#salahfokus: wregas bhanuteja

A nondescript primitive mask with Wregas Bhanuteja

A nondescript primitive mask with Wregas Bhanuteja*

setelah empat kali mencoba menonton film prenjak wregas bhanuteja dan selalu kehabisan tiket, akhirnya berhasil juga di suatu siang yang panas di kineforum di belakang 21 tim. menurut seorang teman yang tidak mau disebutkan namanya for fear of banci budaya reprisal, menonton prenjak yang menang discovery prize yang disponsori leica di semaine de la critique udah jadi status simbol baru buat hipster budaya (banci budaya’s new nom de guerre) jakarta, bagaikan pakai tas kånken buat menenteng koleksi moleskine yang didampingi buku glorified self-help lala bohang (dengan potongan tiket prenjak sebagai ersatz bookmark).

siang itu yang diputar selain prenjak juga empat film pendek wregas yang lain sebelum itu dalam sebuah program yang dinamai “fokus: wregas bhanuteja”, semacam retrospective keauteran dia selama ini dari senyawa (2012) sampai prenjak (2016) yang diputar secara kronologis. di antara kedua itu ada lembusura (2014), lemantun (2014), dan floating chopin (2015) yang sudah saya tonton semua sebelumnya. menonton maraton karya seorang sutradara selalu asoi, membuat semua benang merah karyanya terlihat, kecenderungan-kecenderungannya, obsesinya, kekuatannya, kelemahannya, kegenitannya, ideologinya (kalau ada), etc. begitu juga yang terjadi kali ini.

jadi?

senyawa

senyawa di sini bisa berarti satu nyawa atau alkemi antara seorang anak perempuan katolik dan bapaknya yang islam dan khotib mesjid. keduanya berkongsi mempersembahkan sebuah memento buat ulang tahun pertama kematian ibu/istri mereka (yang juga katolik), dalam sebuah kerjasama lo-fi yang melibatkan dumbphone murahan dan tapedeck kadaluwarsa untuk merekam lagu ave maria versi kesayangan nyokap di sebuah kampung di manggarai yang menjadi metafor yang agak terlalu cute dan dipaksakan buat kemeltingpotan indonesia harga nego no afgan. film diakhiri dengan bapak dan anak makan nasi kuning di atap rumah sambil memperdengarkan ave maria rekaman si anak kepada foto nyokap dalam pigura sambil memandang vista kampung melayu yang oh indahnya jika tanpa konflik sektarian/tawuran tarkam. seandainya SARA bisa beralkemi menjadi bhinneka tunggal ika samawa!

lembusura

my personal fave on second viewing. kandungan metanya cukup untuk menetralisir gojek fisik masteng jogja (“susune gedhi lo”) yang so klise dan tiring. bisa saja film ini diinterpretasi sebagai usaha wregas mendekonstruksi mitos penunggu dalam budaya jawa (lembusura si penunggu gunung kelud yang sedang meletus waktu film ini dibuat — hujan abunya jadi salah satu elemen paling mistis dan indah dalam film ini) menjadi, ya, gojekan ala masteng jawa yang kita membuatnya abadi. tapi siapa/apa kita itu? superstition — solo show grotesque lembusura sempat dipertimbangkan apa distop saja waktu adzan soljum berkumandang — kah?  alam — diwakili gunung berapi hiperaktif seperti kelud — kah? tidak begitu jelas. wregas cukup lihay bercerita dan melucu, namun sepertinya dia cenderung membiarkan pertanyaan-pertanyaan lebih filosofis yang muncul dalam filmnya tidak terjawab (ataukah dia tidak sadar pertanyaan-pertanyaan itu ada?)

lemantun

terasa sebagai film terlemah dalam retrospektif ini karena kesentimentilannya yang mereduksi sebuah dramakomedi keluarga berbagi warisan menjadi kisah tentang indahnya kesetiaan seorang anak kepada ibunya. lemari-lemari (lemantun) yang tadinya siap menjadi metafor sarat makna untuk rahasia-rahasia keluarga yang mengerikan (think festen) akhirnya terbengkalai jadi sekedar red herring dari kecenderungan sentimentalisme wregas (ada juga di senyawa, dan nanti ada lagi di prenjak).

floating chopin

dalam esai yang saya link di atas, eric sasono memandang floating chopin sebagai le petit tour wregas untuk menafsirkan kembali oposisi biner eropa vs. non-eropa dalam kerja budaya (contohnya bikin film).

maybe.

interpretasi lain bisa juga film ini ternyata sebuah extended instagram video tentang “pakansi” (meminjam istilah eric) non-janggal sepasang hipster jogja. #sky #clouds #beach #food #nature #sunset #night

ending film ini menunjukkan satu lagi kecenderungan wregas, kelihaiannya membuat kesimpulan dalam filmnya terasa suspended (in this film, literally), stuck in the middle, a work in progress.

kecenderungan ini seperti saya katakan tadi ada juga di lembusura. apakah wregas masih mencari jawaban-jawabannya, atau lagi cari aman? (enak juga membiarkan pertanyaan ini juga menggantung seperti ini.)

prenjak

tidak seperti yang diiklankan sendiri oleh wregas (“it’s all about seduction“) ternyata meki dan kenti dalam prenjak ternyata red herring juga buat sebuah kisah derita single mum dalam sebuah negara dunia ketiga yang patriarkal di mana kuasa meki ternyata menjadi musnah di hadapan hegemoni kenti-kenti yang mendominasinya.

dua key scenes dalam film ini adalah waktu si cewek di detik keduapuluhenam di bawah meja dengan korek gas menyala akhirnya memutuskan untuk membuka mata dan melihat kenti si cowo yang sedang mulai ngaceng. matanya terpaku dan dia lupa korek gas harus mati dan dia harus memalingkan muka lagi di detik ketigapuluh. sampai di sini adegan ini terasa klise sekali, bahkan misoginistis, bagaimana mungkin seorang single mum yang katanya mbuh ra ruh tentang suaminya yang awol dan hanya setuju untuk masuk ke bawah meja untuk gantian melihat kenti si cowok demi mendapatkan ekstra Rp 60 ribu buat bayar kos begitu melihatnya jadi langsung tersepona dan mungkin basah juga sehingga later that day dia mau-mau aja dianterin pulang sama cowok gatel oportunistis ini?

namun kemudian ada semacam redemption buat scene ini di akhir film waktu single mum memandikan anaknya dan menyabuni kenti kecil anaknya — juga diliatin (o begitu total dominasi kenti dalam hidupmu, single mum!), sehingga timbullah kemungkinan interpretasi bahwa single mum tadi waktu di bawah meja mungkin bukan terpana karena terangsang tapi terpana dalam sebuah epiphany bahwa, ya, hidupnya sejauh ini masih berakhir menjongkok di bawah kenti (posisi yang sama waktu dia menyabuni kenti anaknya).

problem terbesar prenjak: apakah relasi kuasa dunia ketiga sekali lagi harus diceritakan dalam kisah tentang deviant sexuality (bandingkan misalnya dengan the fox exploits the tiger’s might lucky kuswandi)? buat konsumsi domestik mungkin ini strategi yang masih bikin ngaceng, tapi dalam konteks jualan ke festival film luar negeri? makin crot! 😛 8=======D~~~

walaupun berita-berita lokal soal prenjak sering berusaha menjelaskan tentang kehiperlokalan tradisi mrenjak ini, wregas sendiri bilang, “i’m glad the story is not too local, too javanese for the foreign audience to understand.”

but is being “not too local” necessarily a good thing?

prenjak’s transgressive rhetoric and why festivals are loving it

dalam bukunya “extreme cinema: the transgressive rhetoric of today’s art film culture”, mattias frey mengeluhkan tentang filmmaker-filmmaker dari negara kecil termasuk negara dunia ketiga yang melakukan “auto-erasure” dan “auto-ethnography/self-orientalism” untuk menarik perhatian festival-festival film bergengsi di negara dunia pertama. auto-erasure terjadi saat seorang filmmaker mengurangi atau menghilangkan ciri-ciri lokal film mereka dan menekankan elemen-elemen yang lebih universal dan gampang dimengerti. sementara auto-ethnography/self-orientalism terjadi saat produk kultur sebuah negara (film misalnya) mempertahankan atau bahkan melebih-lebihkan “identitas lokal” mereka buat jualan. contoh identitas lokal itu misalnya loch ness monster, geisha, atau ya, tradisi prenjak di jogja tahun 80an.

wregas sepertinya sudah lumayan lihay memainkan dua strategi di atas, yang di atas kertas sepertinya bertentangan satu sama lain. semua filmnya di atas mengandung auto-ethnography/self-orientalism (negara kesatuan republik manggarai di senyawa, lembusura di lembusura, jawirisme di lemantun, hashtag #SEAneoralism di awal floating chopin, tradisi mrenjak di prenjak, bahasa jawa) tapi juga auto-erasure (manggarai sebagai anykampung, nkri; topeng lembusura yang seperti amalgamasi segala macam topeng primitif yang biasa dinikmati publik barat di museum-museum mereka (try lantai dasar centre pompidou); setting dan cerita prenjak yang despite bahasa jawanya bisa anytown, asean — inikah juga kenapa ada hashtag #SEAneorealism itu, bukan #gunungkidulneorealism?).

sejauh manakah kedua strategi pemasaran film-film wregas di atas mempengaruhi suara filmnya sendiri? apakah high-irony dalam lembusura (“sekalian mukul gendang aja, biar makin primitif”) bagian dari ideologinya, atau bagian dari pemasaran lagi (karena high-irony seperti itu laku di festival-festival luar negeri)? apakah prenjak akan jadi film yang lebih bagus jika menganalisa lebih dalam konteks lokal tradisi mrenjak daripada menguniversalkannya? apakah imaji sutradara naive-genius di interview wregas dengan semaine de la critique di sini — yang menghindari pembicaraan yang lebih filosofis tentang filmnya sendiri seperti dia lakukan di media lokal di sini dan lebih berfokus pada obrolan-obrolan teknis ala kru — bagian dari pemasaran atau the real wregas?

di poin inilah keinlanderan hispter budaya nusantara yang berbondong-bondong menghadiri screening prenjak setelah menang penghargaan di cannes, sebuah isu kuno, bisa menjadi berbahaya. how many of them would’ve gone seandainya prenjak menangnya di vladivostok film fest? seberapa banyak dari mereka yang datang demi novelty value ngeliat jembut (mekinya ga keliatan kok) dan kenti di layar bioskop indonesia, dan berapa banyak yang datang karena berpikir sebuah film yang menang sesuatu di cannes pasti bagus? fokus: wregas, atau #salahfokus?

 

 

 

 

*foto dari sindang

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s