Mogul Mowgli: Gelisah Hibriditas Budaya

Menyaksikan Mogul Mowgli seakan diingatkan pada rasa sakit yang melumpuhkan, hence it feels viscerally painful and personal. For years, I have had and still have two of what are considered the most excruciating illnesses, acute pancreatitis (which led to gallbladder removal) and endometriosis + adenomyosis combo which forced me to be homebound, bedridden, and being dependent on pain killers to get by for months. Just a little background.

Tidak pernah menyaksikan Riz Ahmed sebelumnya kuanggap sebagai sebuah keuntungan karena aku menyaksikan Zed yang utuh, bukan Riz Ahmed sebagai Zed/Zaheer. Ahmed mengaburkan batas antara dirinya dan Zed, bahkan mungkin menguliti dirinya sendiri demi melebur ke dalam Zed. Mungkin juga Mogul Mowgli merupakan semi otobiografi Ahmed secara dia juga terjun langsung sebagai co-writer. Whatever that is, he is electrifying & breathtaking.

Karir Zed (Riz Ahmed), rapper Inggris berdarah Pakistan yang tinggal di New York, kelihatannya menuju lepas landas seiring dengan tawaran menjadi penampil pembuka tur Eropa artis lainnya. Sebelum tur dimulai, Zed menyempatkan diri pulang kampung ke London setelah disindir sehingga cekcok dengan pacarnya, Bina (Aiysha Hart). Di sinilah mimpi buruk Zed dimulai. Tiba-tiba Zed mendapati dirinya menderita kondisi autoimun yang menyerang otot, yang artinya pergerakan fisik Zed menjadi sangat terbatas. Ketakutan mimpinya pupus, ia menyetujui tawaran untuk mengikuti program pengobatan eksperimen dengan resiko kemandulan, sebuah keputusan yang ditentang ayah Zed karena menurutnya apalah arti manusia tanpa keturunan.

Ayah Zed, Bashir (played brilliantly by Alyy Khan), meninggalkan Pakistan dan pindah ke Inggris setelah Pemisahan India tahun 1947. Puluhan tahun berlalu dan Bashir masih menutup mulut setiap topik ini mengemuka. Guneeta Singh Bhalla, pendiri Arsip Partisi 1947 (sebuah organisasi non-profit di Berkeley, California) mengatakan, “Because their experiences weren’t given importance for so many decades, they just learned to feel that what they experienced wasn’t really worth talking about.”

Setiap kali Zed berada dalam kondisi tertekan, ia bermimpi (atau itu mungkin manifestasi kenangan buruk ayahnya) berada dalam gerbong kereta hantu (karena membawa mayat orang-orang yang dibantai saat berusaha melintasi perbatasan India dan negara baru Pakistan) dan menyaksikan kebrutalan pembantaian pengungsi yang terjadi selama migrasi massal tahun 1947 tersebut. Migrasi massal terbesar dalam sejarah manusia. Dalam mimpi dan halusinasinya, Zed juga selalu menjumpai laki-laki dengan muka tertutup rangkaian bunga (mala) menggumamkan nyanyian “Toba Tek Singh” (nama sebuah kota di Punjab yang juga dijadikan judul cerita pendek berlatar belakang pemisahan India oleh Saadat Hasan Manto), namun Zed tidak pernah memahami penuh arti kehadiran sosok tersebut. Mimpi dan halusinasi Zed bagaikan luka masa lalu Bashir yang diwariskan menjadi kegelisahan identitas Zed. Lahir dan besar di Inggris namun selalu dipertanyakan asal-usulnya. Semua diterjemahkan Ahmed dalam lirik “Where You From”. A brilliant and heartbreaking poem.

They ever ask you “Where you from?”
Like, “Where you really from?”
The question seems simple but the answer’s kinda long
I could tell ’em Wembley but I don’t think that’s what they want
But I don’t wanna tell ’em more ’cause anything I say is wrong

Britain’s where I’m born and I love a cup of tea and that
But tea ain’t from Britain, it’s from where my DNA is at
And where my genes are from
That’s where they make my jeans and that
Then send them over to NYC, that’s where they stack the P’s and that

Skinheads meant I never really liked the British flag
And I only got the shits when I went back to Pak
And my ancestors’ Indian but India was not for us
My people built the West, we even gave the skinheads swastikas

Now everybody everywhere want their country back
If you want me back to where I’m from then bruv I need a map
Or if everyone just gets their shit back then that’s bless for us
You only built a piece of this place bruv, the rest was us

Demi dapat kembali berdiri di atas kedua kakinya sendiri, Zed meruntuhkan idealismenya dan mencoba metode penyembuhan apapun yang ditawarkan; mulai dari metode medis (terapi eksperimen yang dapat berakibat kemandulan permanen) hingga tradisional (dari minum air yang didoakan, hingga menyerah untuk di-cupping secara diam-diam oleh keluarganya. Menurut mereka, “toh trennya sekarang semua atlit di-cupping dan semua orang beralih ke kunyit untuk pengobatan alamiah”. Insinuations for the white’s cultural appropriation of healthy and natural lifestyles craze). Menerima diobati secara tradisional seperti sebuah tamparan bagi ‘kemodernan’ Zed. Namun bagaimana mau mempertahankan prinsip dan memiliki otoritas penuh terhadap tubuh sendiri, ketika untuk bergerak pun masih membutuhkan bantuan orang lain? Tangisku meledak saat menyaksikan Zed bangun di rumah sakit dengan ayahnya membaca Al-Qur’an di samping tempat tidur. Juga di lain waktu saat ia bangun mendapati ibunya sedang mengelus kepalanya dan bapaknya sedang sholat di kursi. They are scenes that are too familiar with me. Sebagai anak yang sudah dewasa, sulit rasanya kembali bersandar (secara harfiah) pada orang tua yang notabene tidak lagi kuat.

Alyy Khan & Riz Ahmed

Bersandar pada orang tua juga ‘memaksa’ Zed kembali menghadapi pertentangan nilai dengan orang tua, terutama ayahnya. But at the end of the day, they are still family walaupun mereka acapkali bersitegang. Adalah Bashir yang menenangkan Zed yang frustasi, “Zaheer, sabaar. Insya Allah there’ll be more opportunities” (Lagi-lagi kubanjir air mata. Persis seperti mamakku kalau aku lagi frantic).

Façade Zed yang defensif, bahkan terkadang agresif, menjadi tameng atas kerapuhan Zaheed Anwar. Hibriditas budaya yang melahirkan konflik identitas berlapis Zed, walaupun di satu sisi menjadi inspirasi berkeseniannya, namun di sisi lain selalu membuatnya limbung dan gelisah. All of his insecurities and anxieties speak to me. Seperti misalnya, aku ingat ketegangan dan kegelisahanku di masa muda saat pertama kali menghadapi cupika cupiki, satu tradisi ‘anak gaul’ yang saat itu lumayan jauh dari nilai-nilai yang kupegang, coming from a rather conservative background aka si anak alim. Saat itu aku merasa seperti harus meminggirkan keislamanku demi dapat diterima lingkungan yang lebih ‘keren’? Mungkin sama seperti Zaheer yang memilih panggilan Zed. His cousin thinks he surrendered to the West, while he thinks he made a choice. Padahal sih inlander aja dia. So was I. Thanks to the wave of wokeness and intersectionality, we now realised that our insecurities and anxieties are valid. For a very long time, as people of colonised nations, we were made to believe that our cultural (and religious) values are backward or irrational than of the colonisers that a lot of times it makes us invalidated them.

This movie hits so close to home on so many aspects and dimensions; the cultural and value clashes, lost identity, illness and its effects, parents attending their adult-age child care, and taken away dream. I was so not prepared for the surge of emotions this movie brings. A wonderful feature debut by Bassam Tariq, who also co-wrote it with Riz Ahmed. Beberapa mungkin akan berpikir terlalu banyak yang ingin disampaikan film ini, tapi kalau kita pernah berada dalam persimpangan budaya seperti Zed, semuanya terasa sangat relevan.

Menjelang akhir, setelah gagal mengeluarkan sperma untuk dibekukan, Zed meludah ke dalam tabung, lalu memanggil suster sambil berkata “I’m finished”. Mungkin Zaheer yang lelah dengan semuanya menyerah memiliki keturunan, seperti tergambar dalam lirik rapnya,


“I tried to stand up for my blood but my blood won’t let me stand up
Let there me no more after me at least we’ll be at peace
If there is no seed after me Zaheer would be at peace”

Foto diambil dari https://www.mogulmowgli.co.uk/