apa sih maksudnya figur perempuan anti-stereotip di drama korea?

tulisan ini akan mereview serial Extracurricular untuk merespon artikel ini.

di artikel tersebut, ada beberapa masalah. masalah ini penting untuk saya tulis karena ini berkaitan dengan gimana definisi tentang “perempuan berdaya” sering dibicarakan. kita terlalu sering mengangkat keberhasilan perempuan mengangkat dirinya sendiri di dalam lingkup industri dan korporasi sebagai ukuran pemberdayaannya. figur perempuan dingin dan “rasional” dengan killer look hak tinggi dan lipstik merah, anti pernikahan dan tinggal sendirian di sebuah apartemen mewah telah menjadi pahlawan-pahlawan para perempuan di budaya populer.

kenapa kita suka banget championing figur perempuan yang sukses di karir sebagai perempuan berdaya? mereka benar berdaya, tapi hanya sebagian saja benarnya. bukankah dia masih ditindas sama sistem kapitalisme ketika dia cuman sukses jadi CEO startup digital? keberhasilan individu tidak semerta-merta menjadi ukuran sebuah perjuangan feminisme. pandangan ini akan memerangkap kita dalam narasi postfeminisme, yang menganggap perjuangan telah usai hanya karena kini perempuan sudah “bisa cari duit sendiri”.

jika kita mengklaim bahwa sekarang drama korea sudah menampilkan tokoh perempuan yang jadi fokus utama cerita, membongkar stereotipe, dan multidimensi seperti artikel yang saya sebut di atas, itu tidak tepat. keberhasilan drama asia timur di pasar indonesia justru berporos pada karakter perempuan yang jadi fokus cerita, membongkar stereotipe, dan multidimensional. drama-drama ini menghadirkan suatu kebaruan dari tren sinetron dan drama bollywood yang populer di era 90-an. sejak awal popularitas drama taiwan-korea-jepang, karakter perempuan sudah tidak lagi dangkal dan jadi objek kasih sayang. mereka punya impian, melawan ketika ditindas ibu mertua, walaupun akhirnya mereka jadian juga sama tokoh utama laki-lakinya. tapi nggak semua juga. rika akana di tokyo love stories akhirnya pisah dengan kanji. ngomongin dangkal, minami di long vacation justru membantu sena mengurai traumanya pada piano. kita ingat san chai di meteor garden yang jago berkelahi. formula meteor garden diadaptasi dari hana yori dango, dan diduplikasi di the heirs. bahkan di full house, karakter yang dimainkan song hye kyo jadi fokus yang setara dengan rain. fokus cerita pada lelaki juga terkait pada drama ini ditujukan buat pemirsa yang mana. fokus pada cowok seringkali jadi objek seksual pemirsa perempuannya. scene perut papan penggilesan jadi wajib sampai beberapa tahun yang lalu.

artinya, figur perempuan mandiri yang sukses dalam pencapaian karirnya sudah jadi stereotipe perempuan dalam drama korea, mungkin, lebih tepatnya prototipe. tentu benar juga kata penulis, masih banyak drakor menye-menye yang perempuannya jadi hiasan. tapi kita nggak membicarakan itu karena buat saya drama-drama itu praktis jadi fosil, tidak relevan lagi untuk dibicarakan.

yang juga menjadi daya tarik adalah bahwa figur perempuan asertif ini dibingkai dalam pemenuhan mimpi-mimpi materialistis, seperti posisi di korporasi, top student di kampus, tinggal di luar negeri. di sini drama-drama itu belum bisa keluar dari kelindan struktur lain yang membelenggunya: kapitalisme dan neokolonialisme. selain itu, obsesi atas kesempurnaan tubuh dan kemapanan finansial menumpuk jadi racunnya sendiri yang menjadi klimaks beberapa tahun terakhir ini (dengan terkuaknya banyak kasus pelecehan seksual lewat gelombang #metoo korsel).

efek samping dari pesatnya pertumbuhan ekonomi korea selatan yang salah satunya disokong pasar kpop dan kdrama kemudian direspon dalam banyak film (parasite, one of the most obvious) dan drama korea. beberapa dari efek ini adalah pelecehan seksual pada perempuan, eksploitasi anak, gentrifikasi, gangguan mental masif, dan munculnya kelompok-kelompok orang terpinggirkan (yang gak kebagian “sukses”). review-review popteori sebelumnya telah banyak mengurai hal ini. salah satu respon terhadap berbagai fenomena ini ada di drama produksi netflix berjudul extracurricular.

di bawah ini adalah review awal nonton 7 episode, belum semua. tapi yang saya ingin tekankan adalah ada banyak karakter perempuan yang perlu dirayakan di luar dari yang sekadar sukses berkarir.

serial extracurricular dipenuhi tokoh-tokoh yang menjadi ekses dari “kesuksesan” korea selatan menjadi negara superpower. tokoh perempuan pertama adalah Bae Gyu Ri. ia anak seorang CEO kpop agency. menghabiskan hampir seluruh hidupnya menemukan kesalahan dari para calon bintang kpop, ibunya tidak pernah menganggapnya pantas dan baik. padahal gyu ri siswa berprestasi plus jago taekwondo. berikutnya, Seo Min Hee, seorang pekerja seks bawah umur. ia ingin dapat uang banyak supaya bisa traktir-traktir pacarnya, Kwak Ki Tae, yang juga trainee boyband kpop. Ki Tae sendiri adalah seorang bully, baik terhadap teman maupun pacarnya. Dia adalah wujud bullying sistemik yang terjadi di dunia hiburan korsel. Sementara Oh Ji Soo, cowok teladan tanpa cela, sebenarnya adalah mucikari digital berbasis aplikasi, yang menjadi perantara para pekerja seks dengan klien mereka sekaligus penyedia jasa pengamanan. Ji Soo butuh uang karena bapaknya penjudi sementara dia ingin masuk universitas unggulan. keempatnya lalu ketelingsut dalam konflik yang rumit.

yang buat saya menarik adalah bagaimana mereka ditampilkan sebagai korban dari busuknya sistem di dunia pendidikan dan hiburan. masing-masing karakter punya motif yang tidak bisa dimasukkan dalam kotak hitam ataupun putih. keremajaan mereka jadi kekuatan sekaligus kelemahan. terkadang mereka naif, terkadang mereka luar biasa cerdik. keluwesannya dengan teknologi dan bahasa inggris dikontraskan ketika Ji Soo bertemu preman gen x. tapi extracurricular menunjukkan bahwa teknologi sama sekali tidak memperbaiki busuknya situasi. racun-racun yang sama tereproduksi dengan lebih mengerikan dengan internet.

di sini ada kritik juga tentang pengeksotisan kelas pekerja. di tiap argumen, ji soo selalu menyerang gyu ri karena gyu ri sebagai partner in crimenya hanya melihat dari jauh, tanpa terkena risiko. sementara bagi ji soo dan min hee risikonya adalah kematian. gyu ri mendorong ji soo untuk mengembangkan bisnis mucikari ini. tapi menurut ji soo, semua ini hanya mainan bagi gyu ri.

min hee adalah sosok yang selalu dikerdilkan pacarnya, Ki Tae. Dia mencoba meningkatkan “daya tawar” dalam hubungannya dengan membelikan Ki Tae macam-macam. Tapi tujuan itu gak sampai. Yang perlahan ia sadari justru penilaian baru atas dirinya. kita masih harus melihat lebih jauh apakah min hee ini adalah stereotipe tokoh pekerja seks yang jadi korban sistem dan harus diselamatkan laki-laki. tapi kelihatannya justru gyu ri yang akan menyelamatkannya.

ini menurut saya multidimensional. sosok perempuan ditampilkan lengkap dengan luka, obsesi, dan anxiety dan disituasikan dalam posisi kelasnya. mereka menunjukkan bahwa ada sisi gelap di balik upaya perempuan mengejar “sukses”. di balik narasi neoliberal akan pencapaian pribadi, opresi sistemik lain bersembunyi.

foto diambil dari https://www.elle.com.sg/first-look-netflix-upcoming-kdrama-thriller-extracurricular/ dan https://mydramalist.com/photos/62BEp

film dalam radar isolasi

kami mengumpulkan film-film yang cuco menemani periode isolasi teman-teman. daftar ini akan terus diperbaharui, tapi gak janji. peringatan: ini bukan film yang membuatmu merasa lebih baik. ini film-film yang membantumu menerima kenyataan pahit ini.

Caliphate

Jika melupakan agenda liberal netflix dan bagaimana Islam hampir tidak ditampilkan sebagai sesuatu yang positif sedikit pun, serial ini akan terasa spektakuler. Caliphate bercerita tentang radikalisasi dan perekrutan para perempuan di Eropa oleh ISIS. Kebanyakan dari mereka adalah diaspora Timur Tengah yang lahir dan/atau besar di Eropa. Beberapa yang akhirnya memilih ikut ke Syria merespon sikap antipati Eropa terhadap Islam. Beberapa adalah korban kekerasan domestik dan dari kelas ekonomi bawah. Di Caliphate, pihak yang paling rentan di sini adalah perempuan tanpa support system dan yang berusia paling muda. Terlepas dari seberapa tepat film ini merefleksikan kenyataan di lapangan, Caliphate berhasil membongkar beberapa hal menarik: bagaimana polisi Eropa menekan informan di Syria tanpa peduli risiko yang akan informan hadapi di sana, bagaimana kode-kode Islami bisa diputarbalikan menjadi senjata perempuan (mengingatkan saya akan Battle of Algiers). It is a different kind of shit compares to the shit we’re having right now. Tapi perasaan terisolasi, terperangkap, dan a sense of helplessness yang sangat intens dari film ini is so present.

Born in Flames

Film ini membayangkan Amerika Serikat sepuluh tahun setelah revolusi sosialis-demokratis damai dan menampilkannya dengan gaya dokumenter. Di setting yang dibayangkan, seksisme masih marak terjadi. Film yang disutradarai Lizzie Borden ini mengikuti perjuangan beragam kelompok feminis bawah tanah dan bagaimana negara mencoba menyingkapnya. Di satu titik di film, seluruh kelompok feminis bersatu karena seorang pemimpin mereka ditahan dan dibunuh. Lizzie berhasil menampilkan banyak nuansa dari pergerakan Kiri. Sosialisme tidak akan cukup selama patriarki, rasisme, dan perbedaan kelas belum dibongkar. Perubahan tidak cukup terjadi di tingkat negara. Transformasi harus berlangsung secara kultural dalam kehidupan sehari-hari, di lingkup yang paling intim sekalipun. Nonton ini menegaskan keyakinan kalau negara kita masih sangat jauh dari cita-cita kesetaraan. Pandemi corona mungkin jadi satu-satunya hal yang membongkar paksa seluruh tatanan tersebut.  

I, Daniel Blake

Ini adalah cerita tentang orang-orang paling terlupakan oleh negara. Ken Loach, sang sutradara, membuatmu berpikir bahwa negara adalah sebuah konsep yang lebih banyak mudarot daripada faedahnya. Ia menunjukkan rumit dan kakunya birokrasi Inggris dalam menyalurkan mekanisme bantuan untuk kelompok orang tidak berpenghasilan. Alih-alih mempermudah hidup, negara justru membunuh warganya pelan-pelan . Ya kayak negara kita sekarang aja dibiarkan tenggelam dalam ketidaktahuan, di tengah hiper-yang-menjadi-mis-informasi. Kata-kata terakhir Daniel Blake yang tak sempat ia baca sungguh TER-LA-LU dekat dengan kondisi kita sekarang: “I am not a client, a customer, nor a service user. I am not a shirker, a scrounger, a beggar, nor a thief. I am not a national insurance number, nor a blip on a screen. I paid my dues, never a penny short and proud to do so. I don’t tug the forelock, but look my neighbour in the eye. I don’t accept or seek charity. My name is Daniel Blake, I am a man, not a dog. As such, I demand my rights. I demand you treat me with respect. I, Daniel Blake, am a citizen, nothing more, nothing less. Thank you.”

Violent 

Menceritakan ingatan seorang perempuan tentang orang-orang yang paling menyayanginya (sayang sohib, sayang obsesif mengarah suicidal, sayang sambil lalu dan sebagainya) persis sebelum dia meninggal. Ada banyak spekulasi tentang seperti apa momen kematian itu dan banyak refleksi tentang makna hidup dalam kacamata kelas menengah Eropa Utara. Filmnya tidak bisa dibilang subversif, namun beberapa hal yang direnungkan dalam film ini cukup mengusik, seperti keinginan untuk melarikan diri dari kehampaan dan menemukan kehampaan lainnya, menangkap kebahagiaan kecil di tengah ke-nothing-an tersebut, dan kesepian yang menyeretmu ke ambang kegilaan.

We Were Here

Film dokumenter berisi kisah para penyintas epidemi AIDS di San Fransisco yang merebak sejak akhir tahun 1970 dan awal 1980-an. Suburb queer San Fransisco yang mereka tinggali adalah ground zero epidemi AIDS saat itu. Surat kabar dipenuhi obituari. Setiap korban meninggal adalah teman, kerabat, keluarga, dan kekasih. Tiap anggota komunitas otomatis menjadi perawat korban terinfeksi dan tak lama terkena infeksinya juga. Menjadi subjek eksperimen obat diharapkan jadi cara untuk bertahan hidup, tapi risikonya justru kematian. Menonton bagaimana sebuah penyakit mempengaruhi tiap lapis kehidupan pribadi dan sosial di tengah pandemi corona ini is just. something. else. Menatap mata para penyintas yang selalu berkaca-kaca ketika mereka diminta mengingat masa lalunya membuat badan saya semutan dan suami saya tidak bisa tidur semalaman.
WerewolfMenceritakan sepasang remaja miskin pengguna metadon di Kanada. Film ini menyisir lingkaran jeruji tak tampak yang memerangkap hidup mereka: adiksi, keterbatasan uang. Gambar-gambar di film ini ditampilkan sangat close up dengan warna-warna pucat, membuatmu merasa seperti dapat jamur ajaib yang buruk.  Rambut mereka berminyak, baju tidak pernah ganti, jerawatan di bagian dagu. Nonton ini buat hiburan #stayathome siang-siang biar makin kerasa terperangkap. Kita tidak tahu sampai kapan air PAM tersedia ya kan.

High Life

Optimisme manusia akan masa depan kemanusiaannya sendiri dikalahkan dengan kuasa alam. Nothing is more fitting than watching fiksi ilmiah dengan mood yang seperti ini, saat ini. Juliette Binoche adalah dokter di dalam kapal ruang angkasa yang membawa narapidana sebagai objek eksperimennya. Kapal itu sendiri punya misi mengeruk sumber energi dari lubang hitam. Tentu rencana-rencana ini kandas dan Robert Pattinson ditinggal berdua dengan bayinya di kapal yang perlahan tapi pasti tersedot dalam lubang hitam.   

Gentefied, Kisah Gentrifikasi di Jaman Woke

Latin Amerika terutama Meksiko bukan hanya tentang telenovela, Thalia dengan trinitas Marianya  (Marimar, Maria Mercedes, María la del Barrio). Di dekade 90an Indonesia diramaikan dengan budaya hip-hop, saya langsung kepincut sama musisi-musisi Amerika latin. Mulai dari Cypress Hill, A Lighter Shade of Brown, juga semua artis yang ada di soundtrack film ‘I Like It Like That’. Perpaduan budaya modern dengan budaya klasik latin Amerika menjadi hal yang unik dan menarik.

Lalu jauh ke depan sampai ketika saya mulai berlangganan Netflix saya selalu mencari seri-seri menarik tentang kehidupan latin Amerika atau setidaknya yang mengedepankan karakter latin Amerika seperti Blanca, Mother House of Avengelista di serial Pose. Blanca yang transgender, brown (latin), dan mengidap HIV adalah satu sosok yang terkena marjinalisasi berlapis-lapis. Lalu ada serial coming of age latin Amerika; On My Block yang menggambarkan bagaimana remaja latin Amerika growing up di Los Angeles yang keras, menghadapi pilihan apakah harus masuk gangster atau menjadi anak biasa-biasa saja yang menjalani cinta remaja serta pertemanan dengan kawanannya. Menurut saya film ini bisa diadu bagusnya dengan seri Sex Education.

Ketika drama korea Crash Landing On You selesai dan ada Itaewon Class, ternyata kemudian ada yang lebih real dan woke dari Itaewon Class yaitu Gentefied. Gentefied adalah sebuah serial kehidupan keluarga Morales, latin Amerika yang berusaha mempertahankan kedai Taco mereka dari perubahan jaman dan pola budaya akibat gentrifikasi. Masalahnya hampir mirip dengan Itaewon Class. Mereka sama-sama bicara mempertahankan kedai namun dengan alasan yang beda. Ketika kedai di Itaewon Class ingin menjadi hype namun Mama Fina, kedai di Gentefied, justru ingin bertahan dari serangan para hipster dan berusaha tetap menjadi autentik.

Kedai Taco Mama Fina dimiliki oleh seorang abuelo Morales yang dikelilingi cucunya. Pertama ada Erik yang punya masalah toxic masculinity dan selalu mencoba menyelesaikan masalah sendiri. Lalu ada Chris yang dianggap white-washed latino dan terakhir ada Ana seorang seniman gay feminis.  Penuh dengan narasi-narasi woke serial Gentified menceritakan bagaimana mereka akhirnya secara perlahan menyerah pada gentrifikasi yang datang dari segala arah.

Nonton lalu dengerin playlist lagunya di sini

k-pop haram: upaya mengambil alih ruang milik perempuan

Oleh: Ratri Ninditya

Beberapa waktu lalu, seruan Ustad Somad menyebut penggemar Korea kafir membuat publik gusar. Ada satu hal yang ingin saya angkat di sini. Ketika sebuah ruang yang didominasi perempuan muncul, laki-laki cis straight akan berbondong-bondong datang untuk mengatur dan mengambil alih. Perlu dicatat, tulisan ini tidak berasumsi bahwa semua penggemar korea adalah perempuan, tapi nilai-nilai yang kita anut membuat perempuan (terutama yang muslim) menjadi subjek yang sangat disorot dalam komunitas penggemar ini. Penggemar korea sering dibilang gila, obsesif, tidak rasional (tapi apakah penggemar otomotif dan olahraga lebih valid dan masuk akal?).

Ustad Somad adalah orang yang kesekian menggunakan perspektif agama untuk mengecam para penggemar Korea Selatan (untuk selanjutnya kita sebut Korea saja). Seorang ustad lain bernama Fuadh Naim, dengan cara yang lebih persuasif menghimbau umatnya untuk “hijrah” dari obsesi mereka akan Korea. Menurutnya, menggemari artis Korea adalah dosa. Fuadh Naim menggunakan dirinya sendiri sebagai contoh orang yang telah hijrah. Dia menyebut dirinya seorang mantan penggemar Korea, atau dalam bahasanya, #pernahtenggelam. Fuadh Naim secara elaboratif melakukan berbagai upaya untuk berhenti suka dengan Korea, termasuk melakukan wisata selamat tinggal ke Korea Selatan (bersama istri). Fuadh Naim bahkan memproduksi sebuah web series dengan alur dan formula drama Korea, tapi diperankan oleh perempuan berhijab dengan pesan-pesan ketaqwaan pada Islam. Serial yang berjudul “Teman ke Surga” ini ia promosikan sebagai “pengganti drama Korea”.

Secara garis besar, Teman ke Surga menceritakan kisah cinta Dinda, seorang jurnalis kampus berhijab yang taat, dengan Farhan, seorang musisi yang tidak religius. Dinda menerbitkan cerita tentang rencana Farhan menyumbang kepada rakyat Palestina, padahal maksud Farhan hanya bercanda. Untuk menyelamatkan mukanya, Farhan butuh uang untuk betulan menyumbang, dan satu-satunya cara adalah menikah (dengan Dinda). Kisah cinta mereka tumbuh dari lawan menjadi kawan, dari saling benci menjadi cinta. Sambil keduanya cinta-cintaan, Dinda menggiring Farhan menjadi lebih religius.

Walau sarat pesan ketaatan beragama, drama ini menunjukkan nilai mana dari drama Korea yang serupa dan cocok dengan perspektif seorang pria muslim dan nilai mana yang ditentang. Yang mengejutkan, nilai yang dipertentangkan sangat sedikit. Drama menggambarkan keresahan serupa mengenai pernikahan dan pentingnya membentuk keluarga. Karakter perempuan dirayakan dan digambarkan sebagai sosok perempuan ideal. Dinda sebagai istri justru mengimani suaminya Farhan untuk jadi lebih religius. Dinda, seperti pemeran utama perempuan pada kebanyakan drama Korea, adalah sosok yang cerdas, pekerja keras, dan tegas menyatakan pendapatnya. Perbedaannya hanya pada bagaimana ia menolak sentuhan fisik sebelum menikah, cara berpakaiannya, dan usia muda pernikahannya (yang mungkin sudah ilegal dengan kebijakan baru usia minimum menikah!). Di episode pertama, Dinda menolak hand-grab, gesture tipikal pada drama korea yang menandakan dominasi, otoritas, dan posesifnya tokoh laki-laki kepada tokoh perempuan. Lalu cerita menggunakan justifikasi pernikahan untuk menampilkan adegan-adegan yang perlu dan jadi bumbu serial tersebut: sentuhan fisik dan kohabitasyiong.

Dalam khotbah-khotbah sosial medianya, Fuadh Naim juga sering mengolok-olok reaksi seksual perempuan berhijab terhadap idol Korea dan menghubungkannya dengan ayat Al-Quran dan hadis. Dalam postingan ini misalnya, ia men-screencap seorang komentar fans berhijab yang ingin jadi botol yang diminum seorang idol. Naim berkhotbah, bahwa ia diciptakan sebaga khalifah, bukan fangirl, apalagi botol. Postingan-postingan Naim dimaksudkan untuk jadi kontroversial. Kebanyakan yang merespon adalah perempuan berhijab dan muslim, yang kelihatannya merupakan target pasarnya.

Fuadh Naim adalah contoh bagaimana sistem patriarki masyarakat mencoba mengatur subjektivitas perempuan. Lucunya, cara ia mengatur adalah dengan merayakan sifat-sifat perempuan asertif, mandiri, dan intelek yang masih bisa diterima perempuan muslim Indonesia.

Di tahun 2011, Hyun Bin berkunjung ke markas angkatan laut Indonesia di Cilandak, Jakarta. Kunjungannya disebut media sebagai bagian dari tugas wajib militernya. Namun Hyun Bin diundang tidak hanya sebagai prajurit tapi juga dalam rangka pembelian senjata dan perangkat militer dari Korea Selatan (pesawat T-50 dan kapal selam). Selama kunjungan itu, Hyun Bin menjadi semacam badut ganteng yang tak hanya ikut latihan militer sekedarnya tapi juga menyanyi untuk puluhan (atau ratusan?) fans ibu-ibu di Jakarta.

Kunjungan ini menandakan pentingnya menciptakan citra baik militer Indonesia. Acara ini juga dapat dibaca sebagai sebuah gesture simbolis dari sebuah institusi maskulin mengambil alih sebuah ruang yang dikenal sangat non-maskulin.

Korean wave sebagai sebuah ruang yang didominasi perempuan ternyata sanggup membuat senewen struktur patriarki, yang terwujud dalam tokoh agama dan instansi militer yang berbondong-bondong mengokupasi dan mengatur. Dinamika ini menunjukkan potensi readership perempuan untuk memutarbalikkan kuasa ke arah berbeda, tempat perempuan dapat membayangkan relasi antar gender yang lebih setara.

Catatan cucoklogi:

Fenomena budaya pop Asia sendiri memang mendapatkan relevansinya di masyarakat Indonesia yang berlatar belakang agama cukup kuat. Konteks historisnya adalah pergeseran dominasi maskulin/militer pasca orde baru, terbukanya arus informasi transasia, etos kapitalisme, dan kebutuhan untuk memiliki representasi alternatif dari Hollywood, di mana tokoh-tokohnya berorientasi pada hasil akhir. Sifat kerja keras pantang menyerah tokoh perempuan dalam drama Korea dihargai sebagai nilai moral itu sendiri, yang kebetulan sejalan dengan ajaran agama Islam yang berusaha dan berserah diri ketika semua usaha sudah diupayakan.

Melalui etos kapitalis ini (kerja keras pantang menyerah), perempuan kelas menengah Indonesia bisa membayangkan hubungan yang lebih emansipatif di masyarakat, menjadi kuat dan mandiri di tengah struktur masyarakat yang patriarkis sambil tetap memegang teguh nilai agama dan nilai kolektif dalam keluarga.

Sumber catatan cucoklogi:

Chua, BH 2012, Structure, Audience and Soft Power in East Asian Pop Culture, TransAsia: Screen Cultures, Hong Kong University Press, HKU, Hong Kong.

Heryanto, A 2014, Identity and pleasure : the politics of Indonesian screen culture, Kyoto CSEAS series on Asian studies / Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University ; 13, NUS Press in association with Kyoto University Press Japan, Singapore.

Love Alarm: Alarm Pengingat Ekses Teknologi Pada Interaksi Sosial Manusia

Kalau dunia barat punya Black Mirror sebagai rambu-rambu ekses teknologi pada kehidupan sosial manusia ‘in the near future’, asia juga kini meresponnya dengan cara-cara yang lebih subtle namun juga tetap mengerikan. Salah satunya dalah sebuah serial drama korea Love Alarm yang tayang di Netflix.

Cerita ini ditandai dengan ditemukannya sebuah aplikasi Love Alarm. Aplikasi yang menghubungkan perasaan manusia dengan smartphone hingga bia seseorang yang dia taksir berada dalam radius 10 meter dan orang itu juga terdaftar dalam aplikasi Love Alarm, maka alarm di smartphone-nya akan berbunyi.

Love-Alarm-Season-1-Netflix-Title-Poster

Karakter tokoh utama di drama ini adalah Kim Jo-jo yang diperankan Kim So-hyun. Seorang gadis ceria yang menyimpan sejarah kelam dan diwarisi hutang keluarga, yang menyalakan Love Alarm milik model ganteng kaya raya dengan keluarga yang tidak harmonis; Hwang Sun-Oh. Jo-jo juga menyalakan Love Alarm milik seorang SJW, Lee Hye-yeong sahabat Sun-Oh.

Segala konflik dalam drama ini mengikuti pakem drama Korea yang sudah ada, tapi menariknya justru ekses aplikasi Love Alarm ini, karena lambat laun menyalanya alarm cinta itu menjadi sebuah afirmasi dari perasaan lawan jenis atau pasangan. Bahkan lebih jauh lagi menjadi sebuah currency, karena bila seseorang alarmnya dinyalakan ribuan orang karena saking charmingnya dia akan memiliki badge dan diberi fasilitas-fasilitas khusus, seperti membership klab dan diundang ke event-event heits -mengingatkan kita pada episode Nosedive di serial Black Mirror-.

Ini menyebabkan keuntungan akan selalu dimiliki oleh orang yang populer juga menarik sedangkan orang yang tidak populer akan semakin terpinggirkan seperti menggambarkan orang yang punya privilese akan semakin beruntung kebalikannya orang serba kekurangan akan semakin terpinggirkan, bahkan puncaknya banyak orang yang bergabung dengan komunitas Zero Ring dan memutuskan bunuh diri masal. Zero Ring adalah orang-orang yang Love Alarmnya tidak pernah berdering alias gak ada yang naksir. Ini  menyebabkan protes besar-besaran oleh sebagian orang pada aplikasi Love Alarm.

Ada sebagian orang lagi seperti Lee Hye-yeong yang memutuskan untuk mengabaikan ketergantungannya pada Love Alarm dengan meng-uninstall karena ingin merasakan bagaimana hidup tanpa aplikasi tersebut. Ide seperti nostalgia pada masa lalu ini juga pernah disajikan sebuah film rom-com Filipina, Ang Babaeng Allergic Sa WiFi (2018) yang menceritakan ketika seorang perempuan menderita alergi pada sinyal wifi dan akhirnya bernostalgia hidup di daerah terpencil tanpa sinyal wifi dan embracing hidup tanpa teknologi, ini untuk sebagian orang Indonesia mungkin tidak sulit dibayangkan karena masih banyak orang yang tidak menikmati hidup dengan sosmed, teknologi, dan atribut-atribut kehidupan modern. Atau barangkali justru mereka menikmati hidup tanpa perasaan FOMO bila tidak melihat timeline?

My Ahjussi: Kelindan Feminisme, Kapitalisme dan Kolektivisme dalam Perlawanan yang Sunyi

my ahjussi 2
Oleh Festi Noverini dan Ratri Ninditya

Orang sering heran mengapa kami nonton drama korea. Drama Korea kan seksis, kata mereka. Buat kami, drama korea bukan tidak mungkin mengandung pesan-pesan subversif, yang mempertanyakan konvensi gender dan kelas di masyarakat kontemporer Korea Selatan. Malah justru mereka bisa menyajikannya di tengah keterbatasan formula dan tuntutan untuk tetap komersil. Keberadaan drama-drama semacam ini juga sangat menarik karena merefleksikan potensi penonton untuk menerima pesan subversif tersebut.

My Ahjussi adalah salah satunya. Drama ini bicara feminisme dalam bahasa dan konteks budayanya sendiri tanpa perlu menjadi imitasi Hollywood. Drama ini mampu mengilustrasikan pertentangan gender dan kelas yang berkelindan dengan kolektivisme khas Korea dalam eksplorasi karakter yang berlapis-lapis dan cerita yang menggugah.

Marx pernah bilang kalau kapitalisme mengasingkan individu dari individu lainnya dan juga dari masyarakatnya, bahkan ujung-ujungnya, dari esensi manusia itu sendiri. Ini merupakan konsekuensi dari menjadi bagian mekanis dari sebuah kelas sosial.

Kapitalisme memang kejam, tapi yang membuat lebih merana adalah terperangkap kekejaman sistem kapitalisme dalam tatanan sosial yang konservatif dan kolektif. Sudahlah orang limbung kehilangan dirinya, di saat yang bersamaan mereka juga dipaksa tetap hadir dalam keguyuban. Korea (Selatan dan Utara), memiliki sebuah identitas kolektif yang disebut sebagai Uri (우리), yang secara harfiah berarti ‘Kita’ atau ‘Kami’. Makna Uri tentunya tidak sesederhana arti kata ‘Kita’ atau ‘Kami’ tadi. Dalam tatanan masyarakat yang hiperkolektif, ‘Saya’ hilang di dalam ‘Kita’. Identitas kolektif Uri kemudian berkelindan (intersects) dengan kelas dan maskulinitas dan menekan anggota-anggotanya untuk mematuhi kode-kode normatif yang telah disepakati untuk mencapai keteraturan dan keharmonisan masyarakat yang hakiki.

my ahjussi 5

Park Dong Hoon (Lee Sun Kyun)

Kelindan ini diilustrasikan dengan sangat realistis dalam karakter utama lelaki Park Dong Hoon (si om) yang diperankan oleh Lee Sun Kyun. Park Dong Hoon ada di pusat ini semua. Di sini kita juga melihat bahwa imbas dari patriarki tidak hanya pada perempuan, tapi juga laki-laki. Si om adalah seorang pekerja kantoran medioker kelas menengah. Hidupnya terlihat ideal: berpenghasilan tetap, beristri cantik dan bisa menyekolahkan anaknya di luar negeri. Di balik itu semua, ia terepresi dan hampa karena seumur hidup berusaha menjadi kelas menengah budiman penyokong hidup keluarga inti dan keluarga besarnya. Istrinya yang pengacara ingin ia berhenti kerja di kantor itu karena ia tidak kunjung naik jabatan. Beban maskulinitas untuk selalu stabil secara finansial membuat ia bertahan di pekerjaan itu daripada mempertaruhkan uang untuk menjadi wiraswasta dan gagal seperti kakaknya.

Di sini, Uri meleburkan konsep diri si Om sebagai individu. Mimpi dan kebahagiaannya adalah mimpi keluarga besar dan istrinya. Kesedihan dan kegusarannya tersembunyi dalam kehidupan kolektif ini. Di depan keluarga, ia hadir dengan senyum dan uang dan statusnya yang membanggakan sebagai pegawai kantoran. Cukup baik, walaupun tidak pernah benar-benar memuaskan (karena kapitalisme menuntutmu untuk terus dan terus memperbaiki diri, alias cari uang lebih banyak lagi). Jalinan Uri, kapitalisme, dan patriarki juga menghasilkan relasi sosial yang racun, sebuah lingkaran setan yang memerangkap individu, seringkali merusak kesehatan tubuh dan mental. Jam kerja yang panjang dan penghargaan yang tidak setimpal membuat orang Korea butuh “piknik”, yang diulas dalam artikel ini sebagai ‘play culture’. Si om memiliki dua saudara kandung laki-laki, Sang Hoon (Park Ho San) dan Gi Hoon (Song Sae Byeok). Mereka kumpul rutin untuk puk-puk bro berjamaah, mengasihani dan menjustifikasi maskulinitasnya masing-masing ditemani alkohol dan kesedihan yang ditekan dalam-dalam. Setelah ritual selesai, ketika sendirian di tempat tidur masing-masing, kegusaran mereka kembali hadir.

Lalu apa sih yang specifically feminis dari drama yang jika diterjemahkan berjudul “Om Aku” dan memasang dua tokoh utama (Lee Sun Kyun dan IU) yang rentang umurnya dua puluh tahunan? Kok kedengaran seperti romantisasi yang disturbing hubungan daddy-daddy dan sugar babynya?

 

Dalam konvensi drama Korea kebanyakan, gaze, atau pandangan, tertuju pada perempuan. Tubuh dan kelakuan perempuan seolah menjadi kiblat di mana nilai-nilai kebaikan berpijak. Saat perempuan tokoh utama kehilangan nilai-nilai kebaikan ini maka peran lelaki adalah untuk datang dan menyelamatkannya dari jurang nestapa. Biasanya butuh dua laki-laki untuk ‘meluruskan’ si perempuan, yang satu dapat ciuman tulus dan satu lagi gigit jari.

Namun, gaze dalam My Ahjussi selalu milik tokoh utama perempuan. Selama 24 jam setiap hari ia mengawasi gerak-gerik si Om melalui ponsel om yang dia sadap. Di sebuah kota dengan mata (secara kiasan dan harfiah) yang selalu mengawasi dan siap mengadili tubuh-tubuh warganya setiap saat, penggunaan elemen sadap yang justru dilakukan oleh tokoh perempuan adalah unsur yang sangat menarik dari serial ini. Alih-alih mengadili tingkah laku perempuan, serial ini menginterogasi cara pandang masyarakat urban Korea Selatan terhadap perempuan, terutama yang muda dan miskin, pengkotak-kotakan gender dan perannya di masyarakat, termasuk tuntutan-tuntutan untuk menjadi lelaki “tulen”. Yang juga menarik, gaze versi perempuan ini bentuknya bukan video/visual, melainkan suara, sebuah sindiran terhadap istilah “perempuan adalah pendengar yang baik.” Dengan alat sadapnya, perempuan tokoh utama, Lee Ji An, yang diperankan IU, adalah dalang cerita dan selalu berada beberapa langkah di depan orang lain. Ia punya kontrol penuh atas hidupnya dan bahkan sanggup mengendalikan hidup orang lain.

my ahjussi 6

Lee Ji An (IU)

Lee Ji An hadir sebagai sosok subversif antitesis Park Dong Hoon: miskin, nyablak, agresif, mengganggu keimanan si om. Ji An tidak merasa perlu ikut ‘hweshik’ alias makan-makan kantor demi menjalin keakraban dengan rekan kerja. Dia cuma melakukan pekerjaan kantor seperlunya, pulang ke rumah menemui neneknya yang sudah tidak bisa berjalan, lalu minum 3 sachet kopi instan. Selain karena gratis dan biar lekas kenyang,  kandungan gula tinggi dalam kopi instan jadi penawar hidupnya yang terlalu pahit dan melelahkan.

Karena kelas, usia dan gendernya, tak ada yang menyangka Ji An pandai dan cerdik, sebuah refleksi masyarakat yang selalu menganggap enteng perempuan muda apalagi jika ia berasal dari kelas pekerja. Ji An memanfaatkan citra tersebut untuk lebih leluasa memutarbalikkan situasi agar menguntungkan dirinya. Lewat earphone murahan, nafas Dong Hoon terdengar di telinga Ji An sepanjang hari, menyadarkannya bahwa pria paruh baya ini selalu kelelahan, secara harfiah dan kiasan, tidak berbeda dari dirinya. Kesamaan inilah yang membuat Ji An terobsesi pada Dong Hoon.

Humor pahitnya: Dong Hoon selalu berusaha untuk menyelamatkan Ji An, tapi malah Ji An yang berkali-kali menyelamatkannya. Dong Hoon adalah orang terakhir yang tahu mengenai hubungan istri dengan atasannya sendiri. Sembari Dong Hoon berusaha menjadi ksatria berkuda putih, Ji An membereskan semua orang yang berusaha menjebak Dong Hoon dan memastikan Dong Hoon naik pangkat. Atta gurl!

Lewat sempilan percakapan Ji An dan neneknya yang bisu, drama ini juga menyindir arogansi kelas dan positivity craze. Saat neneknya mengatakan Dong Hoon adalah orang baik, Ji An dengan tajam menjawab, “gampang jadi orang baik kalau punya uang.”

Nenek Ji An yang bisu seakan menjadi metafora tentang muted feelings, berbagai perasaan yang direpresi sehingga tak ada yang bisa mengerti. Sementara Ji An hadir sebagai si maha pendengar yang memahami segala (bahkan bahasa isyarat!).

Ji An juga selalu dikejar-kejar Lee Kwang Il (Jang Ki Young) yang bahkan sudah tidak sadar lagi apakah dia mem-bully Ji An sekedar untuk menagih hutang dan membalas dendam atau justru sedang cari perhatian dengan cara yang sangat misoginis karena dia sendiri juga sebenarnya sangat terasing.

Istri Dong Hoon, Kang Yoon Hee (Lee Ji Ah), tidak digambarkan sesederhana sebagai istri pengkhianat. Ia punya kesedihannya sendiri. Ia tidak tahan dengan nilai-nilai patriarkis yang dianut suami beserta keluarganya. Sebagai seorang pengacara mungkin penghasilannya lebih besar dari Dong Hoon. Tiap ia berkunjung ke rumah mertua, ia dihadapkan dengan mertua yang tidak pernah mempersilakan ia membantu di dapur. Sikap pasif agresif ini mungkin akibat dari rasa  malu karena justru Yoon Hee yang berpenghasilan paling tinggi melebihi anak-anak laki-lakinya. Ia benci dengan Dong Hoon yang selalu minta maaf, seolah-olah ia adalah istri tak tahu berterima kasih. Di sisi lain, ia ingin Dong Hoon keluar dari kantor keparatnya karena tak tahan melihat suaminya yang sudah habis gairah hidup.

Kecanggungan juga diperumit dengan rasa rendah diri ibu dan saudara-saudara Dong Hoon karena mereka berada di kelas sosial yang berbeda dari sang istri. Perbedaan kelas ini yang mungkin menimbulkan perbedaan nilai dalam memandang keluarga. Si istri kelas atas-berpendidikan menganggap keluarga inti adalah prioritas, sementara keluarga besar kelas menengah bawah merasa perlu terlibat dalam gono-gini semua anggota keluarga besarnya.

Yang juga menarik di drama ini, semua karakter perempuan berada di pihak yang lebih agresif (berlawanan dengan konvensi drama Korea yang seringkali memposisikan perempuan sebagai makhluk pasif). Di luar Ji An dan Yoon Hee, ada ibu dari tiga bersaudara Hoon, Byeon Yo Soon (Go Doo Shim), yang merupakan single parent. Sampai tua pun dia masih mengurusi anak-anaknya, terlebih ketika Sang Hoon dan Gi Hoon jadi pengangguran, padahal dia sendiri juga hidup pas-pasan. Jung Hee (Oh Na Ra) – si pemilik bar yang menyediakan kebahagiaan semu bagi para laki-laki paruh baya dengan pekerjaan yang jauh dari gambaran sukses – mengkonfrontasi mantan kekasihnya yang dulu tiba-tiba memutuskan jadi biksu. Istri Sang Hoon, Jo Ae Ryun (Jung Young Joo) menceraikan Sang Hoon. Lalu Choi Yoo Ra (Nara), yang tadinya benci setengah mati lalu berbalik mengejar Gi Hoon dengan alasan yang cukup konyol tapi jadi pukulan telak buat arogansi Gi Hoon, karena sekarang dia juga sama-sama jadi pecundang!

Kolektivisme memang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi dia memberikan beban normatif bagi anggota masyarakat, namun di sisi lain dia menjadi sumber kekuatan untuk melalui rintangan bersama, dan Korea Selatan sudah membuktikan ini berkali-kali, seperti saat perang Korea, serta mungkin yang paling fenomenal di masa kita, krisis keuangan Asia. Dalam My Ahjussi, kolektivisme ini ditunjukkan dalam proses pembentukan manusia. Saya pernah bilang kalau saya suka bagaimana drama Solomon’s Perjury menerjemahkan dengan baik pepatah “butuh orang sekampung untuk membesarkan seorang anak”. Kehangatan keluarga yang hilang dari kedua orang tuanya pelan-pelan digantikan oleh gerombolan om-om dan seorang tante yang mengantarkan Ji An pulang ke rumah dan “menitipkannya” pada tetangga, serta hadir dan mengurusi semua kepentingan pemakaman neneknya. Mungkin jika Kwang Il juga menerima sedikit saja kebaikan dari lingkungannya, dia tidak akan tumbuh jadi sesadis itu. Mungkin.

Dengan karakter perempuan yang subversif, serial ini dapat disebut sebagai counter genre daddy long legs yang memberikan penonton sebuah potongan kehidupan masyarakat kontemporer Korea Selatan tanpa melupakan segala kompleksitasnya.

Black Mirror: Bandersnatch, pilih sendiri reviewmu

black-mirror-bandersnatch-endings-explained

Desember adalah saatnya berbagi kado akhir tahun. Seperti tidak mau ketinggalan, Netflix juga memberikan kado buat pelanggannya dengan meluncurkan satu produk baru dari antologi sci-fi Black Mirror. Seperti halnya episode khusus “White Chrismas”, kali ini Black Mirror juga hadir dengan episode khusus yang bentuknya adalah satu film panjang. Bahkan bisa jadi panjaaaaaaang sekali. “Bandersnatch” demikian judul dari film Black Mirror rilis pada tanggal 28 Desember 2018, adalah satu kado akhir tahun dari Netflix yang istimewa. Karena film ini menawarkan pengalaman  menikmati tontonan yang berbeda. Berbeda karena dengan bantuan teknologi, kini kita bisa menikmati  tontonan dengan cara yang berbeda, yaitu tontonan dengan genre ‘pilih sendiri ceritamu’. Cara menikmati cerita dengan gaya pilih sendiri sebenarnya sudah dilakukan seperti pada buku “Choose Your Adventure”. Begitu juga menikmati semua hal yang ada sekarang ini. Dimana sekarang kita bisa lebih lentur memilih tontonan, musik, bahkan berita dengan layanan streaming di internet.

Nah sekarang, saatnya kamu yang memilih. Review siapa yang ingin kamu baca?

Ratri Ninditya

Edo Wallad

Representasi perempuan dan penyakit kejiwaan di Sharp Objects

Apakah kita perlu satu lagi cerita tentang perempuan-perempuan dengan penyakit kejiwaan? Tidak ada salahnya. Tapi jika cerita lagi-lagi berputar di ketidakstabilan mental perempuannya saja, tanpa lebih jauh menggali masyarakat rasis dan seksis yang jadi penyebab ke”tidaknormal”annya, apakah sebuah cerita bisa kehilangan potensinya untuk bisa kritis dan jatuh ke dalam penggambaran stereotipikal perempuan-gila-butuh-dicerahkan? Apakah penggambaran perempuan yang menjadi subjek dan objek kekerasan bisa dikategorikan feminis? Pertanyaan itu berputar di kepala saya setelah nonton serial televisi Sharp Objects yang diangkat dari novel berjudul sama karya Gillian Flynn.

Di satu sisi, serial ini berhasil membongkar romantisasi peran ibu dan hubungan ibu-anak. Dari luar, karakter Adora Preaker masuk ke dalam stereotipikal ibu-ibu kulit putih old money: rambut pirang lurus bergelombang, bersuara lembut, suka pakai hak tinggi saat masak di rumah. Ia penyayang anak dan suka merawat (bahkan terlalu suka, terutama saat anak-anaknya mengeluh sakit). Cerita perlahan menguliti karakter Adora yang suka mendikte kedua anaknya untuk tampil feminin, ia juga menjadi akar masalah Camille Preaker (diperankan oleh Amy Adams) menjadi seorang alkoholik yang suka menyakiti diri sendiri. Adora kerap kali menyalahkan Camille karena merusak keharmonisan Wind Gap, kota tempat keluarga Camille tinggal, karena ketidaksensitifannya menginterogasi keluarga korban pembunuhan atas nama pekerjaan. Amma Preaker, adik Camille dari perkawinan kedua ibunya, juga berkomentar bahwa Adora menganggap anaknya yang sudah mati adalah yang paling sempurna. Hubungan Adora dengan suami keduanya juga tidak seharmonis yang kelihatan. Mereka sering pisah ranjang. Adora bahkan terlihat lebih akrab dengan Pak Polisi yang sering bertamu sampai malam dibanding dengan suaminya. Sharp Objects berusaha menggambarkan bahwa seorang ibu bisa jadi gila demi memenuhi tuntutan masyarakat menjadi ibu sempurna.

Hubungan Adora dan Camille juga tidak harmonis seperti imajinasi masyarakat di iklan-iklan kecap manis. Sang ibu menganggap Camille selalu menyakiti dia dan tidak enggan untuk menyatakannya langsung di depan Camille. Camille mencoreng nama baik Adora karena tidak feminin. Waktu muda ia berambut pendek dan berkelakuan selayaknya remaja kebanyakan, tapi dicap ‘nakal’, dan ‘pecun’ oleh warga Wind Gap. Ibu adalah sumber rasa cinta sekaligus rasa sakit anak.

Karakter Camille seperti dimaksudkan untuk melawan stereotip karakter perempuan ‘baik-baik’. Ia tidur dengan lebih dari satu laki-laki. Ia alkoholik. Untuk umurnya, ia tidak menikah dan tidak punya anak. Ia hanya medioker saja di karirnya sebagai jurnalis. Buat saya, karakter seperti ini lebih empowering dan relatable daripada perempuan-perempuan neolib sukses yang jadi bos di kantor besar.

Karakter Amma memberontak terhadap femininitas perempuan dengan main sepatu roda, pesta, dan mengkonsumsi napza di belakang ibunya tapi dengan lihai menjadi mommy’s little girl di rumah. Pada akhirnya Amma bingung sendiri peran mana yang harus ia pilih. Kebingungan ini buat saya menarik dan sangat nyata. Kita selalu menjejakkan kaki di dua dunia sekaligus, di dalam dan di luar konsep perempuan ‘ideal’. Pembunuhan dua perempuan Wind Gap oleh Amma adalah gabungan konformitas dan perlawanan terhadap tuntutan menjadi perempuan: sebuah pemberontakan pamungkas terhadap ibunya (yang merepresentasi masyarakat itu sendiri), hukuman terhadap perempuan yang tidak ‘feminin’, sekaligus upaya untuk menjadikan perempuan itu ‘sempurna’.

Sayangnya, cerita ini berhenti pada masalah kejiwaan perempuan tanpa lebih jauh mempertanyakan struktur sosial yang membentuknya. Rasisme dan seksisme kota Wind Gap hanya ditampilkan sekilas, di sebuah episode di mana mereka merayakan hari jadi kota yang dibangun atas kekerasan seksual terhadap perempuan. Ketika penyakit kejiwaan Adora direveal di dua episode terakhir, penyakit ini seperti menjadi satu-satunya jawaban koheren atas semua masalah yang terjadi pada Camille dan misteri kematian adik Camille di masa lalu tanpa menilik lebih jauh pada kebusukan rasis dan seksis masyarakatnya. Penyakit kejiwaan Adora bahkan terkesan ada hanya karena ia perempuan. Pak Polisi yang jelas-jelas seksis dan lebih gila justru diberi kesempatan untuk menangkap Adora. Ada satu momen di mana Adora menyarankan Amma untuk mengubah storyline pentasnya. Pentas itu dilakukan rutin tiap tahun dengan cerita sejarah kota yang selalu sama, yang menurut Adora, seperti yang disampaikan Amma pada gurunya, ditulis oleh laki-laki. Namun, karena proposal ditolak akhirnya Adora membiarkan saja Amma tampil dalam narasi yang lama. Itu adalah satu-satunya adegan yang mengilustrasikan langsung bagaimana Adora mengalah pada seksisme yang kemungkinan berujung pada masalah kejiwaannya.

Kompleksitas masalah Camille si tokoh utama tiba-tiba hilang seiring terkuaknya penyakit kejiwaan sang ibu. Setelah ibu masuk penjara, Camille tidak terlihat minum alkohol dan hidup dalam konformitas keluarga bahagia bersama Amma. Di realita, tidak ada satu akar koheren dari sebuah penyakit kejiwaan ataupun adiksi dan tak akan semudah itu hilang dengan mengetahuinya.

Pada akhirnya, apa yang ingin Gillian Flynn sampaikan di cerita ini adalah bahwa perempuan bisa inherently evil, bisa jadi sama berbahayanya dengan laki-laki. Dalam struktur masyarakat yang kompleks, perempuan bisa jadi subjek, bukan hanya korban laki-laki. Tapi bahwa kejahatan ini adalah hasil dari struktur sosial yang merepresi perempuan secara sistemik hanya jadi pesan yang kebetulan tersisip saja. Saya sendiri tidak kebeli dengan premis inherently evil karena tidak ada yang inheren di dunia ini kecuali jika kita hidup sendirian di ruang hampa. Sharp Objects tidak masuk ke dalam jebakan narasi perempuan-gila-butuh-dicerahkan, tapi ia menyalahkan perempuan akan kegilaannya sendiri tanpa banyak menginterogasi kondisi rasis dan seksis yang membentuk kegilaan itu. Untuk cerita yang digadang-gadang bernafaskan feminis, Sharp Objects masih jauh dari revolusioner.

Solomon’s Perjury – Coming of Age yang Kolektif

“It takes a village to raise a child”

Saking beratnya tugas ini, sampai-sampai (katanya) sebuah suku bangsa di benua Afrika sana merasa perlu orang sekampung untuk sama-sama memikul tanggung jawab menjaga proses pertumbuhan calon manusia dewasa. Bisa jadi Miyuko Miyabe juga terinspirasi pepatah ini, sampai kemudian melahirkan trilogi “Solomon no Gisho” yang terasa hampir seperti sebuah terjemahan harfiah pepatah tersebut. Setelah Solomon’s Perjury 1: Suspicion dan Solomon’s Perjury 2: Judgment, film 2 bagian produksi Jepang yang dirilis tahun 2015, di tahun 2016 Korea juga ikut mengadaptasi novel ini ke dalam drama seri televisi.

Cerita Solomon’s Perjury diawali dengan penemuan jasad Lee Seo Woo (Seo Young Joo) yang tertutup salju di halaman SMA Jeong Guk. Tanpa kehadiran petunjuk-petunjuk lain, pihak sekolah dan kepolisian memutuskan penyebab kematian Seo Woo adalah bunuh diri dengan melompat dari atap gedung sekolah. Namun, Go Seo Yeon (Kim Hyun Soo) menerima surat rahasia dari seseorang yang mengaku sebagai saksi pembunuhan Lee Seo Woo. Tidak puas dengan keputusan sepihak orang-orang dewasa yang dianggap menghiraukan kemungkinan lain yang mereka ajukan, atas inisiatif Go Seo Yeon, beberapa orang murid mengajukan usulan untuk melakukan investigasi dan mock trial mereka sendiri. Bukan untuk menghukum pelakunya kalau tertangkap, tetapi lebih untuk mengungkapkan penyebab sebenarnya di balik kematian Seo Woo.

Singkat dan efektif, Solomon’s Perjury hanya perlu 12 episode untuk mengupas tuntas semua aspek yang mungkin berkontribusi pada kematian Seo Woo, mulai dari sistem pendidikan yang korup (harfiah dan kiasan), school bullying (oleh siswa dan juga guru), hingga kesehatan mental. Miyuki Miyabe sepertinya selalu tertarik dengan hubungan antara perubahan kondisi sosioekonomi dan sosiopolitik masyarakat dan pengaruhnya terhadap pembentukan diri anggota-anggotanya. Misalnya, dalam novel “All She Was Worth” alias Kasha (火車) yang ditulisnya tahun 1992, Miyabe menggambarkan efek korosif konsumerisme di masyarakat Jepang.

Penulis naskah Kim Ho Soo cukup cermat menerjemahkan novel ini menjadi sebuah serial drama yang bersahaja tanpa intonasi bombastis dan narasi bertele-tele demi memenuhi detil triloginya maupun tuntutan rating. Dengan melakukan sedikit penyesuaian pada detil cerita, Solomon’s Perjury versi drama terasa lebih solid dan utuh, bahkan juga lebih tenang dan teratur dibandingkan versi filmnya yang frantic dan lompat-lompat. Salah satu contoh penyesuaiannya adalah jika dalam versi film Joto No. 3 merupakan sebuah SMP, di versi drama Jeong Guk adalah sebuah SMA. Dengan usia dan kematangan psikologis yang lebih dewasa, penggunaan medium mock trial pada versi drama terasa lebih masuk akal dibandingkan dengan versi filmnya.

Dalam budaya populer, bicara mengenai dunia remaja seringkali artinya bicara mengenai proses pencarian jati diri atau coming of age. Namun, coming of age versi Solomon’s Perjury jauh dari stereotip film-film dunia pertama yang seringkali bicara self melulu, seakan-akan self sungguh jumawa bisa berdiri lepas dari society. Ide proses menuju dewasa dalam Solomon’s Perjury tidak sesempit pencerahan pribadi, namun juga merupakan pencerahan kolektif yang dicapai melalui proses bersama semua anggota masyarakat. Di ujung proses ini, remaja sampai pada sebuah kesadaran bahwa mereka punya suara yang sama penting dan sama-sama merasakan kecemasan akan hal-hal yang terjadi di luar diri mereka seperti yang dialami orang-orang lebih tua dari mereka. Seperti kecemasan Seo Woo menyaksikan korosi moral yang terjadi di depan matanya. Sebuah proses menuju kedewasaan dimana para remaja ini melibatkan diri langsung dalam proses demokrasi atas dasar keadilan sosial.

Kritik Seo Woo yang terus menerus atas lingkungan sekolahnya yang carut marut tidak dimaknai sebagai negativitas (hadeuh cukup sudah positivity cult ini), namun sebagai kekecewaan dan kemarahan yang di dalamnya tetap tersimpan sedikit harapan akan dunia yang lebih baik. Paradoks sederhana yang nampaknya sulit dipahami oleh kaum kebelet bahagia yang kemudian dipuk-puk Hollywood.

vlcsnap-01417vlcsnap-01418vlcsnap-01419vlcsnap-01420vlcsnap-01421

Dalam konteks tatanan masyarakat yang hierarkis, Solomon’s Perjury adalah utopia, dimana anggota masyarakat yang lebih lemah didengarkan suaranya dan berdiri sejajar anggota yang lebih kuat. Lee Seo Woo mengguncang tatanan kaku ini dan kekuasaan tidak menyukainya. Dalam kesaksiannya, Han Kyung Mun (Jo Jae Hyun), Ketua Yayasan Jeong Guk Foundation mengatakan, “Sekolah juga merupakan masyarakat dan masyarakat hanya menyediakan tempat bagi mereka yang berusaha untuk berasimilasi. Namun masyarakat tidak memiliki tanggung jawab untuk merangkul mereka yang menyerah berusaha. Itulah Lee Seo Woo. Dia bahkan tidak berusaha untuk beradaptasi dengan masyarakat.”

Kekuasaan memang tidak mau Seo Woo beradaptasi, mereka hanya mau Seo Woo mematuhi. Sebuah potret buram kemapanan yang menua dan telah malas menerima perubahan, apalagi berjuang.

Solomon's Perjury 8

Lee Seo Woo (Seo Young Joo)

 

Solomon’s Perjury (솔로몬의 위증) tayang di JTBC (16 Desember 16, 2016 – 28 Januari, 2017). Ulasan aslinya ada di sini.

bukan sekedar nonton tv

Selamat datang di era baru nonton serial televisi. Jaman mutakhir di mana kegiatan menonton tidak terbatas menatap layar kaca, tapi mencakup: membaca review dan analisa bayangan yang keliatan di balik laci atau sosok seseorang yang ngeblur di latar belakang dalam sebuah frame di sebuah adegan, menonton ulang dua atau tiga kali lagi untuk mem-pause, men-screengrab, dan mem-pinch zoom in tiap frame untuk memastikan tidak ada petunjuk yang dilewatkan, menonton ulasan screengrab-pinch zoom in orang lain di youtube, mengkonfirmasinya di reddit, bahkan tidak menutup kemungkinan mengarang teori konspirasi alur cerita lalu kekeuh-kekeuhan di forum komik karena super yakin bahwa teori bikinan sendiri (yang lahir dari pembedahan sistematis dan terperinci lintas episode dan lintas season) lebih tokcer daripada teori orang lain, atau minimal, debat-debat di watsap group sama teman sendiri.

Melebarnya aktivitas nonton TV ini tentunya jadi menarik. Karena kita sudah tidak jadi penonton pasif lagi, tapi penonton yang selalu memproses informasi, menganalisa, dan memprediksi. Serial dengan alur yang ruwet menantang kita untuk selalu berteori.

Serial TV kini menjadi napza (hampir)halal yang semakin tahun semakin luas spektrumnya. Penonton serial TV makin jadi pecandu akut yang menjalani lingkaran adiksi tak berkesudahan, ngap-ngapan depan berbagai bentuk umpan di internet.

 

 

westworld-extra

kalo pajangan muka aja ditebakin satu-satu…

 

Saya melihat ini terjadi dengan para fans Game of Thrones dan mengalaminya sendiri saat mengikuti serial Westworld. Ada kehampaan yang ditinggalkan setelah menonton tiap episode. Kekosongan itu harus segera diisi dengan ulasan dan analisa dari berbagai sumber baik video maupun tulisan. Ada ratusan sumber yang bisa digunakan untuk mengisi waktu sebelum episode berikutnya tayang di minggu depan. ‘Tontonan’ tambahan ini meningkatkan histeria kita terhadap sebuah serial, bikin tambah nagih. Siklus adiksi ini terjadi dengan pola yang sama dengan fangirling drama korea. Bedanya, jika penonton Westworld et al memprediksi siapa dalangnya, maka penonton drama korea menduga kapan ciumannya. Teoretikus GoT memutar ulang adegan si anu dibunuh, pecinta drako memutar adegan aegyo (unyu) pasangan utama gelundungan di bawah pohon sakura yang berguguran.

 

so-is-the-maze-part-of-fords-new-narrative-or-are-the-overlapping-characters-a-coincidence

nggak menutup kemungkinan jumlah kerut mata Ed Harris diitungin

got1

di masa depan, jumlah kepala kayak gini bisa jadi CLUE!

Saya sendiri menikmati jadi serial addict amerika dan asia, dan bersyukur dunia ini jadi sedikit lebih menyenangkan dengan hadirnya mereka. Lalu apa yang akan terjadi dengan sinetron Indonesia di masa depan ya?

boy

situ kira gampang bikin misnetron??

*gambar diambil dari sini, sini, sini