apa yang berharga dari

menarik membandingkan interpretasi malkan junaidi tentang arti metaforik “istirahatlah” dalam puisi wiji vs. artinya setelah dijadikan judul film biopik itu.

dalam film itu, ada mixed messages soal “istirahatlah”, di satu sisi wiji digambarkan mengeluh soal nggak bisa tidur, di lain sisi dia digambarkan tidur melulu, bahkan waktu ketemu anaknya lagi (yang begitu dia rindukan menurut film ini dengan petunjuk2 audio klise seperti tangisan bayi dan kepedulian wiji pada bayi tetangga di pengasingan yang menangis tiap kali lampu mati (listrik gagal masuk desa?)) instead of main2 sama anaknya melampiaskan kekangenan dia juga malah tidur nyenyak (lagi).

memang puisi “istirahatlah kata-kata” dalam film itu termasuk yang dihidangkan (dalam voice over yang lumayan kena, pelonya gunawan maryanto keren) secara hampir penuh, kalau tidak salah sampai baris “kita bangkit nanti” kalau nggak sampai habis (lupa). jadi kalau mau generous, ada celah untuk menginterpretasi film ini sebagai waktu tidur, siesta, buat kata-kata, untuk bangkit nanti (di sequelnya, hanya ada satu kata: lawan!? 😛).

tapi kemudian kita harus mempertimbangkan dua hal lagi (paling tidak) menurut saya sebelum memutuskan kira2 sutradara ini pakek judul itu kenapa: film2 sutradaranya yang lain dan aspek2 lain dalam film yang ini selain pemanfaatan judul puisi tadi.

kalau kita lihat di film2nya yang lain dari vakansi yang janggal, lady caddy who never saw a hole in one, sampai kisah cinta yang asu, sutradaranya si cecep ini memang lihay memberi kesan seolah2 film2nya mengandung social commentary padahal konsentrasinya lebih ke kisah romancenya, yang seringnya juga difokuskan kepada ketegangan seksualitas yang direpresi (instead of perjuangan rakyat yang direpresi).

seperti saya tulis di review saya, this guy is like the gm of indon indie filmmaking. kemudian salah satu bagian lain dari film ini yang sangat merepresentasikan pov sutradaranya adalah keputusannya mengubah scene di puisi baju loak sobek pundaknya wiji jadi beberapa scene yang menampilkan rok mini merah menyala.

itu penting banget menurut saya.

seperti ditunjukkan mumu aloha di tulisan ini, salah satu senjata wiji dalam menulis puisi adalah kritik intertextualnya terhadap influencesnya yang terlalu borjuis seperti subagio dan rendra.

puisi2 wiji kalau pake bahasa afrizal di esai ini mengganti mata kedua dan ketiga penyair2 macam rendra dan subagio tentang kehidupan wong cilik dengan laporan pandangan mata pertama langsung dari dunia kemiskinannya.

dia saksi sejarah kehidupan rakyat miskin di indonesia. baju loak sobek pundaknya dalam puisi wiji adalah simbol yang sangat kuat buat penderitaan rakyat miskin yang diopresi orba waktu itu, dan lebih spesifik lagi, penderitaannya sebagai buron yang diburu penguasa karena berorganisasi.

“karena aku berorganisasi bojoku.”

(perhatikan baju itu sobek di pundaknya, tempat epaulet tanda pangkat dipasang di seragam tentara).

“baju” ini diganti menjadi rok mini merah, yang walaupun loakan juga, dengan drastis mengganti isi puisi wiji itu menjadi apa ya? hasrat bercinta yang istirahat selama pengasingan? “merah”-nya perjuangan wiji? darahnya yang tak lama setelah itu ditumpahkan kopassus?

sepertinya interpretasi pertama yang lebih mungkin, mempertimbangkan kecenderungan filmmakernya dalam film2 sebelumnya dan juga scene selanjutnya di mana si wiji meminta sipon memakai rok mini itu waktu mereka check in di hotel di solo pas dia akhirnya pulang.

(ingat juga di puisinya, wiji menunda kepulangan itu, “kalau aku pulang bojoku”.)

dalam dunia perwacanaan puisi ini, baju loak yang jadi simbol rindu wiji pada sipon (udah powerful) yang diiringi penjelasan kenapa rindu itu mungkin tak akan kesampaian (karena wiji adalah buronan penguasa, jadi makin powerful dan mengharukan), diganti dengan simbol lain yang klise (rok mini merah, kira2 simbol seksualitas nggak yaaa) dan menyempitkan puisi aslinya (kalau kita menganggap versi film ini sebagai “puisi” alternatif (more on that later).

penggantian simbol ini, dalam film yang katanya puitik, mementahkan kritik puisi2 wiji terhadap puisi2 salon pendahulunya seperti yang dijelaskan mumu tadi.

puisi wiji yang dengan jeli menyinyiri problem kelas menengah subagio (pantalon sobek etc) dengan menggelarkan problem real rakyat miskin (becak rusak, baju loak, etc) dibalikkan lagi menjadi puisi salon tentang seksualitas (bukan perjuangan berorganisasi!) yang terrepresi.

menimbang2 semua hal ini, sepertinya lebih banyak bukti tekstual dan kontekstual yang menganjurkan bahwa si sutradara film ini sebenarnya mungkin gak sedalam2 itu amat mempertimbangkan konsekuensi peminjaman judul istirahatlah kata-kata untuk judul filmnya.

mungkin kita malah perlu lebih banyak melihat pewacanaan arti film ini oleh pihak2 yang mendukungnya, yang sejauh ini selalu menekankan betapa berartinya kesunyian dalam pengasingan wiji, bahwa inilah penderitaan yang sebenarnya, bukan dimasukkan ke dalam tong hidup2 kemudian dilarung di kepulauan seribu!

untuk soal ini sepertinya masalahnya simpel aja, sutradaranya predictably masih terhegemoni oleh kanonisasi puisi indonesia oleh kaum manikebuis salaharahis, yang selalu mengagungkan kesunyian, kesepian, penantian blablabla di atas chaosnya perjuangan yang kayaknya gimana ya kayaknya kok norak bener kalau dijadiin subyek film art house! jadi con air nanti!

*foto dari antitankproject.wordpress.com

rok mini loak merah menyala sobek entah di mana

Foto dari brilio.net

foto dari brilio.net

 

#menolaklupa, tapi apa yang kamu ingat?

kenapa baju loak sobek pundaknya kamu ganti jadi rok mini merah menyala sobek entah di mana?

apa supaya kamu nanti bisa punya scene check-in di hotel jam-jaman di solo antara wiji dan sipon?

membiarkan kami membayangkan sipon menari-nari dengan rok mini merah menyala sobek entah di mana

kemudian mereka bercinta

bukan di tikar plastik tikar pandan tapi di atas ranjang yang kata jokpin rawan kekuasaan

di bawahnya rok mini merah menyala sobek entah di mana (surprise surprise) tergeletak berantakan seperti di scene-scene ewita film hollywood (aren’t you supposed to be art house?)

disaksikan dua botol coca-cola yang saling berdekatan manja (simbol kapitalisme, terima kasih, mr obvious)

dan dua bungkus kacang rebus yang mulai berembun (simbol kaum proletar, terima kasih, mr obvious)

wiji bilang coca-colanya jangan dibawa, kacangnya saja

kenapa, apa karena buruh tidak boleh punya kawasaki ninja?

tapi dia membiarkan sipon mengambil dua butir sabun (yang juga berdampingan mesranya di tatakan kopi)

apakah unilever lebih suci daripada coca-cola amatil?

atau itu sabun artisan yang disuling dari keringat pekerja?

ini biopic wiji thukul atau vakansi yang janggal dan penyakit limaenam films?

(aku ingat furnitur-furnitur yang makin lama makin mendekat di gula-gula usia)

atau kisah cinta yang asu?

kan yang asu rezim militer harto, bukan nasib malang manusia

wiji bukan manusia borjuis penakut macam aku, dia orang berani, yang begitu ditakuti orba sehingga dia diamankan untuk selama-lamanya, dan salah satu penyair terbaik yang pernah kita punyai

btw, kenapa orang malah sering bilang “wiji bukan penyair terhebat indonesia, tapi…”

why? kalau ngobrol soal wiji sebagai penyair semua orang langsung jadi harold bloom/nirwan dewanto

zonder bukti dan argumen seperti biasa

apa relevansinya dalam mengingat memorinya?

#menolaklupa wiji thukul bukan penyair terhebat indonesia? istirahatlah kanonisasi sastra. dong

bisa kamu sebutkan satu saja lagi nama penyair protes indonesia?

susah ya, soalnya mereka semua sudah ditendang keluar dari dunia puisi indonesia yang penuh episode sunyi dan membosankan

baca dong politik sastra saut situmorang atau kekerasan budaya pasca 1965 wijaya herlambang

sori ya, auteur, tapi “hanya satu kata: lawan!” bukan kata-kata yang tercipta sambil duduk-duduk di beranda di mana angin tak kedengaran lagi sambil seka-sekaan nama dan mencemaskan sepotong lumpur

hanya satu kata: lawan adalah kata-kata gelap yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan tak mati-mati

kamu pasti tahu, kan itu ada di booklet premiere filmmu

tapi kamu tahu juga gak, wiji pernah membaca 100 halaman collected works lenin setiap hari selama berbulan-bulan?

wiji orang yang selalu gelisah dengan apa yang terjadi di republik ini, yang selalu mengacungkan tangan di setiap diskusi ndhakik-ndhakik, yang tak tergetar oleh mulut-mulut orang pintar

kenapa kamu memilih menampilkan dia tidur terus di pengasingan?

nggak bisa baca, nggak bisa menulis puisi

apa tidak mungkin dia juga akan selalu gelisah ingin tahu situasi di jakarta di palur di sukoharjo selama dalam pengasingan di pontianak?

apa tidak mungkin dia juga akan diskusi serius tentang bagaimana bertahan di bawah tanah dan bukan cuma ketakutan, kebosanan, kemudian plesir naik boat di kapuas trus minum tuak di kedai mamak?

ini biopic wiji thukul atau vakansi yang janggal dari kisah cinta yang asu?

ya ya, tentu kamu punya poetic license untuk memodifikasi isi puisi-puisinya, malah ubah aja kisah hidupnya sekalian, gapapa kok, go nutz

tapi jangan khawatir, caramu memakai poetic licensemu juga akan menunjukkan ke(tidak)pedulianmu sebenarnya pada apa

aku pernah menanyakan kepadamu apakah sofa mewah yang digotong kemana-mana di vakansi sebenarnya adalah simbol invasi kapitalisme ke sendi-sendi masyarakat indonesia

tidak, katamu, sofa itu, seperti ranjang, adalah simbol ketegangan seksualitas

o, begitu doang ternyata, kamu ternyata lebih one dimensional daripada kukira

aku terlalu lebay dong menginterpretasi vakansi?

mungkin benar juga dong aku suka onani

kalau kamu terus begini, lama-lama kamu akan seperti goenawan mohamad yang maunya melihat kenyataan dari atas ranjang saja

atau sudah?

you want to turn it on its head by staying in bed

but you’re not john lennon

oya aku punya satu lagi judul alternatif buat filmmu:

misalkan kita di pontianak, di kota itu, katamu lho ya, kata-kata telah jadi padam

Save

Save

Save