Mogul Mowgli: Gelisah Hibriditas Budaya

Menyaksikan Mogul Mowgli seakan diingatkan pada rasa sakit yang melumpuhkan, hence it feels viscerally painful and personal. For years, I have had and still have two of what are considered the most excruciating illnesses, acute pancreatitis (which led to gallbladder removal) and endometriosis + adenomyosis combo which forced me to be homebound, bedridden, and being dependent on pain killers to get by for months. Just a little background.

Tidak pernah menyaksikan Riz Ahmed sebelumnya kuanggap sebagai sebuah keuntungan karena aku menyaksikan Zed yang utuh, bukan Riz Ahmed sebagai Zed/Zaheer. Ahmed mengaburkan batas antara dirinya dan Zed, bahkan mungkin menguliti dirinya sendiri demi melebur ke dalam Zed. Mungkin juga Mogul Mowgli merupakan semi otobiografi Ahmed secara dia juga terjun langsung sebagai co-writer. Whatever that is, he is electrifying & breathtaking.

Karir Zed (Riz Ahmed), rapper Inggris berdarah Pakistan yang tinggal di New York, kelihatannya menuju lepas landas seiring dengan tawaran menjadi penampil pembuka tur Eropa artis lainnya. Sebelum tur dimulai, Zed menyempatkan diri pulang kampung ke London setelah disindir sehingga cekcok dengan pacarnya, Bina (Aiysha Hart). Di sinilah mimpi buruk Zed dimulai. Tiba-tiba Zed mendapati dirinya menderita kondisi autoimun yang menyerang otot, yang artinya pergerakan fisik Zed menjadi sangat terbatas. Ketakutan mimpinya pupus, ia menyetujui tawaran untuk mengikuti program pengobatan eksperimen dengan resiko kemandulan, sebuah keputusan yang ditentang ayah Zed karena menurutnya apalah arti manusia tanpa keturunan.

Ayah Zed, Bashir (played brilliantly by Alyy Khan), meninggalkan Pakistan dan pindah ke Inggris setelah Pemisahan India tahun 1947. Puluhan tahun berlalu dan Bashir masih menutup mulut setiap topik ini mengemuka. Guneeta Singh Bhalla, pendiri Arsip Partisi 1947 (sebuah organisasi non-profit di Berkeley, California) mengatakan, “Because their experiences weren’t given importance for so many decades, they just learned to feel that what they experienced wasn’t really worth talking about.”

Setiap kali Zed berada dalam kondisi tertekan, ia bermimpi (atau itu mungkin manifestasi kenangan buruk ayahnya) berada dalam gerbong kereta hantu (karena membawa mayat orang-orang yang dibantai saat berusaha melintasi perbatasan India dan negara baru Pakistan) dan menyaksikan kebrutalan pembantaian pengungsi yang terjadi selama migrasi massal tahun 1947 tersebut. Migrasi massal terbesar dalam sejarah manusia. Dalam mimpi dan halusinasinya, Zed juga selalu menjumpai laki-laki dengan muka tertutup rangkaian bunga (mala) menggumamkan nyanyian “Toba Tek Singh” (nama sebuah kota di Punjab yang juga dijadikan judul cerita pendek berlatar belakang pemisahan India oleh Saadat Hasan Manto), namun Zed tidak pernah memahami penuh arti kehadiran sosok tersebut. Mimpi dan halusinasi Zed bagaikan luka masa lalu Bashir yang diwariskan menjadi kegelisahan identitas Zed. Lahir dan besar di Inggris namun selalu dipertanyakan asal-usulnya. Semua diterjemahkan Ahmed dalam lirik “Where You From”. A brilliant and heartbreaking poem.

They ever ask you “Where you from?”
Like, “Where you really from?”
The question seems simple but the answer’s kinda long
I could tell ’em Wembley but I don’t think that’s what they want
But I don’t wanna tell ’em more ’cause anything I say is wrong

Britain’s where I’m born and I love a cup of tea and that
But tea ain’t from Britain, it’s from where my DNA is at
And where my genes are from
That’s where they make my jeans and that
Then send them over to NYC, that’s where they stack the P’s and that

Skinheads meant I never really liked the British flag
And I only got the shits when I went back to Pak
And my ancestors’ Indian but India was not for us
My people built the West, we even gave the skinheads swastikas

Now everybody everywhere want their country back
If you want me back to where I’m from then bruv I need a map
Or if everyone just gets their shit back then that’s bless for us
You only built a piece of this place bruv, the rest was us

Demi dapat kembali berdiri di atas kedua kakinya sendiri, Zed meruntuhkan idealismenya dan mencoba metode penyembuhan apapun yang ditawarkan; mulai dari metode medis (terapi eksperimen yang dapat berakibat kemandulan permanen) hingga tradisional (dari minum air yang didoakan, hingga menyerah untuk di-cupping secara diam-diam oleh keluarganya. Menurut mereka, “toh trennya sekarang semua atlit di-cupping dan semua orang beralih ke kunyit untuk pengobatan alamiah”. Insinuations for the white’s cultural appropriation of healthy and natural lifestyles craze). Menerima diobati secara tradisional seperti sebuah tamparan bagi ‘kemodernan’ Zed. Namun bagaimana mau mempertahankan prinsip dan memiliki otoritas penuh terhadap tubuh sendiri, ketika untuk bergerak pun masih membutuhkan bantuan orang lain? Tangisku meledak saat menyaksikan Zed bangun di rumah sakit dengan ayahnya membaca Al-Qur’an di samping tempat tidur. Juga di lain waktu saat ia bangun mendapati ibunya sedang mengelus kepalanya dan bapaknya sedang sholat di kursi. They are scenes that are too familiar with me. Sebagai anak yang sudah dewasa, sulit rasanya kembali bersandar (secara harfiah) pada orang tua yang notabene tidak lagi kuat.

Alyy Khan & Riz Ahmed

Bersandar pada orang tua juga ‘memaksa’ Zed kembali menghadapi pertentangan nilai dengan orang tua, terutama ayahnya. But at the end of the day, they are still family walaupun mereka acapkali bersitegang. Adalah Bashir yang menenangkan Zed yang frustasi, “Zaheer, sabaar. Insya Allah there’ll be more opportunities” (Lagi-lagi kubanjir air mata. Persis seperti mamakku kalau aku lagi frantic).

Façade Zed yang defensif, bahkan terkadang agresif, menjadi tameng atas kerapuhan Zaheed Anwar. Hibriditas budaya yang melahirkan konflik identitas berlapis Zed, walaupun di satu sisi menjadi inspirasi berkeseniannya, namun di sisi lain selalu membuatnya limbung dan gelisah. All of his insecurities and anxieties speak to me. Seperti misalnya, aku ingat ketegangan dan kegelisahanku di masa muda saat pertama kali menghadapi cupika cupiki, satu tradisi ‘anak gaul’ yang saat itu lumayan jauh dari nilai-nilai yang kupegang, coming from a rather conservative background aka si anak alim. Saat itu aku merasa seperti harus meminggirkan keislamanku demi dapat diterima lingkungan yang lebih ‘keren’? Mungkin sama seperti Zaheer yang memilih panggilan Zed. His cousin thinks he surrendered to the West, while he thinks he made a choice. Padahal sih inlander aja dia. So was I. Thanks to the wave of wokeness and intersectionality, we now realised that our insecurities and anxieties are valid. For a very long time, as people of colonised nations, we were made to believe that our cultural (and religious) values are backward or irrational than of the colonisers that a lot of times it makes us invalidated them.

This movie hits so close to home on so many aspects and dimensions; the cultural and value clashes, lost identity, illness and its effects, parents attending their adult-age child care, and taken away dream. I was so not prepared for the surge of emotions this movie brings. A wonderful feature debut by Bassam Tariq, who also co-wrote it with Riz Ahmed. Beberapa mungkin akan berpikir terlalu banyak yang ingin disampaikan film ini, tapi kalau kita pernah berada dalam persimpangan budaya seperti Zed, semuanya terasa sangat relevan.

Menjelang akhir, setelah gagal mengeluarkan sperma untuk dibekukan, Zed meludah ke dalam tabung, lalu memanggil suster sambil berkata “I’m finished”. Mungkin Zaheer yang lelah dengan semuanya menyerah memiliki keturunan, seperti tergambar dalam lirik rapnya,


“I tried to stand up for my blood but my blood won’t let me stand up
Let there me no more after me at least we’ll be at peace
If there is no seed after me Zaheer would be at peace”

Foto diambil dari https://www.mogulmowgli.co.uk/

unbucket list

seorang apparatchik akan mengcopas post ini, kemudian mengeprintnya di printer kantor, kemudian mencetaknya jadi chapbook di sebuah tempat fotocopy di benhil (naik grab dengan diskon ovo) untuk dibagikan ke pengunjung sebuah acara open mic yang sedang sibuk melawan mabora amer dengan scroll scroll scroll feed swipe swipe swipe story.

di indonesia bagian liyan, seorang pakde sedang copas “kisah rasulullah bagian 130: rasulullah melarang hidup meminta-minta” dari whatsapp group keluarga siswosardjito buat diprint dan difotocopy rangkap 50 untuk dibagikan ke anak-anak paud yang dikelola bude.

di jakarta keminggrisia bagian selatan beberapa pixel yang lalu, seorang musisi ditangkap polisi subuh-subuh karena mengorganisasi crowdfunding untuk membayari konsumsi mahasiswa yang demonstrasi dan menyewa ambulans untuk mengangkut mahasiswa yang cedera digasak polisi.

hito steyerl: “​police come knocking on your door for a download—to arrest you after “identifying” you on YouTube or CCTV” – atau kitabisa.com!

masih steyerl: “the internet persists offline as a mode of life, surveillance, production, and organization—a form of intense voyeurism coupled with maximum nontransparency.”

di subuh yang sama seorang javanese salaryman kesulitan memesan gocar karena customer ratingnya terjun bebas sejak dia dilayoff dari sebuah digital agency dan berhenti memberi tip untuk driver, apalagi top up gopay, “sori mas lagi nggak ada cash nih.”

di suburbia jakarta coret, seorang pembicara seminar berusaha mencari e-book gratis byung-chul han (ayo dong “in the swarm: digital prospects’) bukan karena dia percaya #copyleft tapi karena membayar langganan first media sudah memakan 1/20 gaji bulananannya.

swarm (ingat foursquare?): “gathering without assembly—crowd without interiority… isolated, scattered hikikomori sitting alone in front of a screen” – byung-chul han. tapi bagaimana mahasiswa2 berkoordinasi, anak2 stm sejabodetabek bersatu? bukannya lewat whatsapp swarm group?

hikikomori (wiki): people who withdraw from ​society​ and spend extreme amounts of time on their own.

bisa saja, menurut byung-chul. kadang “digital individuals come together… in smart mobs. [namun] their collective patterns of movements are like the swarms that animals form—fleeting and unstable. Their hallmark is VOLATILITY.” (my caps)

kapankah #gejayanmemanggil3 #reformasidikorupsi3? #stmmelawanselamanya?

di papua orang papua menuntut merdeka. di media luar negeri mereka dideskripsikan sebagai “pro-independence activists”. di jakarta mereka dicap sebagai separatis, dan sekarang menurut polisi dan tentara mereka ditunggangi isis.

#gejayanmemanggil, #reformasidikorupsi, #stmmelawan dilawan dengan hoaks whatsapp group anak stm bayaran, ocehan denny siregar (tentang anak stm: “Biar dilatih jd lelaki oleh TNI dan ga tumbuh jd banci”), dan #ngapainjugademo.

apakah #reformasidikorupsi adalah era yang disebut thomas elsaesser sebagai “military-industrial-entertainment complex”?

menurut byung-chul han sekarang setiap orang 4.0 adalah “sender and receiver–consumer and producer–in one”.

manungsapiens 4.0 tidak tahan untuk tidak komen di setiap post Instagram (post dan stories), YouTube, Facebook, Twitter, Tumblr, Medium; mereka paling tidak harus Share, Reshare, Retweet, Retweet with comment; lebih asoy lagi kalau bikin Twitter thread sendiri.

manungsapiens 4.0 tidak lagi hidup dalam masyarakat gotong-royong, apalagi dalam masyarakat #orangbaik, tapi dalam sebuah Leistungsgesellschaft – “achievement society” (byung-chul han).

setiap manungsapien 4.0 adalah sebuah start-up bagi dirinya sendiri.

steyerl: “​reality itself is postproduced and scripted, affect rendered as after-effect. far from being opposites across an unbridgeable chasm, image and world are in many cases just versions of each other.”

postproduction bukan cuma filter instagram, faceapp, hagiografi tinder, tapi juga hoaks yang diproduksi ph paling berkuasa di negeri ini: pemerintah.

bagaimana bisa hashtag #menolaklupa dipakai pejuang hak asasi manusia yang memperjuangkan kembalinya aktivis2 yang dihilangkan tapi pada saat yang sama juga diapropriasi oleh orang2 yang masih percaya pada film propaganda orba “penumpasan pengkhianatan #g30spki”?

tentu bisa, seperti kata leni reifenstahl, bff hitler, yang juga punya pengalaman membuat film propaganda yang dianggap terbaik sepanjang masa, triumph of the will, “when people no longer ask serious questions, they are submissive and malleable. anything can happen.”

“people” yang dimaksud reifenstahl adalah “especially the intellegentsia”.

menurutnya, propaganda dalam filmnya tergantung bukan cuma dari order dari atas(an) tapi dari apa yang dia sebut sebagai “submissive void” di masyarakat.

kaum borjuis terdidik liberal termasuk dalam “submissive void” ini, menurut reifenstahl. mereka yang sekarang dilumpuhkan oleh ​Leistungsgesellschaft!

lingkaran postproduction di atas postproduction ini disebut steyerl sebagai “circulationism”.

circulationism:“n​ otabouttheartofmakinganimage,butofpostproducing, launching, and accelerating it. it is about the public relations of images across

social networks, about advertisement and alienation, and about being as suavely vacuous as possible.”

video #jokowi dan #janethes berdebat tentang ayam (goreng) sukoharjo di tengah2 hijaunya halaman istana yang dirilis saat kebakaran hutan membara di sumatra dan kalimantan adalah contoh paripurna dari circulationism yang suavely vacuous ini.

pedro neves marques: “tech futurism is nothing but a perpetuation of a globalized modern belief in machinic and information-driven progress, which, in the end, is what led us into our current catastrophic cul-de-sac.”

pernah nggak, ngikutin garis biru di waze atau google maps, tapi malah macet? you’re not alone.

“rerouting apps are all out for themselves. They take a selfish view in which each vehicle is competing for the fastest route to its destination. This can lead to the router creating new traffic congestion in unexpected places.”

“apps are typically optimized to keep an individual driver’s travel time as short as possible; they don’t care whether the residential streets can absorb the traffic or whether motorists who show up in unexpected places may compromise safety.” – new-aesthetic.tumblr.com

AWAS JALAN UBUNTU!

menurut franco “bifo” berardi, dalam dunia 4.0 #irl apa yang ia sebut sebagai “mental sphere” telah mengemansipasi dirinya sendiri dari “dimension of perishability”. abstraksi menyelamatkan kita dari kematian.

namun: “p​aradoxically, however, the insertion of abstraction into social life and the cycles of the natural environment is leading to the extinction of concreteness, and of life itself.”

memaksimalkan kesempatan dalam kesempitan di saat hidup itu sendiri makin lama makin nggak asyik dan malah sedang ngebut menuju kepunahan bukan lagi

sesuatu yang bisa diatur atau pokoknya beres. maju kena postpro mundur kena postpro.

bahkan post pendek yang berusaha membuka borok circulationism #irl yang ditunggangi postproduction-everything ini pun juga adalah sebuah postproduction.

pic from artsy.net

hidupku terasa begitu berharga dan tidak berharga sekaligus*

Oleh: Ratri Ninditya

sebuah upaya perayaan kegagalan

Kelas menengah dikritik sesamanya karena terlalu hobi mengobjektivikasi pengalaman hidup kelas pekerja di dalam film, sastra, musik, seni rupa, meme, bahkan dalam dunia akademis. Aku ingat di awal 2010-an terminologi alay kita mainkan baik itu berupa olok-olok hingga apropriasi selera, bahasa, dan gaya hidup. Kita sempat termehek-mehek sekali dengan dangdut Pantura, film-film horor kelas B, lukisan di pantat truk. Cuplikan-cuplikan kejadian dalam kehidupan kelas pekerja juga dijadikan meme lalu disebarluaskan di berbagai WhatsApp group dan akun-akun Facebook. Kita menyebutnya “joke receh”. Cek juga deretan film-film arthouse termasyur yang sudah go internazionale itu. Daftarnya penuh dengan sutradara kelas menengah yang mengeksotiskan kehidupan kelas pekerja (consider these titles: Vakansi yang janggal, SITI, A Copy of My Mind, Kucumbu Tubuh Indahku, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak). Di musik, yang paling saya ingat adalah kolaborasi Dipha Barus dengan Arindi Putry, keyboardist jenius yang sempat menggegerkan jagad meme dengan kecepatan jarinya. Saya jadi ingat pojok dangdut featuring Bude Sumiati di Joyland. Pojok itu meremix segala lagu pop dalam irama dangdut dan segenap kawula muda sober bergoyang ikut irama. Saat itu, saya berada di tengah kerumunan, ikut berjoget sambil berpikir, apakah kami semua menikmatinya, atau hanya secara ironis menikmatinya? Tentunya kita tidak menikmati dengan cara yang sama ketika kita mendengarnya di dalam angkot bogor di malam minggu. Atau, apakah kita masih naik angkot di malam Minggu?

Kita terpikat sekali dengan hidup kelas pekerja karena hidup kita terlalu monokrom-aesthetic-steril ala majalah skandinavia dan kita terlalu bosan bosan bosan atas isu yang itu-itu saja. Tapi bagi kita kelas menengah, kelas pekerja hanya akan selalu menjadi objek yang siap dikonsumsi. Perasaan bersalah itu kemudian jadi bungkus identitas kita. Kita memandang diri sendiri dengan jijik dan malu. Perasaan kita tersaturasi, lalu lapuk dan terlupakan. Kita berkaca ke luar, tanpa melihat relasinya ke dalam. Kita pinjam perasaan-perasaan lain di dunia untuk jadi milik kita karena kita sudah lupa bagaimana caranya mengalami, merasa, menjelaskan rasa dan pengalaman tersebut. Lalu perasaan kita menjadi tidak nyata, tidak berhak dapat tempat dalam karya-karya seni dan dibicarakan dengan serius. Poin utama saya adalah, mengapa tidak kita bicarakan saja malu, jijik, dan rasa bersalah kita sebagai warga kelas menengah? Mengapa sedikit sekali yang bersedia menguliti rasa bersalah atas berbagai privelese dan akses yang didapat karena posisi kelasnya? Kenapa ketakutan atas kegagalannya dalam studi, karir, dan hidup karena seumur hidup dituntut untuk sukses (kan udah sekolah tinggi-tinggi, kan gak usah nyicil rumah sendiri, kan jago berbagai bahasa) tenggelam dalam lautan instagram selfie di luar negeri dan keluarga bahagia?

Kita punya hak untuk marah, menangis, tertawa, bahkan kita masih bisa terus menuntut. Jika jurang ke-nothing-an ini akan membunuh kita pelan-pelan, saya mau terseret with genuine pleasure dan satisfaction.

*dikutip dari buku puisi sendiri, Rusunothing

Kim Ji Young, Born 1982: Perempuan Dalam Lingkaran Toksik Patriarki

Kim Ji Young Born 1982 Poster 1

 

“사부인 (sabuin atau ibu dari menantu laki-laki), aku juga ingin melihat anakku”. Lalu blaaar… berderai air mataku.

Terjemahan bahasa Indonesia dan Inggris memang kurang dapat menggambarkan kompleksitas istilah keluarga dan kekerabatan Korea. Kupikir merupakan keputusan yang tepat untukku menonton filmnya sebelum membaca bukunya. Ada nuansa yang mungkin tidak tersampaikan dalam bacaan versi terjemahannya (ya walaupun, aku juga gak bisa bahasa Korea sih), seperti dalam sebuah adegan yang membuatku tercekat ketika Ji Young menegur mertuanya dengan panggilan besan perempuan.

Novel “Kim Ji Young, Born 1982” pertama kali masuk dalam radarku saat mencari referensi untuk ulasan drama Because This Is My First Life (2017). Saat itu novel ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Tulisan ini merupakan salah satu sumber acuan berbahasa Inggris paling jelas yang saya temui saat itu. Drama Because This Is My First Life sendiri nampaknya dibuat sebagai jawaban atas segala permasalahan yang muncul di novel Kim Ji Young, Born 1982.

Jika Because This Is My First Life (atau drako-drako woke lainnya) menjadi perlawanan suara perempuan yang diopresi dalam masyarakat patriarkal, bahkan mungkin cita-cita utopis, Kim Ji Young, Born 1982 justru menghempaskan penonton kembali pada realita yang berkebalikan 180 derajat, apalagi novel ini memang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi Cho Nam Joo. Dibandingkan dengan perkembangan drama Korea yang beberapa tahun terakhir semakin tajam mengkritisi diskriminasi dalam masyarakat – termasuk isu-isu gender (terutama sejak pembunuhan di toilet umum Gangnam yang memantik gerakan #MeToo di Korea Selatan), serta memberi ruang bagi representasi kelompok minoritas yang dipinggirkan (seperti LGBTQ) – industri film mainstream Korea sepertinya malah ketinggalan dalam hal ini. Bisa jadi karena industrinya sendiri masih sangat didominasi laki-laki. Data yang dikeluarkan The Korean Film Commission pada tahun 2017 menunjukkan kurangnya representasi perempuan dalam dan di belakang layar film-film Korea, termasuk di antaranya sutradara, produser, penulis, dan videografer. Sedangkan kebalikannya, hampir 90% penulis drama Korea adalah perempuan, bahkan sebagian besar adalah ibu rumah tangga. Cho Nam Joo sendiri juga merupakan mantan penulis untuk program televisi. But I’ll save this discussion for another day.

 

Kim Ji Young Born 1982 7

 

Kim Ji Young (Jung Yu Mi), memulai hari dengan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Lalu sambil mengurus Ha Young, anak perempuan mereka, ia melanjutkan pekerjaan rumah tangga lainnya hingga malam menjelang. Sebelah tangannya dibebat untuk meredam sakit. Kalau suaminya bisa pulang lebih cepat, ia akan segera membantu memandikan anaknya. Di antara timbunan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, Ji Young sering termenung memandang matahari terbenam di teras apartemen mereka. Dia juga tidak mengerti mengapa belakangan memandang matahari terbenam membuatnya merasa gundah.

Setiap hari, rutinitas yang sama.

 

Kim Ji Young Born 1982 3

 

Ji Young remaja bermimpi menjadi penulis, walaupun akhirnya dia bekerja di bidang pemasaran. Ambisinya berkarir dikesampingkan setelah ia memiliki anak. Sebagai salah satu negara dengan tingkat pendidikan tertinggi di antara negara-negara OECD, perempuan Korea Selatan harus patah hati berkali-kali di setiap fase kehidupan. Mimpi mereka selalu dihancurkan oleh patriarki yang mendarah daging karena ujung-ujungnya ‘setinggi-tingginya menuntut ilmu, peran utama perempuan adalah sebagai istri seseorang, ibu seseorang, anak seseorang. Identitas mereka adalah sebagai pelengkap laki-laki’. Kesenjangan antargender ini ironisnya bahkan jauh di bawah Indonesia yang notabene tingkat ekonomi dan pendidikannya berada jauh di bawah Korea, dengan Indonesia berada di peringkat 84 dan Korea Selatan berada di peringkat 118 dari 144 negara berdasarkan The Global Gender Gap Report 2017.

 

Kim Ji Young Born 1982 4

Jung Yu Mi (Kim Ji Young) dan Gong Yoo (Jung Dae Hyun) dalam pertemuan layar ke-4 mereka

Sutradara Kim Do Young berhasil memadatkan segudang problematika yang umum dihadapi perempuan Korea Selatan (seumum pemberian nama Kim Ji Young pada bayi perempuan yang lahir tahun 1982 di Korea Selatan) dalam potongan-potongan kehidupan semua karakter perempuan dan mengemasnya dalam narasi yang sederhana dan sangat sehari-hari. Tidak ada makna berlapis dan simbol-simbol penanda yang membebaskan penonton bersemiotika. Bisa jadi karena alasan buruknya kesenjangan gender yang berbanding terbalik dengan kemajuan pendidikan dan ekonomi tadi sehingga ia memilih untuk menyampaikan pesan secara letterlijk. Beratnya kehidupan perempuan dalam masyarakat patriarkal dan konservatif dikontraskan dengan gambaran laki-laki yang bikin frustasi. Kalau pun mereka tidak misoginis, mereka clueless, seperti suami dan adik Ji Young. Jung Dae Hyun (Gong Yoo) digambarkan sebagai suami yang cukup suportif. Namun posisinya yang ‘membantu’ kerja domestik istri menyiratkan bahwa laki-laki se-‘progresif’ Dae Hyun pun tidak memahami konsep berbagi tanggung jawab domestik dan kesetaraan saking lamanya hidup dalam dunia yang diciptakan oleh, untuk dan berputar di sekitar laki-laki.

Nyaris tidak ada gejolak besar dan percakapan filosofis, tetapi sepanjang film penonton disuguhkan rangkaian kekerasan yang dinormalisasi di setiap tahap kehidupan perempuan dan semua terasa luar biasa sedih, karena sebagai perempuan yang hidup di negara patriarkal Indonesia, semuanya terasa begitu familiar. Dan menyakitkan.

Film ini merupakan kali ke-4 Jung Yu Mi dan Gong Yoo bekerjasama. Sebelumnya mereka bermain di film Silenced (2011) dan Train To Busan (2016), serta menjadi cameo di salah satu episode drama Dating Cyrano Agency (2013). Jika di kedua film sebelumnya, selalu Gong Yoo yang menjadi karakter utama, kali ini giliran Jung Yu Mi yang berperan sebagai tokoh sentral. Kemunculan Gong Yoo yang lebih terasa sebagai pemeran pembantu, apalagi film ini memang berfokus di perempuan, membuat saya berpikir apakah Gong Yoo dipasang untuk ‘bemperin’ film ini? Walaupun tetap saja tidak menghentikan kontroversi Kim Ji Young Born 1982 yang terus berlanjut dalam ‘ratings terror’.

Jung Yu Mi memang tidak dikenal untuk ekspresinya yang dramatis, namun di sini kedatarannya justru memberi nyawa pada karakter Ji Young yang saking lelahnya tidak lagi sanggup melawan dan menyerah pada tekanan sistemik. Kemarahannya yang ditekan bermanifestasi dalam bentuk gangguan kesehatan mentalnya. Di antara hubungan Ji Young dengan orang-orang di sekitarnya, yang paling menyentuh sekaligus menyakitkan adalah hubungan Ji Young dengan ibunya. Menyakitkan karena ibunya harus menyaksikan Ji Young terjebak dalam siklus lingkaran toksik patriarki seperti dirinya. Kim Mi Kyung yang berperan sebagai ibu Ji Young mengalirkan kehangatan dan kebijaksanaan yang khas ‘ibu Kim Mi Kyung’ (you’ll know what I mean if you watch her dramas). Klimaks film ini pun ada di tangannya saat ia mendapati Ji Young berbicara sebagai neneknya.

 

Kim Ji Young Born 1982 6

Kim Mi Kyung yang selalu menawan

 

Walaupun film ini menyesakkan dari awal hingga akhir, namun Kim Do Young memilih untuk menyisipkan sedikit harapan sebagai penutup. Mengutip ucapannya dalam konferensi pers, “The novel shows bitterness of the reality throughout, but when writing the screenplay for the movie, I wanted to send a hopeful message to all Kim Ji-youngs in 2019, that they are living in a better world than Ji-young’s mother, and their children will be as well.” Somehow I can understand this and appreciate the choice she made.

“Ji Young, lakukanlah apa yang membuatmu bahagia.”

 

Kim Ji Young Born 1982 9

 

Parasite: Nafas Drama Korea dalam Kompilasi Filmografi Bong Joon Ho

Parasite 1

Dulu saya pernah bertanya-tanya, mengapa saya bisa menonton Memories of Murder  berkali-kali, padahal film tersebut diangkat dari kisah nyata yang artinya tidak banyak ruang tersisa bagi sutradara untuk berimajinasi liar. Setelah menonton Parasite (2 kali!), sepertinya saya menemukan jawabannya.

Membaca filmografinya, Bong Joon Ho hampir selalu menawarkan premis sederhana yang disampaikan dengan narasi linear. Sinematografi dan musik yang dramatis tidak serta-merta menjadikan film-film Bong pretentious. Tapi saya curiga dua elemen tadi justru yang membuat banyak orang seringkali melihat film-film Bong Joon Ho sebagai karya yang avant garde dan gila, apalagi Bong juga suka dengan metafora-metafora kecil. Padahal buat saya kebalikannya. Bong juga suka menyelipkan bercandaan konyol segelap apapun filmnya. Tidak salah jika kemudian ada yang menyandingkan Parasite dengan film-film Warkop DKI yang juga kerap berisi satir sosial.

Menonton drama Korea mungkin bisa memberikan gambaran yang lebih jelas bagaimana kelas merupakan topik bahasan yang sangat lazim, nyaris selazim nasi dan kimchi bagi orang Korea, dalam tayangan yang distereotipkan sebagai tontonan kacangan atau alay. Dari drama harian atau akhir pekan (yang ceritanya kadang luar biasa tidak masuk akal), komedi romantis dengan fairy tale syndrome-nya, kriminal, sosial politik sampai horor; dari ribut-ribut ala orang kaya kompleks vs orang miskin kampung sebelah sampai kesenjangan struktural, kelas hadir baik sebagai subyek maupun latar belakang dalam drama Korea. Bisa jadi ini juga jadi salah satu alasan kenapa Bong bilang film ini mungkin terlalu Korea buat penonton internasional (terlebih bagi mereka yang tidak menonton drama Korea), di luar simbol-simbol lokal lain yang (tentunya sebagai bukan orang Korea) saya juga belum paham benar. Mungkin.

Parasite 3

Keluarga Kim bekerja serabutan sebagai pelipat box pizza di apartemen semi-basement (banjiha/반지하) mereka

Namun tidak seperti drama yang punya keleluasaan episode untuk bereksplorasi membangun narasi, film harus mampu memadatkan argumen-argumennya dalam waktu yang terbatas. Bong melakukan ini dengan menciptakan penanda yang dihadirkan berulang kali untuk membangun intensitas pemicu konflik. Jika dalam Mother penanda itu adalah ejekan Bodoh kepada Do Joon (Won Bin), dalam Parasite Bong menggunakan Bau dan Batas.

Mr Park (Lee Sun Kyun), seperti layaknya kelas menengah atas pretensius lainnya, (seakan-akan) memberikan kebebasan dan menghargai pekerja-pekerjanya, selama mereka tidak “melewati batas”. Dalam kata Batas terkandung makna kesetaraan yang munafik. “I’m all for (insert cause/term), as long as…”. Bayangan melintasnya para pekerja rumah tangga ke dalam eksklusivitas teritori sosial imajiner pasangan Park membuat fake woke people ini gerah, segerah kelas menengah Jakarta yang terganggu dengan gegar budaya masyarakat kelas bawah terbelakang yang tidak pernah mencicipi kedisiplinan bermasyarakat ala negara dunia pertama atau kejijikan kaum borjuis mencium toilet Plaza Indonesia yang hilang kewangiannya tergantikan bau busuk hajat rakyat jelata di gegap gempitanya uji coba MRT. Kemunafikan Mr. Park sedikit banyak mengingatkan saya pada Han Jung Yo, kepala keluarga keluarga Han dalam Heard It Through the Grapevine (still, one of Korean drama’s masterpieces to date), drama Korea yang juga menguliti dan mengolok-olok pretensi basi kaum borjuasi.

Parasite 2

Mr Park (Lee Sun Kyun) & Yeon Kyo (Cho Yeo Jeong)

Jika Batas adalah penanda bagi Mr Park, Bau adalah penanda bagi Kim Ki Taek (Song Kang Ho). Isyarat Bau yang didemonstrasikan berulang kali menggoyahkan kepercayaan diri Ki Taek karena bau mengafirmasikan posisi marjinalnya. A quite Orwellian of Bong. Maka kemudian ledakan kemarahan Ki Taek melihat Mr Park menutup hidung memang seperti bom waktu, seperti Hye Ja (Kim Hye Ja) dalam Mother yang mengamuk mendengar putra kesayangannya dipanggil Bodoh.

But there was another and more serious difficulty. Here you come to the real secret of class distinctions in the West–the real reason why a European of bourgeois upbringing, even when he calls himself a Communist, cannot without a hard effort think of a working man as his equal. It is summed up in four frightful words which people nowadays are chary of uttering, but which were bandied about quite freely in my childhood. The words were: The lower classes smell.

The Road to Wigan Pier, Chapter 8 – George Orwell

Parasite 7

Song Kang Ho sebagai Kim Ki Taek. Lewat Parasite dan The Host, akhirnya saya akhirnya paham kenapa Song Kang Ho jadi kesayangan banyak sutradara di Korea Selatan.

Tidak hanya menghadirkan konflik vertikal (yang dalam film-film Bong sering disimbolisasikan secara harfiah dengan ruang-ruang vertikal), tapi Parasite juga menunjukkan bahwa peperangan sesungguhnya justru terjadi di lapisan bawah. Apapun masalahnya, kaum elit (di seluruh dunia) selalu jadi yang lebih dahulu lolos dari jeratan masalah, sedangkan rakyat jelata tetap gontok-gontokan untuk bertahan hidup. Apalagi ketika sudah menyangkut urusan perut.

Parasite 4

Kakak beradik Kim Ki Jung (Park So Dam) & Kim Ki Joo (Choi Woo Shik)

Seperti dalam banyak drama Korea, Parasite juga menolak dikotomi perspektif hitam – putih, walaupun Bong tetap mengambil posisi dalam film ini. Tipu-tipu keluarga Kim ‘menginvasi’ ruang mewah keluarga Park berangkat dari kebutuhan mereka bertahan hidup. Untungnya si empunya rumah bukan ‘monster’. Dalam kepala Ki Taek, ini artinya “Mr Park adalah orang baik walaupun dia kaya”. Choong Sook (Jang Hye Jin), istri Ki Taek, kemudian mengoreksinya dengan “Mr Park bukan kaya tapi baik. Dia bisa baik karena kaya. Gue juga bisa baik kalau kaya”. Pahit memang melihat keluarga Kim harus menjustifikasi usahanya mencari pekerjaan (rendahan pula) karena merasa bersalah sudah menipu dan menjadi parasit di rumah keluarga Park. Entah Bong mengutip atau terinspirasi, yang jelas kalimat ini adalah kalimat paling menohok & mengesankan dalam drama My Ahjussi (yang juga dibintangi Lee Sun Kyun).

Parasite kemudian menjadi salah satu karya Bong yang paling saya nikmati justru bukan karena “kebesaran” idenya. Kebrutalan Parasite bisa jadi tidak “segila” film-film Park Chan Wook dan kesedihannya bisa jadi tidak seperih film-film Hirokazu Koreeda (walaupun di kali kedua saya menonton, saya mewek menyaksikan tatapan sedih Pak Ki Taek setiap tuan dan nyonyanya tutup hidung atau melihat kesigapan Kim Ki Woo (Choi Woo Shik) mengambil setiap kesempatan walaupun dia tidak akan pernah living his dreams), namun saya menyukai keluwesan (dan kemauan) Bong menjembatani ranah film komersil dan the so-called film seni, bahkan memasukkan rasa drama dalam kasus Parasite. Kalau diibaratkan makanan, Parasite terasa seperti masakan dengan berbagai macam bumbu yang menyatu halus dengan rasa yang tidak tajam sehingga membuat penyantapnya ingin mencicipi kembali untuk meraba rasa apa yang tercampur dalam makanan tersebut, if that makes any sense. Ini nampaknya jawaban pertanyaan saya di awal tadi.

Menggabungkan banyak elemen dari film-film terdahulunya, ditambah dengan kerapian semua aspek film, mulai dari cerita, alur, hingga akting para pemainnya, Parasite tak terelakkan terasa seperti kompilasi filmografi Bong Joon Ho. Ala-ala album Best Of lah kira-kiranya.

My Ahjussi: Kelindan Feminisme, Kapitalisme dan Kolektivisme dalam Perlawanan yang Sunyi

my ahjussi 2
Oleh Festi Noverini dan Ratri Ninditya

Orang sering heran mengapa kami nonton drama korea. Drama Korea kan seksis, kata mereka. Buat kami, drama korea bukan tidak mungkin mengandung pesan-pesan subversif, yang mempertanyakan konvensi gender dan kelas di masyarakat kontemporer Korea Selatan. Malah justru mereka bisa menyajikannya di tengah keterbatasan formula dan tuntutan untuk tetap komersil. Keberadaan drama-drama semacam ini juga sangat menarik karena merefleksikan potensi penonton untuk menerima pesan subversif tersebut.

My Ahjussi adalah salah satunya. Drama ini bicara feminisme dalam bahasa dan konteks budayanya sendiri tanpa perlu menjadi imitasi Hollywood. Drama ini mampu mengilustrasikan pertentangan gender dan kelas yang berkelindan dengan kolektivisme khas Korea dalam eksplorasi karakter yang berlapis-lapis dan cerita yang menggugah.

Marx pernah bilang kalau kapitalisme mengasingkan individu dari individu lainnya dan juga dari masyarakatnya, bahkan ujung-ujungnya, dari esensi manusia itu sendiri. Ini merupakan konsekuensi dari menjadi bagian mekanis dari sebuah kelas sosial.

Kapitalisme memang kejam, tapi yang membuat lebih merana adalah terperangkap kekejaman sistem kapitalisme dalam tatanan sosial yang konservatif dan kolektif. Sudahlah orang limbung kehilangan dirinya, di saat yang bersamaan mereka juga dipaksa tetap hadir dalam keguyuban. Korea (Selatan dan Utara), memiliki sebuah identitas kolektif yang disebut sebagai Uri (우리), yang secara harfiah berarti ‘Kita’ atau ‘Kami’. Makna Uri tentunya tidak sesederhana arti kata ‘Kita’ atau ‘Kami’ tadi. Dalam tatanan masyarakat yang hiperkolektif, ‘Saya’ hilang di dalam ‘Kita’. Identitas kolektif Uri kemudian berkelindan (intersects) dengan kelas dan maskulinitas dan menekan anggota-anggotanya untuk mematuhi kode-kode normatif yang telah disepakati untuk mencapai keteraturan dan keharmonisan masyarakat yang hakiki.

my ahjussi 5

Park Dong Hoon (Lee Sun Kyun)

Kelindan ini diilustrasikan dengan sangat realistis dalam karakter utama lelaki Park Dong Hoon (si om) yang diperankan oleh Lee Sun Kyun. Park Dong Hoon ada di pusat ini semua. Di sini kita juga melihat bahwa imbas dari patriarki tidak hanya pada perempuan, tapi juga laki-laki. Si om adalah seorang pekerja kantoran medioker kelas menengah. Hidupnya terlihat ideal: berpenghasilan tetap, beristri cantik dan bisa menyekolahkan anaknya di luar negeri. Di balik itu semua, ia terepresi dan hampa karena seumur hidup berusaha menjadi kelas menengah budiman penyokong hidup keluarga inti dan keluarga besarnya. Istrinya yang pengacara ingin ia berhenti kerja di kantor itu karena ia tidak kunjung naik jabatan. Beban maskulinitas untuk selalu stabil secara finansial membuat ia bertahan di pekerjaan itu daripada mempertaruhkan uang untuk menjadi wiraswasta dan gagal seperti kakaknya.

Di sini, Uri meleburkan konsep diri si Om sebagai individu. Mimpi dan kebahagiaannya adalah mimpi keluarga besar dan istrinya. Kesedihan dan kegusarannya tersembunyi dalam kehidupan kolektif ini. Di depan keluarga, ia hadir dengan senyum dan uang dan statusnya yang membanggakan sebagai pegawai kantoran. Cukup baik, walaupun tidak pernah benar-benar memuaskan (karena kapitalisme menuntutmu untuk terus dan terus memperbaiki diri, alias cari uang lebih banyak lagi). Jalinan Uri, kapitalisme, dan patriarki juga menghasilkan relasi sosial yang racun, sebuah lingkaran setan yang memerangkap individu, seringkali merusak kesehatan tubuh dan mental. Jam kerja yang panjang dan penghargaan yang tidak setimpal membuat orang Korea butuh “piknik”, yang diulas dalam artikel ini sebagai ‘play culture’. Si om memiliki dua saudara kandung laki-laki, Sang Hoon (Park Ho San) dan Gi Hoon (Song Sae Byeok). Mereka kumpul rutin untuk puk-puk bro berjamaah, mengasihani dan menjustifikasi maskulinitasnya masing-masing ditemani alkohol dan kesedihan yang ditekan dalam-dalam. Setelah ritual selesai, ketika sendirian di tempat tidur masing-masing, kegusaran mereka kembali hadir.

Lalu apa sih yang specifically feminis dari drama yang jika diterjemahkan berjudul “Om Aku” dan memasang dua tokoh utama (Lee Sun Kyun dan IU) yang rentang umurnya dua puluh tahunan? Kok kedengaran seperti romantisasi yang disturbing hubungan daddy-daddy dan sugar babynya?

 

Dalam konvensi drama Korea kebanyakan, gaze, atau pandangan, tertuju pada perempuan. Tubuh dan kelakuan perempuan seolah menjadi kiblat di mana nilai-nilai kebaikan berpijak. Saat perempuan tokoh utama kehilangan nilai-nilai kebaikan ini maka peran lelaki adalah untuk datang dan menyelamatkannya dari jurang nestapa. Biasanya butuh dua laki-laki untuk ‘meluruskan’ si perempuan, yang satu dapat ciuman tulus dan satu lagi gigit jari.

Namun, gaze dalam My Ahjussi selalu milik tokoh utama perempuan. Selama 24 jam setiap hari ia mengawasi gerak-gerik si Om melalui ponsel om yang dia sadap. Di sebuah kota dengan mata (secara kiasan dan harfiah) yang selalu mengawasi dan siap mengadili tubuh-tubuh warganya setiap saat, penggunaan elemen sadap yang justru dilakukan oleh tokoh perempuan adalah unsur yang sangat menarik dari serial ini. Alih-alih mengadili tingkah laku perempuan, serial ini menginterogasi cara pandang masyarakat urban Korea Selatan terhadap perempuan, terutama yang muda dan miskin, pengkotak-kotakan gender dan perannya di masyarakat, termasuk tuntutan-tuntutan untuk menjadi lelaki “tulen”. Yang juga menarik, gaze versi perempuan ini bentuknya bukan video/visual, melainkan suara, sebuah sindiran terhadap istilah “perempuan adalah pendengar yang baik.” Dengan alat sadapnya, perempuan tokoh utama, Lee Ji An, yang diperankan IU, adalah dalang cerita dan selalu berada beberapa langkah di depan orang lain. Ia punya kontrol penuh atas hidupnya dan bahkan sanggup mengendalikan hidup orang lain.

my ahjussi 6

Lee Ji An (IU)

Lee Ji An hadir sebagai sosok subversif antitesis Park Dong Hoon: miskin, nyablak, agresif, mengganggu keimanan si om. Ji An tidak merasa perlu ikut ‘hweshik’ alias makan-makan kantor demi menjalin keakraban dengan rekan kerja. Dia cuma melakukan pekerjaan kantor seperlunya, pulang ke rumah menemui neneknya yang sudah tidak bisa berjalan, lalu minum 3 sachet kopi instan. Selain karena gratis dan biar lekas kenyang,  kandungan gula tinggi dalam kopi instan jadi penawar hidupnya yang terlalu pahit dan melelahkan.

Karena kelas, usia dan gendernya, tak ada yang menyangka Ji An pandai dan cerdik, sebuah refleksi masyarakat yang selalu menganggap enteng perempuan muda apalagi jika ia berasal dari kelas pekerja. Ji An memanfaatkan citra tersebut untuk lebih leluasa memutarbalikkan situasi agar menguntungkan dirinya. Lewat earphone murahan, nafas Dong Hoon terdengar di telinga Ji An sepanjang hari, menyadarkannya bahwa pria paruh baya ini selalu kelelahan, secara harfiah dan kiasan, tidak berbeda dari dirinya. Kesamaan inilah yang membuat Ji An terobsesi pada Dong Hoon.

Humor pahitnya: Dong Hoon selalu berusaha untuk menyelamatkan Ji An, tapi malah Ji An yang berkali-kali menyelamatkannya. Dong Hoon adalah orang terakhir yang tahu mengenai hubungan istri dengan atasannya sendiri. Sembari Dong Hoon berusaha menjadi ksatria berkuda putih, Ji An membereskan semua orang yang berusaha menjebak Dong Hoon dan memastikan Dong Hoon naik pangkat. Atta gurl!

Lewat sempilan percakapan Ji An dan neneknya yang bisu, drama ini juga menyindir arogansi kelas dan positivity craze. Saat neneknya mengatakan Dong Hoon adalah orang baik, Ji An dengan tajam menjawab, “gampang jadi orang baik kalau punya uang.”

Nenek Ji An yang bisu seakan menjadi metafora tentang muted feelings, berbagai perasaan yang direpresi sehingga tak ada yang bisa mengerti. Sementara Ji An hadir sebagai si maha pendengar yang memahami segala (bahkan bahasa isyarat!).

Ji An juga selalu dikejar-kejar Lee Kwang Il (Jang Ki Young) yang bahkan sudah tidak sadar lagi apakah dia mem-bully Ji An sekedar untuk menagih hutang dan membalas dendam atau justru sedang cari perhatian dengan cara yang sangat misoginis karena dia sendiri juga sebenarnya sangat terasing.

Istri Dong Hoon, Kang Yoon Hee (Lee Ji Ah), tidak digambarkan sesederhana sebagai istri pengkhianat. Ia punya kesedihannya sendiri. Ia tidak tahan dengan nilai-nilai patriarkis yang dianut suami beserta keluarganya. Sebagai seorang pengacara mungkin penghasilannya lebih besar dari Dong Hoon. Tiap ia berkunjung ke rumah mertua, ia dihadapkan dengan mertua yang tidak pernah mempersilakan ia membantu di dapur. Sikap pasif agresif ini mungkin akibat dari rasa  malu karena justru Yoon Hee yang berpenghasilan paling tinggi melebihi anak-anak laki-lakinya. Ia benci dengan Dong Hoon yang selalu minta maaf, seolah-olah ia adalah istri tak tahu berterima kasih. Di sisi lain, ia ingin Dong Hoon keluar dari kantor keparatnya karena tak tahan melihat suaminya yang sudah habis gairah hidup.

Kecanggungan juga diperumit dengan rasa rendah diri ibu dan saudara-saudara Dong Hoon karena mereka berada di kelas sosial yang berbeda dari sang istri. Perbedaan kelas ini yang mungkin menimbulkan perbedaan nilai dalam memandang keluarga. Si istri kelas atas-berpendidikan menganggap keluarga inti adalah prioritas, sementara keluarga besar kelas menengah bawah merasa perlu terlibat dalam gono-gini semua anggota keluarga besarnya.

Yang juga menarik di drama ini, semua karakter perempuan berada di pihak yang lebih agresif (berlawanan dengan konvensi drama Korea yang seringkali memposisikan perempuan sebagai makhluk pasif). Di luar Ji An dan Yoon Hee, ada ibu dari tiga bersaudara Hoon, Byeon Yo Soon (Go Doo Shim), yang merupakan single parent. Sampai tua pun dia masih mengurusi anak-anaknya, terlebih ketika Sang Hoon dan Gi Hoon jadi pengangguran, padahal dia sendiri juga hidup pas-pasan. Jung Hee (Oh Na Ra) – si pemilik bar yang menyediakan kebahagiaan semu bagi para laki-laki paruh baya dengan pekerjaan yang jauh dari gambaran sukses – mengkonfrontasi mantan kekasihnya yang dulu tiba-tiba memutuskan jadi biksu. Istri Sang Hoon, Jo Ae Ryun (Jung Young Joo) menceraikan Sang Hoon. Lalu Choi Yoo Ra (Nara), yang tadinya benci setengah mati lalu berbalik mengejar Gi Hoon dengan alasan yang cukup konyol tapi jadi pukulan telak buat arogansi Gi Hoon, karena sekarang dia juga sama-sama jadi pecundang!

Kolektivisme memang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi dia memberikan beban normatif bagi anggota masyarakat, namun di sisi lain dia menjadi sumber kekuatan untuk melalui rintangan bersama, dan Korea Selatan sudah membuktikan ini berkali-kali, seperti saat perang Korea, serta mungkin yang paling fenomenal di masa kita, krisis keuangan Asia. Dalam My Ahjussi, kolektivisme ini ditunjukkan dalam proses pembentukan manusia. Saya pernah bilang kalau saya suka bagaimana drama Solomon’s Perjury menerjemahkan dengan baik pepatah “butuh orang sekampung untuk membesarkan seorang anak”. Kehangatan keluarga yang hilang dari kedua orang tuanya pelan-pelan digantikan oleh gerombolan om-om dan seorang tante yang mengantarkan Ji An pulang ke rumah dan “menitipkannya” pada tetangga, serta hadir dan mengurusi semua kepentingan pemakaman neneknya. Mungkin jika Kwang Il juga menerima sedikit saja kebaikan dari lingkungannya, dia tidak akan tumbuh jadi sesadis itu. Mungkin.

Dengan karakter perempuan yang subversif, serial ini dapat disebut sebagai counter genre daddy long legs yang memberikan penonton sebuah potongan kehidupan masyarakat kontemporer Korea Selatan tanpa melupakan segala kompleksitasnya.

pembukaan asian games 2018: budaya siapa?

sosmed-home-bottom

*paper ini saya buat untuk tugas sekalian sebagai penyaluran keresahan saya saat asian games kemarin. saya publish di sini karena saya emang sok penting. mon maap inglais terbatas tapi terpaksa karena dosennya gak bisa bahasa indonesia. saya cuma bisa mengandalkan grammarly dan kepercayaan diri. sekian trimatengkyu.

The relations between identity and culture are complex. A way to explain this is by understanding both terms not as coherent entities but as flux that is closely related to the power play in the local and global level. In this paper, I will analyse the recent Asian Games held in Jakarta, specifically the opening ceremony. I will illustrate how it was a performance of national identity that helped to re-establish the idea of “unity in diversity”, by evoking a sudden pride of the nation, collective belonging, and self-identity of being an Indonesian. However, I argue that nationalism here is only a representation of the dominant sociocultural group, portraying diversity through an internationally standardised aesthetics, a multiculturalism that is palatable for the middle class global and Jakarta audience. As meanings are mediated, the social media plays a crucial role in the shaping of self-identity as a proud Indonesian to both local and global audiences. While the dominant group leads the conversation on national pride and values, hegemonic values are enhanced at the cost of ongoing social and cultural injustice.

 

I will use Couldry’s framework to look at culture as a system of representations and analyse the asymmetrical power distribution by considering social media as a contemporary site of representations. I will expand on Simon Frith’s idea on how performed culture not only represents but forms the identity, by using a postcolonial perspective in considering the influence of ‘Western’ hegemony. I will apply Frith’s conception of music, to the Asian Games opening ceremony.

 

Sports festival as diplomacy

Sport plays a vital role in constructing national identity in the context of globalisation. Hosting an international sports festival is a strategy frequently used to boost international reputation (Silva, 2014). In the national level, the sport has a capacity to build national identity (Sotomayor, 2016). Maguire (2011) did an analysis on cricket to see how globalisation affected the national cultures and cultural identity in Australia. In Indonesia, the sport has been historically political. The use of sports for nation-building and strengthening international influence in Indonesia can be traced back from 1962 when the first president Soekarno, made a radical initiative to create Ganefo (Games for the New Emerging Forces) as the counter Olympic after his withdrawal from the IOC (International Olympics Committee). He disagreed with the IOC’s ‘neutrality’ in seeing a sports festival and stated that the IOC only supported the colonial-imperialist West (Hasan, 2017, November 10). Thus Ganefo invited all the non-bloc countries in Asia, Africa, and South America.

 

The 2018 Asian Games were held in the midst of political instability nearing the 2019 presidential election. Popular debates are polarised: one supporting the current president’s Jokowi re-election, while the other is rooting for Prabowo. Debates were intense in Twitter and Facebook timeline, Whatsapp group, and even the more conventional media. The situation was made worse by the conservative Islamic groups that are steadily gaining more power. Radicalism in Indonesia has attracted international media attention (Arifah & Renaldi, 2018, May 8). The conservatives mostly back Prabowo, but a recent decision made by Jokowi surprised public, as he picked a notorious Islam conservative leader as his vice presidential candidate. In other words, Indonesia is at the peak of a postcolonial identity crisis, as the imaginaries of Indonesia as a multicultural and one of the biggest moderate Muslim country in the world is ruptured. Therefore, the hosting of Asian Games serves several political purposes in the perspective of the nation-state: reinstate the image of the moderate Muslim nation and the value of “unity in diversity” (translated in the national slogan as bhinneka tunggal ika, a value Indonesian schoolchildren learn uncritically ever since elementary school).

 

The opening ceremony is an entry point that established the image of national identity conveyed throughout the festival. Three acts gained the most attention and became the key performances of national identity the festival want to convey. Firstly, the Ratoh Jaroe dance performed by 1600 dancers. Ratoh Jaroe is originally a traditional dance from Aceh, a Muslim-majority region in northern part of Sumatera where the Islamic law, Syariah, is practised. The harmonious, unified fast-paced movements of the hands and body create a grand effect altogether with the sound the hands make and the song they sing during the dance (alansaputra2561996, 2018, August 25; JajangRidwan19, 2018, August 18). It is not commonly performed with such a massive number of dancers. In the ceremony, the dance made up the Indonesian flags and colourful motives if seen from above, that it sent shivers to those who watched it (fiqinayati, 2018 August 19; kezialaskari, 2018, August 18). Secondly, the president’s theatrical arrival into the stadium (Indonesia Morning Show NET, 2018, August 18). Jokowi was shown in the video riding a motorcycle to cut through the traffic jam, did some acrobatic moves, and enter the stadium in person. Lastly, the extravagant, elaborate pyrotechnics following the lighting of the torch on top of a volcano mock-up on the stage (NaLa Channel, 2018, August 18; dian_elysa, 2018, August 19; melyafransisca23, 2018, August 19).

 

Frith (1996) explains how music evokes a certain sense of collective belonging, which in turns form the self-identity. He argues that identity is a process and a becoming and cannot be separated from the social. He explains how music is key to identity because it gives “a sense of both self and others” (p. 110). My interpretation is that the ceremony has a similar effect. The extravagant ceremony was experienced live in close proximity by the Jakarta citizen. Not only once and live, but the performance was also repeated and shared over and over again especially through multiple social media posts. Below are some of the reactions:

 

Witnessing #openingceremonyAG2018 make me more proud of being an Indonesian (anonymous, 2018, August, 25).

 

Proud and happy can see it live… this is an authentic proof as a witness of Indonesian history. (anonymous, 2018, August 22).

 

Praise Allah…. Shivers, proud, touched, uplifted everything became one when I watched #openingceremony#asiangames2018. Really, so awesome! (anonymous, 2018, September 5).

 

Identity, Culture, Power

What Frith does not explain much in his article is how power relations influence the process of forming the self through the performance. Cultural activities and aesthetic judgement are ways in which people recognise themselves as groups. The aesthetic judgement has a lot to do with power. As Couldry (2000) says, “the external realities of culture, what passes on its surface, is linked to inequalities in distribution and power” (p. 101). Ulf Hannerz (Couldry, 2000, p. 99) explains that culture is meanings created by people and creates the people. It is the practices of representations. The making meaning process is always mediated. There is no authentic culture, so there is no authentic identity, although it might appear as such.

 

The Ratoh Jaroe dance, which was originated from Aceh, had the power to evoke a sense of pride in being an Indonesian, although you do not come from the same region. It transgressed from a regional identity to the national symbols during the ceremony. It suggested Indonesia as a moderate Islam country where women are at the centre stage. For the purpose of the ceremony, it was choreographed by Eko Supriyanto and performed by high school students from Jakarta. The dance is indeed popular in Jakarta, practised as an extracurricular activity in school by many students for many years. The dance, just like what Frith argues about music, already “has a life of its own” (Frith, 1996, p. 109).

 

However, we should consider the position of the choreographer. Not only because he is a Javanese, the dominant ethnical group since the New Order era, but also because he has an international reputation. We also have to consider the positionality of going to school in a city where most development is concentrated. It is arguable that the performance of Ratoh Jaroe might be called appropriation. But there is an obvious paradox here. If it supposedly portrayed the country’s diversity, was Ratoh Jaroe a representation of Aceh, or was it a representation of the omnipotent Jakarta? This would be what many have criticised about the narrative of diversity and multiculturalism (Stratton & Ang, 1994). It poses two risks: essentialising culture and colonising other minority cultures. This also confirms what Couldry (2000) mentions how a shared national culture is regarded by many as a myth because it is not possible (p. 92).

 

The dynamics of power also has to be seen in the context of globalisation. The globalisation influences the ‘double-bind’ process of forming national identity and at the same time aligning it with the “global” culture and international aesthetics. Craik, McAllister, and Davis (2003) term this as “schizophrenic quality” (p. 23). As many research suggests, sport as a platform to build nationalism cannot be separated with the globalisation (Maguire, 2011; Silva, 2014; Sotomayor, 2016). Silva (2014) explains how a nation has to make certain compromises to international standards. I will turn into the postcolonial perspective which views there is a dominant ideology at work in the global level that becomes hegemonic in the local/national level and could successfully evoke such national pride. Thus the process of forming identity involves both differentiation and association with the imagined global.

 

There was a need for world-class elements and aesthetics throughout the opening show. I discussed how the Ratoh Jaroe has been transformed into such grandeur spectacle, using an internationally-acclaimed choreographer. The president’s acrobatic stunt with a motorcycle bears resemblance to the 2012 London Olympic opening ceremony, where the queen did a parachute jump from the helicopter. Both nation’s leaders were symbolised as cool and adventurous, humanising the leader figure into a ‘commoner’. The lighting of the torch into a mock-up volcano represents an Orientalist view of Indonesia as mystical, vulnerable (Indonesia islands are the meetings of three world mountain ranges, mostly active), but surviving and, as the fireworks went, thriving. Below comment precisely describes how world-class performance meets some representation of locality creates a sense of pride of being Indonesian:

 

Although I only watched it on TV, I shivered and cried when I watched the Opening Ceremony #ASIANGAMES2018 ! 🎉👏🏻 Proud of having this beautiful country visualised in a super epic way by the nation’s great talents. I feel that this was the world-class performance! … Beautiful Diversity! Amazing Performance! (anonymous, 2018, August 19).

Therefore the “unity in diversity” was portrayed by showcasing the difference in a palatable manner to the audience. There was a need to respond to the global fear of Islam radicalism by showing a moderate, Islamic dance that is performed by women. There was a rigorous effort to create a show in a massive, budget-intensive way to fulfil the ‘Western’ hegemonic aesthetic. These inlanderism mixed with inferiority complexes made the ceremony hit the hearts of many Indonesians.

 

Social Media for ‘authentic’ self-expression

Hannerz (Couldry, 2000) argues that culture is translated into public consumption, where the media play a significant role. He suggests it is also about a network of perspectives because people also make meaning from the people around them. Thus in today’s world, the social media serves as a site where two of those things happen, where representations are produced, contested, or reinforced. However, dominant values seem more visible and circulate more where alternative ideas are easily dismissed. The social media echo chamber most likely influences this and I will focus within this Indonesian educated middle-class chamber.

 

Nationalism is evoked by the conversations in social media, hashtags, documentation of grandness, and status enhancement of actually participate in the event whether to come to see it live, be part of the committee, or creative team. Participation seems the key, where social media post serves as a proof. The #openingceremonyag2018 hashtag in Instagram displays numerous expression of pride of being Indonesian. There is a sense of collective belonging throughout the virtual space that seems to amplify the nationalism. It is also interpreted as a cure for the recent threats to Indonesia’s unity, a “people’s party”.

 

Asian Games is like a cure for old wounds… because of the recent news that almost brought us to separation. But after two weeks I understand again the meaning of nationalism. World-class opening Ceremony and sports facilities… to welcome this people’s party with the spirit of togetherness, I have never been so proud as Indonesian… we CAN be united if we WANT TO… Thank you Asian Games 2018, Indonesian Government, all committee, 13,000 volunteers, Indonesia, we DID it – we just made a wonderful part in our history ❤️ (anonymous, 2018, September 3).

 

So proud to join the hype of Asian Games, 5 years ago I helped to prepare materials from Dentsu Sport to bid on the Asian Games host… yesterday I was truly happy to see the result we have fought for. (anonymous, 2018, September 3).

 

Moreover, there is a certain awareness and confidence that Indonesian netizen would create a global buzz. It suggests how important global perception is and how the imaginary of it evoke stronger pride and nationalism.

 

Indonesia’s gonna be trending everywhere, especially our netizens are the champion in making things viral. (anonymous, 2018, August 19).

 

Challenging ideas criticised the budget-intensive ceremony while it could be used for Lombok earthquake victims.

 

@jokowi can give 30 billions for asian games but cashing out fund for Lombok earthquake is so hard… (anonymous, 2018, September 17).

 

Some others lamented the relatively expensive opening ceremony ticket, while others saw that as “sensible price”.

 

There were also jokes on the president motorcycle stunt.

Maybe the president is only a stuntman? A precession of simulacra? (anonymous, 2018, August 20).

 

The stuntman debates dismissed as the killjoy.

 

If people are overcritical, they can’t be happy, they are entertained but won’t be pleased. (anonymous, 2018, August 19)

 

More importantly, an article titled “Bloody arrests for the sake of Asian Games 2018” exposes the extreme measure taken by the police to improve safety in the city (Widhana, 2018, August 15). It states there were 52 arrests with shooting, which caused 11 people dead and 41 hurt.

 

The nationalism expressed is a symbolic violence against the certain groups. It is taken for granted as the norm and expressed as part of the ‘authentic’ self by the educated middle-class. Modes of thoughts are externalised then socially distributed within the echo chamber of educated middle-class Indonesians. What were circulated were mainly positive attitudes and strong nationalism, while critics were silenced as killjoys. While not denying any expressions as genuine, my little finding suggests that asymmetrical distribution of power is still reproduced in the social media. The narrative of diversity denies many social problems that are still going on and it is largely left unquestioned.

 

Solomon’s Perjury – Coming of Age yang Kolektif

“It takes a village to raise a child”

Saking beratnya tugas ini, sampai-sampai (katanya) sebuah suku bangsa di benua Afrika sana merasa perlu orang sekampung untuk sama-sama memikul tanggung jawab menjaga proses pertumbuhan calon manusia dewasa. Bisa jadi Miyuko Miyabe juga terinspirasi pepatah ini, sampai kemudian melahirkan trilogi “Solomon no Gisho” yang terasa hampir seperti sebuah terjemahan harfiah pepatah tersebut. Setelah Solomon’s Perjury 1: Suspicion dan Solomon’s Perjury 2: Judgment, film 2 bagian produksi Jepang yang dirilis tahun 2015, di tahun 2016 Korea juga ikut mengadaptasi novel ini ke dalam drama seri televisi.

Cerita Solomon’s Perjury diawali dengan penemuan jasad Lee Seo Woo (Seo Young Joo) yang tertutup salju di halaman SMA Jeong Guk. Tanpa kehadiran petunjuk-petunjuk lain, pihak sekolah dan kepolisian memutuskan penyebab kematian Seo Woo adalah bunuh diri dengan melompat dari atap gedung sekolah. Namun, Go Seo Yeon (Kim Hyun Soo) menerima surat rahasia dari seseorang yang mengaku sebagai saksi pembunuhan Lee Seo Woo. Tidak puas dengan keputusan sepihak orang-orang dewasa yang dianggap menghiraukan kemungkinan lain yang mereka ajukan, atas inisiatif Go Seo Yeon, beberapa orang murid mengajukan usulan untuk melakukan investigasi dan mock trial mereka sendiri. Bukan untuk menghukum pelakunya kalau tertangkap, tetapi lebih untuk mengungkapkan penyebab sebenarnya di balik kematian Seo Woo.

Singkat dan efektif, Solomon’s Perjury hanya perlu 12 episode untuk mengupas tuntas semua aspek yang mungkin berkontribusi pada kematian Seo Woo, mulai dari sistem pendidikan yang korup (harfiah dan kiasan), school bullying (oleh siswa dan juga guru), hingga kesehatan mental. Miyuki Miyabe sepertinya selalu tertarik dengan hubungan antara perubahan kondisi sosioekonomi dan sosiopolitik masyarakat dan pengaruhnya terhadap pembentukan diri anggota-anggotanya. Misalnya, dalam novel “All She Was Worth” alias Kasha (火車) yang ditulisnya tahun 1992, Miyabe menggambarkan efek korosif konsumerisme di masyarakat Jepang.

Penulis naskah Kim Ho Soo cukup cermat menerjemahkan novel ini menjadi sebuah serial drama yang bersahaja tanpa intonasi bombastis dan narasi bertele-tele demi memenuhi detil triloginya maupun tuntutan rating. Dengan melakukan sedikit penyesuaian pada detil cerita, Solomon’s Perjury versi drama terasa lebih solid dan utuh, bahkan juga lebih tenang dan teratur dibandingkan versi filmnya yang frantic dan lompat-lompat. Salah satu contoh penyesuaiannya adalah jika dalam versi film Joto No. 3 merupakan sebuah SMP, di versi drama Jeong Guk adalah sebuah SMA. Dengan usia dan kematangan psikologis yang lebih dewasa, penggunaan medium mock trial pada versi drama terasa lebih masuk akal dibandingkan dengan versi filmnya.

Dalam budaya populer, bicara mengenai dunia remaja seringkali artinya bicara mengenai proses pencarian jati diri atau coming of age. Namun, coming of age versi Solomon’s Perjury jauh dari stereotip film-film dunia pertama yang seringkali bicara self melulu, seakan-akan self sungguh jumawa bisa berdiri lepas dari society. Ide proses menuju dewasa dalam Solomon’s Perjury tidak sesempit pencerahan pribadi, namun juga merupakan pencerahan kolektif yang dicapai melalui proses bersama semua anggota masyarakat. Di ujung proses ini, remaja sampai pada sebuah kesadaran bahwa mereka punya suara yang sama penting dan sama-sama merasakan kecemasan akan hal-hal yang terjadi di luar diri mereka seperti yang dialami orang-orang lebih tua dari mereka. Seperti kecemasan Seo Woo menyaksikan korosi moral yang terjadi di depan matanya. Sebuah proses menuju kedewasaan dimana para remaja ini melibatkan diri langsung dalam proses demokrasi atas dasar keadilan sosial.

Kritik Seo Woo yang terus menerus atas lingkungan sekolahnya yang carut marut tidak dimaknai sebagai negativitas (hadeuh cukup sudah positivity cult ini), namun sebagai kekecewaan dan kemarahan yang di dalamnya tetap tersimpan sedikit harapan akan dunia yang lebih baik. Paradoks sederhana yang nampaknya sulit dipahami oleh kaum kebelet bahagia yang kemudian dipuk-puk Hollywood.

vlcsnap-01417vlcsnap-01418vlcsnap-01419vlcsnap-01420vlcsnap-01421

Dalam konteks tatanan masyarakat yang hierarkis, Solomon’s Perjury adalah utopia, dimana anggota masyarakat yang lebih lemah didengarkan suaranya dan berdiri sejajar anggota yang lebih kuat. Lee Seo Woo mengguncang tatanan kaku ini dan kekuasaan tidak menyukainya. Dalam kesaksiannya, Han Kyung Mun (Jo Jae Hyun), Ketua Yayasan Jeong Guk Foundation mengatakan, “Sekolah juga merupakan masyarakat dan masyarakat hanya menyediakan tempat bagi mereka yang berusaha untuk berasimilasi. Namun masyarakat tidak memiliki tanggung jawab untuk merangkul mereka yang menyerah berusaha. Itulah Lee Seo Woo. Dia bahkan tidak berusaha untuk beradaptasi dengan masyarakat.”

Kekuasaan memang tidak mau Seo Woo beradaptasi, mereka hanya mau Seo Woo mematuhi. Sebuah potret buram kemapanan yang menua dan telah malas menerima perubahan, apalagi berjuang.

Solomon's Perjury 8

Lee Seo Woo (Seo Young Joo)

 

Solomon’s Perjury (솔로몬의 위증) tayang di JTBC (16 Desember 16, 2016 – 28 Januari, 2017). Ulasan aslinya ada di sini.

hijab, piety, beauty

Many researches have considered intersectionality on beauty studies (Elias, 2017). A lot have also put attention to how religious values are appropriated in the industry (Indarti and Peng, 2017; Bucar, 2016). However, little has investigated on how religious values are incorporated and performed within the beauty construction. In Indonesia, Islamic values are commodified into the beauty industry through the quality marker halal and portrayals of modest women, which mainly, although not necessarily, use hijab.

In this article, I focus on modest beauty advertising and celebrity endorsement in Indonesia. I critically analyse the advertising campaign of Wardah, an Indonesian halal beauty brand, in how it incorporates Islamic values into the neoliberal femininity to attract middle-class Muslims. I argue that this new form of femininity have a disciplinary power, recognised and reinforced by Wardah and its social media followers. However, the femininity also serves as a cultural capital that has exchangeable value with their fame and endorsement. These relations between Islamic norms and beauty construction suggest that hijab and piety have a more nuanced meaning for women in Indonesia than simply a symbol of oppression.

The research will be a case study of several textual analyses: Wardah television commercials and Instagram posts, comments on “inappropriate” ads, website content on Wardah celebrity ambassadors, and the Instagram page of Wardah ambassadors.

Firstly, I will define the values of Islam and neoliberal femininity which are promoted by analysing Wardah commercials. Secondly, I will analyse people’s comments on Wardah social media page in policing which looks and gestures of its celebrities in its ads are thought as appropriate or not. Thirdly, I will analyse two primary Wardah celebrity ambassadors as the embodiment of pious-femininity, the form of cultural capital, to investigate how their journey to piety has exchangeable value with their career.

Islam and neoliberalism

Islamic identity, in particular hijab, has different meanings in every cultural context (Abu Lughod, 2002; Arimbi, 2009; Mohanty, 2003). In Indonesia, wearing hijab was a struggle for women’s emancipation and anti-colonialism when the use was banned by the New Order era in the eighties (Arimbi, 2009, p. 37). However, after the authoritarian New Order period ended on 1998, Islamic identities took various form, from the political to the apolitical neoliberal Islam.

Islamic identities are more visible in Indonesia after 1998. The open market policy during the New Order allowed the upward mobility of the middle-class which Muslims are the 88.2 per cent of the population (Pew Research Centre, 2009, as cited in Rakhmani, 2016, p. 6). Rakhmani (2016) states that the growing Muslim middle-class connects Islamic values with consumption habits as a consequence of ‘neoliberal economic restructuring programs’, opening up Muslim markets by building a halal shopping experience. For a country with Muslim as a majority, the market potential for Islamic brands is enormous.

Wardah began to advertise in 2012 and utilises halal as a quality marker. The word halal means “permitted by the Islamic law” (Wilson, 2014, as cited in Ali, Ali, and Sherwani, 2017). However, halal is transcending as a global symbol synonymous with quality, safety, cleanliness, nutritious (Ali, Ali, and Sherwani, 2017; Anabi and Ibidapo-Obe, 2016). For skin care, halal is translated as alcohol-free, cruelty-free, and gentle on skin. Alcohol is an element that is not permissible in Islam. Animal slaughter is also heavily regulated in the halal industry, specifying the way of butchering the animal, cleaning it, and minimalise pain. Gentle is the more pragmatic takeout of being alcohol-free which Wardah always inserts in its ads along with its halal claim.

Wardah extends this modality by establishing a brand value related to Islamic norms and synthesises it to ‘modern’ femininity characterised by neoliberalism through the portrayal of women in its advertisements. The Islamic teaching emphasises a balance between the relationship to god and others. Human beings are khalifah, entrusted with the responsibility of looking after the Earth. It stresses the importance of almsgiving (Oxford Islamic Studies, 2018; Hassan, 2014). It also teaches to pursue knowledge beyond the Quran (ijtihad) and to fulfil the daily needs (ikhtiar).

The neoliberal aspect of femininity is characterised by active, entrepreneurial, self-optimising subjects (Elias, 2017). It carries what Gill (2007) defines as postfeminist sensibility. It emphasises individualism, empowerment, and femininity as a bodily property, self-discipline, and surveillance.

Commercial analysis: identifying the Islamic-neoliberal femininity

For the purpose of identifying the Islamic-neoliberal femininity in Wardah, I analyse three commercials: Ramadhan TVC (wardahbeauty, 2018, April 30), the day & night cream TVC (wardahbeauty, 2016, October 18), independence day TVC (wardahbeauty, 2017, August 22). I also look at fashion events Wardah posted on their YouTube account (wardahbeauty, 2017, October 18).

In all TVCs, the Islamic values appear in their use of hijab. In the independence day and Ramadhan TVC, Islamic values are shown in their care of the others (the children and the needy). The day & night cream TVC shows the woman passionately does her daily activities from day to night, which is inline with the ikhtiar. In the Ramadhan TVC, the VO says “smile wholeheartedly, from the heart, the smile that shows patient, forgiving, and the smile that brings happiness.” The whole message translates to the value of sincerity and specifically Ramadhan’s value of forgiveness. Furthermore, the Ramadhan TVC shows the women’s involvement with the mosque. The independence day TVC VO stresses the capability of women to inspire. It is in line with the wisdom of khalifah who looks after and take care of the earth, in this context, the nation.

Although the individualism was a bit downplayed with the philanthropist values, the neoliberal characteristics are nonetheless apparent. All TVCs show empowerment as an individual choice and femininity as bodily property. All individuals are shown as active with the capacity to provide to their own needs. In the day & night cream TVC, the woman chooses to have her ‘stable job’ as a boutique manager during the day and continue her ‘hobby’ as a graffiti artist during the night. She is seen as empowered to maintain both her job and her hobby. She is responsible for maintaining her beautiful face and smiling even though in reality having activity all day and night is surely exhausting. In the independence day TVC, the end VO says, “we believe everyone can give, respect, care, and give inspirations to the nation.” The idea of giving the responsibility of closing the structural inequality gap to the individuals indicates one of the postfeminist sensibilities. Moreover, all the women have relatively fair skin, are affluent middle-class, and able-bodied.

In their fashion event, Islamic values are shown through the modest clothing and the portrayals of local young women designers doing ikhtiar and ijtihad. The modernity is shown as glamour and prestige, promoting individual capacity to provide for her ambition through Wardah Fashion Award, a competition for emerging designers.

The Islamic values and neoliberal femininity are indeed not mutually exclusive but neatly combined through the portrayals of women and their activities all throughout the TVC. Wardah wraps all her campaign with its tagline, translates as “beauty from the heart”. It suggests that beauty is not only skin deep but also radiates from a person through her kind heart. The tagline encapsulates both Islamic values and the neoliberal femininity.

Through the combination of neoliberalism and modesty, a new kind of femininity emerges: the active & career-oriented women who are pious (doing ikhtiar, ijtihad, and care for others). For the purpose of this paper, I will use the term pious-femininity.

The synopticon-panopticon dyad

The pious-femininity Wardah is promoting creates a disciplinary power through the use of social media. As Foucault explains, power is exercised by taking hold of the body (Foucault, 1977). For Foucault, the body is docile, subject to be measured, evaluated, and judged. The women’s bodies portrayed through Wardah’s posts are evaluated and policed based on the values of femininity Wardah is promoting.

The disciplining goes both ways, from Wardah to the followers and vice versa. This power is recognised and consistently reinforced through a “synopticon” model (Skeggs, 2009). The “synopticon” was coined by Thomas Mathiesen (1997), drawing from Foucault’s idea of the panopticon. Mathiesen (1997) argues that the mass media disciplines the body by having a large number of audience evaluating the many people portrayed in the media. The synopticon and panopticon work together and “reciprocally feed on each other” (p. 231). Through Wardah’s Instagram account, the values of femininity are recognised by its followers, taken as the norms. The followers police and evaluate the women in Wardah ads based on those norms. The followers’ comments are acknowledged by Wardah, by taking care not to feature any women outside of those accepted norms.

There is only a particular way of wearing hijab and specific kind of face that is acceptable. On wearing hijab, the acceptable way is to have the neck covered completely (wardahbeauty, 2016, December 4):

ccokta: Yuna is pretty but her neck is uncovered, I suppose it is not allowed to wear hijab and leave the neck exposed @yunamusic

Wardah has never posted any hijab woman with the neck uncovered ever since.

Transparent fabric is also unacceptable (wardahbeauty, 2018, April 22):

_kindaaa: why people like to wear transparent hijab, is it just me who thinks it is strange [flatface emoticon]

premiermuguet: I think it’s not a hijab

Regarding the face, there are preferences on a more natural, fresh, and ‘youthful’ look (wardahbeauty, 2018, April 22; April 2):

hannagumelar: need more glow on Dewi’s face

rorohanaliesia: The makeup makes her look old, sorry [sad emoticon]

miyomijc: the make up is off. I do not know why (sorry) it looks old… especially on the eyes

However, a comment points out how Wardah only features fair-skinned models (wardahbeauty, 2017, December 15; wardahbeauty, 2018, May 20). The below comments show some agency capacity and the possibility of resistance against the conception that beauty has to be fair-skinned.

pinkwine99: I wish Wardah would feature models with darker skin tone. Just a request [love emoticon]

nataliamanurung95: I wish wardah would make more logical ads.. this is Indonesia.. the skin has darker tones from birth, there are lot of skin tones.. korean girls have fair skin from birth.. hahaha… she is pretty… but she’s the wrong model…

The followers praise the celebrity as beautiful and mention how hijab adds quality to that beauty (wardahbeauty, 2018, April 2):

bcrjunop: wearing hijab does not make her less pretty.. may allah give her guidance aamiin.

haniafifah21: praise allah raline you are so beautiful wearing hijab [multiple love and kiss emoticons]

Other comments express how beauty should not only be skin deep (wardahbeauty, 2018, May 20):

najwarsd: ayana [love emoticons] has a beautiful face and heart, if Allah wills it @xoloveayana

sloukhunu_: beauty is not only by the face but by the heart

From the comments, we see that the conception of beauty conflates with the Islamic values Wardah promotes. This constant synopticon-panopticon dyad reciprocally feeds each other, creating a very particular category of beauty where the woman’s body and self-performance are always the subject of scrutiny.

Pious-femininity as cultural capital

As the conception of beauty conflates with Islamic values, the celebrities do aesthetic labour as part of their journey to piety, which is both framed by Wardah and performed ‘voluntarily’ as part of their identity. As Elias (2017) argues, looking good also require the psychic life makeover to embrace confidence, happiness, and authenticity. The turn to Islam and piety feed to this psychic dimension of looking good. Thus, the performance of pious-femininity is itself a cultural capital that has an exchangeable value with their endorsement in Wardah. It also serves as a status marker of well-respected celebrities.

Wardah invested a lot in celebrity endorsement. Wardah organises Islamic-related events and sponsored Indonesian designers team for the New York Fashion Week where its ambassadors participate (wardahbeauty, 2017, June 19; wardahbeauty, 2015). Wardah made digital videos of mother’s day and celebrity birthdays (wardahbeauty, 2018, April 3). These evidences show how pivotal the celebrity endorsers are for Wardah and how Wardah is also important for the celebrity’s visibility in those prestigious events. Thus maintaining their image to be consistent to Wardah’s value is also crucial.

Celebrities have the power to influence the masses (Marshall, 2014). The social media and its promise of authenticity allow fans to engage directly and have a peek at the celebrity’s personal life. The personal and the public life of a celebrity are enmeshed together in the presence of the social media. The increasing importance of social media makes everyone, in particular, the celebrities, do aesthetic labour in performing their selves.

Driessens (2013) states that celebrity is a form of capital. Celebrity possesses social status that can be exchanged with many different capital (Gunter, 2014, as cited in Rübsamen, 2015, p. 131). Female celebrities, in particular, embody other forms of capital related to their gender. Drawing from Pierre Bourdieu’s cultural capital, Skeggs (1997) states that femininity is a form of cultural capital. She explains, “it is the discursive position available through gender relations that women are encouraged to inhabit and use. Its use will be informed by the network of social positions of class, gender, sexuality, region, age and race” (Skeggs, 1997, p. 9). Thus certain aspects of femininity are ascribed to a woman to signify modality such as respectable/not. Femininity for Skeggs (1997) is the process of gendering women to become specific kind of women. Becoming respectable proceeds through the experience of textually mediated femininity, in this case, the pious-femininity promoted by Wardah through the celebrity endorsement.

I compare the two primary hijab celebrities’ profiles in Wardah website and their social media: Inneke Koesherawati and Dewi Sandra. They embody pious-femininity which is consistently performed in their professional and ‘personal’ life.

Inneke and Dewi are framed by Wardah as “inspiring women” who embraced Islamic identity at the height of their career, and this was the very reason Wardah chose them as ambassadors. At the Wardah website, Inneke is described as a former model and movie star who did a subversive act, “in 2001, she made a bold move to wear hijab even though hijab was not common” (“Inneke Koesherawati”, n.d.). It is generally known by the public that Inneke used to be a sex icon during the nineties through the films she starred such as Naughty Desires and The Stained Bed (van Wichelen, 2009, p. 86). The decision to part with her past life is seen as a resistance to ‘Western’ way of life, which involves the expression of sexuality and eroticism (van Wichelen, 2009, p. 88). Dewi, on the other hand, had switched religion to Christian in her previous marriage and turned back to Islam (Nadhiroh, 2017). On Wardah website, she is a singer and actress “deciding to wear hijab and strengthen her spirituality in 2012” (“Dewi Sandra”, n.d.). Dewi is inspiring because she never stops producing works as she practices piety.

Wardah indicates how wearing veil is the start of their journey to piety and frames Inneke and Dewi as pious women who try to be closer to god every time through their daily ‘modern’ activities. Wardah aligns “inspirational” with hijab, piety, productivity and hard work, or ikhtiar. It indicates embracing Islam as ‘modern’, ‘empowering’, and even subversive.

In their personal Instagram page, the aesthetic labour that the Wardah celebrities do cannot be separated from their Islamic values as every post usually coupled with captions of prayers. Dewi (dewisandra, n.d.) and Inneke (inekekoes, n.d.) post portraits of themselves, family, and friends in various occasions, including Wardah events, their travels or pilgrimage (dewisandra, 2018, May 25), charity events. The captions of prayers vary from acknowledging the imperfect self and mortality (dewisandra, 2018, June 2) to reflections during the month of Ramadhan (inekekoes, 2018, May 13). The vulnerability of ‘imperfect’ self promises authenticity to their followers, with many regards them as wise but not self-righteous.

ichi_f.y2303: the caption warms my heart,, reminding without being self-righteous,, one of my favourite hijab celebrity #Like (dewisandra, 2018, June 2)

Furthermore, they show themselves as loving wives, mothers, and daughters by posting intimate pictures of their family members accompanied with captions of gratefulness and love.

Throughout their personal Instagram account, we see how they perform their femininity and Islamic values to mark their status as well-behaved women and well-respected celebrity, which are recognised by their fans who frequently comment their post as beautiful inside-out and inspiring.

stefytiffany: Praise Allah.. Dewi is so beautiful.. beautiful inside out. (dewisandra, 2018, May 25)

ayudia_ade: praise allah mommy @inekekoes please teach me how to have this inner beauty like you.. Very beautiful… (inekekoes, 2018, May 11)

The pious-feminine beauty becomes a cultural capital as they are embodied by the celebrities, recognised by the fans, and promoted by Wardah as an extension of their brand values. For the celebrities, it allows mobility towards more fame as their value as inspiring role models increase. The ‘modern’ hijab, along with the practices of piety, is a tool to mark their status as respectable within the industry.

Conclusion

This article has shown that the “mainstreaming” of Islam has made the conception of beauty conflates with some Islamic values. Wardah integrates these values as “beauty from the heart” and consistently promotes it in various ways, including celebrity endorsement. There are gestures of women empowerment with neoliberal characteristics. The women’s bodies are subject to discipline through the social media interactions based on the norms of pious-femininity, although some of the beauty norms are also questioned. This identity has become the cultural capital for the celebrities, performed for their personal goals of continued endorsement and a marker for respectability within the industry. It shows some agency capacity in utilising the hijab and piety to negotiate certain position within the society and indicates the complex meaning of wearing hijab and practising piety for women in Indonesia.

 

*this is originally an assignment paper

**for further details on references ask me

rok mini loak merah menyala sobek entah di mana

Foto dari brilio.net

foto dari brilio.net

 

#menolaklupa, tapi apa yang kamu ingat?

kenapa baju loak sobek pundaknya kamu ganti jadi rok mini merah menyala sobek entah di mana?

apa supaya kamu nanti bisa punya scene check-in di hotel jam-jaman di solo antara wiji dan sipon?

membiarkan kami membayangkan sipon menari-nari dengan rok mini merah menyala sobek entah di mana

kemudian mereka bercinta

bukan di tikar plastik tikar pandan tapi di atas ranjang yang kata jokpin rawan kekuasaan

di bawahnya rok mini merah menyala sobek entah di mana (surprise surprise) tergeletak berantakan seperti di scene-scene ewita film hollywood (aren’t you supposed to be art house?)

disaksikan dua botol coca-cola yang saling berdekatan manja (simbol kapitalisme, terima kasih, mr obvious)

dan dua bungkus kacang rebus yang mulai berembun (simbol kaum proletar, terima kasih, mr obvious)

wiji bilang coca-colanya jangan dibawa, kacangnya saja

kenapa, apa karena buruh tidak boleh punya kawasaki ninja?

tapi dia membiarkan sipon mengambil dua butir sabun (yang juga berdampingan mesranya di tatakan kopi)

apakah unilever lebih suci daripada coca-cola amatil?

atau itu sabun artisan yang disuling dari keringat pekerja?

ini biopic wiji thukul atau vakansi yang janggal dan penyakit limaenam films?

(aku ingat furnitur-furnitur yang makin lama makin mendekat di gula-gula usia)

atau kisah cinta yang asu?

kan yang asu rezim militer harto, bukan nasib malang manusia

wiji bukan manusia borjuis penakut macam aku, dia orang berani, yang begitu ditakuti orba sehingga dia diamankan untuk selama-lamanya, dan salah satu penyair terbaik yang pernah kita punyai

btw, kenapa orang malah sering bilang “wiji bukan penyair terhebat indonesia, tapi…”

why? kalau ngobrol soal wiji sebagai penyair semua orang langsung jadi harold bloom/nirwan dewanto

zonder bukti dan argumen seperti biasa

apa relevansinya dalam mengingat memorinya?

#menolaklupa wiji thukul bukan penyair terhebat indonesia? istirahatlah kanonisasi sastra. dong

bisa kamu sebutkan satu saja lagi nama penyair protes indonesia?

susah ya, soalnya mereka semua sudah ditendang keluar dari dunia puisi indonesia yang penuh episode sunyi dan membosankan

baca dong politik sastra saut situmorang atau kekerasan budaya pasca 1965 wijaya herlambang

sori ya, auteur, tapi “hanya satu kata: lawan!” bukan kata-kata yang tercipta sambil duduk-duduk di beranda di mana angin tak kedengaran lagi sambil seka-sekaan nama dan mencemaskan sepotong lumpur

hanya satu kata: lawan adalah kata-kata gelap yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan tak mati-mati

kamu pasti tahu, kan itu ada di booklet premiere filmmu

tapi kamu tahu juga gak, wiji pernah membaca 100 halaman collected works lenin setiap hari selama berbulan-bulan?

wiji orang yang selalu gelisah dengan apa yang terjadi di republik ini, yang selalu mengacungkan tangan di setiap diskusi ndhakik-ndhakik, yang tak tergetar oleh mulut-mulut orang pintar

kenapa kamu memilih menampilkan dia tidur terus di pengasingan?

nggak bisa baca, nggak bisa menulis puisi

apa tidak mungkin dia juga akan selalu gelisah ingin tahu situasi di jakarta di palur di sukoharjo selama dalam pengasingan di pontianak?

apa tidak mungkin dia juga akan diskusi serius tentang bagaimana bertahan di bawah tanah dan bukan cuma ketakutan, kebosanan, kemudian plesir naik boat di kapuas trus minum tuak di kedai mamak?

ini biopic wiji thukul atau vakansi yang janggal dari kisah cinta yang asu?

ya ya, tentu kamu punya poetic license untuk memodifikasi isi puisi-puisinya, malah ubah aja kisah hidupnya sekalian, gapapa kok, go nutz

tapi jangan khawatir, caramu memakai poetic licensemu juga akan menunjukkan ke(tidak)pedulianmu sebenarnya pada apa

aku pernah menanyakan kepadamu apakah sofa mewah yang digotong kemana-mana di vakansi sebenarnya adalah simbol invasi kapitalisme ke sendi-sendi masyarakat indonesia

tidak, katamu, sofa itu, seperti ranjang, adalah simbol ketegangan seksualitas

o, begitu doang ternyata, kamu ternyata lebih one dimensional daripada kukira

aku terlalu lebay dong menginterpretasi vakansi?

mungkin benar juga dong aku suka onani

kalau kamu terus begini, lama-lama kamu akan seperti goenawan mohamad yang maunya melihat kenyataan dari atas ranjang saja

atau sudah?

you want to turn it on its head by staying in bed

but you’re not john lennon

oya aku punya satu lagi judul alternatif buat filmmu:

misalkan kita di pontianak, di kota itu, katamu lho ya, kata-kata telah jadi padam

Save

Save

Save