Cover Version, yes or no?

cover-version

Kalau saya nyetir didampingi istri saya sepanjang jalan yang ‘unpredictable’ dari gandul-gandul sampai Gedung Victoria Blok M kami ditemani oleh radio Delta yang dulu pernah jadi tempat saya kerja. Sepanjang jalan itu kami akan sing along pada lagu yang diputar. Bukannya kami berdua super perhatian sama musisi-musisi yang dapat heavy rotation di radio. Tapi justru karena mayoritas lagunya memang sudah tidak asing di kuping.

Oh iya, balik lagi ke Delta, sekarang radio ini bukan radio lagu oldies kok. Jadi kenapa yang diputar mereka masih akrab di telinga? Ternyata lagu-lagu yang heavy rotation di radio itu semua lagu pop lokal lama dengan suara dan musik yang baru.

Titi DJ bawain ‘Bila Kuingat’ dari Lingua, Andien bawai lagu ‘Rindu’ dari Warna, Mike Mohede nyanyi ‘Sahabat Jadi Cinta’ milik Zigas, Marcell bawain lagu ‘Mau dibawa Kemana’ dari Armada. Yes you right! Mau dibawa kemana musik pop jaman sekarang? Mayoritas lagu yang mengudara adalah lagu daur ulang alias cover version.

Racikan cover version dari dulu memang sering ada di satu album seorang atau kelompok musisi. Tapi itu sejatinya adalah sebuah trik untuk musisi baru biar cepat T.O.P. Nah kalau diva macam Titi DJ nyanyiin lagu Lingua, itu tentu saja masalahnya bukan trik supaya dia terkenal. Bukan juga trik untuk membuat Titi DJ bersahabat dengan telinga anak muda sekarang, bok… Lingua aja top di dekade 90-an. Terus kenapa?

Mungkin jawabannya ada di toko-toko kaset yang sekarang tutup. Karena pencipta lagu itu kan hidupnya dari hak cipta yang nempel di produk fisik. Kalau penjualan RBT, kaset, CD, atau yang lebih baheula PH sudah gak ada, apa yang mereka hasilkan?

Dunia digital memang menawarkan digital store, tapi tetap itu rentan dibajak. Sekali online pasti menjalar ke kuping-kuping commuters yang dengar musik dari HP. Sekarang ada lagi layanan musik langganan seperti Spotify, tapi kalau sharenya dikit mending si pencipta lagu bikin jingle iklan aja deh ketauan.

Musisi tetap hidup dari manggung di inbox, tapi pencipta lagu terpaksa kencangkan ikat pinggang. Sedih memang, tapi sebenarnya walau si pencipta lagu berhak untuk ngeluh karena share mereka ledes, kita bisa balikan lagi, apakabar si NN pencipta Kampuang Nan Jauah di Mato?

Teks: Edo Wallad

giring ganesha, sang mantan, sang juara

oleh: ratri ninditya
 

tadi malam, saya berdiskusi dengan si ngewer dan kakaknya mengenai Giring Ganesha, vokalis band Nidji yang makin hari makin mirip Ridho Roma.

ada beberapa kesimpulan tentang ‘seniman’ yang satu ini (dia ngaku loh dia itu seniman banget):

  1. Giring seorang megalomaniak
  2. Giring tidak pernah lulus atau suka mencontek ujian Bahasa Indonesia
  3. Giring is trying too hard to be poetic
  4. Giring stress karena kebanyakan tuntutan dari industri musik (pasar dan label rekamannya)

hal ini paling terlihat dalam lirik lagu Sang Mantan

dari judulnya, kita berasumsi ia menggunakan ‘Sang Mantan’ sebagai kata ganti orang ketiga karena ‘Sang’ fungsinya mirip ‘The’ pada Bahasa Inggris, yakni menyebut sesuatu yang telah dibicarakan sebelumnya. Jika digunakan dalam konteks ‘Mantan’, maka penggunaan kata depan ‘Sang’ berfungsi menekankan bahwa mantan pacar ini adalah orang yang berarti dalam hidup orang pertama yang menyebut. Dia bukan Si Mantan, satu dari sekian puluh yang ecek-ecek, melainkan Sang Mantan, yang meninggalkan memori manis tak terlupakan.

ternyata eh ternyata, Sang Mantan menunjuk pada diri sendiri, dapat dilihat pada bagian reffrain,

“… Saat ku terpuruk sendiri

Akulah sang mantan

Akulah sang mantan…”

geer banget ya dia, pede banget ngira mantannya ngomongin dia dan menganggap dia berarti.

kegeeran berlanjut, juga pada bagian reffrain,

“…Kini engkau pun pergi

Saat ku terpuruk sendiri……

Kini engkau pun pergi

Saat ku jatuh dan sendiri…”

kenapa kita tuduh geer, krn mau ampe kiamat juga namanya sendiri gak ada yg mungkin ninggalin pergi kan udah gak ada org lain lagi. kecuali, jika sendiri yang dia maksud adalah single atau tidak berpacar, namun masih sempat dikejar-kejar sang mantan. sekarang, mantan tersebut berhenti mengejar. sedangkan, giring gak mau kehilangan fans. sehingga, keadaan ‘terpuruk, jatuh, dan sendiri’ yang sudah dideritanya mungkin akan makin parah tanpa mantan yang mengejar. ha ha aha.

namun asumsi bisa jadi berlebihan, mungkin saja dia hanya gak bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar (lihat kesimpulan kedua dan ketiga). ada yang bilang lirik lagu tidak harus logis dan masuk akal, karena itu adalah seni. namun, fungsi yang tidak logis dan masuk akal itu untuk menguatkan rasa dalam lagu, seperti lirik Risalah Hati dari Dewa,

“Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku”

sedangkan lagu Sang Mantan ini malah membuat penciptanya terlihat tolol. ketololan berlanjut karena Giring nampak bersusah-payah menjadi poetic, sayangnya jadi terlihat pathetic. Contohnya,

“Kini roda telah berputar”

dan

“Sakit teriris sepi”

kalau yang ini sih lebih ke masalah selera. beberapa orang mgkn tidak keberatan dgn itu. tp klo buat saya sih mengganjal sekali, ditambah irama melayu gak karuan. enakan Ridho Rhoma kemana-mana deh. menurut si ngewer, Peter Pan lebih mengena,

“…engkau bukanlah segalakubiarkan hujan menghapus jejakmu…”

kalau tidak mau menyalahkan Giring, mungkin kita bisa anggap dia stress dapat tuntutan dari banyak pihak (kesimpulan 4). kalau saran saya buat Giring sih, daripada “…pikiran pusing tidak karuan, mendingan kumpul kebo (ya cuma kebo-keboan)…”

 

*pertama kali diposting di sini

**gambar diambil dari sini

giring dengan gayanya yang aduhai

 

Lirik Lagu Asyik


Teks. Edo Wallad

Rasanya yang kita dengar sekarang di lagu Indonesia hanya lagu seputaran sakit hati, janji, dan selingkuh. Formula itu harus ada agar lagu anda diterima label dan telinga masyarakat (atau membodohi masyarakat dengan membentuk opini publik kalau itulah yang mereka butuhkan). Yang membuat saya miris adalah ketika teman-teman saya akhirnya bermutasi dan berpura-pura bisa menikmati musik picisan itu. Sebut saja ada teman saya yang pernah mengenyam kuliah di negeri kanguru dan bisa menikmati musik seperti Sigur ros, Magnetic Fields, dan Muscles harus mengadaptasi kupingnya supaya bisa menikmati ‘cinta ini membunuhku’ atau ‘lalu bilang i love you padaku’. Bukan cuma dia, salah satu teman yang menjadi biduan di grup reggae terdepan indonesia harus men-tweet kalo dia sebaiknya bisa menikmati lagu-lagu itu agar dia bisa mengerti apa selera pasar Indonesia.

Ketika Fariz RM bincang di talkshow acara saya yang dipandu Farhan dia mengucapkan satu kalimat klise tapi sangat saya rasakan kebenarannya; “musisi 80 (jamannya pop kreatif) itu jamannya musisi menggiring industri, tapi sekarang yang terjadi kebalikkannya. ”

Mungkin lagu saya tidak pernah jadi mengiang di kepala orang banyak, tapi saya lebih baik mati mencoba untuk meningkatkan selera pasar indonesia, dari pada harus terus membodohi selera pasar.