Oleh: Ratri Ninditya

Kelas menengah dikritik sesamanya karena terlalu hobi mengobjektivikasi pengalaman hidup kelas pekerja di dalam film, sastra, musik, seni rupa, meme, bahkan dalam dunia akademis. Aku ingat di awal 2010-an terminologi alay kita mainkan baik itu berupa olok-olok hingga apropriasi selera, bahasa, dan gaya hidup. Kita sempat termehek-mehek sekali dengan dangdut Pantura, film-film horor kelas B, lukisan di pantat truk. Cuplikan-cuplikan kejadian dalam kehidupan kelas pekerja juga dijadikan meme lalu disebarluaskan di berbagai WhatsApp group dan akun-akun Facebook. Kita menyebutnya “joke receh”. Cek juga deretan film-film arthouse termasyur yang sudah go internazionale itu. Daftarnya penuh dengan sutradara kelas menengah yang mengeksotiskan kehidupan kelas pekerja (consider these titles: Vakansi yang janggal, SITI, A Copy of My Mind, Kucumbu Tubuh Indahku, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak). Di musik, yang paling saya ingat adalah kolaborasi Dipha Barus dengan Arindi Putry, keyboardist jenius yang sempat menggegerkan jagad meme dengan kecepatan jarinya. Saya jadi ingat pojok dangdut featuring Bude Sumiati di Joyland. Pojok itu meremix segala lagu pop dalam irama dangdut dan segenap kawula muda sober bergoyang ikut irama. Saat itu, saya berada di tengah kerumunan, ikut berjoget sambil berpikir, apakah kami semua menikmatinya, atau hanya secara ironis menikmatinya? Tentunya kita tidak menikmati dengan cara yang sama ketika kita mendengarnya di dalam angkot bogor di malam minggu. Atau, apakah kita masih naik angkot di malam Minggu?
Kita terpikat sekali dengan hidup kelas pekerja karena hidup kita terlalu monokrom-aesthetic-steril ala majalah skandinavia dan kita terlalu bosan bosan bosan atas isu yang itu-itu saja. Tapi bagi kita kelas menengah, kelas pekerja hanya akan selalu menjadi objek yang siap dikonsumsi. Perasaan bersalah itu kemudian jadi bungkus identitas kita. Kita memandang diri sendiri dengan jijik dan malu. Perasaan kita tersaturasi, lalu lapuk dan terlupakan. Kita berkaca ke luar, tanpa melihat relasinya ke dalam. Kita pinjam perasaan-perasaan lain di dunia untuk jadi milik kita karena kita sudah lupa bagaimana caranya mengalami, merasa, menjelaskan rasa dan pengalaman tersebut. Lalu perasaan kita menjadi tidak nyata, tidak berhak dapat tempat dalam karya-karya seni dan dibicarakan dengan serius. Poin utama saya adalah, mengapa tidak kita bicarakan saja malu, jijik, dan rasa bersalah kita sebagai warga kelas menengah? Mengapa sedikit sekali yang bersedia menguliti rasa bersalah atas berbagai privelese dan akses yang didapat karena posisi kelasnya? Kenapa ketakutan atas kegagalannya dalam studi, karir, dan hidup karena seumur hidup dituntut untuk sukses (kan udah sekolah tinggi-tinggi, kan gak usah nyicil rumah sendiri, kan jago berbagai bahasa) tenggelam dalam lautan instagram selfie di luar negeri dan keluarga bahagia?
Kita punya hak untuk marah, menangis, tertawa, bahkan kita masih bisa terus menuntut. Jika jurang ke-nothing-an ini akan membunuh kita pelan-pelan, saya mau terseret with genuine pleasure dan satisfaction.
*dikutip dari buku puisi sendiri, Rusunothing