Jalanan: Bukan (Resensi) Film

aldiron

oleh Mumu Aloha*

Sebelum nonton ‘Jalanan’, sebuah film dokumenter karya Daniel Ziv yang sedang menjadi perbincangan hangat kelas menengah terdigital Jakarta di Blok M Square, Minggu (13/4/2014) saya melewati 7-Eleven Melawai. Seperti biasanya, selain bapak-bapak ambon yang duduk-duduk layaknya orangtua linglung sedang menikmati masa pensiun, selalu ada balita dan ibunya yang tidur di emperan salah satu sisi. Kalau kau duduk di dalam, dan sedikit melongok ke luar kaca, ke bawah, maka tampaknya ibu dan balinya itu. Mereka kotor, penyakitan dan tidur begitu saja, seolah di kamarnya sendiri, kalau memang mereka punya rumah atau kontrakan.
Lewatlah di situ jam berapapun, dan pemandangannya selalu sama. Kadang-kadang jumlah ibu-ibu dan balitanya itu begitu banyak, cukup untuk membayangkan sebuah acara arisan. Kalau tidak sedang tidur, mereka biasanya makan mie dalam wadah plastik, seperti sedang piknik.
Setelah melewati itu, kau akan melihat deretan toko emas. Di depannya selalu ada: perempuan yang duduk mengemis dengan bayi berkepala besar, yang selalu tidur, seperti setengah mati atau setengah hidup. Seingat saya, sudah 10 tahun lebih saya melewati jalan itu, dan bayi itu tak pernah tumbuh jadi dewasa, hanya kepalanya yang terus membesar. Dan, bayangkan, waktu 10 tahun tak mengubah apa-apa, selain 7-Eleven yang dulunya tidak ada. Hanya itu. Di samping perempuan itu, ada dua-tiga pria yang jualan kacang dan buah-buah dalam plastik-plastik mungil, digantung di tiang kayu kecil sehingga bisa ditenteng ke mana-mana. Ada juga bapak-bapak penjual lemang dalam nampan platik kecil yang dijajakan di atas pot besar pohon palem hiasan pinggir jalan depan Blok M Square. Kalau kamu taksir nilai “dagangan” mereka itu, masing-masing tak akan lebih dari satu kali kau duduk-duduk ngopi di Starbucks Pasaraya yang tak jauh dari situ. Bahkan, kalau semua dagangan mereka kamu gabung, total nilainya tak akan menguras dompetmu saat itu.
Saking seringnya lewat situ, dan dalam waktu yang terhitung bertahun-tahun, kadang saya merasa menjadi bagian dari kehidupan kecil di tempat itu. Barangkali mereka juga mengenali wajah saya sebagai salah satu warga Jakarta yang kerap berseliweran di daerah itu. Jam berapapun saya lewat, pria-pria itu pasti berjongkok di situ, ngobrol, bercanda, sambil menunggu pembeli.
Pada sisi yang lain dari area yang sama, kau tahu, ada terminal. Sesekali rasakanlah suasana kehidupan malam di situ. Atau, mau dengar saja cerita saya? Suatu kali, saya makan nasi gule di situ. Saya memang cukup sering makan di situ. Bakwan malang, nasi goreng, sate padang, yang berbaur dengan asap metromini yang ngetem. Pedagang kakilima di situ tak bisa ditertibkan. Petugas akhirnya membuat aturan, mereka hanya boleh berjualan di malam hari. Sudah mirip pasarlah itu salah satu sisi di bagian depan Terminal Blom M itu. Kalau duniamu hanya sebatas garis terluar lobi mall, tempat kamu biasa ngantri taksi Blue Birds berjam-jam, barangkali sulit membayangkan kehidupan macam apa yang bisa dan mungkin terjadi di panggung semacam terminal bus dalam kota dalam propinsi seperti itu.
Panggung itu seolah jauh, tak terjangkau, atau bahkan mungkin tak terlihat, kecuali sesekali saja dari balik kaca Avanza-mu, kalau kebetulan kamu pas mengangkat kepala dari layar iPhone.
Jadi ceritanya, saya makan nasi gule, dan tiba-tiba seorang perempuan, dengan daster buluk dan menebar bau duduk di samping saya. Seusai makan, ia berbisik pada saya dengan nada yang malu-malu, intinya minta saya menambahi uangnya untuk membayar nasi gule itu. Dengan gagah dan jumawa saya langsung bilang, tenang bu nanti saya bayarin saja sekalian. Lalu ia mengajak ngobrol setelah mengucapkan terima kasih. Ia tinggal di sekitar Blok M Mall (terletak di area bawah tanah terminal). Saya tak begitu menangkap maksudnya, tapi kemudian dia menjelaskan bahwa ia tinggal di sebuah sudut di areal parkir basement. Kerjaan sehari-harinya memulung. Cerita persis asal-usulnya saya lupa, yang jelas sudah pasti klise. Ia merantau dari Surabaya karena suatu sebab. Anak lelakinya kadang menengoknya, dan ia menemuinya di sekitaran Blok M situ juga.
Kenapa tidak pulang saja ke kampung? Setiap bertemu dengan perempuan-perempuan seperti itu, baik di terminal maupun di dalam metromini, pertanyaan seperti itu selalu dijawab sama; jawaban yang tak jelas, tak konkret, yang intinya hanya ingin menghindari pertanyaan itu. Sebab, bagi mereka, hidup itu ya yang terjadi dan dihadapi saat ini. Keinginan, rencana dan pilihan itu tidak ada.
Pertemuan dengan orang-orang seperti itu biasanya lalu membuat dada saya jadi terasa bolong, hampa. Saya selalu teringat kembali dengan kejadian saat saya makan di kakilima di trotoar antara Kampus Atmajaya dan Plaza Semanggi. Ketika saya sedang makan, seorang ibu-ibu berlogat luar Jawa datang dan berkata pada tukang sate padang: Bang, boleh beli ketupatnya saja, uang saya tidak cukup. Kalimat ibu itu seperti gema yang terus berdengung di telinga saya, dan membuat saya ingin menangis.
Saya lalu memperhatikannya; pakaiannya bagus, bersih, pantas. Sama sekali bukan gelandangan. Tapi, apa bedanya? Setiap ingat itu lagi, saya selalu menyesal kenapa waktu itu tak membayarinya. Waktu itu saya masih baru di Jakarta dan masih percaya oleh mitos yang mengatakan bahwa Jakarta ini kota yang sangat kejam sehingga jangan sekali-kali berinteraksi dengan orang yang tak kamu kenal.
Semua orang Jakarta, saya rasa, hidup dalam mitos itu selama bertahun-tahun, sehingga mereka memilih untuk membuat dinding yang membentengi dirinya. Dinding itu bernama ketidakpedulian.
Belakangan saya belajar banyak hal tentang Jakarta. Saya telah mengalami, atau setidaknya melihat, hampir semua modus kejahatan yang bisa terjadi di jalanan. Bukannya tidak takut, tapi saya telah memilih: mengakrabi jalanan sebagai bagian dari denyut kehidupan untuk menciptakan sebuah kota dengan interaksi sosial yang manusiawi.
*pertama kali diterbitkan di sini