#salahfokus: wregas bhanuteja

A nondescript primitive mask with Wregas Bhanuteja

A nondescript primitive mask with Wregas Bhanuteja*

setelah empat kali mencoba menonton film prenjak wregas bhanuteja dan selalu kehabisan tiket, akhirnya berhasil juga di suatu siang yang panas di kineforum di belakang 21 tim. menurut seorang teman yang tidak mau disebutkan namanya for fear of banci budaya reprisal, menonton prenjak yang menang discovery prize yang disponsori leica di semaine de la critique udah jadi status simbol baru buat hipster budaya (banci budaya’s new nom de guerre) jakarta, bagaikan pakai tas kånken buat menenteng koleksi moleskine yang didampingi buku glorified self-help lala bohang (dengan potongan tiket prenjak sebagai ersatz bookmark).

siang itu yang diputar selain prenjak juga empat film pendek wregas yang lain sebelum itu dalam sebuah program yang dinamai “fokus: wregas bhanuteja”, semacam retrospective keauteran dia selama ini dari senyawa (2012) sampai prenjak (2016) yang diputar secara kronologis. di antara kedua itu ada lembusura (2014), lemantun (2014), dan floating chopin (2015) yang sudah saya tonton semua sebelumnya. menonton maraton karya seorang sutradara selalu asoi, membuat semua benang merah karyanya terlihat, kecenderungan-kecenderungannya, obsesinya, kekuatannya, kelemahannya, kegenitannya, ideologinya (kalau ada), etc. begitu juga yang terjadi kali ini.

jadi?

senyawa

senyawa di sini bisa berarti satu nyawa atau alkemi antara seorang anak perempuan katolik dan bapaknya yang islam dan khotib mesjid. keduanya berkongsi mempersembahkan sebuah memento buat ulang tahun pertama kematian ibu/istri mereka (yang juga katolik), dalam sebuah kerjasama lo-fi yang melibatkan dumbphone murahan dan tapedeck kadaluwarsa untuk merekam lagu ave maria versi kesayangan nyokap di sebuah kampung di manggarai yang menjadi metafor yang agak terlalu cute dan dipaksakan buat kemeltingpotan indonesia harga nego no afgan. film diakhiri dengan bapak dan anak makan nasi kuning di atap rumah sambil memperdengarkan ave maria rekaman si anak kepada foto nyokap dalam pigura sambil memandang vista kampung melayu yang oh indahnya jika tanpa konflik sektarian/tawuran tarkam. seandainya SARA bisa beralkemi menjadi bhinneka tunggal ika samawa!

lembusura

my personal fave on second viewing. kandungan metanya cukup untuk menetralisir gojek fisik masteng jogja (“susune gedhi lo”) yang so klise dan tiring. bisa saja film ini diinterpretasi sebagai usaha wregas mendekonstruksi mitos penunggu dalam budaya jawa (lembusura si penunggu gunung kelud yang sedang meletus waktu film ini dibuat — hujan abunya jadi salah satu elemen paling mistis dan indah dalam film ini) menjadi, ya, gojekan ala masteng jawa yang kita membuatnya abadi. tapi siapa/apa kita itu? superstition — solo show grotesque lembusura sempat dipertimbangkan apa distop saja waktu adzan soljum berkumandang — kah?  alam — diwakili gunung berapi hiperaktif seperti kelud — kah? tidak begitu jelas. wregas cukup lihay bercerita dan melucu, namun sepertinya dia cenderung membiarkan pertanyaan-pertanyaan lebih filosofis yang muncul dalam filmnya tidak terjawab (ataukah dia tidak sadar pertanyaan-pertanyaan itu ada?)

lemantun

terasa sebagai film terlemah dalam retrospektif ini karena kesentimentilannya yang mereduksi sebuah dramakomedi keluarga berbagi warisan menjadi kisah tentang indahnya kesetiaan seorang anak kepada ibunya. lemari-lemari (lemantun) yang tadinya siap menjadi metafor sarat makna untuk rahasia-rahasia keluarga yang mengerikan (think festen) akhirnya terbengkalai jadi sekedar red herring dari kecenderungan sentimentalisme wregas (ada juga di senyawa, dan nanti ada lagi di prenjak).

floating chopin

dalam esai yang saya link di atas, eric sasono memandang floating chopin sebagai le petit tour wregas untuk menafsirkan kembali oposisi biner eropa vs. non-eropa dalam kerja budaya (contohnya bikin film).

maybe.

interpretasi lain bisa juga film ini ternyata sebuah extended instagram video tentang “pakansi” (meminjam istilah eric) non-janggal sepasang hipster jogja. #sky #clouds #beach #food #nature #sunset #night

ending film ini menunjukkan satu lagi kecenderungan wregas, kelihaiannya membuat kesimpulan dalam filmnya terasa suspended (in this film, literally), stuck in the middle, a work in progress.

kecenderungan ini seperti saya katakan tadi ada juga di lembusura. apakah wregas masih mencari jawaban-jawabannya, atau lagi cari aman? (enak juga membiarkan pertanyaan ini juga menggantung seperti ini.)

prenjak

tidak seperti yang diiklankan sendiri oleh wregas (“it’s all about seduction“) ternyata meki dan kenti dalam prenjak ternyata red herring juga buat sebuah kisah derita single mum dalam sebuah negara dunia ketiga yang patriarkal di mana kuasa meki ternyata menjadi musnah di hadapan hegemoni kenti-kenti yang mendominasinya.

dua key scenes dalam film ini adalah waktu si cewek di detik keduapuluhenam di bawah meja dengan korek gas menyala akhirnya memutuskan untuk membuka mata dan melihat kenti si cowo yang sedang mulai ngaceng. matanya terpaku dan dia lupa korek gas harus mati dan dia harus memalingkan muka lagi di detik ketigapuluh. sampai di sini adegan ini terasa klise sekali, bahkan misoginistis, bagaimana mungkin seorang single mum yang katanya mbuh ra ruh tentang suaminya yang awol dan hanya setuju untuk masuk ke bawah meja untuk gantian melihat kenti si cowok demi mendapatkan ekstra Rp 60 ribu buat bayar kos begitu melihatnya jadi langsung tersepona dan mungkin basah juga sehingga later that day dia mau-mau aja dianterin pulang sama cowok gatel oportunistis ini?

namun kemudian ada semacam redemption buat scene ini di akhir film waktu single mum memandikan anaknya dan menyabuni kenti kecil anaknya — juga diliatin (o begitu total dominasi kenti dalam hidupmu, single mum!), sehingga timbullah kemungkinan interpretasi bahwa single mum tadi waktu di bawah meja mungkin bukan terpana karena terangsang tapi terpana dalam sebuah epiphany bahwa, ya, hidupnya sejauh ini masih berakhir menjongkok di bawah kenti (posisi yang sama waktu dia menyabuni kenti anaknya).

problem terbesar prenjak: apakah relasi kuasa dunia ketiga sekali lagi harus diceritakan dalam kisah tentang deviant sexuality (bandingkan misalnya dengan the fox exploits the tiger’s might lucky kuswandi)? buat konsumsi domestik mungkin ini strategi yang masih bikin ngaceng, tapi dalam konteks jualan ke festival film luar negeri? makin crot! 😛 8=======D~~~

walaupun berita-berita lokal soal prenjak sering berusaha menjelaskan tentang kehiperlokalan tradisi mrenjak ini, wregas sendiri bilang, “i’m glad the story is not too local, too javanese for the foreign audience to understand.”

but is being “not too local” necessarily a good thing?

prenjak’s transgressive rhetoric and why festivals are loving it

dalam bukunya “extreme cinema: the transgressive rhetoric of today’s art film culture”, mattias frey mengeluhkan tentang filmmaker-filmmaker dari negara kecil termasuk negara dunia ketiga yang melakukan “auto-erasure” dan “auto-ethnography/self-orientalism” untuk menarik perhatian festival-festival film bergengsi di negara dunia pertama. auto-erasure terjadi saat seorang filmmaker mengurangi atau menghilangkan ciri-ciri lokal film mereka dan menekankan elemen-elemen yang lebih universal dan gampang dimengerti. sementara auto-ethnography/self-orientalism terjadi saat produk kultur sebuah negara (film misalnya) mempertahankan atau bahkan melebih-lebihkan “identitas lokal” mereka buat jualan. contoh identitas lokal itu misalnya loch ness monster, geisha, atau ya, tradisi prenjak di jogja tahun 80an.

wregas sepertinya sudah lumayan lihay memainkan dua strategi di atas, yang di atas kertas sepertinya bertentangan satu sama lain. semua filmnya di atas mengandung auto-ethnography/self-orientalism (negara kesatuan republik manggarai di senyawa, lembusura di lembusura, jawirisme di lemantun, hashtag #SEAneoralism di awal floating chopin, tradisi mrenjak di prenjak, bahasa jawa) tapi juga auto-erasure (manggarai sebagai anykampung, nkri; topeng lembusura yang seperti amalgamasi segala macam topeng primitif yang biasa dinikmati publik barat di museum-museum mereka (try lantai dasar centre pompidou); setting dan cerita prenjak yang despite bahasa jawanya bisa anytown, asean — inikah juga kenapa ada hashtag #SEAneorealism itu, bukan #gunungkidulneorealism?).

sejauh manakah kedua strategi pemasaran film-film wregas di atas mempengaruhi suara filmnya sendiri? apakah high-irony dalam lembusura (“sekalian mukul gendang aja, biar makin primitif”) bagian dari ideologinya, atau bagian dari pemasaran lagi (karena high-irony seperti itu laku di festival-festival luar negeri)? apakah prenjak akan jadi film yang lebih bagus jika menganalisa lebih dalam konteks lokal tradisi mrenjak daripada menguniversalkannya? apakah imaji sutradara naive-genius di interview wregas dengan semaine de la critique di sini — yang menghindari pembicaraan yang lebih filosofis tentang filmnya sendiri seperti dia lakukan di media lokal di sini dan lebih berfokus pada obrolan-obrolan teknis ala kru — bagian dari pemasaran atau the real wregas?

di poin inilah keinlanderan hispter budaya nusantara yang berbondong-bondong menghadiri screening prenjak setelah menang penghargaan di cannes, sebuah isu kuno, bisa menjadi berbahaya. how many of them would’ve gone seandainya prenjak menangnya di vladivostok film fest? seberapa banyak dari mereka yang datang demi novelty value ngeliat jembut (mekinya ga keliatan kok) dan kenti di layar bioskop indonesia, dan berapa banyak yang datang karena berpikir sebuah film yang menang sesuatu di cannes pasti bagus? fokus: wregas, atau #salahfokus?

 

 

 

 

*foto dari sindang

 

 

Tuesdays With Morrie Revisited: “A romantic traditionalist, a shallow self-absorbed baby boomer and life’s shittiest craps”

Processed with VSCO with e7 preset

Mitch Albom’s Tuesdays With Morrie

Well, not really. I’m being hyperbolic.

I wrote in my Instagram’s post that “revisiting a book is always a good idea to know how much you’ve changed… or not, and whether a book is a great work that transcends time and changes… or not.”

And “Tuesdays With Morrie” is not. So not.

So not great, not even good, that it made me wonder, why did I even cry my heart out years ago? Like getting some kind of enlightment or epiphany. Mine even has these colourful post-its of quoted lines that I thought were brilliant and hit all the right spots. Ugh.

Now that it’s almost twenty years later, I get another enlightenment… this book is a crap.

I re-read ‘Tuesdays’ because I was planning to watch “Sabtu Bersama Bapak”, which I thought was probably ‘heavily inspired’ by this book. Well, it’s a yes and no. ‘Tuesdays’ was published in 1997 and I consider it as part of the Inspirational Lit wave that hit the popular culture in the mid-90s along with “Chicken Soup For The Soul” series and “The Oprah Winfrey Show”. In fact, Oprah did later produce the TV film adaptation of ‘Tuesdays’, and Albom’s other book, “For One More Day” which was directed by the same director of another Albom’s book-turned-into-movie, “The Five People You Meet In Heaven”

Though it seems like ‘Tuesdays’ tried to disintegrate itself from the self-help genre, for me it failed to do so. It criticised the self-help books that flooded America’s book market by saying:

“Of course, there were a million self-help books on these subjects, and plenty of cable TV shows, and $90-per-hour consultation sessions. America had become a Persian bazaar of self-help.” (p.65)

I suspect Albom was talking about the ‘Chicken Soup’ series. Self-help, inspirational, motivational, whatever their jargon is, they all have the same effect on me. Left me feeling uninspired and demotivated.

I don’t know whether it was Albom’s conscious decision not to include other topics in this book that were probably mentioned by Morrie during their Tuesday sessions or it just happened to be that it was all there is to it about Morrie. If it’s the first, then I feel sorry for Morrie for being presented in such a way. If it’s the latter, then it’s really…

Morrie Schwartz was a professor in Sociology at Brandeis University, and Albom was one of his students. Studying Sociology apparently didn’t make either Morrie or Albom have a thorough and profound view of the world, at least not in this book. They just exchanged their white privilege’s ignorance covered in the so-called meaningful aphorisms.

The problems probably lie within Morrie and Albom’s backgrounds, and they seemed to heavily influence the way Morrie and Albom think. Of course it wouldn’t be fair to stereotype both Morrie and Albom, but they seem to be the almost perfect archetypes of their generations. Morrie was born in 1916, which made him part of the so-called G.I Generation or Greatest Generation. But let’s just call them the World War II Generation, the other less familiar term. Greatest sounds… well, too much. His father, Charlie Schwartz, was a Russian immigrant who left Russia to escape the Russian Army. Little Morrie lived in poverty. His father was constantly out of job, and because of the Depression, Morrie’s father found even less work in his fur business.

The experience of seeing people work in his father’s fur factory (his father was a labourer) made him make a vow that “he would never do any work that exploited someone else, and he would never allow himself to make money off the sweat of others” (p.78). This seems to be one of the World War II Generation’s values, “We before Me”. A value that in the years to come seemed to have no place in their über-capitalistic land of dreams.

The more I read about it (this generation division) the more I see ‘Tuesdays’, well Morrie’s aphorisms in this case, as a criticism towards the Boomers and their materialistic lifestyle and values. But unfortunately Morrie failed to see through these and recognising that the biggest contribution to their consumerism and hedonism are not only that they were being spoiled by their parents, but also thanks to their own economic and social systems, capitalism.

Though the 60s and 70s saw the rise of the counterculture of the 1960s, the civil rights movement, and the “second-wave” feminist cause (which later was also criticised for whitewashing), in which all the Boomers were the key players, but in the next coming years the Boomers evolved into a self-absorbed “Me Generation”. Everything is about “me, me, me”. Their ultimate goal is happiness. My happiness. Happiness, which was once just one of the emotions in the human emotion spectrum, has now become the holy and the only purpose of life. The purpose of life that, if you’re smart (and greedy) enough, can turn you into a multibillionaire by milking every drop of it.

Before going any further, perhaps this article by Simon Sinek in Salon can give a glimpse of World War II Generation and the Baby Boomer’s relationship:

“The Greatest Generation, raised during the Great Depression and wartime rationing, wanted to ensure that their children did not suffer or miss out on their youth as they did. This is good. This is what all parents want — for their children to avoid their hardships and prosper. And so that’s how the Boomers were raised — to believe that they shouldn’t have to go without. Which, as a philosophy, is perfectly fine and reasonable. But given the size of the generation and the abundance of resources that surrounded them, the philosophy got a little distorted. When you consider the rising wealth and affluence of their childhood, combined (for good reasons) with a cynicism toward government in the 1970s, followed by the boom years of the 1980s and 1990s, it’s easy to see how the Boomers earned their reputation as the Me Generation. Me before We.”

Now, Morrie criticised what this generation had become, which Albom represented being “.. so wrapped up with egotistical things, career, family, having enough money, meeting the mortgage, getting a new car, fixing the radiator when it breaks – we’re involved in trillions of little acts just to keep going…” (p. 64-65). Hence the “Love wins. Love always wins” (p. 40) type of aphorisms.

The problem is, it doesn’t.

If love always wins, we don’t have wars anymore. No discrimination, no violence, no blood, just none of those things. None. But it doesn’t.

Morrie probably wanted to relive the ‘We before Me’ values. A balance of hard work, a sense of being a part of a society and also love. The one thing that probably his generation was really deprived of, having lived in a constant struggle, but also the one thing that Boomers throw into the sea of divorces. So that’s what he emphasised most. Love.

Unfortunately, he passed on these ideas to the already self-absorbed and self-obsessed generation. As Brakow theorised, “One reason the Boomers were so spoiled, Brokaw theorizes, was their parents’ understandable desire to compensate for their own deprivation.” So they seemed to skip the ‘We’ part and went straight ahead to the ‘Love’ part. ‘Me + Love’ = self-love = positive psychology. A new breed of ignorance.

Now to my understanding, based on these backgrounds, Morrie was not likely to be an ignorant person. But somehow, he was too in a way. This ignorance came in the form of Morrie’s wise advice when asked by Albom “how can you be prepared to die?” His answer was,

“Do what the Buddhists do. Every day, have a little bird on your shoulder that asks, ‘Is today the day? Am I ready? Am I doing all I need to do? Am I being the person I want to be?” (p.81)

Huh? What the… ?!

The 90s (the period where the sessions took place) saw the booming of American Buddhism. Stephen Prothero, a professor of Religion, in his article “Buddhist Boomer” wrote,

American converts are taking a 2,500-year-old faith and making it over in their own image — self-absorbed.”

He then went on saying,

Boomer Buddhism, by contrast, is all too often shallow and small. It soothes rather than upsets, smoothing out the palpable friction between Buddhist practice and the banalities of contemporary American life, cajoling even the Dalai Lama to direct his great mind to small American preoccupations like “The Art of Happiness.”

This is actually ironic and pitiful since Morrie is a professor in sociology, the study of social behavior or society, including its origins, development, organisation, networks, and institutions. Yet he fell for this banality. So, I’m not sure whether this is Morrie’s or Albom’s conscious choice.

These picture-perfect ideals in delulu land also makes them lose the ability to see the bigger picture. Tom Brakow, who coined the term “Greatest Generation” recalled that at their time, “Whatever else was happening in our family or neighborhood, there was something greater connecting all of us, in large ways and small.”

I also need to remind myself that Morrie came from a generation that used to classify the African-Americans as second-class citizens. Brakow wrote “The majority of black Americans were still living in the states of the former Confederacy, and they remained second-class citizens, or worse, in practice and law. Negro men were drafted and placed in segregated military units even as America prepared to fight a fascist regime that had as a core belief the inherent superiority of the Aryan people.”

Again, I’m not sure whether this was purely Albom’s or partly Morrie’s, because one story in this book is racially biased and the choice of words feels like coming from white privilege’s arrogance.

“One time, a group of black students took over Ford Hall on the Brandeis campus, draping it in a banner that read MALCOLM X UNIVERSITY. For Hall had chemistry labs, and some administration officials worried that these radicals were making bombs in the basement. Morrie knew better. He saw right to the core of the problem, which was human being wanting to feel that they mattered.” (p.112)

If this book is out today in times of the #BlackLivesMatter movement, I’m almost sure that this would be criticised as racist. I suspect that that’s mostly Albom’s, since he also constantly talked about OJ Simpson’s case again in the background.

“I heard the door to Morrie’s study close. I stared at the TV set. Everyone in the world is watching this thing, I told myself. Then, from the other room, I heard the ruffling of Morrie’s being lifted from his chair and I smiled. As “the Trial of the Century” reached its dramatic conclusion, my old professor was sitting on the toilet.” (p. 158)

Mmm… no, we were not and no, it was not, you egocentric sheltered American Boomer. The world does not, nor will it ever be revolved just around your great nation!

Now, how did all of these very white American-centric problems, and very first world problems too, resonate with readers like me who came from the so-called third-world countries? I suspect that it has to do with the US cultural imperialism propaganda. It’s almost definite that when it comes to popular culture, people who live through the 80s and 90s in their adolescent years (the Gen X-ers), especially the urban middle-class kids and teenagers, can only remember mostly America’s popular culture products, and a little bit of British’s and Australia’s. Other than that, they are very minimal or almost non-existent.

The secret of the success of North American cultural penetration of the Third World is its capacity to fashion fantasies to escape from misery, that the very system of economic and military domination generates. The essential ingredients of the new cultural imperialism is the fusion of commercialism-sexuality-conservatism each presented as idealized expressions of private needs, of individual self-realization. To some Third World people immersed in everyday dead end jobs, struggles for everyday survival, in the midst of squalor and degradation, the fantasies of North American media, like the evangelist, portray “something better”, a hope in a future better life — or at least the vicarious pleasure of watching others enjoying it.”

So it’s no surprise if the propaganda seemed to find its effective weapon in Inspirational Lit, which wave reached its height between 1993-1998, because the genre promises a better and happier life. Your personal and individual better and happier life, because it aimed to ‘dismantle’ the sense of ‘We’-ness. The same value that was not only highly valued by the World War II Generation, but also the same core value of socialism, the economic and social systems that American capitalism has fought to dismiss for decades.

One of the great deceptions of our times is the notion of ‘internationalization’ of ideas, markets and movements. It has become fashionable to evoke terms like “globalization” or “internationalization” to justify attacks on any or all forms of solidarity, community, and/or social values. Under the guise of “internationalism”, Europe and the U.S. have become dominant exporters of cultural forms most conducive to depoliticizing and trivializing everyday existence. The images of individual mobility, the “self-make person”, the emphasis on “self-centered existence” (mass produced and distributed by the U.S. mass media industry) now have become major instruments in dominating the Third World.”

Not until the spectacular failure of capitalism, more Americans are embracing the idea of socialism.

It’s almost twenty years later. I have disassociated myself with the privileged middle-class.

Because I am not.

Nor I am white.

Nor I am part of the first-world.

Nor I have benefited from the system.

So this book has become meaningless for me. A waste of an ideally revolutionary youth.

*Original post was published here*

This is Where I Leave You: bapak yang tidak berpesan

Semalam nggak sengaja nyangkut di salah satu channel tv yang memutar film ini. Mumpung lagi dalam tema “mengenang bapak”, saya pikir film ini penting untuk dibahas juga. Shawn Levy si sutradara punya filmografi yang banyak bahas seputar hubungan anak dan bapak seperti Real Steel dan Night at the Museum. Film ini juga diangkat dari sebuah buku karya Jonathan Tropper, yang bantu bikin naskahnya.

 

maxresdefault

Setelah Mort, si bapak, meninggal, istrinya (diperankan Jane Fonda) minta keempat anaknya (Jason Bateman, Tina Fey, Adam Driver, dan Corey Stoll) kumpul di rumah di kampung halaman mereka buat ‘tahlilan’ selama 7 hari mengenang bapaknya. Doi bilang itu wasiat dari sang ayah. Dengan berat hati, keempat anak dengan masalah dan ketidakbahagiaannya masing-masing harus reuni di rumah tempat mereka tumbuh besar, ketemu mantan yang cacat otak, mantan yang kawin sama kakak sendiri, cinta yang gak kesampean, sambil menyembunyikan masalahnya masing-masing.

Sebagai sebuah film keluarga, film ini berhasil menghadirkan situasi dan karakter yang terasa nyata. Tiap karakter cukup menarik, dapat porsi cukup untuk didalemin. Semua karakter charming, punya kurang dan lebih. Di sini juga ada tokoh yang mengejar kesempurnaan karena berkaca dari bapaknya. Tapi pada akhirnya karir dan pernikahannya gagal. Kita bisa bersimpati sama kesedihannya dan melihat gimana dia berusaha membereskan dirinya sendiri dari pecahan-pecahan yang tersisa. Ada juga kakak cowok tertua yang selalu ribut sama adik cowok termuda karena mereka emang bertolak belakang, yang pertama penerus bisnis keluarga, yang muda sibuk pacaran sama psikolognya yang jauh lebih tua, nggak bisa pegang duit, dan nggak bisa dipegang komitmennya.

Karakter perempuan juga bukan sekedar perhiasan. Wendy (Tina Fey) punya rasa bersalah yang besar karena ninggalin mantan pacarnya abis dia kecelakaan yang ngerusak otaknya, sehingga si mantannya ini masih harus tinggal di kota itu bareng ibunya. Dia juga nggak pernah bisa ngelupain cintanya sama si Horry ini. Sementara anaknya Wendy dua, satu lagi belajar boker, satu masih bayi, dan suaminya gak pernah hadir karena sibuk kerja. Ada banyak adegan manis antara dia dan sodara-sodaranya yang lain. Salah satunya saat Philip (adek bontot, Adam Driver) bilang bahwa suara di kepalanya itu bukan suara ayah dan ibu mereka, tapi suara si Wendy karena dia yang membesarkan si Philip. Hillary (si ibu, Jane Fonda) adalah pensiunan hippie yang terlalu terbuka tiap ngomongin topik seks. Kita nggak kaget saat direveal bahwa si ibu memutuskan untuk jadi lesbian dengan tetangganya sendiri. Dan ternyata ide ngumpulin anak-anak nggak datang dari mendiang bapak, tapi dari ibunya. (Itu namanya ngasih bobot buat karakter!)

Sebagai film yang dilabeli drama-komedi, film ini berhasil menyelipkan komedi tanpa kehilangan mood dramanya. Karakter tiap orang adalah bagian dari komedinya. Kalaupun ada yang slapstick, adegan-adegan itu muncul di saat-saat yang tak terduga, seperti saat Hillary mencoba melepas sendiri alat bantu nafas suaminya, atau saat Judd (Jason Bateman) mergokin istrinya selingkuh. Humornya pait, humornya janggal, tapi di situlah lucunya.

Nggak ada dakwah bapak ala Mario Teguh di sini. Si bapak hampir gak punya suara, tapi anak-anak dan istrinya ngasih suara buat mendiang bapak lewat kenangan-kenangan dan pengalaman hidup mereka masing-masing. “This is where I leave you,” adalah pesan tak terucap yang punya makna masing-masing di tiap karakternya: divorced, unhappily married, childless, broke, but grateful.

 

*Gambar diambil dari sini

Malam Jumat bersama para Laki Kebelet Macho

Poster-film-Sabtu-Bersama-Bapak-1

Di satu malam Jumat yang ceria, beberapa penulis Pop Teori nonton Sabtu bersama Bapak. Karena banyak kesamaan pendapat, kami kumpulkan dalam satu postingan ini, dengan 3 angle dari 3 orang yang beda.

rinduayah sekedar tagar (Edo Wallad) 

Bapak saya meninggal di bulan Ramadhan. Ada banyak penyesalan yang saya simpan pada beliau sampai-sampai ketika beliau koma saya tidak mau pergi dari rumah sakit dan akhirnya bisa menemani dia di saat terakhir. Meski begitu penyesalan masih tersimpan karena ada banyak yang belum saya sampaikan pada dia. Saat itu saya harus berusaha mengikhlaskan hati saya supaya beliau bisa pergi dengan tenang ketimbang harus menanggung sakit yang luar biasa. Tapi bertahun kemudian, jika saya bisa mengulang waktu, saya merasa satu hari lagi bersamanya adalah hari yang berarti. Saya tidak punya privilege untuk punya rekaman video bapak yang bisa saya putar di tiap hari sabtu makanya saya berharap film ‘Sabtu Bersama Bapak’ akan jadi film pengobat #rinduayah. Apalagi film ini adalah film yang dapat panggung di waktu lebaran.

Monty Tiwa sebelumnya pernah menjadi sutradara ‘Test Pack’ yang adalah satu film sangat bagus menurut kami dan sangat bisa relate ke orang-orang yang #rindujadiayah namun lagi-lagi tidak punya privilege, untuk jadi ayah. Berbeda dengan Satya dan Cakra. Mereka berdua punya privilege untuk menunggu hari sabtu agar bisa menonton rekaman video almarhum si bapak dan khusus untuk Satya dia punya privilege lain, jadi orang yang punya segudang prestasi dan akhirnya tinggal di Paris bersama istri dan dua orang anak laki-lakinya. Sayang sekali #rinduayah yang digadang-gadang menurut saya cuma jadi sekadar tagar dan judul ‘Sabtu Bersama Bapak’ jadi sekadar judul janji palsu.

Premis meninggalkan pesan untuk dibaca/ditonton setelah orang tersebut mati bukan hal yang baru dalam sastra dan film populer. P.S. I Love You melakukannya dalam bentuk surat. Il Mare dan adaptasi Hollywoodnya, The Lake House, adalah variasi lebih advance dari komunikasi lintas jaman karena dua pihak bisa bales-balesan walaupun dari dua timeline yang beda. Anjali di ‘Kuch Kuch Hota Hai’ menunggu setiap hari ulang tahunnya agar dia bisa baca surat dari almarhum ibunya yang membawa dia akhirnya menjodohkan sang ayah dengan cinta lamanya. Ibu Anjali tidak hanya sekadar memberi nasehat template yang bisa didapat dari guru bela diri (sang bapak di film sabtu bersama bapak seorang taekwondoin) tapi ibu dari Anjali bisa bercerita panjang lebar tentang persahabatan ayahnya dengan seorang istimewa yang jadi inspirasi nama Anjali. Pesan yang disampaikan ibu tidak normatif dan harfiah tapi bisa membuat Anjali nekad untuk mencarikan bapaknya jodoh. Tekad yang ditanamkan secara subtle itu tidak bisa dilakukan di pesan-pesan moralis dan normatif Mario Teguh bertampang Abimana. Pengulangan premis nggak pernah masalah, tapi apa Sabtu bersama Bapak bisa membuat ini lebih menyentuh? Padahal menurut saya ada banyak hal yang bisa menyentuh dari kenangan anak laki-laki pada almarhum bapaknya yang bisa jadi tearjerker. Seperti saya yang selalu minta tidur dengan baju ayah ketika ayah sedang tugas keluar kota.

Ketika media yang menjadi alat pesan itu adalah sebuah video, seharusnya dia bisa lebih lincah bukan sekadar rekaman bapak duduk seperti seorang ketua parpol mengucapkan selamat idul fitri di stasiun TV. Bro… kenapa si bapak gak merekam tips-tips hidup yang lebih praktis dan dalam angle yang tidak statis seperti cara memaku dengan palu yang benar, cara mengikat dasi, cara menulis surat untuk cewek  gebetan atau bahkan mengajarkan sang anak bagaimana mengganti ban mobil yang kempes. Mungkin pesan yang disampaikan jadi sangat maskulin namun kesannya subtle dan tidak formal. Bahkan adegan sang ayah mengajarkan taekwondo pada Satya ada baiknya ada di rekaman video, bukan rekaman ingatan. Tapi akan lebih bagus lagi pesan yang disampaikan ayah bukanlah pesan yang melulu maskulin. Seperti bagaimana mengganti popok bayi, mencari kutu di rambut anak, menanam bunga di taman atau teknik memasak cepat dan mudah -ini dibutuhkan Satya ketika ditinggal istri di luar negri-.
krisis maskulinitas (Ratri Ninditya)

Nampaknya Adhitya Mulya punya krisis maskulinitas dan Monty Tiwa mengamini konsep-konsep kelakilakian dia. Sabtu bersama Bapak jadi film yang dijejali dengan prinsip “lelaki sejati” ala iklan rokok dan minuman energi, ceramah-ceramah nggak jejek, dan karakter yang nggak bikin simpatik, karena mungkin penulisnya terlalu malas untuk memahami karakter yang ia tulis sendiri.

Sebelum diluncurkan film ini terlihat sangat menjagokan premisnya. Sehingga kami otomatis menonton karena ingin mencari pesan apa sih yang bapak itu sampein? Pasti ada sesuatu yang sangat spesial. Ternyata, pesan bapak adalah kalimat-kalimat klise yang berulang kali bisa kita baca di buku pelajaran agama Islam dan buku-buku self-help yang semarak menghiasi toko buku Gramedia.

Sabtu bersama Bapak hanya mengulang prinsip prinsip kuno yang menganggap suami itu adalah imam, adalah breadwinner keluarga, adalah satu-satunya orang yang menentukan keluarga ini mau dibawa ke mana. Laki-laki harus selalu berprestasi (adegan sejembreng piala di rumah lengkap dengan ijazah-ijazah universitas terkemuka di Bandung itu seperti sebuah deskripsi malas yang dilakukan banyak sinetron untuk menunjukkan pencapaian). Laki-laki harus kuat, harus ada banget tuh adegan latihan taekwondo. Bapak punya dua anak lelaki. Anaknya si Satya punya dua anak lelaki juga. Kenapa nggak cewek? Yang paling penting, laki-laki harus bisa melengkapi dirinya sendiri. Pesan terakhir itu dikemas dalam film ini seperti sebuah filosofi kehidupan pamungkas yang dinyatakan sambil ada background vokal seriosa dan angin sepoi-sepoi pantai ancol. Tapi buat kami, gitu aja nih?

Hal ini menguatkan keyakinan kita, bahwa penulis dan sutradara punya krisis maskulinitas akut yang mereka tidak sadari. Kenapa? Kalo sadar, ya bikin dong karakternya lebih nelongso, lebih gagal, lebih penuh beban pada pundak brototnya. Sayangnya, semua karakter cowok di sini serba flat (apalagi karakter ceweknya). Mana penderitaannya? Mana strugglenya? Nampaknya jomblo 30 tahun dan ditinggal kabur beberapa hari oleh istri udah jadi ultimate cobaannya mereka. What’s the big deal?

Krisis maskulinitas akut juga sangat literal keluar dalam dialog-dialog di film ini: “istri adalah perhiasan”, “kamu telah gagal jadi istri”, “saya mau kamu jadi pacar saya” (bukannya nanya, mau gak kita pacaran), “benerin dulu masakan kamu”, “saya udah kasih rumah buat kamu itu sia-sia?”. Nggak ada kalimat/aksi balasan di cerita ini yang setara buat nimpalin makian seksis itu. Bahkan, Satya nyadar dosanya maki-maki istrinya saat liat istrinya nanya resep sama ibunya sambil sit up. Tuhan, tolonglah hambaMu, sampai kapan endonesa mau nganggep kalo istri yang baik adalah yang masaknya nyamain masakan ibu si suami, yang di rumah ngurus anak, jaga bodi tetep singset, dan nurut rencana yang disusun suami?

Lalu, yang lebih parah lagi, film ini tidak memberi ruang buat kami untuk mengenal sosok sang bapak. Siapa dia selain tukang ceramah dalam televisi yang mukanya kebetulan ganteng? Film ini, yang niatnya mau memuliakan figur bapak justru menempatkan dia sebagai orang yang control freak, diktator dengan segudang ego yang berkedok sayang istri anak, mirip para lelaki Corleone di film The Godfather, yang (kami yakin ini bukan kebetulan) dijadikan pajangan di kantor Cakra. Kode lain sepertinya lebih tidak sengaja muncul di saat Satya tangannya patah ketiban “pipa” yang jatuh dan dia nggak mau kasih tau istrinya (phallus yang jatuh, kelaki-lakian yang gagal), saat yang bikin Cakra jatuh cinta adalah sepatu hak tinggi seorang perempuan (simbol seksual berkedok religi yang super obvious. lagian bukannya kalo di kantor mau sholat lo ganti sendal jepit yeh).

Dari segi casting, dua hal yang sangat mengganggu. Kenapa Ira Wibowo harus jadi versi muda si ibu juga? Kedua, semua talent anak kaku dan ngeselin. Ada lagi, semua bakat potensial aktor dan aktrisnya sama sekali nggak digali, atau lebih tepatnya, nggak tergali karena karakterisasi cetek kurang riset. Mustinya kita bikin tagar baru lah, #rinduriset #rindubacabuku #rindunonton biar penulis ama sutradaranya bisa lebih menghargai profesi mereka sendiri.

sabtu bersama bapak = tuesdays with morrie? (Festi Noverini)

Pertama kali denger judul film ini tentunya kami nggak bisa melepaskan kecurigaan bahwa bukunya si Adhitya Mulya amat sangat ‘terinspirasi’ oleh “Tuesdays With Morrie”-nya Mitch Albom. Antara ya dan tidak. Saya sampai harus membaca ulang buku tersebut, which turned out to be a waste of my precious time (we’ll get to there in another review).

Adhitya mengikuti pola yang sama dengan Albom. Anak muda cemen yang berpikir bahwa prestasi adalah segala-galanya kemudian tercerahkan setelah belajar dari yang lebih tua, lebih bijaksana. Satya dan Albom sama-sama terjebak materialisme karena ketakutan kehilangan waktu yang berharga. Dua-duanya in demand, dua-duanya hotshot, dua-duanya clueless dan kurang wawasan. Adhitya dan Albom justru semakin meneguhkan stereotip bahwa mereka yang hidupnya penuh prestasi ya pada akhirnya akan jadi cetek aja karena #kurangbelajar #kurangpikir #kurangwawasan. Yang mereka tau ya cuma itu-itu aja. Walaupun gak se-patriarkal Adhitya, Albom juga sama konservatifnya (“This is okay with you, isn’t it? Men crying?”) Klisenya sih sama. In the end “Love wins. Love always wins.” Pret. Semacam chick lit versi laki-laki. Can we please come up with a term for this? Biar seksisnya adil.

Setelah hampir 20 tahun lalu berlalu, gak ada perubahan yang berarti dari buku-buku genre ini. ‘Tuesdays’ diterbitkan tahun 1997, ‘Sabtu’ tahun 2014. Dua-duanya sama-sama berbagi kisah inspiratif dari self-absorbed privileged people. Nyaris nggak ada tuh hubungan mereka dengan atau bagaimana mereka melihat dunia luar (kalaupun ada di ‘Tuesdays’, ya rasanya cuma sebagai alasan nggak esensial), yang ada cuma “self, self, self”. Hasilnya ya dua anak yang clueless bin teoritis karena yang dipelajarin cuma kuliah satu arah dari video si Bapak.

Lucu bahwa kami melihat Bapak sebagai seorang control freak karena Albom pun juga seorang control freak.
“Instead I buried myself in accomplishments, because with accomplishments I could control things, I could squeeze in every last piece of happiness before I got sick and died, like my uncle before me, which I figured was my natural fate.”

Dimana ‘Tuesdays’ (dan ‘PS I Love You’, ‘Il Mare’, ‘The Lake House’, Kuch Kuch Hota Hai’ dll) menghadirkan pengulangan kehadiran si orang lain sebagai tokoh utama lainnya, di Sabtu si Bapak cuma jadi perhiasan aja, sama seperti gimana dua anak si Bapak memandang perempuan-perempuan di kehidupan mereka seperti perhiasan. Menyedihkan. Si Bapak nggak pernah benar-benar ‘hadir’ dalam hidup mereka. Cuma jadi legenda, mitos dan silabus yang ditunggu setiap Sabtu tapi muncul cuma secuil di film ini. Satu-satunya adegan yang sedikit membuat saya tersentuh ya cuma saat Satya bermimpi ketemu Bapaknya dan melapiaskan kemarahan ke Bapaknya karena pesan-pesannya “misleading” (lha lu aja yang gableg mikir kok literal amat). Ada sedikit ketulusan walau itupun juga diragukan apakah karena bagian itu ditulis lebih baik atau memang karena Abimana aktor yang ok aja (karena Arifin, yang emang punya tendensi lebay, agak lebay di sini).

Satya, Saka dan ibunya lebih terlihat sebagai 3 manusia yang hidup sendiri-sendiri yang dihubungkan oleh ilusi “the Great Bapak”. Entah apakah novelnya juga sepatah-patah ini atau memang penyutradaraan filmnya saja yang patah-patah. Dari Satya, loncat ke Saka, loncat ke Ibu, semua dengan isunya masing. Sure, setiap orang punya isunya masing-masing dan idealnya memang setiap tokoh dihadirkan utuh tanpa ada yang jadi lebih utama dan selebihnya jadi figuran. Tapi ini cemplang banget lho, kayak mata lo tiba-tiba disenterin di ruang gelap pekat, gak ada transisinya. KZL kan? Ditambah akting semua pemain di luar Abimana yang kayak shooting FTV kejar setoran, kayak si dua anak buah gengges yang jadi bikin kami mikir, ini kantor atau playgroup? Lengkap sudah garingnya.