oleh: Edo Wallad dan Ratri Ninditya
Saya selalu suka film kaiju. Mungkin ini karena represif memori saya pada film-film yang saya lahap kala saya kecil dulu. Di era video beta, almarhum ayah saya mengabulkan saya untuk menonton beberapa tontonan monster besar yang menyerang bumi dan akhirnya dilawan oleh tokoh pahlawan tokusatsu seperti Spectreman, Ultraman, atau Megaloman. Yang buat saya tertarik pada Godzilla adalah: saya selalu ragu, apakah kaiju satu ini jahat? Atau dia baik? Karena tidak ada tokoh pahlawan tokusatsu yang melawannya. Alih-alih malah dia menyerang kaiju-kaiju lainnya. Tapi saat itu saya terlalu kecil untuk punya kesadaran mempertanyakan hal tersebut.
Pertanyaan itu terus terpendam.
Ketika Godzilla diremake oleh Roland Emmerich di tahun 1998. Tidak ada yang berkesan buat saya kecuali lagu Jamiroquai. Dan saya benci dengan ide kepalanya yang lebih pipih serta rahang dan giginya yang seperti T-Rex.
Lalu datang Cloverfield yang membuat saya terkesan. Karena Hollywood berhasil menterjemahkan teror kaiju dari segala aspek. Mulai dari kamera trik handheld kamera, sampai bentuk monster yang tidak pernah utuh, sehingga menyisakan imajinasi terburuk kita akan kaiju yang menyobek patung liberty. Bahkan asal-usul kaiju di Cloverfield dibiarkan jadi misteri.
Lalu keluar film Pacific Rim yang mencoba untuk menguak asal-usul kaiju dari sisi mereka. Lengkap dengan robot Jaeger yang tabiatnya seperti jeger pasar melawan kaiju-kaiju jahat. Ide masuk ke dalam tubuh robot dan mengendalikannya, seperti kembali membuka kenangan saya yang terpendam akan mecha robot seperti Voltus 5 dan Godsigma.
Semua mimpi masa kecil saya, terjawab oleh Pacific Rim.
Nah kali ini Godzilla kembali diremake di era modern. Kala dia harus muncul sebagai jawaban yang tidak bisa dijawab oleh senjata manusia. Di saat ini juga ada internet yang bilang kalau Godzilla adalah sebuah metafora dari ketakutan manusia pada nuklir karena film pertama muncul sehabis bom Hiroshima dan Nagasaki serta kejadian kapal Lucky Dragon 5 yang terkena radiasi. Pertanyaan saya kembali muncul, apakah dia mahluk jahat? Atau dia baik? Atau dia adalah kekuatan alam untuk jadi penyeimbang? Yang jelas kini saya tahu, saya tidak perlu tahu jawabannya. Karena melihat Godzilla kembali ke laut lepas membunuh dua kaiju dengan lenggang yang cantik. Saya sudah terpuaskan dan bisa melupakan pertanyaan saya.
Film tentang godzilla berantem dengan makhluk raksasa lain di tengah kota mungkin gak akan punya nilai jual untuk penonton bioskop sekarang. Penonton yang manusia harus bisa relate. Karena manusia itu kan egois. Apa-apa harus relate biar suka. Elemen inilah yang dimasukkan ke dalam film, dengan gaya yang kalo feeling saya sih, menertawai diri sendiri. Ada satu adegan saat Dr. Serizawa (Ken Watanabe) bilang ke pasukan militer jangan bunuh gojira, karena gojira pasti bisa bunuh dua MUTO dan mengembalikan keseimbangan alam. Dijawab oleh pemimpinnya, “lalu kita nonton aja? ya nggak bisa dong!” Lalu pergilah mereka repot-repot mengerahkan seluruh pasukan menggempur 3 kaiju plus bawa reaktor nuklir untuk diledakkan. Kalau manusianya cuman nonton, apakah ada yang penonton bioskop bisa tonton? Ternyata #adaaa.
Di Godzilla versi ini, kita tidak melihat manusia jadi pahlawan. Tapi kita ditunjukkan sebuah persamaan antara kaiju dan manusia: insting hewaninya untuk bertahan hidup. Ford ingin menyelamatkan keluarganya. Godzilla ingin menguasai sumber radiokaktifnya yang terbatas sendiri aja. Ford jatuh pingsan, Godzilla jatuh pingsan dan sebelumnya mereka tatap-tatapan. Di awal film, Ford kecil menggeret flagchain “happy birthday Daddy” yang tampak seperti punggung Godzilla.
Teknik kamera mengajak penonton masuk ke dalam teror film ini. Kaiju-kaiju sering ditampilkan di balik kacamata terbang Ford, dari belakang kemudi dengan wiper menyala, dan kaca-kaca gedung yang berderak saat mereka terbang.
Film ini mempertanyakan kembali, monster itu apa sih? Apakah sepasang MUTO yang kebelet kawin? Apakah Godzilla raksasa yang lagi ngurangin saingannya untuk bertahan hidup? Apakah korporasi, militer, dan negara yang gayanya sok melindungi tapi ujung-ujungnya cuma ngorbanin rakyat kecil?