Indonesia yang juga mengklaim (kembali) hak-hak mereka, menggunakan media sosial (internet) bukan hanya sebagai sebuah panggung untuk mempromosikan tulisan dan pengaruh mereka, tapi juga sebagai sebuah alat perlawanan. 

Walaupun saat ini riak (Twitter) yang mereka ciptakan telah surut, ini tidak berarti perlawanan telah berakhir. Saya telah melihat para penulis dan karya-karya kolektif dan kolaborasi di luar skena sastra arus utama untuk menciptakan ruang dan ide-ide mereka sendiri tentang bagaimana wujud sastra Indonesia seharusnya. 

Estetika BuMa, mengutip pengalaman saya sendiri, banyak dipengaruhi oleh skena indie tahun 90an dan budaya bawah tanah. Beberapa anggota awal kami mengidentifikasi diri mereka dengan gaya hidup dan semangat punk/DIY (Do It Yourself), baik dalam busana maupun cara berpikir. Setelah menolak tawaran Salihara untuk menggelar ajang open mic kami sendiri di tempat mereka, kami menyadari bahwa kami akan melakukan pekerjaan kami sendiri, dalam hal pendanaan dan visibilitas. Mengingat ini lagi, saya lega bahwa kami tetap setia pada ungkapan, “Jika kamu tidak bisa menemukan apa yang kamu sukai, lakukanlah sendiri.”

BuMa kemudian mengadakan banyak kolaborasi dengan kelompok-kelompok lain, LSM, UNICEF, dan pusat kebudayaan Prancis untuk membawa puisi ke publik yang lebih luas. Kami mengadakan ajang open mic di stasiun kereta Gambir, mengadakan flash mob di sebuah bioskop (termasuk menempelkan puisi-puisi di kubikel toilet tempat itu—secara literer sebagai tempat di mana orang membuang sampah mereka), sebuah kompetisi menulis puisi untuk anak-anak (para pemenang membawakan puisi-puisi mereka bersama seorang pantomim Prancis di Taman Menteng), sebuah workshop puisi bersama Jurnal Perempuan, dan sebuah pergerakan kecil untuk meninggalkan sebuah puisi yang tertulis di secarik kertas di transportasi publik dan tempat-tempat publik, sehingga penumpang taksi berikutnya atau orang yang duduk berikutnya di sebuah kafe setelah Anda akan membacanya. 

Saya terberkati karena dikelilingi oleh orang-orang yang percaya bahwa puisi adalah milik kita semua. Dua tahun lalu, kami menciptakan sebuah pentas baru untuk para penulis dari latar belakang berbeda dan dari berbagai tahapan karir untuk menampilkan karya-karya mereka, dan sejak itu saya merasakan kebahagiaan saat melihat berlimpahnya talenta-talenta muda setiap bulan di Paviliun Puisi, satu-satunya malam open mic bulanan di Jakarta. 

Para penulis urban muda ini—yang rutin mendatangi tempat kami dan menulis tentang kenyataan menyedihkan bekerja untuk perusahaan-perusahaan multinasional, yang mewajibkan mereka untuk tampil sempurna, namun masih hidup dengan gaji pas-pasan; perjuangan mereka untuk menyembunyikan dan memamerkan identitas seksual mereka; stigma seputar kesehatan dan kesakitan fisik dan mental mereka; perjuangan mereka melawan nilai-nilai patriarki dalam keluarga mereka, tempat kerja, lingkungan teman-teman; beban-beban untuk meraih sukses saat mereka tidak memiliki akses akan pendidikan yang layak; dan seterusnya. 

Mereka sangat cerdas menggunakan internet, sangat terpengaruh oleh apa yang mereka sukai atau tidak sukai di Instagram, Twitter, Netflix, Spotify, dan mampu untuk dengan cerdik mengikutsertakannya dalam karya-karya mereka. Banyak dari mereka yang juga menggunakan kosa kata sehari-hari, idiom-idiom populer, campuran bahasa Inggris dan Indonesia—suatu hal yang masih dianggap tidak puitis oleh para penghuni bangunan sastra Indonesia yang lebih konservatif. Mereka juga telah berkolaborasi dengan para musisi, para seniman visual, kelompok teater, penari, dan DJ. Setelah mengamati satu demi satu penampilan mereka, saya merasa justru para penguasa sastra itulah yang rugi tidak bisa menyaksikan dan mengapresiasi variasi-variasi dari gaya dan tema yang diciptakan para penulis muda ini. 

Para penulis yang saya sukai sekarang ini termasuk tapi tidak terbatas pada Ratri Ninditya, Kezia Alaia, Mikhael Ray, Syarafina Vidyadhana, Rara Rizal, Farhanah, Edo Wallad, Waraney Herald Rawung, Yoshi Fe, Catharina Dwiyandani, Kafiel Alawy, Puri Dewayani, Malkan Junaidi, Y. Thendra BP, dan Arie Saptaji. 

Beberapa di antara mereka telah mendapatkan tawaran penerbitan dari para penerbit besar, beberapa lainnya memutuskan bergabung dengan penerbit independen, sebagian lagi masih mengerjakan manuskrip-manuskrip mereka, dan saya bahkan menduga bahwa beberapa dari mereka tidak merasa penting untuk dipublikasikan. Tapi mereka memiliki karya penulisan penting yang tidak bisa dihiraukan oleh siapapun yang mau belajar lebih tentang puisi Indonesia.

Pertukaran-pertukaran puitis yang terjadi setiap bulan di Paviliun Puisi juga menunjukkan pada saya bahwa dialog antargenerasi, baik daring dan IRL, harus dirawat. Sebagai seseorang yang merasa telah berinvestasi dalam sastra Indonesia dan telah mencoba menggunakan keistimewaan yang telah saya raih untuk menyamakan lapangan permainan—tidak hanya membuatnya semakin mudah diakses untuk para pembaca buku domestik tapi juga, terutama, untuk mengamplifikasi suara-suara para penulis, baik yang berisik maupun yang lemah lembut—selama 19 tahun terakhir, saya telah mencoba untuk bicara pada, dan terlibat dengan, sebanyak mungkin orang dalam industri sastra dan buku. 

Saya menyadari bahwa kini ada beberapa generasi yang memenuhi lapangan: 60an hingga 70an, 80an hingga 90an, dan tahun 2000an hingga 2010an. Saya mengerti bahwa mereka semua pasti memiliki opini dan kekhawatiran berbeda.

Namun, dalam pengamatan saya, situasi saat ini masih memperkenankan budaya usang patronisasi untuk kembali unjuk muka. Adalah sebuah hal alami untuk belajar dari seseorang yang kita anggap lebih berpengalaman. Tapi hal ini terbukti sangat problematik karena skena yang ada telah semakin terfragmentasi dan, dengan demikian, berisiko untuk dikendalikan oleh kelompok penulis elitis, yang, sebaliknya, mempromosikan penyebaran kesempatan-kesempatan dan pendanaan yang tidak setara. 

Selama beberapa tahun terakhir, sejak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mulai menyediakan dana-dana hibah untuk menerjemahkan karya-karya Indonesia melalui sebuah program bernama LitRI yang dikelola oleh Komite Buku Nasional, yang para anggotanya termasuk Goenawan Mohamad dari Salihara, John McGlynn dari Lontar dan juga para perwakilan dari penerbit-penerbit besar Indonesia, jadi sangat jelas bahwa mereka telah mempromosikan para penulis yang itu-itu lagi di berbagai pasar buku internasional dan bahkan dengan bebas memberikan pendanaan pada proyek-proyek mereka sendiri. 

Menurut saya, “konflik kepentingan” adalah cara yang baik dan sederhana untuk menggambarkan situasi ini. 

Kolusi dan patronisasi seperti itu harus berakhir. Sebagaimana dikatakan Pramoedya Ananta Toer: “Seseorang yang berpendidikan akan adil dalam pemikirannya, apalagi dalam perbuatan-perbuatannya.” Semua penulis, selain juga seniman dari beragam disiplin, harus dipertimbangkan menurut kecakapan mereka dan bukan dari bagaimana terkait(atau tidak)nya mereka dengan kekuasaan. 

Saat ini, saya tidak bisa mengatakan bahwa saya optimistis. Namun begitu, pergerakan-pergerakan akar rumput dan arus samping terus berkembang. Banyak penulis muda Indonesia semakin sadar politik, pandai bicara, banyak akal, dan ingin tahu akan sejarah bangsa dan sastra mereka. Mereka yang memiliki kemewahan-kemewahan pendidikan, jaringan, pengikut di media sosial, dan/atau uang sehingga bisa meluangkan waktu untuk berpikir tentang seni dan pergerakan mereka kebanyakan mampu menggunakan kemewahan-kemewahan ini tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk teman-teman sebaya mereka yang tidak mendapatkan kemewahan-kemewahan tersebut. 

Karena hal ini, kadang-kadang di suatu malam saya berani bermimpi bahwa akan datang masanya di mana sastra Indonesia, baik itu dilahirkan di sebuah kota besar, desa terpencil, dalam buku harian seseorang, dalam sebuah aplikasi di ponsel cerdas, dan lalu diterbitkan atau didistribusikan melalui media sosial atau oleh sebuah penerbit besar maupun independen, akan merefleksikan kekayaan bangsa selain juga mencatat dan menebus dosa-dosa para penjaga gerbang sastranya. 

Dalam sebuah dunia yang ideal, saya ingin melihat sastra arus utama, para penerbit besar, dan himpunan-himpunan kebudayaan dapat hidup dengan berbagai kolektif indie, bawah tanah, dan arus samping untuk menciptakan, memenuhi, dan berkembang bersama di ekosistem sastra Indonesia. Bukan dengan mengkooptasi atau “menghadiahi” penulis dan/atau komunitas yang “lebih kecil”, atau dengan mengikutkan mereka dalam sebuah, misalnya, festival sastra yang “bergengsi” dan “mewah” (sayangnya, JILF adalah salah satu contohnya) sebagai penghibur-penghibur pinggiran, tapi dengan bekerja bersama mereka sebagai pembuat keputusan yang setara dan sebagai perwakilan dari masing-masing estetika dan ideologi mereka. 

Ketidaksetaraan di internet hanyalah ekses dari ketidaksetaraan di semua aspek kehidupan dalam sebuah masyarakat yang memang tidak adil. Masyarakat yang selalu tidak adil secara sistemik, baik kita hidup dalam era 2.0 atau 4.0. Mari kita tidak menutup-nutupi kenyataan dan mulai membuka mata kita akan ketidakadilan yang mencolok yang telah menodai bangsa kita selama berabad-abad. Selama skena sastra kita masih bergantung pada patronisasi dan kolusi, mari bersiap untuk fajar Ketidaksetaraan 5.0. 

*diterjemahkan dari versi asli berbahasa Inggris “Inequality 4.0 or Simply Inequality” oleh salah satu atau banyak dari Dean Benitez, Felicca Patricia Madiadipura, Isyana Artharini, Yoga Prasetyo Lordason, atau Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie untuk panel berjudul Inequality 4.0 di Jakarta International Literary Festival (JILF) 2019; ditambah dengan revisi minor yang berhubungan dengan tata bahasa, dan kesalahan tulis di teks sumber

RADEN MANDASIA: DONGENG CAMPURSARI RASA MAJAPAHIT

Pesan Pembuka:

Saya prihatin, sedih, dan tentunya terganggu mendengar kisruh paling mutakhir di antara penulis dan penyair Indonesia. Ketidaksetaraan gender dan seksisme adalah hal-hal yang masih saja menjadi masalah dalam struktur kesusastraan Indonesia. Saya berterima kasih kepada kawan-kawan yang sudah menyuarakan pendapat. Opini saya sendiri sudah terwakilkan oleh beberapa dari kalian.

Ini mengingatkan saya kalau saya berutang untuk membagikan unedited version dari review “Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi” karya Yusi Avianto Pareanom yang pernah terbit di Majalah Tempo Edisi 4 Juli 2016. Versi online-nya bisa diakses di sini.

Kebetulan saya memang sudah cukup lama mengenal Mas Yusi. Sejak awal 2000an, ketika saya masih aktif di Komunitas BungaMatahari (BuMa). Kalau tidak bertemu di acara-acara sastra, ya saat nongkrong di Coffeewar. Di acara yang lebih formal, ia mengundang saya jadi pembicara di sesi Inequality 4.0 JILF 2019. Oya, Mas Yusi juga ada di grup WhatsApp Residensi Penulis Indonesia (sebuah proyek bermasalah yang kapan-kapan akan saya bicarakan) Angkatan 2019 (((angkataaan))). Ya, karena ia termasuk sastrawan yang lolos seleksi. Intinya, sih, kami saling tahu posisi masing-masing di dunia persilatan sastra Indonesia. Dengan kata lain, bisa ngopi bareng tapi sering tidak sejalanterutama ketika Mas Yusi makin dekat dengan kekuasaan dan bahkan menjadi bagian dari kekuasaan tersebut. 

Jadi, ketika diminta membahas “Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi”, saya cukup kaget karena dari konten promosi dan kutipan-kutipan yang diangkat, dugaan saya adalah buku itu bukan secangkir teh yang cocok untuk saya (berusaha mengikuti gaya Mas Yusi mengadaptasi idiom luar negeri). Lalu, kok saya terima permintaan tersebut?

Kita semua tahu khalayak pembaca Mas Yusi sudah sangat luas, dan ia pun berpengaruh dalam mengorbitkan karir sejumlah penulis muda. Saya mengiyakan karena saya merasa perlu menawarkan pembacaan berbeda terhadap novel tersebut sekaligus mencoba menyampaikan langsung kepada penulisnya (saya kan bacanya setelah novelnya selesai ditulis, bukan sebelumnya) kalau karyanya sungguh bermasalah. Lucunya, setelah saya mengatakan kalau saya merasa tidak nyaman dengan isi novel Mas Yusi, Yandri sebagai moderator, malah bertanya, kurang lebih begini: “Tapi, Mbak Anya gak terganggu kan bacanya?” *facepalm*

Lalu, saya berpikir, masalah ini tidak cukup diperbincangkan dalam acara 1-2 jam atau ulasan yang terikat jumlah karakter. Apalagi tak lama kemudian novel ini memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa 2016, yang menunjukkan bagaimana para penentu selera di dalam kesusastraan Indonesia lebih banyak berpihak pada karya laki-laki yang seringkali melanggengkan nilai-nilai patriarkal dan heteronormatif. Soalnya, kalau menurut saya, seksisme sistemik dan manifestasi ketidakadilan lainnya tak hanya berlaku di dalam “daftar-daftar” dan “penghargaan-penghargaan” yang ada di skena sastra Indonesia, tetapi juga punya potensi merembes ke dalam karya-karya yang dihasilkan di dalamnya, bahkan karya-karya yang paling digadang-gadang sekalipun.

Makanya, saya ingin membayar utang tersebut sekarang. 

~~~

RADEN MANDASIA: DONGENG CAMPURSARI RASA MAJAPAHIT

Novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom, pemenang penghargaan Kusala Satra Khatulistiwa 2016 yang di sampul depannya berlabel “sebuah dongeng” ini, mencampur aduk beragam unsur kultur pop mulai dari tahun 1960an sampai sekarang. Cerita silat Kho Ping Hoo dan Jaka Sembung; karakter Tintin, Kapten Haddock, bahkan si anjing Snowy (Milo di terjemahan versi terkini); referensi dari Asterix dan Obelix; kisah Nabi Isa dan Nabi Yunus yang dicampursari/mash-up dengan Pinokio dan Moby Dick; film laga 300 dan masih banyak lagi. 

Dengan ketangkasan dan kecerdikan Yusi bersilat kata, pamer wawasan jadi bumbu cerita yang sedap. Tidak hanya dialog antar karakter yang terasa hidup, adegan demi adegan di dalam buku ini diceritakan dengan sangat lancar dan sinematik sehingga menimbulkan keasyikan membaca. Ini sudah terasa sejak halaman pertama ketika kita berkenalan dengan Raden Mandasia dan Sungu Lembu—nama yang terakhir tokoh utama sekaligus narator buku ini. 

Salah satu motif yang juga dipakai Yusi untuk menebar pesona kepada pembacanya adalah makanan. Berbagai jenis makanan dari berbagai penjuru dunia antah berantah yang diciptakannya mendapat porsi yang istimewa di buku ini. Tentang daging sapi buatan Raden Mandasia misalnya: “… daging-daging yang cukup dibakar dua sisi sebentar saja sampai setengah matang supaya keempukannya terjaga sehingga lumer saat digigit…” (hal. 20). Dan tentang masakan bibinya, Nyi Banyak: “… setiap harinya selalu enak, mulai sukun goreng, ketan serundeng, pecel kembang turi yang sambalnya pedas legit, sampai nasi kuning gurih dengan ayam bakar tulang lunak ditambah sambal goreng hati… (hal. 85). Semua ini membuat saya seperti menonton acara-acara kuliner Andrew Zimmern dan Anthony Bourdain yang berkeliling dunia sembari mencicipi makanan-makanan setempat yang unik sekaligus sedap. Semakin saya mengikuti sepak terjang Sungu Lembu dan Raden Mandasia, saya kadang merasa mereka seperti duo foodie snob dan travel junkie dari zaman Majapahit yang keluar dari saluran televisi gaya hidup. 

Gaya campursari itu diramu Yusi secara halus dan dengan teknik menulisnya yang hampir tanpa cela, saya tak heran banyak pembacanya yang mengklaim bisa melahap buku ini hanya dalam semalam atau dua. Pilihan Yusi menulis dengan gaya seperti itu juga membuat saya dengan girang menjuluki karya ini sebagai sebuah “babad milenial”. Yusi melakukan campursari antara tokoh-tokoh dari dongeng masa lalu dan dongeng masa kini dengan memukau. Bahkan Yusi mengadon pemikiran rasional dan takhayul di dalam maupun di antara karakter-karakternya, sebuah siasat yang sungguh canggih.

Tapi, ada yang mengusik saya, yaitu karakter Sungu Lembu (dan kebanyakan karakter laki-laki lainnya) yang terlampau macho dan seksis. Dalam sebuah diskusi di peluncuran buku ini—di mana saya jadi salah satu pembicaranya—Yusi mengatakan kalau Sungu Lembu memang sengaja ia bentuk menjadi karakter anak muda yang politically incorrect untuk menggulirkan cerita. Ini memang sepenuhnya hak Yusi sebagai penulis, tetapi sampai sekarang saya masih mempertanyakan sekaligus menyesali, mengapa Yusi mengambil keputusan itu—apalagi karena Yusi juga dikenal sebagai pengajar kelas penulisan kreatif yang sudah menelurkan sejumlah penulis muda. Sayang sekali kalau itulah warisan yang ingin ia turunkan kepada murid-murid dan pembaca-pembaca mudanya. 

Sudah banyak sastrawan dunia yang menulis ulang atau mencuri dongeng-dongeng yang sudah familiar di kalangan pembaca mereka untuk kemudian didaur ulang menjadi dongeng yang baru. Tetapi, mereka melakukannya dengan maksud yang jelas, misalnya untuk melawan nilai-nilai moral yang berlaku pada masa itu. Salah satu contoh yang lebih spesifik misalnya untuk melawan nilai-nilai patriarki yang menindas dan membatasi gerak-gerik perempuan, seperti yang dilakukan Angela Carter lewat kumpulan ceritanya yang berjudul The Bloody Chamber. Buku ini bahkan dianggap tidak hanya menulis ulang tetapi juga memanfaatkan motif-motif dongeng untuk lebih jauh mengeksplorasi bagaimana laki-laki dan, terutama, perempuan menemukan atau kehilangan diri mereka. 

Yang jelas, kalau dibandingkan dengan The Bloody Chamber, buku ini lebih mengeksplorasi kehidupan laki-laki yang heteronormatif, khususnya laki-laki ABG seksis seperti Sungu Lembu, karena ialah narator di cerita ini. Hasilnya, saya sebagai pembaca, suka atau tidak, harus melihat dunia di dalam buku ini lewat mata Sungu Lembu. Karakter-karakter perempuan di buku ini, mulai dari yang berperan kecil maupun besar, dilukiskan sebagai hidangan yang sama sensualnya seperti makanan-makanan yang disantap Sungu Lembu dan Raden Mandasia. Semua perempuan beragam rupa, bentuk, asal usul, profesi tak lain dan tak bukan berfungsi untuk melayani selera kedua lelaki tersebut. Atau sebaliknya, perempuan-perempuan itu begitu anggun dan suci sehingga memuaskan mata mereka dan/atau karakter laki-laki lainnya. Ya, tetap saja sebagai tontonan bahkan suguhan (seperti daging sapi!). 

Saya sangat berduka mengikuti perjalanan hidup perempuan-perempuan di dalam buku ini. Saya tidak bisa menghitung lagi berapa banyak perempuan yang berpengaruh di dalam kehidupan Sungu Lembu, tetapi kelihatannya hanya sedikit yang bertahan muncul cukup lama dan berumur panjang. Di dalam novel sepanjang 450 hal ini, perempuan-perempuan itu menghabiskan kebanyakan hidup mereka di dalam ruangan, mulai dari dapur, ruang tamu, rumah judi, dan tentu saja kamar tidur.  

Nyai Manggis adalah salah satu karakter perempuan ‘kuat’ di dalam kisah ini, tetapi kekuatannya tetap saja digambarkan bersumber dari kecantikan paras dan tubuhnya. Boleh saja memang memandang kedua hal tersebut sebagai kekuatan perempuan, tetapi apakah kekuatan perempuan hanya itu? 

Nyai Manggis mendapat banyak sekali perlindungan dari laki-laki. Ia bisa mencapai posisi yang disegani sebagai pemilik rumah dadu dan pejuang bawah tanah melawan kekuasaan rezim Watugunung—karena laki-laki. Hal ini diakui Nyai Manggis sendiri ketika ia menyadari ternyata ia mencintai Bandempo karena laki-laki itu ”menghormati dan memberinya kepercayaan” (hal. 154). Ini mungkin bisa dibaca sebagai kecerdikan dan kepanjangakalan Nyai Manggis dalam menggunakan privilesenya walaupun privilese itu datang dari laki-laki yang memiliki banyak privilese juga. Tetapi, ajalnya yang terlalu sederhana membuat saya meragukan pembacaan itu. Hanya karena sebuah teriakan gemulai, habislah peran Nyai Manggis yang menurut Yusi di dalam diskusi sukaria kami malam itu, “progresif”. Progresif? Kok, tiba-tiba saya ingin bernyanyi, “Waniii ta diii jajaaah pria sejak dulu…

Tokoh perempuan yang sebenarnya menjadi favorit saya adalah Parwati, salah satu tokoh dengan hidup terpendek di buku ini. Ia adalah seorang penari ronggeng yang tidak termakan bujuk rayu Sungu Lembu sehingga Sungu Lembu menjadi terobsesi dan mengikuti rombongan tari Parwati sampai satu setengah bulan. Mereka akhirnya bercinta, tetapi dengan cara yang tidak sesuai dengan bayangan Sungu Lembu. Begitu tidak sesuainya, Sungu Lembu malah “hanya bertahan sebentar” (hal. 116) serta merasa telah “dimanfaatkan” dan “kotor” (hal. 117). Tak lama kemudian Parwati sakit parah dan… ya benar, ia menemui ajalnya.

Setelah Parwati, Sungu Lembu mengalami lagi kejadian semacam ini. Kali ini di kamar Nyai Manggis yang ingin menghukumnya karena berani menyatakan cinta kepadanya. Nyai Manggis menutup mata dan mengikat Sungu Lembu di tempat tidurnya kemudian mengirimkan tiga perempuan penghibur untuk “menyerang”-nya (hal. 119-120). 

BDSM (Bondage, Discipline, Sadism and Masochism) adalah kegiatan seksual yang sangat berkaitan dengan permainan kuasa, orang-orang yang memutuskan untuk terlibat di dalamnya biasanya sudah mengikat kontrak dengan satu sama lain sebelum dengan sukarela menjalankan peran dominan atau submisif untuk pada akhirnya mencapai kenikmatan bersama. Tetapi, Sungu Lembu ternyata memaknai BDSM dengan terlalu sederhana. Walaupun di tengah-tengah permainan ia sempat teringat akan pengalamannya dengan Parwati dan juga “bertahan sangat sebentar” (hal. 120), setelah itu ia kembali lagi menjadi ABG bingung yang “tak akan pernah paham pemikiran perempuan” (hal. 120). 

Tentunya, saya tak ingin mendikte perasaan Sungu Lembu. Saya hanya menyayangkan bagaimana seks selalu digambarkan menyenangkan bagi banyak karakter laki-laki di buku ini, dalam bentuk maupun keadaan apapun kegiatan tersebut dipraktekkan. Seakan-akan seks hanya semacam hiburan gratis yang perlu dinikmati saja, bukan bentuk hubungan antarmanusia yang sangat mungkin dipakai sebagai alat kekerasan. Pada kenyataannya, perkosaan laki-laki, baik dilakukan oleh sesama laki-laki maupun perempuan, adalah hal yang sangat serius, sering terjadi, dan dapat mengakibatkan gangguan psikis yang sama beratnya dengan perkosaan yang korbannya perempuan. (Bagi yang tak percaya laki-laki bisa diperkosa, silahkan masukkan ‘male rape’ ke dalam mesin pencari Anda.)  

Saya sungguh menyayangkan bagaimana seks dalam dongeng ini—dan banyak hal lain—sebagai konsekuensi POV penggulir cerita Sungu Lembu yang politically incorrect dan naif itu, jadi sering digambarkan dengan simplistik, tidak mempertimbangkan dimensi lain yang lebih kompleks. Apa poin menggambarkan dunia dan peristiwa-peristiwa di dalamnya dengan simplistis di novel (se)besar ini? Apa tujuan segala kecanggihan akrobat teknik penulisan Yusi di dalam, sekali lagi, novel (se)besar ini? 

Padahal, menurut saya, jika ia ingin, Yusi mempunyai banyak kesempatan untuk mengembangkan karakter Sungu Lembu untuk menjadi lebih peka dalam melihat peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Contohnya, lewat hubungan Sungu Lembu dengan pamannya Banyak Wetan. Ia banyak membekali Sungu Lembu dengan peristiwa-peristiwa pemberontakan rakyat yang disebabkan oleh ketidakadilan yang terjadi karena perbedaan kelas. Banyak Wetan juga membekali Sungu Lembu dengan keahlian bela diri, meramu racun, dan buku-buku pengetahuan. Karena semua itu, Banyak Wetan adalah seseorang yang sangat dihormati dan disayangi Sungu Lembu.

Hm, apakah ini kuncinya?

Saya memang tidak bisa mengharapkan Yusi memanipulasi struktur dan motif babad-babad lain untuk mengomentari atau mengkritik kerakusan manusia beserta norma-norma sosial yang tidak ramah pada kaum tertentu. Sepertinya, saya perlu menerima saja kalau Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi adalah salah satu usahanya sebagai seorang “paman” untuk memamerkan jurus-jurus andalannya demi memukau penulis-penulis muda yang diasuhnya. 

Jadi, buat apa saya menulis ulasan ini, ya? Hahaha.

Ya, sudahlah, sudah kepalang tanggung. 

Buku ini diwacanakan sebagai dongeng yang tidak ingin menggurui atau memuat pesan moral apa pun. Sesungguhnya, saya kurang percaya wacana ini, sehingga saya akan tetap bertanya: Bukankah memilih untuk menulis tanpa pesan moral juga sebuah bentuk moralitas, bahkan posisi politis? Dan apakah proyek untuk mendongeng saja dan tidak melakukan kritik sosial ini jadinya malah melanggengkan nilai-nilai maskulin/heteronormatif/seksis yang sampai saat ini merupakan masalah besar di banyak bidang kehidupan manusia?

Saya setuju kalau di dunia yang sudah penuh masalah dan hidup sehari-hari begitu berat, terkadang kita perlu santai sedikit. Toh, sejak awal manusia memang selalu saling tipu, saling bunuh. Mungkin inilah pesan Yusi lewat dongengnya. Namun, menelan bulat-bulat pandangan semacam ini bisa juga membuat kita tersedak, apalagi jika kita letakkan buku ini dalam konteks sastra, politik sastra maupun politik negeri ini yang masih sarat dengan ketidakadilan. 

Sepertinya saya perlu minum segelas tuak atau setidaknya kahwa hangat bersama Sungu Lembu, yang kemungkinan besar malah akan saya keplak karena memelototi susu saya, sambil merenungkan jurus manakah yang lebih penting ketika seseorang menulis sebuah dongeng: teknik atau isi?