Setelah Captain America dan Amazing Spiderman 2, rasanya menonton film drama sederhana jadi puas banget. Bukannya Spiderman jelek, tapi kita bakal bahas kerennya Spiderman di tulisan lain.
Philomena (Judi Dench) adalah nenek-nenek yang naif, yang terlalu banyak baca novel roman picisan dan Readers Digest, begitulah Martin Sixsmith (Steve Coogan) menganggapnya. Martin sendiri adalah mantan jurnalis politik yang beralih jadi penasehat politik lalu dipecat karena suatu hal. Dua orang dari dua generasi dan kelas sosial berbeda lalu dipertemukan untuk satu tujuan penting, menemukan anak Philomena yang tak ia temui selama 50 tahun.
Keduanya sama-sama mencari pengampunan. Martin setuju untuk menulis artikel “human interest” (eufemisme dari cerita tentang manusia-manusia yang menyedihkan dan putus asa, kira-kira begitu Martin bilang) karena dia merasa selama ini dia hanya melakukan pekerjaan sampah. Sementara Philomena dengan ide-ide Katolik Inggris era 40-an yang telah terinsepsi jauh ke dalam dirinya merasa kehamilannya di luar nikah merupakan dosa besar.
Di awal film kita diperlihatkan Martin yang kelas menengah atas ngehe yang “terdidik” analitik dan sarkastik dengan condescending menganggap kepercayaan Philomena terhadap agama itu hanya kepercayaan buta, yang kini membuatnya terpuruk. Martin benci gereja yang hipokrit. Ngapain Philomena sibuk cari gereja untuk mengaku dosa sementara gereja yang berdosa sama Philomena.
Tapi seiring dengan terbukanya kebusukan asrama/gereja tempat Philomena tinggal dan dipaksa bekerja sebagai balas budi karena gereja mengurus anaknya, makin terbuka lapisan lain dari Philomena. Ternyata ia sudah melompat jauh dari batasan-batasannya, dan ia mampu menerima konsekuensi terpahit dari pilihannya. Anaknya gay dan meninggal karena AIDS, ia hanya mengangguk tenang. Ia memproses semua temuan-temuannya sepanjang jalan satu per satu. Dan justru kesederhanaan berpikirnya membuat ia seperti tidak perlu menyusun kepingan-kepingan puzzle jadi satu gambar besar yang rapi. Pemaparan yang sangat dwoar dari film ini yang saya rasa merupakan poin Steve Coogan sewaktu mengadaptasi kisah nyata Martin menjadi naskah film. Mengkaitkan semua menjadi the big picture memang lebih sering bikin lo gila. Hasilnya, Philomena justru terlihat lebih waras di akhir cerita.
Akhirnya semuanya terungkap, bahwa pencariannya selama ini hanyalah sebuah lingkaran yang besar. Karena anaknya meminta ia dikubur di gereja tempat ia dibesarkan dulu, tempat pertama Martin dan Philomena mulai mencari. Dan gereja sok ramah itu yang sebenarnya selama ini menjauhkan mereka satu sama lain. Di satu adegan mereka bertemu suster tua yang tahu tentang semuanya. Dengan semangat jurnalisnya Martin memaksa suster itu menjelaskan mengapa ia memisahkan seorang anak dengan ibunya, dan melakukan perbudakan anak dengan alasan agama. Suster itu balik mengumpat, bahwa Philomena telah melakukan dosa yang gak akan bisa diampuni, makanya ia harus menjalani semua ini. Di tengah tensi tinggi ini, Philomena justru menghentikan pertengkaran mereka dan ia bilang pada suster tua itu, kalau ia memaafkannya. Marah-marah terus itu melelahkan, memaafkan orang itu sulit. Tapi Philomena memilih untuk menenangkan hatinya sendiri.
Ini adalah sebuah film tentang pencarian. Apa yang kita cari memang sebenarnya ada dekat sekali. Ia bisa ditemukan di sebuah taman belakang terbengkalai gereja, ia juga bisa ditemukan dalam sebuah pengampunan. Philomena mencari pengampunan dan yang ia temukan justru kemampuan untuk mengampuni.
Tidak ada efek khusus dalam film ini, tidak ada simbol-simbol anekdotal yang pretensius. Film ini jadi bukti bahwa jika cerita ditulis sangat jujur merefleksikan kenyataan (bukan karena kisah ini berdasarkan kisah nyata, tapi Coogan yang peka melihat dilematika hubungan antar kelas di masyarakat inggris), hasilnya bisa menggerakkan hati banget. Cucok ditonton di hari minggu sore habis hujan.
*gambar diambil dari sini