Teks. Edo Wallad
Ojek adalah kendaraan kiriman dewa untuk membunuh kemacetan.
Karena sampai sekarang saya adalah pegawai yang berpenghasilan pas-pasan (mungkin gak terlalu pas-pasan juga kalau tidak impulsif melihat Nike Sale atau bomber jacket Pull and Bear) maka saya belum punya kendaraan pribadi. Untuk kemana-mana naik bis saya sudah terlalu renta, oops baru 31 kok renta? Maka bila saya harus memindahkan pantat saya dari bangku kantor ke bangku lain saya memilih naik taksi.
Tapi bicara Jakarta dengan macet mungkin sudah seperti bicara paku dengan palu. Selalu berbaku hantam tapi tidak bisa dipisahkan, maka tak heran kendaraan mobil bertarif lama sering saya lupakan kalau saya ada panggilan meeting atau liputan atau keperluan mendadak lainnya.
Solusi yang selalu bisa memecahkan masalah saya adalah motor dengan helm half face, pengemudi tua, dan jaketnya yang bau apek. Mereka tidak pernah mengecewakan saya untuk urusan siap sedia antar kemana-mana. Walau kadang kita harus menebalkan muka kalau dia berkata, “masa 10.000 mas, kan muternya jauh.” Dengan menjawab ringan “biasa segitu pak.”
Untuk menambahkan kenyamanan saya sendiri, saya akan mengabaikan panasnya cuaca Jakarta dengan menyumpal telinga dengan iPod dan memutar lagu-lagu dingin seperti Royksopp atau Enya.
Mungkin panas adalah musuh dari ojek, tapi dia masih bisa dikalahkan, beda dengan hujan. Hubungan ojek dengan hujan memang aneh. Bila seseorang sudah bersiap menentang hujan dengan membawa raincoat, kendaraan ini maka akan jadi satu opsi yang paling benar mengingat macetnya Jakarta kala hujan. Tapi untuk yang tidak bersiap diri bahkan membawa barang seperti laptop dan lain-lain, maka hubungan ojek dengan hujan akan jadi sangat buruk. You could just forget it.
Well anyway, untuk saya sendiri, ojek masih merupakan pilihan utama untuk membelah kebuntuan Jakarta. Asal jangan lupa, raincoat dan iPod.