unbucket list

seorang apparatchik akan mengcopas post ini, kemudian mengeprintnya di printer kantor, kemudian mencetaknya jadi chapbook di sebuah tempat fotocopy di benhil (naik grab dengan diskon ovo) untuk dibagikan ke pengunjung sebuah acara open mic yang sedang sibuk melawan mabora amer dengan scroll scroll scroll feed swipe swipe swipe story.

di indonesia bagian liyan, seorang pakde sedang copas “kisah rasulullah bagian 130: rasulullah melarang hidup meminta-minta” dari whatsapp group keluarga siswosardjito buat diprint dan difotocopy rangkap 50 untuk dibagikan ke anak-anak paud yang dikelola bude.

di jakarta keminggrisia bagian selatan beberapa pixel yang lalu, seorang musisi ditangkap polisi subuh-subuh karena mengorganisasi crowdfunding untuk membayari konsumsi mahasiswa yang demonstrasi dan menyewa ambulans untuk mengangkut mahasiswa yang cedera digasak polisi.

hito steyerl: “​police come knocking on your door for a download—to arrest you after “identifying” you on YouTube or CCTV” – atau kitabisa.com!

masih steyerl: “the internet persists offline as a mode of life, surveillance, production, and organization—a form of intense voyeurism coupled with maximum nontransparency.”

di subuh yang sama seorang javanese salaryman kesulitan memesan gocar karena customer ratingnya terjun bebas sejak dia dilayoff dari sebuah digital agency dan berhenti memberi tip untuk driver, apalagi top up gopay, “sori mas lagi nggak ada cash nih.”

di suburbia jakarta coret, seorang pembicara seminar berusaha mencari e-book gratis byung-chul han (ayo dong “in the swarm: digital prospects’) bukan karena dia percaya #copyleft tapi karena membayar langganan first media sudah memakan 1/20 gaji bulananannya.

swarm (ingat foursquare?): “gathering without assembly—crowd without interiority… isolated, scattered hikikomori sitting alone in front of a screen” – byung-chul han. tapi bagaimana mahasiswa2 berkoordinasi, anak2 stm sejabodetabek bersatu? bukannya lewat whatsapp swarm group?

hikikomori (wiki): people who withdraw from ​society​ and spend extreme amounts of time on their own.

bisa saja, menurut byung-chul. kadang “digital individuals come together… in smart mobs. [namun] their collective patterns of movements are like the swarms that animals form—fleeting and unstable. Their hallmark is VOLATILITY.” (my caps)

kapankah #gejayanmemanggil3 #reformasidikorupsi3? #stmmelawanselamanya?

di papua orang papua menuntut merdeka. di media luar negeri mereka dideskripsikan sebagai “pro-independence activists”. di jakarta mereka dicap sebagai separatis, dan sekarang menurut polisi dan tentara mereka ditunggangi isis.

#gejayanmemanggil, #reformasidikorupsi, #stmmelawan dilawan dengan hoaks whatsapp group anak stm bayaran, ocehan denny siregar (tentang anak stm: “Biar dilatih jd lelaki oleh TNI dan ga tumbuh jd banci”), dan #ngapainjugademo.

apakah #reformasidikorupsi adalah era yang disebut thomas elsaesser sebagai “military-industrial-entertainment complex”?

menurut byung-chul han sekarang setiap orang 4.0 adalah “sender and receiver–consumer and producer–in one”.

manungsapiens 4.0 tidak tahan untuk tidak komen di setiap post Instagram (post dan stories), YouTube, Facebook, Twitter, Tumblr, Medium; mereka paling tidak harus Share, Reshare, Retweet, Retweet with comment; lebih asoy lagi kalau bikin Twitter thread sendiri.

manungsapiens 4.0 tidak lagi hidup dalam masyarakat gotong-royong, apalagi dalam masyarakat #orangbaik, tapi dalam sebuah Leistungsgesellschaft – “achievement society” (byung-chul han).

setiap manungsapien 4.0 adalah sebuah start-up bagi dirinya sendiri.

steyerl: “​reality itself is postproduced and scripted, affect rendered as after-effect. far from being opposites across an unbridgeable chasm, image and world are in many cases just versions of each other.”

postproduction bukan cuma filter instagram, faceapp, hagiografi tinder, tapi juga hoaks yang diproduksi ph paling berkuasa di negeri ini: pemerintah.

bagaimana bisa hashtag #menolaklupa dipakai pejuang hak asasi manusia yang memperjuangkan kembalinya aktivis2 yang dihilangkan tapi pada saat yang sama juga diapropriasi oleh orang2 yang masih percaya pada film propaganda orba “penumpasan pengkhianatan #g30spki”?

tentu bisa, seperti kata leni reifenstahl, bff hitler, yang juga punya pengalaman membuat film propaganda yang dianggap terbaik sepanjang masa, triumph of the will, “when people no longer ask serious questions, they are submissive and malleable. anything can happen.”

“people” yang dimaksud reifenstahl adalah “especially the intellegentsia”.

menurutnya, propaganda dalam filmnya tergantung bukan cuma dari order dari atas(an) tapi dari apa yang dia sebut sebagai “submissive void” di masyarakat.

kaum borjuis terdidik liberal termasuk dalam “submissive void” ini, menurut reifenstahl. mereka yang sekarang dilumpuhkan oleh ​Leistungsgesellschaft!

lingkaran postproduction di atas postproduction ini disebut steyerl sebagai “circulationism”.

circulationism:“n​ otabouttheartofmakinganimage,butofpostproducing, launching, and accelerating it. it is about the public relations of images across

social networks, about advertisement and alienation, and about being as suavely vacuous as possible.”

video #jokowi dan #janethes berdebat tentang ayam (goreng) sukoharjo di tengah2 hijaunya halaman istana yang dirilis saat kebakaran hutan membara di sumatra dan kalimantan adalah contoh paripurna dari circulationism yang suavely vacuous ini.

pedro neves marques: “tech futurism is nothing but a perpetuation of a globalized modern belief in machinic and information-driven progress, which, in the end, is what led us into our current catastrophic cul-de-sac.”

pernah nggak, ngikutin garis biru di waze atau google maps, tapi malah macet? you’re not alone.

“rerouting apps are all out for themselves. They take a selfish view in which each vehicle is competing for the fastest route to its destination. This can lead to the router creating new traffic congestion in unexpected places.”

“apps are typically optimized to keep an individual driver’s travel time as short as possible; they don’t care whether the residential streets can absorb the traffic or whether motorists who show up in unexpected places may compromise safety.” – new-aesthetic.tumblr.com

AWAS JALAN UBUNTU!

menurut franco “bifo” berardi, dalam dunia 4.0 #irl apa yang ia sebut sebagai “mental sphere” telah mengemansipasi dirinya sendiri dari “dimension of perishability”. abstraksi menyelamatkan kita dari kematian.

namun: “p​aradoxically, however, the insertion of abstraction into social life and the cycles of the natural environment is leading to the extinction of concreteness, and of life itself.”

memaksimalkan kesempatan dalam kesempitan di saat hidup itu sendiri makin lama makin nggak asyik dan malah sedang ngebut menuju kepunahan bukan lagi

sesuatu yang bisa diatur atau pokoknya beres. maju kena postpro mundur kena postpro.

bahkan post pendek yang berusaha membuka borok circulationism #irl yang ditunggangi postproduction-everything ini pun juga adalah sebuah postproduction.

pic from artsy.net

E(xtreme Cinema)=m(asteng)c(etek)²

“One small step for Siman, one giant leap for mas-maskind…”

Siman peeping tom yang mengintip hoax terbesar dalam sejarah manungsapiens: Padoeka Jang Moelia Stanley “Soekarno” Kubrick membuat film propaganda CIA “Pendaratan di Bulan”… di Parangtritis. Siman ketauan dan Siti belum lahir untuk menyelamatkannya sehingga ia dihukum potong lidah, sekarang ia bisu dan PTSD. Selanjutnya di film terakhir Cecep Anggi Noen yang lagi heitz ini, ia bergerak bagai Buzz Aldrin alon-alon ra kelakon yo rapopo no biar selow kayak Bela Tarr. Seperti menonton film-film Cecep sebelumnya, menonton “The Science of Fictions” kita seperti ditantang untuk memecahkan teka-teki (rumus?) simbol-simbol visual/aural yang dikandung di dalamnya. Namun kabar baik bagi sejuta umat manusia yang ada di dunia, simbol-simbol Cecep selalu gamblang dan heavy-handed banget sehingga tenang aja, ga perlu baca A Barthes Reader untuk mengertinya. Judulnya pun sudah kasih clue yang begitu murah hati: mulai saja dengan membedah apa “fictions” di film ini, dan bagaimanakah “science”-nya?

Dalam dunia palelofuturis Siman, waktu bergoyang maju-mundur sleb-sleb, peristiwa-peristiwa sejarah-politik (yes, 65) berjalin berkelindan siap ndan! dengan laju Leistungsgesellschaft budaya pop (odong-odong, Instagram, la vie vérité, jathilan – Extreme Cinema alert!), critique aras-arasan terhadap kapitalisma (kaleng-kaleng Khong Guan of the Lost Ark), exposisi masteng Jawir cishet values yang asu (PTSD Siman sembuh sementara pertama kali dengan cara, yak, mengenthu Asmara Abigail!), etc etc, yang efek akhirnya adalah film ini pada saat yang bersamaan membicarakan begitu banyak hal tapi juga nggak ngomong apa-apa yang begitu berarti. Sejarah Indonesia adalah fiksi? Really? Alerta alerta!

Dalam sebuah komen ablist yang diucapkan salah satu karakter di film ini untuk mengomentari kebisuan Siman (yasss, he’s our fucked up history’s silent witness! Semacam Forrest Gump yang belum diendorse Nike), ia digambarkan sebagai “Iso krungu ning ra iso nyatakke” = “Mampu mendengar tapi tidak mampu berbicara”. Frase Jawir “ra iso nyatakke” di sini menarik juga, karena secara literal bisa juga diterjemahkan sebagai “namun tak mampu put his thoughts into words” atau dalam versi less keminggrisia dan lebih radikal lagi, “tidak mampu membuat [pikirannya] jadi nyata.” Sehingga Siman menjadi satu-satunya karakter dalam film ini yang direnggut agency-nya dan waduh gimana ya tar dia ga bisa menciptakan fictions-nya sendiri dong sementara semua orang di sekitarnya asik-asik ajib nggambleh ngabodor menciptakan fictions mereka sendiri untuk memarginalkan Siman??? Tapi tenang, enter Permak Lepis dan akal-akalan kere:

“So here am I sitting in a Khong Guan can…”

Fictions dalam The Science of Fictions juga bisa merujuk kepada sugesti klise dalam film ini bahwa bukankah dunia ini hanya panggung sandiwara? Job Less! Atau bahwa film ini sendiri – dan consequently all films – hanyalah sebuah fiksi (dapat salam dari 8 1/2!). Di scene terakhir yang menyindir latahisme Instagrammers dan antusiasme mereka pada taman bunga plastik di tengah hutan, sekelompok post-alay naik odong-odong menyerbu rumah Apollo-chic DIY Siman di tengah hutan bambu dan ceklak-ceklik, post, liked by gabbermodusoperandi and 696969 others. What is Cecep saying? Bahwa dunia fiksi Siman yang direproduksi dalam ribuan post Instagram² menjadi terfiksikan sekali lagi (terfiksikan kuadrat!), and that‘s the Science of fictions ––> repro atas repro atas repro dan seterusnya atas kenyataan dalam dunia fantasi yang mengelabui kita semua? Bahwa sebenernya di dunia (fantasi) ini, ora ono sik iso nyatakke opo-opo? Maybe. Tapi kok I feel some/most of the times like overreading this stuff? This ain’t exactly Hito Steyerl!

“Mantap Boschque…”

Masalahnya juga, seperti dalam film-film Cecep sebelumnya, poin-poin yang sepertinya serius ini dinyatakan (dinyatakke!) dengan sekaligus setengah-setengah, sok ironis sehingga kayak menuntut pemirsa untuk menyatakan setengahnya lagi, tapi juga sekaligus dengan so obvious menggunakan simbol-simbol yang klise (Siman yang bisu as silent witness of the official history of NKRI, Siman yang gagal lepas landas sebagai simbol Repelita Orba yang gagal lepas landas, Siman yang dikomodifikasi sebagai pemain jathilan sebagai simbol pengkomodifikasian lumpen prole, kaleng Khong Guan sebagai simbol gurita kapitalisma dan tin can ambition NASA, etc etc.) tapi di(re)presentasikan seakan-akan no one else has ever used them in a work of fiction. Efeknya justru nggak jauh-jauh mata juga dari dipaksa menikmati parade pamer fictionalized kekerenan di Instagram!

Selain itu, kenapa juga film ini masih harus mine the same ole same ole themes and tropes dari Kamus Besar Extreme Cinema, Auto-Erasure dan Self-Orientalism Indonesia: 65 (is he saying anything new or merely reproducing counter-narratives yang itu-itu aja?), jathilan, seragam diktator chic, fantasi (fiction!) TKI (“Benar tidak duit di Arab dibuat dari emas?” Hampir aja aku salah denger jadi “Bener nggak sih Palme d’Or terbuat dari emas?” Phew.), sexual obsession of Javanese men, etc etc.? Apakah ini post-Wregas/Senyawa effect yang ditempelkan di film ini agar fiksi ala mas-mas Jogjosss ini bisa langsung bikin programer-programer festival film luar negeri ngaceng (old argument I know, sudah berdiri sejak Philip Cheah)? Ataukah sebenernya Cecep tidak se-Machiavellian itu (to mention someone who’s really into fiction!) tapi memang masih belum mampu aja keluar dari belenggu inlanderisme seniman-seniman Indonesia yang ingin go internesyenel? Now we all know that’s no fiction.

Images from kino-zeit.de, sennhausersfilmblog.ch, infoscreening.co