Representasi perempuan dan penyakit kejiwaan di Sharp Objects

Apakah kita perlu satu lagi cerita tentang perempuan-perempuan dengan penyakit kejiwaan? Tidak ada salahnya. Tapi jika cerita lagi-lagi berputar di ketidakstabilan mental perempuannya saja, tanpa lebih jauh menggali masyarakat rasis dan seksis yang jadi penyebab ke”tidaknormal”annya, apakah sebuah cerita bisa kehilangan potensinya untuk bisa kritis dan jatuh ke dalam penggambaran stereotipikal perempuan-gila-butuh-dicerahkan? Apakah penggambaran perempuan yang menjadi subjek dan objek kekerasan bisa dikategorikan feminis? Pertanyaan itu berputar di kepala saya setelah nonton serial televisi Sharp Objects yang diangkat dari novel berjudul sama karya Gillian Flynn.

Di satu sisi, serial ini berhasil membongkar romantisasi peran ibu dan hubungan ibu-anak. Dari luar, karakter Adora Preaker masuk ke dalam stereotipikal ibu-ibu kulit putih old money: rambut pirang lurus bergelombang, bersuara lembut, suka pakai hak tinggi saat masak di rumah. Ia penyayang anak dan suka merawat (bahkan terlalu suka, terutama saat anak-anaknya mengeluh sakit). Cerita perlahan menguliti karakter Adora yang suka mendikte kedua anaknya untuk tampil feminin, ia juga menjadi akar masalah Camille Preaker (diperankan oleh Amy Adams) menjadi seorang alkoholik yang suka menyakiti diri sendiri. Adora kerap kali menyalahkan Camille karena merusak keharmonisan Wind Gap, kota tempat keluarga Camille tinggal, karena ketidaksensitifannya menginterogasi keluarga korban pembunuhan atas nama pekerjaan. Amma Preaker, adik Camille dari perkawinan kedua ibunya, juga berkomentar bahwa Adora menganggap anaknya yang sudah mati adalah yang paling sempurna. Hubungan Adora dengan suami keduanya juga tidak seharmonis yang kelihatan. Mereka sering pisah ranjang. Adora bahkan terlihat lebih akrab dengan Pak Polisi yang sering bertamu sampai malam dibanding dengan suaminya. Sharp Objects berusaha menggambarkan bahwa seorang ibu bisa jadi gila demi memenuhi tuntutan masyarakat menjadi ibu sempurna.

Hubungan Adora dan Camille juga tidak harmonis seperti imajinasi masyarakat di iklan-iklan kecap manis. Sang ibu menganggap Camille selalu menyakiti dia dan tidak enggan untuk menyatakannya langsung di depan Camille. Camille mencoreng nama baik Adora karena tidak feminin. Waktu muda ia berambut pendek dan berkelakuan selayaknya remaja kebanyakan, tapi dicap ‘nakal’, dan ‘pecun’ oleh warga Wind Gap. Ibu adalah sumber rasa cinta sekaligus rasa sakit anak.

Karakter Camille seperti dimaksudkan untuk melawan stereotip karakter perempuan ‘baik-baik’. Ia tidur dengan lebih dari satu laki-laki. Ia alkoholik. Untuk umurnya, ia tidak menikah dan tidak punya anak. Ia hanya medioker saja di karirnya sebagai jurnalis. Buat saya, karakter seperti ini lebih empowering dan relatable daripada perempuan-perempuan neolib sukses yang jadi bos di kantor besar.

Karakter Amma memberontak terhadap femininitas perempuan dengan main sepatu roda, pesta, dan mengkonsumsi napza di belakang ibunya tapi dengan lihai menjadi mommy’s little girl di rumah. Pada akhirnya Amma bingung sendiri peran mana yang harus ia pilih. Kebingungan ini buat saya menarik dan sangat nyata. Kita selalu menjejakkan kaki di dua dunia sekaligus, di dalam dan di luar konsep perempuan ‘ideal’. Pembunuhan dua perempuan Wind Gap oleh Amma adalah gabungan konformitas dan perlawanan terhadap tuntutan menjadi perempuan: sebuah pemberontakan pamungkas terhadap ibunya (yang merepresentasi masyarakat itu sendiri), hukuman terhadap perempuan yang tidak ‘feminin’, sekaligus upaya untuk menjadikan perempuan itu ‘sempurna’.

Sayangnya, cerita ini berhenti pada masalah kejiwaan perempuan tanpa lebih jauh mempertanyakan struktur sosial yang membentuknya. Rasisme dan seksisme kota Wind Gap hanya ditampilkan sekilas, di sebuah episode di mana mereka merayakan hari jadi kota yang dibangun atas kekerasan seksual terhadap perempuan. Ketika penyakit kejiwaan Adora direveal di dua episode terakhir, penyakit ini seperti menjadi satu-satunya jawaban koheren atas semua masalah yang terjadi pada Camille dan misteri kematian adik Camille di masa lalu tanpa menilik lebih jauh pada kebusukan rasis dan seksis masyarakatnya. Penyakit kejiwaan Adora bahkan terkesan ada hanya karena ia perempuan. Pak Polisi yang jelas-jelas seksis dan lebih gila justru diberi kesempatan untuk menangkap Adora. Ada satu momen di mana Adora menyarankan Amma untuk mengubah storyline pentasnya. Pentas itu dilakukan rutin tiap tahun dengan cerita sejarah kota yang selalu sama, yang menurut Adora, seperti yang disampaikan Amma pada gurunya, ditulis oleh laki-laki. Namun, karena proposal ditolak akhirnya Adora membiarkan saja Amma tampil dalam narasi yang lama. Itu adalah satu-satunya adegan yang mengilustrasikan langsung bagaimana Adora mengalah pada seksisme yang kemungkinan berujung pada masalah kejiwaannya.

Kompleksitas masalah Camille si tokoh utama tiba-tiba hilang seiring terkuaknya penyakit kejiwaan sang ibu. Setelah ibu masuk penjara, Camille tidak terlihat minum alkohol dan hidup dalam konformitas keluarga bahagia bersama Amma. Di realita, tidak ada satu akar koheren dari sebuah penyakit kejiwaan ataupun adiksi dan tak akan semudah itu hilang dengan mengetahuinya.

Pada akhirnya, apa yang ingin Gillian Flynn sampaikan di cerita ini adalah bahwa perempuan bisa inherently evil, bisa jadi sama berbahayanya dengan laki-laki. Dalam struktur masyarakat yang kompleks, perempuan bisa jadi subjek, bukan hanya korban laki-laki. Tapi bahwa kejahatan ini adalah hasil dari struktur sosial yang merepresi perempuan secara sistemik hanya jadi pesan yang kebetulan tersisip saja. Saya sendiri tidak kebeli dengan premis inherently evil karena tidak ada yang inheren di dunia ini kecuali jika kita hidup sendirian di ruang hampa. Sharp Objects tidak masuk ke dalam jebakan narasi perempuan-gila-butuh-dicerahkan, tapi ia menyalahkan perempuan akan kegilaannya sendiri tanpa banyak menginterogasi kondisi rasis dan seksis yang membentuk kegilaan itu. Untuk cerita yang digadang-gadang bernafaskan feminis, Sharp Objects masih jauh dari revolusioner.

xmen days of future past: mengenali ketakutan

oleh: Edo Wallad dan Ratri Ninditya

Ada banyak studio punya hak yang bikin film superhero Marvel, tapi paling punya banyak film ada Marvel Studio punya Disney sama 20th Century Fox Marvel. Kubu 20th Century Marvel punya hak untuk bilang orang yang punya kekuatan super atau superhuman ability itu sebagai mutan. Marvel Studio gak. Uniknya, Quicksilver yang tampil di X Men: Days of Future Past milik 20th Century Fox  dan akan tampil juga di Avengers: Age of Ultron, dengan pemeran yang berbeda. Satu fakta menarik lagi Quicksilver X Men diperankan oleh Evan Peters pemeran Todd di Kick Ass sedangkan versi Avengers nanti akan dimainkan oleh Aaron Taylor-Johnson, the Kick Ass himself. Oh ya ngomong-ngomong Aaron sebagai Quicksilver versi Avengers, dia akan beradu akting dengan Elizabeth Olsen sebagai Scarlett Witch saudara kembarnya, yang di film Godzilla mereka jadi suami istri.

Satu hal yang paling penting untuk menikmati film superhero adalah; jangan mempertanyakan plot untuk cerita superhero baik di komik atau film, karena akan banyak versi dan semesta dengan multiplot yang ruwet seperti benang kusut. Tapi meski begitu, dengan cara yang sederhana, X Men: Days of Future Past punya jawaban atas keruwetan ini karena semua kenyataan bisa diubah. Jadi reboot, reset, recast,  rewrite, dan segala re-re lainnya adalah halal. Oke cukuplah obrolan kru-nya, sekarang kita kupas yang menarik dari film itu.

Saya selalu suka film superhero apalagi yang punya karakter mutan, karena buat saya mutan itu adalah analogi kaum-kaum marjinal. Mereka bisa mewakilkan pekerja seks, pecandu narkoba, orang yang hidup dengan HIV, dan banyak lagi. Maka sama dengan ketika orang ‘biasa’ bertemu dengan kaum marjinal, di cerita X Men orang selalu paranoid bertemu dengan mutan, dan mengecap mereka dengan berbagai stigma.

Nah kalau di film ini masalah bisa diselesaikan dengan kembali ke masa lalu, dengan kata lain mereset sejarah, mungkin gak ya di kehidupan sebenarnya kita menilik masa lalu dan mencari penyebab kenapa yang marjinal itu dimarjinalkan?

Mutan merepresentasi sebuah ketakutan atas apa yang tidak kita ketahui. Kata “mutan” sendiri lebih banyak digunakan seperti menyebut monster: mengerikan, punya kekuatan besar, aneh, jelek, etc. Mutan adalah liyan dalam perspektif manusia ‘biasa’. Bagi kaumnya sendiri, mutan hanya sekedar pembeda. Dalam perspektif manusia biasa, mutan mengalami penurunan makna. Kita ini mutan = kita ini negro. Tapi kamu itu mutan = kamu itu negro, adalah tudingan yang punya kesan menghina, “Dasar mutan!” = “dasar negro!”

Di film ini, Wolverine kembali ke masa saat dunia belum mengenal mutan sebagai “dasar mutan!”. Mutan masih menyembunyikan identitasnya, hidup sendiri-sendiri atau dalam kelompok sangat kecil. Namun, begitu mutan ini muncul di publik dengan wujudnya yang biru bersisik (Mystique) di sebuah perjanjian perdamaian pasca perang Vietnam di Paris dan ditayangkan di televisi nasional, reaksi orang berubah drastis. Yang pertama muncul di pikiran mereka: takut.

Sisi buruk dari berita TV adalah penonton tidak akan bisa melihat sebuah peristiwa secara utuh. Yang disajikan hanyalah kepingan-kepingan yang paling fenomenal aja demi kebutuhan untuk mengejar rating. Siapa yang tidak ketakutan melihat makhluk biru bersisik lompat dari jendela dikejar oleh orang yang bisa terbang dan menggerakkan benda-benda plus hewan buas biru? Kalau mereka menonton seluruh kejadian harusnya tidak.

Kembali ke Wolverine. Perjanjian perdamaian ini adalah titik peristiwa yang harus diubah Wolverine saat kembali ke masa lalu. Karena di situlah Mystique tadinya ditangkap dan dijadikan sampel untuk mengembangkan Sentinnel yang akhirnya akan menghancurkan peradaban mutan dan manusia sekaligus. Tapi setelah Wolverine kembali ke masa lalu itu akibatnya malah makin parah. Proyek Sentinnel yang dikembangkan Trask diapprove oleh Nixon lebih cepat (presiden yang dalam sejarah AS parnoan berat). Jadilah Wolverine, Beast, dan Xavier labil (James McAvoy cocok banget jadi junkie) serta Magneto (Fassbender kayak om om di sini) susun rencana sendiri-sendiri untuk memperbaiki sejarah.

Di film ini kita melihat bagaimana ketakutan jadi kekuatan besar untuk menghancurkan, mengatasnamakan keselamatan manusia. Padahal sih di baliknya cuman kepentingan duit aja. Di beberapa adegan bendera AS berdampingan sama besar dengan logo Trask Industries, menandakan Amerika Serikat adalah industri itu sendiri. Trask digambarkan sebagai seseorang yang bertindak berdasarkan rasa ingin tahunya sebagai ilmuwan. “Kapan lagi kita punya alasan untuk menyatukan manusia sebagai species,” katanya. Well are these scenes familiar? Kekuatan hegemoni adalah saat film-film Amerika sudah menyajikan fakta yang sebenarnya memang terjadi dalam kehidupan sebenarnya, tapi dikemas sedemikian rupa sebagai fiksi sehingga penonton dalam level tertentu bisa relate, tapi gak bisa figure out the whole thing (atau ya udah peduli setan aja) bahwa banyak fakta penting dalam film itu bukan sekedar fiksi.

Kembali lagi ke Wolverine! Di luar aspek-aspek hegemoni, menarik untuk melihat karakter jadi makin kompleks semakin banyak serinya. Wolverine itu gak sekedar tempramental, tapi jadi banyak dimensinya. Jadi mutan yang bisa menyembuhkan diri secara fisik, ironisnya justru keunggulan fisiknya itu bikin dia mengalami banyak banget kejadian yang melukai aspek non fisik dari dirinya. Kekuatannya gak bisa menyembuhkan luka hati ditinggal mati Jean Grey, trauma disiksa waktu dimasukin adamantium, ribut sama abangnya, dll lah. Kami sempat mikir, kenapa Wolverine yang jadi karakter utama dalam keseluruhan seri X Men di film? Lalu kami jawab sendiri, soalnya dia sulit mati, jadi bisa hidup terus ngalamin berbagai versi reset remake re re lain dari marvel universe ini, dan memudahkan marketing, karena jadi punya satu tokoh yang terus ada ketika ada seri baru lagi, jadi tiap keluar yang baru penonton gak akan merasa terlalu asing. X Men ya Wolverine lah kurang lebihnya.

Lalu Xavier ternyata adalah orang yang harus merelakan kakinya dan menghentikan ketergantungannya sama obat untuk kakinya demi kekuatannya. Ia adalah ex junkie kita. With great power comes great responsibility level profesor gitu lah.

Sementara Mystique/Raven berjuang dalam 2 perang, perang terhadap mutan dan perang terhadap dirinya sebagai perempuan. Mystique adalah Raven adalah Jennifer Lawrence, tidak pernah punya kesempatan menjadi dirinya sendiri secara utuh. Erik bertanya, kamu ini Ravennya Charles atau Mystiquenya gue? Keperempuanannya menjadikan ia terobjektivikasi baik dalam lingkup personal maupun publik. Personal karena sepanjang hidupnya pikirannya dikendalikan oleh ubermindfucker Xavier dan kemudian jatuh dalam “lindungan” Magneto, pengendali logam, yang dalam film ini secara spesifik mengacu pada peluru dan senjata yang digunakan untuk menghancurkan, sebuah simbol yang sangat maskulin. Publik karena ia disalahkan sebagai pemicu perang dan disempurnakannya Sentinnel yang akan menghancurkan mutan dan manusia sekaligus. Padahal Raven tidak ingin perang. Raven melihat masalah terjadi dalam ruang personalnya, teman-temannya yang mati dibunuh oleh Trask. Solusinya adalah membunuh Trask, bukan membunuh semua manusia seperti apa yang Magneto inginkan. Raven selalu ingin jadi invisible (jadi Jennifer Lawrence sebelom terkenal kali ye) tapi ia malah terexpose di TV nasional. Seorang suster secara tak langsung bilang wujudnya adalah teror. Di akhir film, Raven “diselamatkan” oleh Xavier, sehingga ia tak jadi membunuh elite2 penting (yang semua lelaki) dalam sejarah amerika serikat, mencegah perang Sentinnel terjadi, dan menjebloskan Trask ke penjara.

Secara keseluruhan, film ini film yang masif, film yang menghibur dan gak perlu dianggap terlalu serius, tapi juga menghibur untuk ditanggapin serius. Kalo di jagad marvel manusia takut mutan, dan di dunia nyata manusia takut kaum marjinal, saya sih takut ngadepin kenyataan lagi abis nonton film ini.