IKEA Craze & Inlanderisme*

Ikea Craze & Inlanderisme

 

Oleh popteori

 

Setelah membaca kritik penulis kami jadi tergelitik untuk bertanya, apa sih yang ada di kepala penulis ketika dia mengaitkan kebiasaan setelah makan atau buang sampah sembarangan dengan Revolusi Mental? Menurut dia Revolusi itu apa? Semacam mukjizat yang datang dari langit gitu ya?

Mungkin penulis perlu mengintip pendapat Wijaya Herlambang dalam koranopini.com. Mengutip jawaban wawancaranya, ”Pertama, istilah Revolusi Mental ala Jokowi tidak ada hubungannya dengan arti revolusi itu sendiri. Kenapa? Karena setiap revolusi adalah sebuah perubahan drastis dari satu sistem ke sistem lain. Artinya, revolusi selalu dan melulu berhubungan langsung dengan reformasi kondisi sosial dalam waktu yang singkat.”

Berangkat dari konsep bahwa revolusi adalah perubahan drastis dari satu sistem ke sistem lain, jika penulis punya landasan pemahaman ini, tentunya dia akan dengan lebih mudah memahami bahwa selama sistem-sistem yang berjalan di masyarakat masih sama dengan kondisi sebelum pencanangan misi ambisius Revolusi Mental, ya jangan ngarep mentalnya juga otomatis berubah, malih!

Dengan tulisannya yang holier-than-thou, penulis menggebu-gebu sekali mengajukan argumen-argumen menggelikannya.  Salah satunya misalnya penulis menyatakan bahwa IKEA mengusung “semangat global.” Bah, apa pula itu semangat global? Sepahaman kami, global memiliki makna berlaku umum (di seluruh dunia kalau mengacu pada konteks tulisan penulis). Apa yang penulis definisikan dalam “semangat global”-nya tentu tidak terjadi di seluruh dunia melainkan sebuah gambaran akan kebiasaan negara-negara yang umumnya tingkat pendapatan masyarakat tidak jauh berbeda antara satu jenis pekerjaan dengan pekerjaan jenis lainnya sehingga masyarakat dipaksa untuk “self-reliant” karena mereka tidak akan sanggup membayar untuk bantuan, misalnya bantuan rumah tangga. Sekali lagi, sistemnya yang memaksa mereka untuk “self-reliant”, bukan mentalnya yang memaksa.

Alih-alih terdengar global dan modern (apa pula maknanya sifat-sifat tersebut?) seperti keinginannya mengidentifikasikan diri dengan IKEA, si penulis malah terlihat super-Inlander!

Inlander atau Pribumi-Nusantara (“anak dari tanah/bumi Nusantara“) atau Pribumi-Indonesia adalah istilah yang mengacu pada kelompok penduduk di Indonesia yang berbagi warisan sosial budaya yang sama dan dianggap sebagai penduduk asli Indonesia.

Istilah “Pribumi” sendiri muncul di era kolonial Hindia Belanda setelah diterjemahkan dari Inlander (bahasa Belanda untuk “Pribumi”), istilah ini pertama kali dicetuskan dalam undang-undang kolonial Belanda tahun 1854 oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk menyamakan beragam kelompok penduduk asli di Nusantara kala itu, terutama untuk tujuan diskriminasi sosial. Selama masa kolonial, Belanda menanamkan sebuah rezim segregasi (pemisahan) rasial tiga tingkat; ras kelas pertama adalah “Europeanen” (“Eropa” kulit putih); ras kelas kedua adalah “Vreemde Oosterlingen” (“Timur Asing”) yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain; dan ras kelas ketiga adalah “Inlander“, yang kemudian diterjemahkan menjadi “Pribumi”. Sistem ini sangat mirip dengan sistem politik di Afrika Selatan di bawah apartheid, yang melarang lingkungan antar-ras (“wet van wijkenstelsel“) dan interaksi antar-ras yang dibatasi oleh hukum “passenstelsel“. Pada akhir abad ke-19 Pribumi-Nusantara seringkali disebut dengan istilah Indonesiërs (“Orang Indonesia”). [1]

Di masa kolonial, Inlander adalah ejekan orang Belanda buat penduduk asli di Indonesia. Secara etimologis, “Inlander” adalah kata Belanda untuk “Islanders” atau bahasa Indonesianya, “Pribumi”. Sekarang, ejekan “Inlander” ini sudah mengalami perluasan arti, bukan cuma digunakan untuk menjelek-jelekkan orang pribumi oleh overlord kolonialnya, tapi juga oleh sesama orang pribumi sendiri untuk mencela orang-orang katro yang mem-fetish-kan (memuja-muja tanpa alasan) segala macam hal yang berbau “Barat”.

Mungkin tulisan Eko Armunanto, Indonesia dalam Fenomena Jokowi-Ahok: Egaliter VS Inlander, dapat menjelaskan kepada si penulis sedikit banyak aspek poleksosbudhankam mentalitas Inlander-nya.

Mari kita baca lagi artikel di atas: judulnya saja sudah super-Inlander! “Mereknya Sih IKEA, Tapi Kelakuan Kita Masih Indonesia”—kenapa “Indonesia” diantitesiskan dengan “IKEA”, seakan-akan IKEA mewakili peradaban yang lebih maju dan Indonesia mewakili segerombolan monyet cari kutu di hutan rimba? Apa yang salah dengan “Indonesia”?

Penggunaan kata “tapi” dan “masih” dalam paragraf ini jelas menunjukkan si penulis merasa subyek pertama (IKEA) melambangkan sesuatu yang sifatnya lebih baik, lebih superior, sedangkan subyek kedua (Indonesia) adalah representasi dari sesuatu yang sifatnya lebih katro, lebih inferior.

Dengan kompleks inferioritasnya (inlanderismenya!), penulis membandingkan budaya IKEA yang (klaimya) serba teratur, mandiri dan disiplin dengan budaya orang Indonesia yang di tulisannya digambarkan jorok, seenak udelnya dan manja ala-ala pejabat dan putra keraton.

“Namun mungkin memang dasarnya kita bangsa Indonesia, terlalu sering dilayani oleh orang lain.” Sejak kapan kita, bangsa Indonesia (kalau mau menggunakan penyamarataan sifat yang dipakai penulis) terlalu sering dilayani oleh orang lain?

Kalau penulis melek sejarah, mungkin penulis bisa memahami bahwa “pelayanan” (dari yang dianggap subordinat kepada superiornya) adalah salah satu hasil dari praktek politik feodalisme dimana masyarakat dipecah-pecah menjadi kelas-kelas sosial yang kemudian melahirkan pembagian kerja dan derajat (buatan) berdasarkan kelas-kelas tersebut.

Apakah kemudian masyarakat yang dilanggengkan kelas-kelas sosialnya sampai sekarang ini semuanya “terlalu sering dilayani orang lain”? Bagaimana dengan mereka yang karena kelas sosialnya justru selalu menjadi subordinat dan melayani?

Katakanlah memang benar bangsa Indonesia jadi manja karena terlalu sering dilayani orang lain, bagaimana kalau kita bereskan saja mental cemen yang katanya suka keenakan dilayani orang lain ini? Dari hal sederhana aja, hapuskan jenis pekerjaan ART. Secara sistematis dan konstitusional. Toh ART sendiri juga merupakan suatu bentuk feodalisme kan? Kalau bisa, nah itu baru namanya revolusioner.

Di argumen ini, dengan stereotip dangkalnya, si penulis sudah gagal memahami kompleksitas masyarakat yang dia sendiri pun adalah bagian di dalamnya.

Penulis mungkin lupa bahwa kita hidup dalam sebuah ekosistem yang sangat tidak sehat dimana rakyat dikondisikan untuk “manja”. Negara tidak pernah hadir untuk rakyat. Jangankan bicara kenyamanan, kebutuhan dasar aja tidak dipenuhi karena dalam negara yang ultra-kapitalistik ini, pemenuhan kebutuhan dasar tanpa mencekik kantong rakyat gak bawa untung buat negara dan mengancam keberlangsungan hidup negara. Bagaimana kita merasa aman menyandarkan diri (senderan doang lho, belum sampai gantungan) pada negara saat negara tidak dapat menjalankan fungsi idealnya sebagai orang tua. Ingat gak dulu saat kita sekolah kita dicekoki dengan jampi-jampi untuk mencintai Ibu Pertiwi? Yah mungkin buat orang-orang macam si penulis ini gak penting untuk memahami makna dan konsekuensi dari istilah Ibu Pertiwi, yang penting “I’m Proud To Be Indonesian” aja, cyin!

Selain kelakuan pengunjung yang dianggap jorok dan seenak udelnya itu, juga banyak reaksi atas tulisan ini yang kemudian menunjuk pengunjung-pengunjung yang ogah antri. Apa bedanya dengan kondisi berkendara (dan urusan antri-antri lainnya) di Indonesia? Sama aja. Tentu saja kelakuan main serobot, main selak, gak mau tau peraturan dsb dsb selalu bikin panas. Tapi apakah yang memaki-maki juga mau melihat bahwa kondisi tersebut adalah gambaran gunung es carut marutnya negara ini?

Peraturan basa-basi, hukum dari yang karet sampai yang mandul, penegak hukum yang gak ada gunanya. Apakah keteraturan bisa terwujud hanya dari usaha sepihak tanpa memaksa pihak lain untuk turut berpartisipasi? Jalanan, terutama jalanan Jakarta, acakadut dan terasa seperti neraka juga tercipta terutama karena sumbangan polisi dan hukum lalu lintas yang gak pernah adil dan mencla-mencle. Kusut!

Melihat jalanan di kota-kota besar di Indonesia, atau minimal Jakarta deh, bak melihat kondisi kelas sosial di Indonesia. Kelas-kelas sosial di Indonesia merupakan produk dari ratusan tahun ketidakadilan. Mereka yang ada di atas rata-rata mendapatkan posisinya dengan berada dekat dengan kekuasaan. Oportunis lah. Bukan hal aneh bukan lihat pengendara kendaraan mahal, manusia-manusia bertas mahal bergadget terkini main serobot, main selak?

Mereka yang ada di kelas yang dianggap kelas bawah pun juga awur-awuran. Tentu bukan atas dasar alasan yang sama dengan si kaya. Ketika hidup dalam kesempitan, yang bisa dilakukan ya “survival of the fittest aja”. Udah begitu aja masih aja sering dianggap tidak bersyukur. Ck ck ck. Buruh masukin klausul meminta jatah susu merk tertentu dan biaya nonton bioskop per bulan banyak yang ngetawain. Bahkan ada yang komentar “beberapa orang emang ada yang gak tau bersyukur yah”. Karena (ternyata) kesenangan itu hanya boleh dimiliki oleh orang-orang yang punya uang. Karena mimpi akan hal-hal yang lebih baik hanya inspiratif selama tidak mengganggu kenyamanan batas kelas sosial. #bahagiaitukatanyasederhana.

Yang kejepit di tengah ya ada aja yang jadi kayak si penulis ini. Walaupun sama-sama keder tapi ya udah, belagak holier-than-thou aja.

Jadi kalau di kehidupan sehari-hari yang berlaku hukum rimba, bagaimana mungkin si penulis mengharapkan keajaiban hanya dalam hitungan selangkah kaki saja?

Begitu juga dengan IKEA. Bagaimana mau mengharapkan orang-orang tertib dan disiplin kalau stafnya sendiri pun masih blang bentong menjalankan kedisplinan tersebut. Kami mengalami juga diselak pengunjung lain di customer station. Tapi staf tidak menghiraukan hal tersebut sampai kami ajukan keberatan dan berkelit dengan alasa tidak melihat keberadaan kami. Bagi penulis yang pastinya sudah pernah mengunjungi IKEA tentu menyadari bahwa customer station di area gudang itu lowongnya kayak apaan tau. How can you miss a person standing in front of you?

 

wpid-imag2216.jpg

 

Demi terciptanya sebuah lingkungan yang super ideal teratur nyaman seperti sedang menikmati kemakmuran negeri-negeri Skandinavia sana, staf juga bertanggungjawab mengatur antrian. Staf juga bertanggungjawab menjawab pertanyaan pelanggan sesuai urutan kedatangan, bukan berdasarkan panjang pendeknya pertanyaan atau lama atau sepintas lalu pertanyaan itu diajukan. Tanggung jawab itu sifatnya 2 arah. Kalau staf alpa melakukan ini, apakah ini artinya manajemen juga ternyata alpa ? Well, in that case they are as uncivilised as the people they or the writer accused to be.

Penulis menganggap seakan-akan IKEA adalah sebuah realitas yang terpisah dari realitas lainnya di luar sana. Sebuah utopia di mana setiap manusia pribumi yang menginjakkan kakinya di sana diharapkan merevolusi mental primitif mereka dan meng-upgrade-nya dengan trolley kuning-biru, meteran kertas, dan sopan santun ala Skandinavia.

Sejujurnya kami pun lupa bahwa di utopia bernama IKEA ini kami diharapkan mengembalikan peralatan makan kotor di tempat yang telah disediakan, kebiasaan yang jauh lebih inggil daripada kebiasaan di luar sana. Ini kemudian kembali memunculkan pertanyaan, apakah si penulis dengan naif berpikir bahwa semua orang yang melangkahkan kaki ke dalam IKEA Indonesia pasti sudah pernah ke IKEA di luar Indonesia sebelumnya dan pasti paham dengan keberadaban IKEA? Bukankah ini berarti si penulis sama ignorant-nya, jika tidak lebih buruk, dari orang-orang yang dia kritik tersebut?

Betapa arogannya. IKEA bukan sebuah agen perubahan sosial budaya. It’s just another mega company trying to gain more profit in another country. Kalau si penulis menganggapnya sebagai another Thomas Stanford Raffles yang menyunggi white man’s burden untuk menularkan modernitas kepada kacung-kacung pribumi, maka justru ialah yang jelas perlu segera merevolusi mental inlandernya!

IKEA hadir di Indonesia? Santai aja. Sekali lagi, IKEA kan bukan sebuah agen perubahan sosial budaya.

Eh, ngomong-ngomong penulis sudah baca belum gimana cara IKEA ngadalin negara (dalam kasus ini Australia) supaya bisa meminimalisir pembayaran pajak? Katanya sih… ini merk global yang bersih dan beretika.

 

 

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Pribumi-Nusantara#cite_note-Pribumi-1

 

 

  *artikel ini adalah hasil bahasan bersama Edo Wallad, Festi Noverini, Gratiagusti Chananya Rompas, Mikael Johani dan Ratri Ninditya

One thought on “IKEA Craze & Inlanderisme*

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s