Love Alarm: Alarm Pengingat Ekses Teknologi Pada Interaksi Sosial Manusia

Kalau dunia barat punya Black Mirror sebagai rambu-rambu ekses teknologi pada kehidupan sosial manusia ‘in the near future’, asia juga kini meresponnya dengan cara-cara yang lebih subtle namun juga tetap mengerikan. Salah satunya dalah sebuah serial drama korea Love Alarm yang tayang di Netflix.

Cerita ini ditandai dengan ditemukannya sebuah aplikasi Love Alarm. Aplikasi yang menghubungkan perasaan manusia dengan smartphone hingga bia seseorang yang dia taksir berada dalam radius 10 meter dan orang itu juga terdaftar dalam aplikasi Love Alarm, maka alarm di smartphone-nya akan berbunyi.

Love-Alarm-Season-1-Netflix-Title-Poster

Karakter tokoh utama di drama ini adalah Kim Jo-jo yang diperankan Kim So-hyun. Seorang gadis ceria yang menyimpan sejarah kelam dan diwarisi hutang keluarga, yang menyalakan Love Alarm milik model ganteng kaya raya dengan keluarga yang tidak harmonis; Hwang Sun-Oh. Jo-jo juga menyalakan Love Alarm milik seorang SJW, Lee Hye-yeong sahabat Sun-Oh.

Segala konflik dalam drama ini mengikuti pakem drama Korea yang sudah ada, tapi menariknya justru ekses aplikasi Love Alarm ini, karena lambat laun menyalanya alarm cinta itu menjadi sebuah afirmasi dari perasaan lawan jenis atau pasangan. Bahkan lebih jauh lagi menjadi sebuah currency, karena bila seseorang alarmnya dinyalakan ribuan orang karena saking charmingnya dia akan memiliki badge dan diberi fasilitas-fasilitas khusus, seperti membership klab dan diundang ke event-event heits -mengingatkan kita pada episode Nosedive di serial Black Mirror-.

Ini menyebabkan keuntungan akan selalu dimiliki oleh orang yang populer juga menarik sedangkan orang yang tidak populer akan semakin terpinggirkan seperti menggambarkan orang yang punya privilese akan semakin beruntung kebalikannya orang serba kekurangan akan semakin terpinggirkan, bahkan puncaknya banyak orang yang bergabung dengan komunitas Zero Ring dan memutuskan bunuh diri masal. Zero Ring adalah orang-orang yang Love Alarmnya tidak pernah berdering alias gak ada yang naksir. Ini  menyebabkan protes besar-besaran oleh sebagian orang pada aplikasi Love Alarm.

Ada sebagian orang lagi seperti Lee Hye-yeong yang memutuskan untuk mengabaikan ketergantungannya pada Love Alarm dengan meng-uninstall karena ingin merasakan bagaimana hidup tanpa aplikasi tersebut. Ide seperti nostalgia pada masa lalu ini juga pernah disajikan sebuah film rom-com Filipina, Ang Babaeng Allergic Sa WiFi (2018) yang menceritakan ketika seorang perempuan menderita alergi pada sinyal wifi dan akhirnya bernostalgia hidup di daerah terpencil tanpa sinyal wifi dan embracing hidup tanpa teknologi, ini untuk sebagian orang Indonesia mungkin tidak sulit dibayangkan karena masih banyak orang yang tidak menikmati hidup dengan sosmed, teknologi, dan atribut-atribut kehidupan modern. Atau barangkali justru mereka menikmati hidup tanpa perasaan FOMO bila tidak melihat timeline?

Paduan Rasa Asia dan Amerika di Uncontrollably Fond

Korea Selatan mulai memasuki babak baru: makin banyak drama diproduksi sebelumnya (nggak kejar tayang). Hasil preproduced drama secara otomatis jadi lebih kece. Skripnya kuat, production value-nya tinggi, bahkan beberapa hampir menyamai film (art direction, pemain, special effect, dll), dan lebih manusiawi buat pemain dan tim produksinya, yang cukup sering terdengar sakit-sakitan atau suntik vitamin C saat sedang kejar tayang. Nggak ada lagi mengada-ada cerita supaya menambah atau mengurangi jumlah episode.

 

Preproduced drama yang dibuat di 2016 antara lain Cheese in the Trap, Descendant of the Sun, lalu disusul dengan Uncontrollably Fond, Scarlet Heart: Ryeo, dan Cinderella and Four Knights.

 

Uncontrollably Fond mengawali relapse saya terhadap drako (drama korea) setelah 6 bulan insap. Tidak seperti judulnya, ini adalah jenis drama tragedi. Konflik sepanjang cerita adalah gimana rahasia dipertahankan dan dibongkar antara tokoh-tokohnya. Sebagai drako aliran rada serius, konflik juga melibatkan pertentangan kelas dan moralitas manusia.

 

Sebagai sebuah drama seri preproduced, semua kelihatan direncanakan dengan matang, baru shooting. Ada plot twist di tiap episode, semua karakter abu-abu, semua dikasih konteks dan latar belakang yang menyebabkan mereka ambil keputusan ajaib, dan yang paling penting menurut saya, drama ini berhasil menghadirkan proporsi yang seimbang antara dua identitas yang jadi referensi mereka: over the top ala amrik dan subtlety ala Asia.

 

suzy-uncontrollably-fond-800x435

 

Bukan drama Korea kalau tidak ada adegan-adegan fuzzy yang menyelip cantik di antara semua ketegangan dan tragedi itu. Chemistrynya Kim Woo Bin dan Suzy kerasa banget, sementara si second lead Lim Ju Hwan aktingnya bikin cewek-cewek langsung sayang. Pemeran pendukung lain dicasting dengan tepat, dalam porsi yang pas.

 

Tentunya yang saya bilang Korea banget adalah gimana mereka berhasil menghadirkan rasa over the top dan subtlety itu, bukan formula-formula drako yang sering direview seperti gendong punggung dan cewek miskin vs. cowok kaya, atau ibu tiri gila harta. Semuanya tentu ada, tapi jadi tidak relevan lagi saat kita ingin melihat betapa Asia dan Amerikiyin dipadu harmonis di dalam racikan drama Korea.

 

Adegan yang bikin drama ini Korea banget salah satunya adalah adegan ulang tahun paman, di mana semua duduk di kursi makan malam-malam, mengitari sebuah kue yang besar, sambil pakai kacamata hitam, karena [[spoiler]] mereka baru tahu Joon Young (Kim Woo Bin) sakit dan udah mau metong, dan mereka nggak pengen kelihatan bengkak dan berair matanya di sebuah acara ulang tahun, di depan orang yang sudah akan dijemput maut. Ada keinginan untuk jaga suasana demi kebaikan semua, tapi dilakukan dengan cara yang norak. Contoh lain ada di sebuah adegan yang jadi klimaks atau, paling tidak, poin utama seluruh bangunan cerita ini, Noh Eul (Bae Suzy) menyerahkan USB pada bapak ex-jaksa-sekarang-politisi. USB itu berisi bukti kejahatan yang tiga belas tahun ditutupi. Jika diserahkan ke polisi akan membuat si bapak masuk penjara dan hancur karir panjang politiknya. Bukannya menyerahkan bukti skandal ke media atau polisi, Noh Eul justru membiarkan moral si bapak yang menentukan nasibnya sendiri. Di dalam perjuangannya mencari kebebasan dan keadilan, Noh Eul nrimo dengan apa pun keputusan akhir si bapak, dengan keyakinan bahwa manusia pada dasarnya baik.

 

uf19-00499

 

Sebagai sebuah drama tragedi tentu drama ini berakhir tragis. Tapi, hal itu disikapi dengan mono no aware aja oleh karakter-karakternya, rela dan pasrah seperti melihat musim yang berlalu. Buat saya, drama ini adalah what Korea is and what Korea should be, uncontrollably fond.

 

 

Oleh: Ratri Ninditya

 

 

 

*gambar diambil dari sini dan Soompi

Mungkin Sebenarnya Hidup Itu Memang Tak Bermakna: Re-encounter / Hye Hwa, Dong ( 혜화,동) (2010)

fullsizephoto146186

Hye Hwa (Yoo Da In)

“It might be possible that the world itself is without meaning.”
(Mrs. Dalloway – Virginia Woolf)

Apa yang terjadi kalau ternyata kehidupan ini pada akhirnya yah begitu saja dan tak ada maknanya? Entahlah. Mungkin banyak orang langsung tenggelam dalam depresi berkepanjangan atau histeris meratapi hidup tanpa akhir yang dicita-citakan. “Re-encounter / Hye Hwa, Dong ( 혜화,동)”, entah mengapa, meninggalkan rasa “mungkin sebenarnya hidup itu memang tak bermakna” tersebut buat saya.

“Re-encounter” dibuka dengan adegan Hye Hwa (Yoo Da In) mengendarai motor untuk menjemput seekor anjing pendatang yang tidak diinginkan oleh pemilik rumah. Hye Hwa nampaknya memiliki obsesi untuk menyelamatkan anjing-anjing terlantar atau yang tak diinginkan. Sebagai mata pencaharian, ia memiliki salon anjing kecil yang bersebelahan dengan klinik hewan, atau mungkin juga bagian dari klinik tersebut. Anak si dokter hewan klinik sebelah dekat dengan Hye Hwa, bahkan terkadang memanggilnya dengan “ibu”. Kedekatan Hye Hwa dengan sang anak dan aksi-aksi penyelamatannya terlihat seperti manifestasi penebusan entah rasa bersalah atau kehilangan atau bahkan keduanya karena di masa lalu Hye Hwa tidak dapat “menyelamatkan” bayinya sendiri yang meninggal tak lama setelah dilahirkan.

Paling tidak itulah yang tertanam di ingatannya selama 5 tahun. Sampai kemudian mantan kekasih dan ayah dari anaknya, Han Soo (Yeo Yeon Sook), yang menghilang sebelum kelahiran bayi mereka, mendadak muncul di hadapannya dan mengatakan bahwa anak mereka ternyata masih hidup.

“What if?”

The deadly question. Bagaimana jika ternyata Han Soo benar? Bagaimana jika ternyata anak mereka masih hidup dan tidak meninggal seperti yang selama ini tertanam di ingatan Hye Hwa? “Bagaimana jika” begitu menghantui Hye Hwa dan Han Soo hingga menjebak keduanya dalam delusi yang diciptakan Han Soo.

“Re-encounter” sebenarnya berpotensi untuk jadi melodrama super melankolis, tapi sutradara Min Young Keun nampaknya lebih tertarik untuk menghadirkan rasa sepi ketimbang bermain dengan air mata. Hye Hwa dewasa kini tinggal sendiri ditemani anjing-anjingnya. Ia masih memelihara kegemaran mengumpulkan potongan kukunya dalam sebuah tabung film kamera bekas, seperti ingin menyimpan bagian dirinya yang dibuang. Ibunya yang menua kini harus berpegangan pada bentangan tali rafia jika ingin ke kamar mandi. Han Soo yang kembali ke rumahnya kini berjalan setengah tertatih, mungkin akibat bekas luka tembakan atau cedera saat latihan saat dia di militer.

Semua disampaikan Min Young Keun dengan tenang, nyaris tanpa emosi eksterior. Suppressed emotions. Masuk akal mengingat kondisi kehidupan keluarga Hye Hwa. Untuk sebagian orang, mereka tidak mampu untuk jadi melankolis. Ada hidup yang harus dijalani, ada perut yang harus diisi. Mungkin bagi sebagian orang lainnya, apalagi mereka yang kehidupannya berada di tengah ke atas “Piramida Maslow”, hidup (idealnya) berisi mimpi-mimpi yang patut diperjuangkan untuk diwujudkan. Hye Hwa tidak berada di sini. Kesehariannya hanya diisi berkutat pada anjing, sama seperti banyak orang yang kesehariannya berisi rutinitas-rutinitas penyambung hidup. Kadang terlalu lelah bahkan untuk merasakan perasaannya sendiri, apalagi mencari makna.

fullsizephoto146176

Han Soo (Yoo Yeon Seok)

Perasaan-perasaan Hye Hwa dewasa yang ditekan hadir dengan subtil di tangan Yoo Da In (yang baru saya kenal melalui film ini), bertolak belakang dengan Hye Hwa remaja yang berani dan cuek. Yoo Yeon Seok, dalam peran terbaiknya (buat saya), mewujudkan Han Soo ke dalam sosok anak mama yang tak mampu menghalau patah hati sehingga menciptakan delusi untuk menyembuhkan luka, bukan hanya dirinya namun juga luka Hye Hwa.

Ketenangan, kesepian, kedataran, keheningan atau apalah perasaan yang nyaris tanpa gejolak ini entah kenapa begitu menghisap saya. Beberapa kali menyaksikan “Re-encounter”, saya tetap tidak mampu meraba dengan tepat perasaan film ini. Mungkin inilah yang membuat saya merasa mungkin pada akhirnya hidup yah begitu saja. Sekedar waktu yang berlalu, sampai nanti saatnya mati. Bahkan saat menulis ini pun rasanya begitu samar. Sama seperti tatapan Hye Hwa saat memundurkan mobilnya ke arah Han Soo. Samar.

Menguliti Pretensi Basi Kaum Borjuasi: Heard It Through The Grapevine (풍문으로 들었소) (2015)

Sebenarnya Go Ah Sung adalah alasan utama saya mengikuti Heard It Through The Grapevine (HITTG) alias Poongmooneuro Deoreotso. Hanya karena saya begitu terkesan dengan filmnya sebelum drama ini, Elegant Lies (Wooahan Geojitmal). Namun ternyata kemudian semua elemen HITTG mengajak saya menikmati roller-coaster emosi sepanjang 30 episode.

“Semakin urban/modern/borjuis (saya lupa pastinya apa) suatu kaum, justru semakin puritan mereka.” Saya lupa pernah dengar pendapat ini di mana, mungkin dari Dave Lumenta saat peluncuran perdana Jurnal Selatan. Mungkin juga gak tepat seperti itu, tapi kira-kiranya begitulah.

HITTG menunjukkan kepuritanan kaum borjuis dengan cara yang paling mereka sukai, elegan. Sepanjang 30 episode, penulis Jung Sung Joo dan sutradara Ahn Pan Seok pol-polan muntah kritik dan orgasme pemikiran mengolok-olok kaum borjuis dan #negaragagal Korea Selatan.

vlcsnap-00070

Sesuai dengan judulnya, HITTG yang juga dikenal dengan judul “I Heard It As A Rumour” dengan cerdas mengadaptasi hobi “bisik-bisik tetangga” ini sebagai benang merah bercerita untuk mengupas #bebanborjuasi si kelas 1% masyarakat. Di Indonesia sendiri beberapa tahun lalu sempet heboh di media sosial tentang mailing list yang berisi gosip-gosip sosialita Jakarta.

HITTG menghadirkan drama komedi gelap dan satir yang menguliti pretensi-pretensi basi borjuasi dan perjuangan kelas yang tak pernah henti. Kisah percintaan abege Han In Sang (Lee Joon) dan Seo Bom (Go Ah Sung) yang tadinya saya pikir akan menjadi fokus HITTG sekaligus memainkan peranan drama romantis tradisional di drama ini, ternyata “hanya” digunakan sebagai epilog dari pertunjukan sesungguhnya, yaitu pertarungan pemikiran dan kegelisahan manusia-manusia dalam sebaran tatanan kelas sosial masyarakat yang berjenjang. Mungkin ini juga sebabnya HITTG nyaris diberi judul War Of Brilliant Minds”.

vlcsnap-00018

Manusia-manusia dalam kepala Jung Sung Joo sepertinya adalah manusia-manusia yang selalu berpikir dan dalam kegelisahannya mempertanyakan ketidakadilan yang dihasilkan oleh tatanan masyarakat yang kacau balau dan negara yang gagal hadir bagi warganya serta menolak pasif dengan menerima kondisi sosial sebagai sesuatu yang sudah sebagaimana mestinya.

Dengan kalimat-kalimat sederhana, Jung Sung Joo menembakkan berbagai kritik tajam yang seringkali disempilkan sekilas lalu dalam sebuah percakapan, padahal sentilan-sentilan seiprit tersebut mewakili kekhawatiran yang jauh lebih besar. Jung Sung Joo menghadirkan berbagai problematika sosial politik akibat dari ketidaksetaraaan masyarakat Korea Selatan dengan kecermatan detil yang, well as much as I hate to use this term, tapi, luar biasa.

Isu kesetaraan gender dimunculkan bukan melalui retorika, jargon dan gugatan, namun digambarkan dengan suatu kondisi yang memang sudah seharusnya seperti itu. Sebuah kondisi yang (sepertinya) sangat jauh dari kenyataan. Korea Selatan, seperti juga halnya dengan Jepang, memiliki budaya patriarki yang begitu kuat, bahkan cenderung misoginis. Kesetaraan gender sepertinya masih merupakan mimpi yang belum akan terwujud dalam jangka waktu dekat.

Dua drama Jung Sung Joo yang pernah saya tonton, HITTG dan “Secret Love Affair” nyaris tidak pernah, atau bahkan tidak sama sekali, menghadirkan dialog dan situasi yang seksis, yang kalaupun ada lebih pada menampilkan kenyataan daripada melestarikan diskriminasi itu sendiri.

HITTG juga menyindir ketakutan masyarakat Korea Selatan, terutama kaum borjuisnya yang dalam drama ini diwakili oleh sosok Han Jeong Ho, akan ide-ide sosialisme seperti yang dicetuskan Seo Bom melalui kritiknya terhadap ide dasar ekonomi pasar dan kapitalisme. Korea Selatan, seperti halnya Indonesia, merupakan negara boneka Amerika Serikat untuk mencapai ambisinya menjadi imperialis baru. Segala hal yang “berbau” kesetaraan dan “kiri” sukses dipropangandakan Amerika Serikat sebagai komunisme, yang artinya adalah kejahatan yang harus diperangi. Selama puluhan tahun, rakyat Indonesia juga ditanamkan propaganda ini oleh monster bernama Soeharto dan Orde Baru. Jika banyak negara boneka mulai menyadari keganasan Amerika Serikat, Korea Selatan sepertinya masih merupakan salah satu pendukung terbesarnya secara politik, ekonomi, bahkan budaya populer.

Carut marutnya sistem pendidikan pun tak lepas dari sorotan HITTG. Merupakan pengetahuan umum kalau dunia pendidikan Korea Selatan terobsesi dengan segala yang berbau “ter”. Tingkat dan peringkat pendidikan merupakan tiket untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi dan kesuksesan material. Seo Bom memiliki mimpi akan datang suatu masa dimana semua orang bisa mendapatkan pendidikan yang setara dan setinggi mereka mau tanpa harus menjadi anak cucu chaebol (konglomerat) yang bisa membayar biaya pendidikan privat maupun swasta serta menggaji tinggi guru-guru pribadi.

Di mata kaum borjuasi yang keribetan dengan pretensi-pretensi basinya, kita juga tidak perlu mengagung-agungkan pendidikan luar negeri. Kalau pun sekolah di luar negeri, kita ambil yang baik-baiknya saja dan tetap memegang nilai-nilai luhur warisan bangsa. Berbanggalah dengan apa yang kita miliki. Preeet! Terdengar akrab sekali gak sih di kuping? Kaum borjuasi Indonesia juga nampaknya keribetan dengan dilema dualisme inlanderisme dan chauvinisme kepriyayian mereka ini, hahak! (Saya lupa ini ada di episode berapa. I’ll be back with the screenshot when I find it)

Alih-alih menampilkan keluarga chaebol, Jung Sung Soo menampilkan keluarga kaya pemilik firma hukum yang memegang teguh “Bibit, Bebet, Bobot”. Dengan strategi ini, HITTG sekaligus menyasar hukum yang mandul dan keadilan yang sayangnya berpihak pada uang dan koneksi. Di permukaan semuanya terlihat manis, adil dan menjunjung tinggi HAM, padahal di dalamnya disesaki praktek licin, kotor dan menjijikkan.

Komedi gelap sepertinya merupakan pendekatan paling pas untuk menyampaikan materi dan naskah Jung Sung Joo yang sarat kritik. Dengan banyaknya pesan yang ingin disampaikan, Ahn Pan Seok ketat menjaga alur dan emosi sehingga nyaris tidak ada adegan yang sia-sia. Ditambah dengan editing yang jeli, 30 episode HITTG terasa bagaikan menonton “Homeland” versi drama. Tegang bok!

Tegang, menggelikan dan menyentuh. HITTG juga menghadirkan kehangatan hubungan antar manusia yang tulus dan seringkali terdapat dalam hal-hal kecil yang sederhana atau bahkan dalam keputusasaan. Walaupun seringkali didera kebimbangan, manusia-manusia di dalam HITTG mungkin merupakan simbolisme harapan akan manusia dengan hati nurani yang sehat. Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya bersih dan melepaskan diri dari lingkaran setan sistem yang busuk, tapi penting untuk selalu menyadari apa yang salah dari masyarakat dan sistem tersebut.

vlcsnap-00071 vlcsnap-00073

Secara sinematografis, HITTG lebih banyak menggunakan gambar dengan variasi teknik medium shots, dibandingkan dengan kebanyakan drama Korea yang gemar menggunakan close up shots. Mungkin, ini hanya sekedar analisa dangkal sih, HITTG ingin mengajak penontonnya untuk melihat gambaran dunia yang lebih luas, dimana keberadaan kita selalu terkait dengan sistem yang lebih besar. Kebalikan dari umumnya penggunaan close up shots di dalam dunia drama yang jika sekarang disandingkan dengan HITTG terasa lebih “egois” atau self-centered. Mungkin lho…

Seimbang dengan naskah; set, kostum bahkan musik pun dihadirkan dengan kecermatan detil yang nyaris sempurna. HITTG menghindari menggunakan lagu pop (OST adalah bagian penting dari drama Korea) sebagai latar belakang adegan, tapi menggunakan musik yang memang digubah khusus untuk drama ini. Mungkin ini trademark-nya Ahn Pan Seok ya, di “Secret Love Affair” dia juga tidak menggunakan lagu-lagu populer, tapi mungkin juga karena “Secret Love Affair” berlatar belakang dunia musik klasik.

Dan yang paling utama tentunya kecermatan detil ini sangat terlihat dalam penulisan karakter-karakternya. Dengan Han Jeong Ho (bapak Han In Sang) di satu kutub dan Kim Jin Ae (ibu Seo Bom) di kutub lainnya, Jung Sung Joo menampilkan karakter-karakter utuh lainnya dalam spektrum tersebut. Han Jeong Ho (yang diperankan super ciamik oleh Yu Jun Sang) adalah perwujudan “Monster Menyedihkan” (pendapat Seo Bom tentang ayah mertuanya) sedangkan Kim Jin Ae (Yoon Bok In) adalah perwujudan harapan akan manusia ideal yang “baik dan sehat”. Sedangkan semua karakter lainnya terombang-ambing di dalam spektrum kebimbangan tersebut.

vlcsnap-00065 vlcsnap-00049

Menggunakan istilah yang sangat borjuis, HITTG terasa seperti sebuah Mahakarya. Mungkin juga merupakan salah satu pencapaian terbaik sinema Korea Selatan, melampaui batasan formatnya. Bagi saya, tidak lagi menjadi penting apakah karya ini dihadirkan melalui layar kaca atau layar lebar.

Di luar Han Jeong Ho dan kaum borjuis lainnya, semua manusia ini berjuang untuk menemukan diri mereka kembali. Han In Sang (Lee Joon, noona padamu!) bagaikan mimpi revolusi munculnya pemberontak dari dalam lingkaran kaum borjuis itu sendiri yang menusuk tepat di jantungnya.

HITTG mungkin tidak akan sekonyong-konyong menimbulkan kesadaran kolektif akan rusaknya sistem sosial masyarakat, namun mengutip ucapan Yoon Je Hoon (Kim Kwon), “Aku cuma berharap dapat membuat lubang kecil.”

Yang lemah mungkin akan menyerah karena lelah dan kekuasaan bisa saja selamanya bercokol di atas. Namun HITTG sepertinya ingin memberikan harapan akan semangat perjuangan yang tak pernah henti, sekecil apapun itu.

vlcsnap-00074vlcsnap-00075

 

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di sini.