Relationship 3.0 ala Bride for Rip Van Winkle

Bride for Rip Van Winkle adalah petualangan tiga jam yang penuh kejutan. Walaupun bukan kejutan ala confetti warna-warni, tapi lebih seperti kejutan rasa muted colours agak fade-fade gitu. Sutradara Shunji Iwai dalam film terbarunya ini mencoba mendefinisikan ulang arti keluarga dan hubungan antar manusia dalam era sosial media di Jepang melalui sebuah narasi yang aneh dan plot penuh ketidakpastian bernuansa melodrama slash gothic.

Iwai membangun ceritanya di tengah konteks Jepang sekarang, saat angka kelahiran turun dan semua orang punya masalah dengan hubungan nyata, sehingga lebih baik menghabiskan waktu sendiri berinteraksi di media sosial dengan nickname-nickname spektakuler. Tapi apa sebenarnya arti hubungan nyata? 

Di awal cerita kita diperkenalkan dengan sosok Nanami (Haru Kuroki), seorang guru SMP paruh waktu yang pemalu dan bersuara kecil. Ia suka main Planet (sosmed semacam ask.me), bertemu dengan calon suaminya juga dari dunia online. Saat menikah, Nanami bingung karena ia tidak punya teman ataupun keluarga yang bisa diundang, kecuali ayah ibunya yang sudah bercerai. 

Nanami lalu mulai berkenalan dengan Amuro (Go Ayano), pengusaha misterius serba bisa yang menawarkannya segala service dari menyediakan teman dan keluarga bohongan untuk datang ke kawinan, memata-matai sang suami karena dicurigai berselingkuh, sampai menawarkan ia pekerjaan setelah dipecat dari sekolah.

Amuro ternyata punya agenda lain. Ia menjerumuskan (atau menyelamatkan?) Nanami ke dalam perceraian hingga ia tak punya tempat tinggal. Cara bicaranya all-business dan wajahnya nggak terlalu spesial, tapi motif aslinya tidak pernah jelas sampai film berakhir. Dia seperti embodiment agan-agan Kaskus yang sukses dalam kepala saya: dingin, faceless, dengan identitas sebatas dagangan-dagangannya.

Amuro menawarkan aneka pekerjaan ke Nanami, termasuk menjadi teman bohongan mempelai perempuan di suatu pernikahan lain. Di sanalah ia bertemu Mashiro (Cocco), seorang aktris kurang terkenal, ngakunya. Mashiro yang meledak-ledak dan karismatik adalah antitesis dari Nanami yang pasif. Bersama tiga orang yang tidak dikenal, mereka berperan jadi keluarga dalam sehari. Kehangatan yang mengharukan terjadi saat mereka after party mimik mimik cantik dan mengaku bahwa mereka semua sendiri dan tidak berkeluarga.

Seperti plot-plot cerita gothic, Amuro, menggiring Nanami untuk bekerja di sebuah mansion tua dengan pemilik misterius. Di sinilah Nanami bertemu lagi dengan Mashiro dan memasuki babak baru hidupnya. Dengan sangat organik Iwai menunjukkan perkembangan hubungan Nanami dan Mashiro yang semakin intim. Mereka gandengan, pelukan, cium pipi, tidur bareng, cium bibir, semua dalam area yang lebih intim dari friendzone, dan lebih meluap-luap dari romancezone. Mashiro mengajak Nanami belanja gaun pengantin dan melakukan upacara pernikahan bohongan, yang tentunya kelihatan lebih berarti dibanding adegan pernikahan Nanami dan mantan suaminya sebelumnya. Saat semua rahasia terbuka, Nanami menghadapinya seperti orang yang benar-benar berbeda.

Film ini adalah jawaban sang sutradara akan pesimisme terhadap hubungan antar manusia di masa depan. Ketika keluarga inti sudah tidak berfungsi lagi, manusia akan selalu menemukan cara lain untuk menjalin hubungan, karena keintiman akan selalu dirindukan. Gender bisa jadi tidak penting lagi, kelas sosial dan pekerjaan jadi tidak relevan, bahkan status-status seperti “teman”, “pacar”, “suami/istri” bisa dengan gampang ditukar-tukar. Apakah internet membuat kita semakin terkotak-kotakkan, atau sebaliknya? Apakah identitas sejati kita adalah anonimitas?

Oleh: Ratri Ninditya

gambar dari sini

Leave a comment